By Irfan Toleng*
Lha, apakah kini 7 Eleven jadi sponsor
Pilkada? Atau Jakarta akan mengadakan Pilkada lagi? Apakah pasangan Jokowi-Ahok mau dilengserkan? Jawaban ketiga pertanyaan
tadi “Tidak”.
Lalu, apakah ada hubungan antara
7-Eleven dengan Pilkada? Pertanyaan itu sempat hinggap di kepala saya ketika
hendak membeli hot chocolate favorit saya di 7 Eleven di salah satu gerainya di
kawasan Pejaten, Jakara Selatan beberapa hari lalu.
“Ah, ternyata yang dimaksud
Pilkada pada spanduk tersebut, bukan Pemilihan Kepala Daerah, tapi Pilihan Kamu Dua. Ya, Pilihan Kamu Dua. Oh, itu toh
maksudnya . Ada-ada saja,” saya tersenyum geli.
Para kreator ide iklan memang
terkadang mendompleng kata-kata yang menjadi hits di masyarakat.
Ya, ada 30 lebih provinsi di
Indonesia dan ratusan kabupaten dan kota. Dan hampir tiap hari, masyarakat
disuguhkan dengan berita Pilkada, terlepas masyarakat tertarik atau tidak. Berita
Pilkada juga beranak-cucu. Ada berita korupsi terkait Pilkada, demo memprotes
hasil Pilkada, atau berita tentang peserta Pilkada (bupati atau gubernur) yang terhempas akibat isu selingkuh yang dilemparkan calon lawan.
Salah contoh ide (kurang) kreatif saat Pemilu
presiden silam: salah satu calon presiden saat itu menggunakan dan memodifikasi
kata-kata dalam iklan “Indomie Seleraku”… menjadi “President bla bla, Pilihanku”.
Entah karena iklan itu atau tidak, sang capres pun akhirnya terpilih menjadi
presiden.
Saya kembali menengok ke spanduk bertuliskan “Pilihan Kamu Dua”.
“Pilihan saya siapa? Kok cuma dua? Bakal calon presiden dan wakil presiden yang dimunculkan di media kan banyak?
Jadi, kalau 7-Eleven mengatakan ‘Pilihan Kamu Dua’, maka
saya jawab “Maaf, saya belum punya pilihan…”. Oops, ternyata yang dimaksudkan “PilKaDa” tadi adalah bahwa pembeli atau konsumen boleh memilih pilihan makanan paket A atau B.
“Ah bilang kek dari tadi…pikiran saya jadinya kemana-mana,” gumam saya.
Kehadiran 7 Eleven di Indonesia memang menarik. Konsep dan strateginya unik. Pertanyaannya, apakah 7 Eleven, atau “Sevel” masuk kategori ‘convenience store?” atau café-restoran? Di luar negeri, 7 Eleven digolongkan sebagai convenience store.
Di Indonesia sudah ada raja-raja
penguasa pasar convenience store, Indomaret dan Alfamart. Dua-duanya sudah
mencengkram pasar convenience store. Mungkin keduanya sudah mendominasi 80
persen pangsa pasar convenience store. Sulit bagi pemain baru untuk masuk ke
niche market tersebut.
Apakah karena kondisi tersebut
lantas pemegang master franchise 7 Eleven di Indonesia, keluarga Honoris
(Modern Group) membuat beberapa modifikasi untuk memenuhi selera masyarakat
Indonesia? Yang pasti, soal tata letak, layout toko, warna dan hal-hal mendasar
lainnya, tidak berubah.
Henri Honoris, putra Sungkono Honoris yang lahir pada 1975 ini, punya jawaban. Masyarakat Indonesia, termasuk
kalangan mudanya suka ‘kongkow-kongow’ alias duduk, ngobrol ngalor-ngidul,
hingga diskusi hal-hal serius seperti Pilkada (pemilihan kepala daerah) atau
pemilihan presiden, BBM, kasus suap sapi mantan petinggi PKS berikut dayang-dayang cantiknya, dll.
Nah, singkat cerita, Henri Honoris,
aktor kunci dibalik keberhasilan Sevel merangsek pasar convenience store, membuat
sedikit modifikasi.
Di negeri asalnya Paman Sam (kini
dimiliki oleh pengusaha asal negeri Matahari), 7 Eleven merupakan convenience store, tempat untuk membeli barang
bila waktu kepepet, atau sekadar ingin membeli sebungkus rokok or minuman
ringan. Di luar sana, konsepnya dikenal dengan istilah “grab and go”, ambil
barang, bayar dan pergi. Barangkali membutuhkan waktu hanya 5-10 menit mampir di
Sevel.
