Jumat, 07 Juni 2013

BBM, Produksi Migas & Politik Muka Dua PKS

Jakarta (7 Juni 2013) -Dalam beberapa minggu terakhir, bila kita melewati jalan-jalan tertentu, kita mungkin berpapasan dengan spanduk yang berisi slogan ‘Hanya Bebani Rakyat, Tolak BBM Naik’. Pada titik itu, kita mungkin setuju
.

Bermain di air keruh (courtesy foto Jakarta Globe)

Bila melihat lebih teliti di samping kiri atau kanan spanduk tersebut, terlihat sebuah lambang partai yang sedang jadi sorotan publik gara-gara terlibat kasus suap sapi, yakni PKS.

Adalah mantan presiden PKS Luthfie Hasan dan kaki tangannya Fathonah yang kini sedang jadi pesakitan, berhadapan dengan kursi pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.


Kasus tersebut menyita perhatian publik karena menyeret beberapa nama beken artis, model, penyanyi dangdut dan bahkan gadis bau kencur.

Bila spanduk tersebut dibentangkan oleh kelompok mahasiswa yang tidak terafiliasi dengan partai-partai tertentu atau kelompok masyarakat, kehadiran spanduk tersebut masih bisa dimaklumi. Namun, patut dipertanyakan bila yang melakukan hal tersebut adalah PKS. Pasalnya, partai ini merupakan bagian dari koalisi pemerintah.

Ada tiga menteri yang berada dalam kabinet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menteri-menteri asal PKS seperti Tifatul Sembiring sudah mengatakan dukungannya terhadap keputusan pemerintah menaikkan BBM, karena pemerintah memang harus satu suara. Tapi sebagai Partai, PKS malah membentangkan spanduk-spanduk di jalan menentang rencana pemerintah tersebut.

Tidak mengeharankan bila ulah PKS tersebut mengundang kritik dan protes keras dari berbagai pihak, termasuk, Partai Demokrat dan juru bicara Istana. PKS diultimatum agar menghentikan pemasangan spanduk-spanduk yang membingungkan dan terkesan memprovokasi masyarakat tersebut.

Pemasangan spanduk bernada provokasi tersebut bisa jadi merupakan upaya PKS untuk menarik simpati masyarakat jelang pemilihan umum 2014. PKS sedang membangkitkan kembali simpati masyarakat yang sudah keburu luntur akibat ulah petinggi-petinggi partai akibat kasus suap impor sapi di atas.

Sebagai bagian dari partai koalisi, seharusnya PKS secara gentle ikut bertanggung jawab terhadap keputusan pemerintah menaikkan harga BBM dan turut mensosialisasikannya. Bukan malah membenturkan masyarakat dengan pemerintah.

Ada banyak cara kita mengkritisi dan memprotes pemerintah terkait rencana kenaikan harga BBM tersebut. Persoalan subsidi BBM yang membengkak tidak berdiri sendiri. Tapi ada persoalan yang lebih mendasar, yakni produksi minyak kita yang terus turun. Seharusnya, masalah ini yang ditagih oleh PKS atau masyarakat ke pemerintah agar masalah BBM ini tidak menjadi momok yang menakutkan setiap tahun.

Sebagai partai dan sebagai warga negara, kita perlu menuntut pemerintah agar terus mendorong investasi di sektor migas, baik untuk aktivitas eksplorasi maupun untuk meningkatkan produksi minyak dan gas.

Pemerintah perlu menjaga agar investasi, baik asing maupun perusahaan migas lokal, terus meningkat. Pemerintah perlu menjaga iklim investasi agar tetap menarik dan investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.

Pemerintah juga perlu menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang diambil dilakukan berdasarkan atas analisa risiko dan keuntungan dalam memperpanjang atau tidak memperpanjang kontrak pengelolaan migas, bukan atas dasar kepentingan sesaat, orang-per orang atau nasionalisme sempit. Misalnya dalam kasus pengelolaan Blok Mahakam. Alasan rasional, seperti jaminan konsistensi produksi gas alam, komitmen investasi dan penguasaan teknologi, harus menjadi pertimbangan utama.

Investor harus diyakinkan bahwa investasi mereka di Indonesia dijamin. Dengan demikian dalam jangka menengah panjang produksi minyak dan gas kita meningkat

Hal-hal substantial seperti ini yang seharusnya menjadi sorotan partai-partai politik. Bukan malah mengail di air keruh untuk kepentingan diri sendiri. Kita berharap agar partai-partai lebih dewasa dan beretika dalam memainkan peran mereka. Sebagaimana rakyat kian pintar membaca situasi, partai politik pun seharusnya lebih pintar dan beretika. Bila tidak, siap-siaplah menjadi 'almarhum/almarhumah'. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar