Senin, 15 Juli 2013

Antara Nairobi dan Nabire



 Oleh Iran Toleng*
Kota Nabire ( sumber: traveldojo.com)
Kekerasan dan kekerasan terus berlangsung di negeri ini. Bukankah ini negeri yang berlandaskan Pancasila yang mengedepankan KeTuhanan? Mengedepankan Kemanusiaan yang adil dan BERADAB? Tapi mengapa kekerasan terus terjadi?

Senin, 15 Juli kemarin, merupakan hari pertama anak-anak kembali ke bangku sekolah. Seperti halnya orang-tua yang lain, saya pun mencuri waktu untuk menghantar anak kembali ke sekolah pada hari pertama ini. Rutinitas pagi untuk membaca koran saya lewatkan dulu. Namun saya sempat membaca judul dan halaman pertama koran pagi.

Sebuah kejadian menyesakkan dada ketika membaca sebuah berita bahwa belasan orang meninggal terinjak dan kehabisan napas atau oksigen saat pertandingan tinju (boxing match) di sebuah kota di Papua Barat, Nabire. Saya hampir tidak percaya. Awalnya, saya berpikir kericuhan (violence) tersebut berlangsung di sebuah kota indah di Afrika, Nairobi. Eh, tahu-tahunya kejadian tersebut di kota Nabire, Papua Barat. Terdengar mirip-mirip bukan?

Nairobi (source: Wikipedia)
Nairobi adalah ibukota Kenya. Nama ini berasal dari bahasa suku Maasai Ewaso Nyirobi yang berarti "air sejuk". Nairobi adalah salah satu kota terbesar di Afrika dan tentu saja kota yang eksotik. Kita mengenal negara ini melalui tayangan-tayangan National Geography (NG) di televisi. Biasanya tayangan-tayangan bertemakan kehidupan wildlife Afrika. Kota ini memiliki penduduk sekitar 3 juta jiwa dengan wilayah sekitar 150 km2 . (sumber: Wikipedia) 

Sementara Nairobi, eh Nabire, merupakan sebuah kota di Papua Barat. Nabire adalah ibukota Kabupaten Nabire yang terletak di punggung Papua. Saya sendiri belum menginjakkan kaki di Nabire. Tapi saya sudah beberapa kali menginjakkan kaki di kota-kota lain yang dekat Nabire, seperti Manokwari, Sorong atau Biak. Saya pun pernah menyusuri beberapa tempat di Papua termasuk bagian dagu 'kepala burung'. Alamnya yang indah dan alami membuat saya selalu ingin kembali ke Papua.

Kejadian yang terjadi di Nabire pada hari minggu 14 Juli mengganggu pikiran dan hati saya. 

Kericuhan antar penonton tersebut ternyata terjadi di negaraku, tempat kaki berpijak dan bumi dijunjung. Penyebab kejadian terdengar sepele. Sekelompok pemuda yang juga penonton melemparkan kursi ke penonton lain yang kabarnya tidak menerima jagoannya kalah dalam pertandingan tinju memperebutkan piala Bupati Nabire

Bisa dibayangkan, penonton lain seperti berbalas pantun, melemparkan kursi. Singkat kata, terjadilah kericuhan yang tidak terkendali. Penonton yang meninggal dalam tragedi tersebut rata-rata akibat terinjak-injak atau kehabisan oksigen.

Dan kejadian tersebut terjadi dalam sebuah gedung dengan kapasitas sekitar 9,000 orang. Penonton, menurut laporan koran-koran, berjumlah sekitar 1,000 orang. Sang Bupati pun berada di dalam dan ikut menonton, tapi selamat/diselamatkan. 

Sebetulnya, kalau tidak terjadi amuk penonton, tinju tersebut seharusnya berjalan biasa-biasa saja dan pasti tidak sampai masuk headline atau berita utama koran nasional. Apalagi kejadiannya jauh di ufuk timur.

Pertanyaan awam, dimanakah pihak keamanan? Apakah pihak keamanan tidak bisa menenangkan masa? Aparat keamanan tidak mampu menenangkan masa? Apakah pihak penyelenggara tidak menyiapkan aparat keamanan yang cukup atau tidak mampu mengendalikan emosi penonton?

Pemerintah kini sedang melakukan investasigasi untuk mencari tahu penyebab dan siapa-siapa saja yang bertanggungjawab. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun telah memerintahkan aparat untuk melakukan investigasi menyeluruh atas kejadian tersebut.

Kericuhan di Nabire terjadi hanya berselang seminggu setelah terjadi kerusuhan dalam sebuah penjara, dalam kata halusnya, lembaga pemasyarakatan (lapas) di sebuah kota di Sumatera Utara. Para penghuni lapas membakar gedung yang mengakibatkan beberapa orang meninggal dan luka-luka, baik pegawai lapas maupun penghuni penjara . Kabarnya, kericuhan terjadi karena air mati. Masalah air ini menyulut kemarahan penghuni lapas. Jangan-jangan masalah ini hanya menjadi trigger saja. Ada masalah besar sebelumnya yang tidak terselesaikan.

Dua kejadian tersebut di atas hanya merupakan rentetan peristiwa kekerasan di Republik ini. Sebulan lalu, kaum minoritas Syiah di Sampang, Madura dipaksa mengungsi. Kehadiran mereka tidak dikehendaki oleh warga lain, yang notabene mungkin masih punya ikatan atau hubungan darah.

Peristiwa-peristiwa kekerasan, kemarahan, kericuan, kerusuhan, amuk masa kerap menghiasi pemberitaan media-media baik cetak maupun online akhir-akhir ini.

Pertanyaannya, mengapa peristiwa-peristiwa tersebut kerap terjadi? Mengapa sekelompok masyarakat begitu mudah tersulut emosinya dan melakukan tindakan diluar kendali? Mengapa kekerasan dilakukan hanya karena berbeda keyakinan dan/atau iman? Mengapa cara kekerasan yang kadang atau malah sering dilakukan?

Jawabannya dan penyebabnya pun bisa menjadi bahan perdebatan. Para ilmuwan pasti punya jawabannya sendiri-sendiri. Pihak pemerintah pasti punya jawabannya sendiri.

Saya sendiri berpikir kekerasan hanya merupakan output atau cerminan dari sebuah kondisi masyarakat yang sakit jiwa. Kondisi tersebut terjadi akibat lingkungan masyarakat yang tidak sehat, mulai dari lingkungan terkecil, KELUARGA, komunitas hingga lingkungan yang lebih luas. Bahasa yang dipakai adalah kebencian, ketidakadilan, bahasa rimba, bahasa yang hanya digunakan di kebun binatang.  

Bahasa yang dipakai bukan bahasa manusia, bahasa KASIH. Bahasa yang saling menghargai sesama. Tidak ada hukum yang berlaku. Yang dipakai, hukum rimba, siapa kuat dia menang.

Saya hanya berharap anak-anaku yang saya temani pergi kesekolah pada hari pertama sekolah kelak menjadi pelita bagi sesama. Dan generasi mereka akan menjadi generasi yang lebih baik. Semoga. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar