Sebuah fasilitas produksi migas (photo: www.steelindonesia.com) |
Respons masyarakat bermacam-macam atas keputusan tersebut bermacam-macam. Ada yang bereaksi secara ekstrim, ada pula yang beradaptasi dengan situasi dengan mengencangkan ikat pinggang. Seperti telah diduga, sebagian pemuda yang mengklaim sebagai mahasiswa melakukan demo, memblokir jalan, membakar ban hingga melakukan tindakan tidak terpuji seperti merusak gerai KFC seperti yang terjadi di salah satu kota di Sumatera Utara.
Para pemilik angkutan umum seperti bis sudah menaikkan tarif angkutan, bahkan sebelum pemerintah mengumumkan harga BBM bersubsidi secara resmi dan sebagian bersiap-siap untuk menaikkan tarif. Organda, sebuah organisasi angkutan umum, telah mengajukan ke pemerintah untuk menaikkan tarif angkutan sebesar 30 persen.
Dampak langsung dari kenaikkan BBM bersubsidi memang terjadi pada angkutan atau transportasi. Jadi, masuk akal bila mereka melakukan penyesuaian asalkan masih dalam taraf wajar. Industri secara umum seharusnya tidak serta-merta menaikkan harga barang karena toh mereka selama ini telah membeli BBM industri, yang harganya lebih tinggi dari harga BBM bersubsidi. Kecuali mereka menggunakan modus tertentu untuk membeli harga BBM bersubsidi.
Pemerintah tentu punya alasan logis untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Salah satunya, penikmat BBM bersubsidi selama ini adalah masyarakat kelas menengah ke atas, para pemilik mobil pribadi. Mereka toh, bisa membeli harga BBM bersubsidi lebih mahal. Pasti mereka punya cara untuk beradaptasi dengan harga BBM bersubsidi yang baru.
Tantangan terberat pemerintah adalah bagaimana mengurangi dampak kenaikan subsidi pada kelompok masyarakat dengan income rendah. Persoalannya, BLSM, atau Bantuan Langsung Sementara Masyarakat hanya diberikan selama 4 bulan. Seharusnya, pemerintah menyiapkan strategi lain, misalnya menciptakan lapangan kerja masal. Misalnya, melibatkan mereka pada proyek-proyek padat karya, irigiasi, jalan raya, dan lain-lain. Jadi, disamping mereka mendapatkan uang, masyarakat umum juga mendapat manfaat dengan adanya proyek-proyek padat karya tersebut.
Kita bisa berbicara panjang lebar soal BBM ini dan pasti tidak akan habis-habisnya. Kita juga bisa memberikan alasan-alasan mengapa BBM tidak perlu naik dan mengapa harga BBM bersubsidi harus dinaikkan.
Pemerintah pun tampaknya berupaya keras untuk meyakinkan masyarakat dengan berbagai cara, mulai dari selebaran, sosialisasi di televisi, radio, spanduk-spanduk untuk memberikan 1001 alasan mengapa BBM harus naik. Masyarkat juga mempunyai 1001 alasan mengapa BBM bersubsidi tidak perlu naik, sambil menuding pemerintah telah gagal menyediakan BBM dengan harga terjangkau untuk masyarakat.
Pada saat yang sama, tersiar kabar bahwa beberapa perusahaan migas gagal menemukan cadangan migas (dryhole) atau cadangan tidak mencukupi untuk dilanjutkan ke production stage. Seperti yang dilansir media beberapa hari ini, ada 11 perusahaan minyak yang gagal menemukan cadangan migas setelah 5 tahun melakukan eksplorasi. Akibatnya, mereka terpaksa menanggung kerugian sekitar US$1.9 miliar. Sebuah angka yang besar nilainya.
Sesuai skema cost recovery, bila perusahaan gagal mendapatkan cadangan migas, kerugian ditanggung sendiri. Biaya yang telah dikeluarkan tidak bisa digantikan melalui skema cost recovery. Namun, bila mereka menemukan migas, maka biaya yang dikeluarkan selama masa eksplorasi tersebut digantikan oleh pemerintah melalui skema cost recovery.
Kegagalan perusahaan migas tersebut menunjukkan investasi di industri migas memang berisiko tinggi. Risiko lebih besar saat eksplorasi karena tingkat keberhasilannya cuma 10%. Karena itu, tidak heran bila bank-bank nasional tidak mau memberikan kredit ke perusahaan migas untuk keperluan pencarian migas (eksplorasi). . Tidak heran bila sebagian besar yang melakukan eksplorasi adalah perusahaan-perusahaan asing. Hanya perusahaan-perusahaan besar dengan modal besar yang berani mengambil risiko untuk melakukan eksplorasi.
Lalu apa hubungan antara persoalan BBM bersubsidi di atas tadi dengan berita kegagalan perusahaan migas menemukan cadangan?
Sangat erat kaitannya. Masalah BBM bersubsidi adalah masalah di hilir, sementara berita kegagalan perusahaan migas adalah persoalan di sektor hulu industri migas. Persoalan di hilir (BBM) saat ini sebetulnya refleksi persoalan besar di hulu industri migas.
Persoalan besar di hulu adalah produksi minyak yang terus turun. Alasannya, sebagian besar blok migas yang berproduksi saat ini adalah blok migas yang sudah tua. Contoh, blok milik Chevron di Riau atau Blok Mahakam yang berada di Kalimantan Timur. Blok Mahakam, yang dioperasikan oleh Total EP Indonesie ini, sudah berproduksi lebih dari 40 tahun. Cadangan gas alam terus menipis. Dampaknya, operator harus mengeluarkan investasi besar setiap tahun untung mengangkat gas alam (dan minyak dengan porsi kecil). Belum lagi karakter blok tersebut yang sangat kompleks.Operator harus menggunakan teknologi tertentu untuk mengangkat gas alam dari perut bumi Mahakam.
Bisnis migas memang berisiko tinggi dan horizon investasinya bersifat jangka panjang. Apa yang dialami oleh 11 perusahaan migas di atas merupakan contoh nyata risiko yang dihadapi perusahaan migas.
Apa implikasi bila perusahaan-perusahaan tersebut berhenti melakukan eksplorasi dan memutuskan melakukan eksplorasi di negara-negara tetangga seperti Vietnam, Cambodia atau Myanmar, yang notabene kian membuka diri bagi investasi migas asing?
Bisa jadi mereka akan memindahkan/mengalihkan rencana investasi mereka ke negara-negara tetangga. Bila investasi untuk eksplorasi berkurang, maka cadangan migas tidak bertambah, bahkan berkurang. Dampaknya, produksi minyak akan menurun, sementara di satu sisi, kebutuhan minyak (BBM) meningkat. Bila gap ini terus melebar, maka biaya untuk mengimpor minyak meningkat dan akan sangat membebani anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN).
Kesimpulannya singkat: Tingkatkan investasi eksplorasi migas!!!
#BBM#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar