Oleh Irfan Toleng*
Ilustrasi proyek Lapangan Abadi, Blok Masela |
Blok Masela kembali menjadi berita. Berita pertama terkait keputusan PT Energi Mega Persada Tbk, anak perusahaan kelompok Bakrie, untuk menjual 10% sahamnya
(participating interest) di Blok Masela. Berita kedua, terkait permintaan
Inpex, operator Blok Masela, untuk memperpanjang kontrak pengelolaan
blok tersebut setelah 2028.
Alasan utama permohonan perpanjangan adalah bila Lapangan Abadi mulai
berproduksi tahun 2019 atau 2020, maka operator hanya punya waktu 10 tahun
untuk mengembangkan blok raksasa tersebut. Waktu pengembalian investasi dirasa tidak cukup untuk
proyek raksasa sekelas Masela.
Inpex sendiri bukanlah pemain baru di Indonesia. Perusahaan asal Jepang
tersebut telah berpartner dengan Total E&P Indonesia puluhan tahun
dalam mengembangkan Blok Mahakam, di delta Mahakam, Kalimtan Timur. Kedua perusahaan tersebut telah mengembangankan sebuah blok dengan tingkat kompleksitas yang rumit karena terletak di 'tiga dunia', rawa-rawa, daratan dan lepas pantai.
Bedanya, di Blok Mahakam, Inpex hanya menjadi pemegang saham (PI), sementara yang bertindak sebagai operator adalah TotalE&P Indonesia.Selain itu, proyek Masela, jauh lebih kompleks lagi karena berada di lepas pantai dan fasilitas produksi akan berada di tengah laut melalui skema kapal terapung atau floating FLNG (FLNG).
Bedanya, di Blok Mahakam, Inpex hanya menjadi pemegang saham (PI), sementara yang bertindak sebagai operator adalah TotalE&P Indonesia.Selain itu, proyek Masela, jauh lebih kompleks lagi karena berada di lepas pantai dan fasilitas produksi akan berada di tengah laut melalui skema kapal terapung atau floating FLNG (FLNG).
Di Blok Masela, perusahaan migas raksasa Jepang Inpex memegang
hak sebagai operator, sementara, Shell dan Energi Mega hanya sebagai pemegang
saham. Nah, keputusan Energi untuk menjual PI-nya di Blok Masela senilai US$313
juta, berarti belum ada partner lokal lagi yang menjadi pemegang saham blok
Masela.
Rumor yang beredar di Maluku jauh sebelum Energi Mega mengumumkan keputusan tersebut bahwa saham 10% tersebut kemungkinan besar akan dialihkan ke pemerintah provinsi Maluku dan pemerintah kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Tentu kita berharap Pemerintah daerah betul-betul menjadi pemegang saham, tidak diperalat oleh swasta seperti di kasus tambang Newmont. Pada awalnya, pemerintah berharap Pemda NTB akan menjadi pemegang saham, dalam kenyataannya pemda menjual kembali atau menggandeng swasta yakni group Bakrie. Yang untung swasta, bukan Pemda.
Rumor yang beredar di Maluku jauh sebelum Energi Mega mengumumkan keputusan tersebut bahwa saham 10% tersebut kemungkinan besar akan dialihkan ke pemerintah provinsi Maluku dan pemerintah kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Tentu kita berharap Pemerintah daerah betul-betul menjadi pemegang saham, tidak diperalat oleh swasta seperti di kasus tambang Newmont. Pada awalnya, pemerintah berharap Pemda NTB akan menjadi pemegang saham, dalam kenyataannya pemda menjual kembali atau menggandeng swasta yakni group Bakrie. Yang untung swasta, bukan Pemda.
Dengan harga penjualan saham 10% tersebut, maka nilai projek Masela
saat ini sebesar US$3.13
miliar. Dan tentu saja nilai proyek tersebut meningkat lagi setelah proyek tersebut berproduksi. Menurut perkiraan pemerintah dan Inpex, nilai investasi untuk mengembangkan
lapangan Abadi di Blok Masela akan mencapai paling kurang US$5 miliar atau sekitar Rp50 triliun.
Nilai persisnya belum diketahui karena operator belum mengumumkan Final
Investment Decision (FID). Saat ini, baru memasuki tahapan pengerjaan FEED – Front-End
Engineering Design. Final Investiment Decision diperkirakan akan diumumkan akhir tahun, dengan
catatan FEED sudah selesai.
Sekadar kilas balik, Inpex memenangkan tender untuk mengembangkan Blok
Masela bulan November 1998. Dua tahun kemudian (2000), setelah dilakukan
pengeboran, Inpex menemukan cadangan gas alam yang layak untuk diproduksi yakni
lapangan Abadi (Abadi gas field). Dalam 12 tahun terakhir, perusahaan tersebut
terus melakukan pengeboran, termasuk sumur appraisal (appraisal well) untuk memastikan
cadangan dan menentukan lokasi/titik-titik sumur produksi.
Dengan rentang waktu 12 tahun, jelas menunjukkan bahwa pengembangan
lapangan migas merupakan proyek atau investasi jangka panjang. Artinya, selama
12 tahun terakhir, Inpex (dan belakangan Shell bergabung), mengeluarkan dana
investasi untuk eksplorasi. Tentu saja ratusan juta dolar telah dikeluarkan
untuk keperluan tersebut, sementara pengembalian investasi tersebut baru dimulai sekitar 6 tahun lagi, yakni 2019.
Tertunda
Pada awalnya, pemerintah memperkirakan Blok Masela mulai berproduksi tahun 2016. Namun, mengingat kompleksnya proyek tersebut, dan banyak tahap yang dilalui sebelum produksi dimulai, maka produksi pertama ditunda menjadi 2018. Nah, SKK Migas beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa lapangan Abadi kemungkinan baru mulai berproduksi tahun 2019.’
Pada awalnya, pemerintah memperkirakan Blok Masela mulai berproduksi tahun 2016. Namun, mengingat kompleksnya proyek tersebut, dan banyak tahap yang dilalui sebelum produksi dimulai, maka produksi pertama ditunda menjadi 2018. Nah, SKK Migas beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa lapangan Abadi kemungkinan baru mulai berproduksi tahun 2019.’
Padahal, beberapa pejabat di kementerian energi pada awalnya
menggembar-gemborkan bahwa Indonesia akan menjadi negara pertama yang
memproduksi gas alam cair (LNG) dengan menggunakan skema kapal terapung atau
floating LNG facility (FLNG). Tentu dengan asumsi Blok Masela mulai berproduksi
tahun 2016 atau 2017.
Proyek Prelude FLNG, Australia (foto: BBC) |
Dengan diundurkannya jadwal produksi pertama, maka negara pertama yang
akan menggunakan FLNG adalah Australia. Melalui proyek Prelude FLNG di lepas pantau
Australia barat. Proyek tersebut dikembangkan oleh perusahaan migas raksasa
Shell, yang juga menjadi partner Inpex di Masela. Shell memang diakui telah
menjadi pionir pengembangan FLNG di dunia.
Fasilitas kapal terapung (FLNG) di proyek FLNG
ini kabarnya seluas 6 kali kapal induk Amerika, Nimitz. Biaya investasinya pun
bernilai jumbo, yakni kurang lebih US$30 miliar atau Rp300 triliun.
Memproduksi minyak di lepas pantai melalui Floating
Production Storage and Offloading (FPSO) memang sudah berkembang pesat dalam
belasan tahun terakhir. Namun, memproses gas alam cair melalui fasilitas lepas pantai memang
belum ada. Saat ini pun, beberapa proyek gas alam kita seperti proyek Tangguh
oleh BP di Papua memanfaatkan fasilitas onshore. Gas alam yang ada dilepas
pantai dialirkan melalui pipa gas ke fasilitas produksi di daratan.
Pertanyaan sekarang apakah pemerintah memperpanjang hak pengembangan dan
pengelolaan Blok Masela pasca 2028? Dari sisi perusahaan, memang tidak efisien
bila masa produksi hanya 10 tahun karena proyek tersebut baru mulai berproduksi
tahun 2019.
Disatu sisi, pemerintah tentu tidak begitu saja mengiyakan permintaan
Inpex-Shell tersebut. Pasalnya, menurut peraturan yang ada, perpanjangan waktu
hanya boleh dilakukan paling cepat 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Dan,
dengan catatan proyek tersebut sudah berproduksi. Sementara, blok Masela belum
mulai berproduksi.
Publik dan industri migas tentu berharap pemerintah mengambil keputusan
dengan bijak, dalam arti tidak menabrak peraturan yang ada. Konsekuensinya,
bila diperpanjang sekarang maka ada peraturan yang perlu diadaptasi. Bila tidak
ada keputusan, dikhawatirkan proses pengembangan proyek blok Masela tersebut
akan tertunda lagi dan menjadi menggantung.
Publik tentu berharap pemerintah segera mengambil keputusan agar proyek LNG Blok Masela ini agar tahapan pra-produksi seperti penentuan FEED, FID dapat berjalan mulus. Dengan demikan dapat mulai berproduksi sesuai skedul yang ditentukan sehingga segera memberi kontribusi bagi pendapatan negara dan tentunya diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Maluku.
Belum semua perusahaan migas besar memiliki kemampuan untuk mengembangan proyek-proyek FLNG. Namun, teknologinya sudah tersedia. Indonesia pun tidak perlu malu untuk belajar dari perusahaan-perusahaan migas raksasa seperti Inpex dan Shell.
Sama seperti proyek Blok Mahakam, sudah puluhan tahun proyek tersebut memberikan kontribusi pendapatan bagi pundi-pundi negara. Tingkat kompleksitas blok Mahakam membuat pemerintah melalui Pertamina, tahun 1997 memperpanjang kontrak operator (Total EP Indonesie dan Inpex). Saat itu, Pertamina bertindak sebagai perusahaan sekaligus sebagai regulator.
Kita tidak melihat siapa yang memproduksi, tapi pertanyaannya adalah apa kontribusi perusahaan tersebut bagi negara. Lebih baik memiliki perusahaan asing yang memberi kontribusi besar bagi negara daripada perusahaan lokal/nasional tapi korupsi dan tidak mempraktekkan clean governance.(*)
Publik tentu berharap pemerintah segera mengambil keputusan agar proyek LNG Blok Masela ini agar tahapan pra-produksi seperti penentuan FEED, FID dapat berjalan mulus. Dengan demikan dapat mulai berproduksi sesuai skedul yang ditentukan sehingga segera memberi kontribusi bagi pendapatan negara dan tentunya diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Maluku.
Belum semua perusahaan migas besar memiliki kemampuan untuk mengembangan proyek-proyek FLNG. Namun, teknologinya sudah tersedia. Indonesia pun tidak perlu malu untuk belajar dari perusahaan-perusahaan migas raksasa seperti Inpex dan Shell.
Sama seperti proyek Blok Mahakam, sudah puluhan tahun proyek tersebut memberikan kontribusi pendapatan bagi pundi-pundi negara. Tingkat kompleksitas blok Mahakam membuat pemerintah melalui Pertamina, tahun 1997 memperpanjang kontrak operator (Total EP Indonesie dan Inpex). Saat itu, Pertamina bertindak sebagai perusahaan sekaligus sebagai regulator.
Kita tidak melihat siapa yang memproduksi, tapi pertanyaannya adalah apa kontribusi perusahaan tersebut bagi negara. Lebih baik memiliki perusahaan asing yang memberi kontribusi besar bagi negara daripada perusahaan lokal/nasional tapi korupsi dan tidak mempraktekkan clean governance.(*)
*Irfan Toleng adalah penulis lepas, peneliti di sebuah lembaga riset dan mantan eksekutif di sebuah perusahaan migas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar