Selasa, 04 Juni 2013

Harga BBM Bersubsidi & Produksi Migas



Hari-hari ini media, baik cetak, audiovisual maupun online, ramai memberitakan perdebatan terkait rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Bila tidak ada aral melintang, kenaikan tersebut bakal dilakukan minggu ke-3 bulan Juni, jelang Lebaran.

Pemerintah beralasan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bakal jebol bila pemerintah terus menggelontorkan subsidi BBM, karena itu subsidi harus dibatasi dengan konsekuensi menaikkan harga BBM bersubsidi.


Bila melihat harga BBM bersubsidi, memang sudha jauh berada di bawah harga pasar dan BBM industri. Saat ini BBM bersubsidi dipatok pada tingkat Rp4.500 per liter untuk premium, jauh di bawah harga BBM industri sebesar Rp9.300 per liter. Akibatnya, mengundang penyelundupan dan pemanfaatan BBM subsidi yang tidak tepat.

Idealnya, subsidi diberikan kepada yang membutuhkan, seperti untuk transportasi umum, kebutuhan nelayan dan masyarakat kecil. Namun, yang terjadi, kelompok masyarakat menengah ke atas, yang seharusnya dapat membeli BBM dengan harga pasar, ikut menikmati harga BBM bersubsidi.

Bila kita melirik harga BBM ke negara-negara tetangga, harga BBM kita juga jauh di bawah. Misalnya, harga BBM dengan Ron 90 (premium) sebesar Rp4.500, sementara di Vietnam, untuk RON 92 seharga Rp15.553, Laos Rp13.396 dan Kamboja Rp13.298.

Ada yang mengatakan juga bahwa harga BBM bersubsi yang murah saat ini menghambat upaya pengembangan energi terbarukan.

Masyarakat juga sudah sepertinya dimanjakan oleh pemerintah dengan harga BBM yang disubsidi, padahal Indonesia bukan negara eksportir minyak. Indoensia sudah sejak pertengahan 2000, keluar dari anggota OPEC setelah Indonesia beralih menjadi negara pengimpor minyak. Produksi minyak Indonesia terus turun dari puncaknya 1,6 juta barel per hari tahun 1995 hingga menjadi 850,000-900,000 saat ini.

Banyak alasan mengapa produksi minyak saat ini terus menurun, antara lain, berkurangnya investasi untuk explorasi minyak, lapangan yang berproduksi sudah tua (ageing), berbagai hambatan teknis perizinan serta iklim investasi yang kurang kondusif.

Contoh nyata adalah terlambatnya produksi puncak Blok Cepu yang sedianya tercapai tahun 2013, tapi tampaknya tertunda hingga tahun 2014 atau 2015. Padahal, blok Cepu dapat memproduksi minyak hingga 165,000 barel per hari saat puncaknya nanti. Namun, terhambat oleh berbagai masalah teknis seperti perizinan lokasi fasilitas produksi dan pembebasan lahan.

Baru-baru ini juga kita menyaksikan salah satu pemerintah daerah di Sumatera menyegel sumur produksi minyak dengan alasan belum memiliki izin. Padahal, perusahaan minyak dan gas tersebut, Petrochina, mengklaim telah mengantongi izin. Lagi-lagi ini menunjukkan ketidaksinkronan perizinan dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Ada beberapa isu lain yang membuat cemas produsen minyak dan gas atau kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Misalnya, kasus bioremediasi yang menyeret kontraktor Chevron Pacific Indonesia di Sumatera Utara serta ketidakpastian terkait perpanjangan kontrak Total Indonesie dalam mengelola Blok Mahakam. 

Blok Mahakam saat ini merupakan tulang punggung produksi gas alam Indonesia dan telah berpengalaman kurang lebih 40 tahun dalam mengelola blok yang berada di rawa-rawa tersebut. Total Indonesie sebagai operator blok tersebut serta Inpex sebagai mitra, membutuhkan kepastian dari pemerintah mengenai kelanjutan pengelolaan blok tersebut pasca berakhirnya kontrak 2017. Kepastian dibutuhkan mengingat tiap tahun operator menggelontorkan investasi kurang lebih US$2.5-US$3 miliar per tahun, nilai investasi yang tidak sedikit.

Kembali ke persoalan pokok tadi, rencana kenaikan BBM tersebut juga ditentang oleh berbagai pihak. Alasannya, keputusan tersebut akan memberatkan masyarakat. Masyarakat tidak hanya dibebani oleh harga BBM yang naik, tapi juga dihantui oleh keputusan pengusaha untuk menaikkan harga produk. Pedagang di pasar, seperti pedagang sayur, buah, telor, ikan dan sebagainya seperti latah menaikkan harga produk mereka. Padahal, tidak semua ongkos produksi barang mengalami kenaikan. Harga BBM industri tidak berubah, toh pelaku industri menaikkan harga barang.

Dampak kenaikkan harga BBM memang akan menyebar ke berbagai aktivitas perekonomian. Ada yang terkena dampak langsung dari kenaikkan harga BBM bersubsidi, tapi ada yang kena dampak tidak langsung. Ada juga yang sekadar latah, menaikkan harga barang. Siapa pun tidak ingin harga barang naik, karena itu berarti masyarakat akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli produk yang diinginkan, padahal pendapatan mereka tetap.

Pada titik mengurangi subsidi, berbagai pihak sepakat. Namun, pemerintah juga dikritik karena gagal menaikkan produksi minyak. Andaikan produksi minyak kita meningkat di atas 1 juta barel, maka subsidi yang diberikan tentu tak sebesar saat ini. Ratusan triliun yang dialokasikan untuk subsidi BBM, dapat digunakan untuk membangun dan merenovasi sekolah, fasilitas umum, membangun jalan dan jembatan dan infrastruktur lain.

Ribut-ribut soal BBM di hilir sebetulnya juga merefleksikan persoalan di hulu industri minyak
dan gas kita. Persoalan mendasar adalah penurunan produksi minyak. Subsidi dan kompensasi yang diberikan pemerintah berupaya tunai langsung hanya solusi sementara. Pemerintah harus mengatasi persoalan di hulu, yakni penurunan produksi minyak, bila ingin menyeselaikan persoalan BBM yang terus menghantui pemerintah dan masyarakat setiap tahun.

Menaikkan atau mempertahankan harga BBM subsidi saat ini, merupakan dua pilihan yang sama buruknya. Bila tidak dinaikkan, APBN bisa jebol, sementara bila menaikkan harga BBM, masyarakat akan terbebani.

Tentu keputusan tersebut akan melahirkan pro dan kontra. Tentu ada juga pihak-pihak yang berupaya mengail di air keruh. Partai tertentu, seperti PKS, tampak bermuka dua. Pada satu sisi, PKS adalah partai koalisi pemerintah, artinya partai tersebut harusnya mendukung rencana pemerintah. Namun, pada sisi lain, partai ini berkoar-koar di arus bawah, menolak kenaikan harga BBM.

Pemerintah juga dikritik, karena rencana pemerian bantuan tunai langsung ke masyarakat atau rakyat yang terkena dampak paling buruk dari kenaikan BBM, akan dimanfaatkan untuk menarik simpasi masyarakat jelang pemilu 2014.

Ongkos politik dari keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi juga mahal. Pemerintah harus siap-siap terjadinya gelombang demonstrasi menolak kenaikkan harga BBM bersubsidi. Seperti yang kita lihat, sudah mulai ada demonstrasi sporadis mahasiswa menentang keputusan pemerintah tersebut. Gelombang demonstrasi bisa bereskalasi bila pemerintah gagal mengantisipasi dan menghadapi protest masyarakat dengan cara represif. SPBU Pertamina bisa jadi sasaran empuk pelempiasan amarah sekelompok masyarakat.

Setiap kita pasti punya pendapat masing-masing, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju dengan rencana kenaikan tersebut. Mungkin juga ada yang cuek saja. Tapi, apapun keputusan yang diambil pemerintah, dampak dari keputusan tersebut harus bisa dikendalikan dikurangi. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi alasan menaikkan harga BBM. Bantuan tunai langsung juga harus sesuai sasaran dan tidak dimanipulasi untuk kepentingan citra partai.

Pada saat yang sama, pemerintah harus bekerja keras untuk mendorong meningkatkan produksi minyak dan gas.  (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar