Tampilkan postingan dengan label 7 Eleven. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 7 Eleven. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Juni 2013

7 Eleven & Pilkada



Bila kita melewati gerai 7 Eleven hari-hari ini, mata kita mungkin tertuju pada spanduk yang dipasang di depan atau samping gerai itu dengan tulisan mencolok “PilKaDa”.
Lha, apakah kini 7 Eleven jadi sponsor Pilkada? Atau Jakarta akan mengadakan Pilkada lagi? Apakah pasangan Jokowi-Ahok mau dilengserkan? Jawaban ketiga pertanyaan tadi “Tidak”.
Lalu, apakah ada hubungan antara 7-Eleven dengan Pilkada? Pertanyaan itu sempat hinggap di kepala saya ketika hendak membeli hot chocolate favorit saya di 7 Eleven di salah satu gerainya di kawasan Pejaten, Jakara Selatan beberapa hari lalu.
“Ah, ternyata yang dimaksud Pilkada pada spanduk tersebut, bukan Pemilihan Kepala Daerah, tapi Pilihan Kamu Dua. Ya, Pilihan Kamu Dua. Oh, itu toh maksudnya . Ada-ada saja,” saya tersenyum geli.
Para kreator ide iklan memang terkadang mendompleng kata-kata yang menjadi hits di masyarakat.
Ya, ada 30 lebih provinsi di Indonesia dan ratusan kabupaten dan kota. Dan hampir tiap hari, masyarakat disuguhkan dengan berita Pilkada, terlepas masyarakat tertarik atau tidak. Berita Pilkada juga beranak-cucu. Ada berita korupsi terkait Pilkada, demo memprotes hasil Pilkada, atau berita tentang peserta Pilkada (bupati atau gubernur) yang terhempas akibat isu selingkuh yang dilemparkan calon lawan.
Salah contoh ide (kurang) kreatif saat Pemilu presiden silam: salah satu calon presiden saat itu menggunakan dan memodifikasi kata-kata dalam iklan “Indomie Seleraku”… menjadi “President bla bla, Pilihanku”. Entah karena iklan itu atau tidak, sang capres pun akhirnya terpilih menjadi presiden.
Saya kembali menengok ke spanduk bertuliskan “Pilihan Kamu Dua”. “Pilihan saya siapa? Kok cuma dua? Bakal calon presiden dan wakil presiden yang dimunculkan di media kan banyak? 
Jadi, kalau 7-Eleven mengatakan ‘Pilihan Kamu Dua’, maka saya jawab “Maaf, saya belum punya pilihan…”. 


Oops, ternyata yang dimaksudkan “PilKaDa” tadi adalah bahwa pembeli atau konsumen boleh memilih pilihan makanan paket A atau B. 

“Ah bilang kek dari tadi…pikiran saya jadinya kemana-mana,” gumam saya. 

Kehadiran 7 Eleven di Indonesia memang menarik. Konsep dan strateginya unik. Pertanyaannya, apakah 7 Eleven, atau “Sevel” masuk kategori ‘convenience store?” atau café-restoran? Di luar negeri, 7 Eleven digolongkan sebagai convenience store.

Di Indonesia sudah ada raja-raja penguasa pasar convenience store, Indomaret dan Alfamart. Dua-duanya sudah mencengkram pasar convenience store. Mungkin keduanya sudah mendominasi 80 persen pangsa pasar convenience store. Sulit bagi pemain baru untuk masuk ke niche market tersebut.
Apakah karena kondisi tersebut lantas pemegang master franchise 7 Eleven di Indonesia, keluarga Honoris (Modern Group) membuat beberapa modifikasi untuk memenuhi selera masyarakat Indonesia? Yang pasti, soal tata letak, layout toko, warna dan hal-hal mendasar lainnya, tidak berubah.
Henri Honoris, putra Sungkono Honoris yang lahir pada 1975 ini, punya jawaban. Masyarakat Indonesia, termasuk kalangan mudanya suka ‘kongkow-kongow’ alias duduk, ngobrol ngalor-ngidul, hingga diskusi hal-hal serius seperti Pilkada (pemilihan kepala daerah) atau pemilihan presiden, BBM, kasus suap sapi mantan petinggi PKS berikut dayang-dayang cantiknya, dll.
Nah, singkat cerita, Henri Honoris, aktor kunci dibalik keberhasilan Sevel merangsek pasar convenience store, membuat sedikit modifikasi. 
Di negeri asalnya Paman Sam (kini dimiliki oleh pengusaha asal negeri Matahari), 7 Eleven merupakan convenience store, tempat untuk membeli barang bila waktu kepepet, atau sekadar ingin membeli sebungkus rokok or minuman ringan. Di luar sana, konsepnya dikenal dengan istilah “grab and go”, ambil barang, bayar dan pergi. Barangkali membutuhkan waktu hanya 5-10 menit mampir di Sevel.
Nah, di Indonesia Sevel menerapkan konsep cukup unik. Konsumen, Anda dan saya, boleh ikut PilKaDa. Pilihan pertama, ‘Grab and Go’ dan pilihan kedua, ‘Grab and Eat’ atau ‘Grab and Sit-down’.
Bila kita perhatikan, orang-orang Jakarta apalagi anak-anak mudanya menyukai pilihan No 2 – Grab and Eat (atau Grab and Sit down). Saya sendiri memang terkadang pilih opsi 1, dan pada kesempatan lain pilih opsi 2.
Biasanya, kalau sedang janjian ketemu kawan di Sevel, maka No 2 pilihannya. – Grab and Sit-down. Mengapa? Karena Sevel juga menyediakan tempat duduk dan meja, colokan listrik serta wi-fi. Fasilitas tambahan ini yang mungkin membuat Sevel memiliki daya tarik tersendiri.
Lalu, apakah Sevel masuk kategori convenience store atau café? Susah untuk menjawabnya dengan pasti. Convenience store ya, café/restoran ya.
Pada awalnya, kehadiran Sevel memang banyak ditentang karena dianggap menyalahi peraturan. Saat itu, pemeritnah sudah punya peraturan untuk membatasi hadirnya convenience store baru. 
Nah, entah mengapa, Sevel tetap hadir hingga saat ini, dan bahkan menciptakan tren tersendiri. Bila kita telisik lebih jauh, tampaknya Sevel mengantongi izin membuka café dan restoran. Dan memang, masuk akal karena mayoritas barang-barang yang dijual dan tersedia  masuk food and beverage.
Konsep ‘banci’ Sevel - convenience store ya, cafe ya -- bahkan kini mulai diikuti oleh pemain-pemain lama di pasar convenience store seperti Indomaret dengan Indomaret Point-nya.
Foto: www.waymarking.com
Pemegang master franchise 7 Eleven, Grup Modern, memang bukan pemain baru di sektor ritel. Grup ini sudah lama bermain di sektor ritel, yakni cuci cetak film. Setelah, kamera digital berkembang pesat sejak awal 2000-an, kehadiran gerai Fuji Film menjadi pudar.
Akibatnya, bisnis cetak film Grup Modern juga memudar. Keluarga Sungkono Honoris, rupanya melakukan langkah jitu. Mengubah dan menambah bisnisnya. Setelah berupaya keras, keluarga ini berhasil memperoleh lisensi Master Franchise 7 Eleven untuk Indonesia pada April 2009. 
Grup Modern, lewat salah satu anak perusahaannya, PT Modrn Putra Indonesia (MPI), mengambil langkah cepat dan agresif. Beberapa bulan setelah lisensi dipegang, gerai Sevel pertama di kawasan Bulungan Jakarta. 
Beberapa gerai cetak foto yang tersebar di Jakarta kemudian diubah menjadi gerai 7 Eleven. Perkembangannya cukup mencengangkan memang.

Saat ini, kurang lebih 150-an gerai Sevel tersebar di sudut-sudut kota Jakarta. Menurut sang CEO, Henri Honoris, seperti dikutip di media-media online, jumlah gerai diperkirakan meningkat menjadi 200 sebelum akhir tahun. Tahun lalu, 50% pendepatan PT Modern Internasional Tbk sebesar kurang lebih Rp1 trillion, disumbangkan oleh 7 Eleven dan bisa meningkat lagi menjadi 60-70%. Luar biasa!

Grup Modern kini merangkak naik. Grup ini nyaris tenggelam dan tak muncul lagi ke permukaan setelah krisis melanda Indonesia tahun 1997-1998. Salah satu icon grup, Bank Modern, kolaps. Sang Komandan, Samadikun H. (H = Hartono, bukan Honoris) menghilang bersama lenyapnya ratusan miliar dana bantuan likuiditas emergensi (BLBI) yang digelontorkan Bank Indonesia saat krisis moneter.
Badai kasus hukum yang menimpa Samadikun H, saudara dari Luntungan Honoris dan Siwie Honoris, serta perkembangan teknologi dan kamera digital yang cepat, tidak membuat keluarga Honoris merenung berlama-lama. Kehadiran dan perkembangan 7-Eleven yang pesat, bangkitnya kembali unit properti melalui PT Modernland Realty Tbk, serta ekspansi di sektor otomotif (lewat PT Foton Mobilindo, yang dikomandani oleh putra Samadikun Hartono, James Hartono) dan pertambangan nikel, tampaknya membuka jalan lebar bagi Grup Modern untuk kembali ke era emasnya.
Bagi konsumen, kehadiran 7 Eleven memberikan alternatif tempat baru untuk kongkow-kongkow. Bisa mengikuti PilKaDa. Grab and Go atau Grab-and-Sit down. (*)
Bogor, 12 Juni 2013
*Irfan Toleng adalah penulis lepas, peneliti di salah satu lembaga riset. Menulis catatan ini sambil menikmati kopi hanget.