Nah, di Indonesia Sevel menerapkan
konsep cukup unik. Konsumen, Anda dan saya, boleh ikut PilKaDa. Pilihan
pertama, ‘Grab and Go’ dan pilihan kedua, ‘Grab and Eat’ atau ‘Grab and
Sit-down’.
Bila kita perhatikan, orang-orang
Jakarta apalagi anak-anak mudanya menyukai pilihan No 2 – Grab and Eat (atau
Grab and Sit down). Saya sendiri memang terkadang pilih opsi 1, dan pada kesempatan
lain pilih opsi 2.
Biasanya, kalau sedang janjian
ketemu kawan di Sevel, maka No 2 pilihannya. – Grab and Sit-down. Mengapa? Karena
Sevel juga menyediakan tempat duduk dan meja, colokan listrik serta wi-fi.
Fasilitas tambahan ini yang mungkin membuat Sevel memiliki daya tarik
tersendiri.
Lalu, apakah Sevel masuk kategori
convenience store atau café? Susah untuk menjawabnya dengan pasti. Convenience
store ya, café/restoran ya.
Pada awalnya, kehadiran Sevel memang
banyak ditentang karena dianggap menyalahi peraturan. Saat itu, pemeritnah sudah
punya peraturan untuk membatasi hadirnya convenience store baru.
Nah, entah
mengapa, Sevel tetap hadir hingga saat ini, dan bahkan menciptakan tren
tersendiri. Bila kita telisik lebih jauh, tampaknya Sevel mengantongi izin
membuka café dan restoran. Dan memang, masuk akal karena mayoritas
barang-barang yang dijual dan tersedia masuk food and beverage.
Konsep ‘banci’ Sevel - convenience store ya, cafe ya -- bahkan kini
mulai diikuti oleh pemain-pemain lama di pasar convenience store seperti Indomaret dengan Indomaret Point-nya.
Foto: www.waymarking.com |
Akibatnya, bisnis
cetak film Grup Modern juga memudar. Keluarga Sungkono Honoris, rupanya melakukan langkah
jitu. Mengubah dan menambah bisnisnya. Setelah berupaya keras, keluarga ini berhasil memperoleh lisensi Master Franchise 7 Eleven untuk Indonesia pada April 2009.
Grup Modern, lewat salah satu anak
perusahaannya, PT Modrn Putra Indonesia (MPI), mengambil langkah cepat dan agresif.
Beberapa bulan setelah lisensi dipegang, gerai Sevel pertama di kawasan Bulungan Jakarta.
Beberapa gerai cetak foto yang tersebar di
Jakarta kemudian diubah menjadi gerai 7 Eleven. Perkembangannya
cukup mencengangkan memang.
Saat ini, kurang lebih 150-an gerai Sevel tersebar di sudut-sudut kota Jakarta. Menurut sang CEO, Henri Honoris, seperti dikutip di media-media online, jumlah gerai diperkirakan meningkat menjadi 200 sebelum akhir tahun. Tahun lalu, 50% pendepatan PT Modern Internasional Tbk sebesar kurang lebih Rp1 trillion, disumbangkan oleh 7 Eleven dan bisa meningkat lagi menjadi 60-70%. Luar biasa!
Grup Modern kini merangkak naik.
Grup ini nyaris tenggelam dan tak muncul lagi ke permukaan setelah krisis
melanda Indonesia tahun 1997-1998. Salah satu icon grup, Bank Modern, kolaps. Sang
Komandan, Samadikun H. (H = Hartono, bukan Honoris) menghilang bersama
lenyapnya ratusan miliar dana bantuan likuiditas emergensi (BLBI) yang
digelontorkan Bank Indonesia saat krisis moneter.
Badai kasus hukum yang menimpa
Samadikun H, saudara dari Luntungan Honoris dan Siwie Honoris, serta perkembangan teknologi dan kamera digital yang cepat, tidak membuat
keluarga Honoris merenung berlama-lama. Kehadiran dan perkembangan 7-Eleven yang
pesat, bangkitnya kembali unit properti melalui PT Modernland Realty Tbk, serta
ekspansi di sektor otomotif (lewat PT Foton Mobilindo, yang dikomandani oleh putra Samadikun Hartono, James Hartono) dan pertambangan nikel,
tampaknya membuka jalan lebar bagi Grup Modern untuk kembali ke era emasnya.
Bagi konsumen, kehadiran 7 Eleven
memberikan alternatif tempat baru untuk kongkow-kongkow. Bisa mengikuti
PilKaDa. Grab and Go atau Grab-and-Sit down. (*)
Bogor,
12 Juni 2013
*Irfan
Toleng adalah penulis lepas, peneliti di salah satu lembaga riset. Menulis
catatan ini sambil menikmati kopi hanget.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar