Kamis, 27 Juni 2013

Ketika Cadangan Minyak Menipis

Oleh Irfan Toleng*

Sebuah judul berita sebuah media online baru-baru ini menarik perhatian saya. Disitu tertulis, ‘Buruh tuding pemerintah bohong soal cadangan minyak’. Media online tersebut mengutip pernyataan seorang pimpinan buruh yang mengatakan bahwa cadangan minyak kita masih cukup banyak dan karena itu tidak beralasan pemerintah menaikkan harga BBM.

Apakah benar seperti itu? Apakah cadangan minyak Indonesia masih cukup banyak? Apakah produksi minyak kita masih cukup untuk memenuhi permintaan konsumen dalam negeri?

Jawabannya singkat dan sederhana. Cadangan minyak Indonesia sedikit dan menipis. Mengutip pernyataan Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas, sebelumnya BPMIGAS) Gde Pradnyana, cadanan minyak Indonesia hanya sebesar 4 miliar barel. Dan produksi minyak saat ini sebesar 830,000-850,000 barel per hari, separuh dari puncak produksi 1.6 juta barel per hari.

Dengan cadangan sebesar itu dan dengan tingkat produksi rata-rata per hari sejumlah angka di atas, maka cadangan di atas akan habis pada 2021. Saat ini, konsumsi minyak kita terus meningkat menjadi sekitar 1.4 juta barel per hari dari cuma 400000 bph tahun 1980-an. Konsekuensinya, Indonesia saat ini harus mengimpor 400000 bph minyak. Ada jurang besar antara produksi minyak dalam negeri dan kebutuhan atau permintaan masyarakat.Akibatnya, biaya subsidi minyak membengkak.

Pernyataan seorang tokoh buruh di atas mengindikasikan bahwa masih ada persepsi yang keliru di masyarakat, seolah Indonesia masih negara pengekspor minyak. Persepsi itu masih melekat barangkali karena dulu Indonesia pernah menjadi negera pengekspor minyak. Saat itu, Indonesia bergabung dengan OPEC, sebuah organisasi negara-negara pengekspor minyak.

Saat itu, OPEC sangat powerful karena apapun keputusan OPEC terkait quota produksi minyak selalu diperhatikan pasar. Keputusan dan produksi minyak OPEC sangat berpengaruh pada harga minyak.
Nah, Indonesia sejak tahun 2000-an, sudah keluar dari OPEC karena Indonesia telah menjadi pengimpor minyak. Produksi minyak Indonesia terus menurun hingga hanya sebesar 830,000-850,000 barel per hari saat ini.

Cadangan minyak Indonesia diperkirakan terus menurun bila Indonesia tidak melakukan terobosan untuk meningkatkan cadangan minyak.

Menurut laporan Business Monitor International, sebuah lembaga riset ternama yang berbasis di London, memperkirakan cadangan minyak Indonesia akan menurun menjadi 3.8 miliar barel pada 2017, dari 4.1 miliar barel saat ini.

Pernyataan sekretaris SKK Migas di atas bahwa cadangan minyak kita akan habis 2021 benar adanya bila Indonesia tidak melakukan eksplorasi saat ini. Artinya, kita hanya memproduksi minyak dari cadangan yang ada.

Karena itu, tidak ada jalan bagi Indonesia untuk menambah cadangan minyak dengan meningkatkan aktivitas eksplorasi untuk menemukan cadangan minyak baru. Pemerintah perlu mendorong investor migas untuk meningkatkan investasi pada kegiatan eksplorasi migas.

Sayangnya, upaya tersebut bagai membentur tembok. Seperti yang diutarakan oleh berbagai petinggi-petinggi perusahaan migas dan eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA), kegiatan eksplorasi minyak kian menurun karena banyak kendala teknis dan non-teknis, salah satunya rumitnya perizinan.

Menteri BUMN Dahlan Iskan mengaku dan terheran-heran dengan begitu banyaknya pos-pos perizinan industri migas di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 270 perizinan. Artinya, mulai dari permohonan awal hingga minyak diproduksi, produsen migas (K3S) harus melewati 270 proses perizinan di paling kurang 15 kementerian dan pemerintah daerah – pemerintah provinsi dan kabupaten.

Akibat rumitnya perizinan tersebut, kegiatan eksplorasi dan produksi minyak terhambat dan tertunda atau bahkan tidak terealisasi. Contoh nyata adalah Blok Cepu. Produksi puncak blok tersebut bakal tertunda hingga 2014 atau 2015, dari target semula 2013, karena fasilitas produksi baru mulai dikonstruksi. Pengerjaan fasilitas produksi terhambat akibat izin IMB terlambat dikeluarkan oleh pemda Bojonegoro.

Publik dan perusahaan migas (KKKS) saat ini menunggu langkah nyata pemerintah untuk mengatasi masalah perizinan di industri migas serta upaya lain untuk menjaga iklim investasi migas.

Banyak ranjau yang harus dilewati oleh investor migas, baik asing maupun lokal, dalam menjalankan operasinya di Indonesia. Secara umum iklim investasi sektor minyak dan gas (migas) di Indonesia masih belum menggembirakan.

Pada satu sisi pemerintah mengundang investor untuk berinvestasi di Indonesia, baik untuk eksplorasi maupun untuk meningkatkan produksi minyak dan gas. Pada sisi lain, perusahaan migas menghadapi berbagai ranjau untuk mengeksplorasi/mencari minyak dan meningkatkan produksi minyak.

Disamping itu, ada kelompok-kelompok tertentu yang terus memainkan isu nasionalisme sempit untuk kepentingan kelompoknya. Ada pihak tertentu yang terus memainkan isu nasionalisme sempit ini yang berdampak pada ketidaknyamanan investor dalam berinvestasi di Indonesia, sehingga Indonesia kian tergantung pada impor. Isu nasionalisme sempit dihembuskan, misalnya, untuk memaksa pemerintah menyerahkan blok-blok migas tertentu, seperti Blok Mahakam, ke Pertamina, untuk kemudian dijual kembali oleh perusahaan BUMN tersebut.

Berbagai kendala yang dihadapi industri migas akan berdampak pada penurunan produksi minyak (dan gas) serta penurunan cadangan minyak . Akibatnya, Indonesia kian tergantung pada impor Semakin besar ketergantungan Indonesia pada impor, semakin besar keuntungan para mafia importir minyak dari kegiatan mengimpor minyak.

Sangat riskan bila Indonesia bergantung pada impor. Bila terjadi gejolak di Timur Tengah atau bagian bumi lain yang berakibat pada meningkatnya harga minyak, maka Indonesia akan kolaps. Ekonomi bisa mati suri karena pemerintah akan kesulitan mengimpor minyak bila harga minyak katakanlah melonjak ke US$200 per barel.

Karena itu, pilihannya hanya satu: meningkatkan eksplorasi migas untuk meningkatkan cadangan minyak dan produksi dalam jangka panjang. Kita tidak persoalkan apakah itu perusahaan lokal, asing atau join venture. Yang terpenting mereka mampu dan berkomitmen dalam jangka panjang untuk berkontribusi dalam produksi minyak dan gas nasional. (*)


*Irfan Toleng adalah penulis lepas, peneliti di sebuah lembaga riset dan mantan eksekutif di sebuah perusahaan migas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar