Tampilkan postingan dengan label Susilo Bambang Yudhoyono. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Susilo Bambang Yudhoyono. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 April 2014

Blok Mahakam, Jelang Berakhirnya Pemerintahan SBY dan Datangnya Pemerintah Baru!


Blok Mahakam sebaiknya memang tidak dijadikan ajang perebutan partai-partai atau kelompok masyarakat. Biarkan pemerintah mengambil keputusan yang terbaik bagi bangsa. Isu Blok Mahakam, bukan siapa yang mengelola, tapi lebih pada apakah pengelola (operator) dapat mengoptimalkan produksi Blok Mahakam. 
 

Indonesia akan memasuki berbagai agenda politik penting dalam beberapa bulan kedepan, mulai dari pemilihan anggota legislatif (Pileg) 9 April mendatang, Pemilihan Presiden pada 9 Juli dan memuncak pada peralihan pemerintahan dari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke pemerintahan baru hasil pemilihan umum Presiden pada Oktober nanti. Hingga adanya peralihan pemerintah, maka Pemerintah SBY dituntut untuk memastikan proses agenda politik terlaksana dengan baik, aman, adil dan sesuai rencana, serta memastikan roda pemerintah tetap harus berjalan hingga terjadi peralihan nanti. Termasuk didalamnya adalah membuat keputusan-keputusan penting bila memang harus diperlukan demi kepentingan bangsa dan tidak meninggalkan warisan berbagai persoalan dan keputusan yang memang seharusnya diambil Presiden SBY.

Di sektor pertambangan misalnya, pemerintah tetap perlu melanjutkan renegosiasi kontrak dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, termasuk dengan Newmont dan Freeport menyusul dikeluarkannya keputusan pemerintah untuk melarang ekspor bahan mentah mineral. Menteri-menteri juga dituntut untuk tetap bekerja dan melanjutkan roda pemerintahan. Agenda politik tidak harus menghentikan roda pemerintahan, dengan demikian pihak swasta juga terus melanjutkan kegiatan mereka.

Salah satu indikator pemerintahan tetap berjalan adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat terealisasi dengan baik, baik dari sisi pemasukan (pendapatan – baik dari pajak maupun non pajak) maupun pada sisi pengeluaran. Pemerintah perlu tetap memastikan target-target dalam APBN dapat tercapai sesuai rencana. Salah satunya adalah target lifting minyak dan gas bumi. Dalam konteks pemenuhan target lifting minyak dan gas bumi tadi, maka pemerintah perlu memastikan kegiatan produksi blok-blok migas tetap harus berjalan dengan baik, tidak hanya untuk memenuhi target tahun 2014 ini, tapi juga untuk memenuhi target-target dalam beberapa tahun kedepan (jangka pendek-menengah).

Dalam konteks ini, Pemerintah SBY tetap perlu memperhatikan blok-blok migas agar tetap berproduksi dan memberi sumbangsih bagi pendapatan negara. Pendapatan dari sektor migas penting karena sekitar 30% pendapatan negara datang dari sektor minyak dan gas bumi. Karena itu, pemerintah, siapa pun itu, baik pemerintah saat ini, maupun pemerintah baru nanti, tetap harus memberi perhatian lebih pada sektor atau industri minyak dan gas bumi.

Banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan di sektor migas, antara lain menurunnya produksi minyak, rendahnya investasi, menurunnya cadangan migas, kondisi blok-blok migas yang sudah tua, tantangan untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan. Untuk itu, pemerintah, baik incumbent maupun pemerintah baru dituntut untuk mengatasi masalah-masalah itu dengan mendorong investasi baik eksplorasi maupun produksi untuk meningkatkan cadangan maupun produksi migas, mengembangkan energi baru dan terbarukan dll.

Disamping itu, pemerintah perlu menghilangkan faktor-faktor ketidakpastian agar pelaku industri tidak gamang, antara lain terkait blok-blok migas yang kontraknya akan berakhir dalam beberapa tahun mendatang. Blok Mahakam, misalnya, kontraknya akan berakhir pada semester I (akhir Maret) 2017), artinya kontrak Total E&P Indonesie (dan Inpex) dalam mengoperasikan blok tersebut akan berakhir. Pemerintah saat ini masih menimbang nimbang berbagai opsi terkait kelanjutan operatorship Blok Mahakam, yaitu, ops tidak diperpanjang, opsi diperpanjang dan ketiga, opsi diperpanjang dengan skema baru, dengan melibatkan operator lama (Total E&P Indonesie) dan pemain baru (Pertamina dan/atau perusahaan migas nasional lainnya).

Pemerintahan SBY, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dihadapkan pada berbagai pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Bagi pemerintah, masalah perpanjangan Blok Mahakam sangat erat kaitnya dengan upaya pemerntah untuk menjamin dan memaksimalkan penerimaan negara, seperti yang tertuang dalam APBN. Dari sisi pemerintah, apapun skema yang akan diambil, skema tersebu harus memastikan bahwa negara akan mendapatkan hasil yang lebih banyak dari kontrak sebelumnya. 

Pemerintah perlu memastikan produksi Blok Mahakam dapat terus berlanjut dan lebih optimal, sehingga dapat memberi kontribusi lebih bagi negara. Opsi yang dipilih haruslah opsi yang dapat memberi kontribusi maksimal bagi negara. Bahwa ada suara-suara agar operatorship tersebut dialihkan ke perusahaan nasional, boleh-boleh saja. Tapi tentu pemerintah juga tidak akan bodoh, mengambil keputusan hanya sekadar menyenangi kelompok atau elemen masyarakat tertentu atau sekadar menyenangi pemerintah daerah. Kepentingan negara haruslah di atas segalanya. Kepentingan 240 juta rakyat yang harus diutamakan, bukan kepentingan sekelompok elemen masyarakat, partai politik, atau pemerintah daerah tertentu. Kepentingan yang lebih besar yang diutamakan, walaupun kemudian tidak populer.

Kita tentu masih ingat kasus beralihnya PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang dulu dikembangkan oleh Rio Tinto dan BP. Saat ini, BP dan Rio Tinto akhirnya memutuskan untuk hengkang. Atas nama kepentingan nasional, maka banyak yang berteriak agar saham KPC sebagian dialihkan ke pemerintah daerah (Pemda) dan pemerintah pusat melalui PT Bukit Asam (PTBA). Namun, semua kita tahu, dengan segala manuver yang luar biasa, saham KPC akhirnya jatuh ke PT Bumi Resources (Bakrie Group). Pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun hanya gigit jari. Berbagai upaya hukum pun dilakukan oleh Pemda Kaltim, tapi hasilnya ibarat membentur tembok. Alih-alih bermanfaat bagi nasional, berbagai tudingan kemudian muncul, antara lain soal praktek transfer pricing yang dilakukan oleh KPC/Bumi Resources, penggelapan pajak, dan lain-lain. Negara pun buntung. 

Demikian juga kasus beralihnya sebagian saham Newmont ke pemerintah daerah. Pemda NTB ternyata hanya dicatut/dipinjamkan namanya, toh yang mendapatkan untung adalah pihak swasta yang mendompleng nama Pemda NTB. Saham Newmont dibeli oleh Pemda NTB dengan duit pinjaman dari mitra swasta, yang pembayarannya dilakukan melalui dividend yang diterima setiap tahun. Apakah rakyat NTB mendapatkan manfaatnya? Saya ragukan. 

Karena itu, pemerintah perlu mencermati desakan kelompok-kelompok masyarakat agar operatorship Blok Mahakam dialihkan ke perusahaan nasional. Ke perusahaan nasional yang mana? Ke perusahaan BUMD yang mana? Jangan sampai, keputusan pemerintha justru menjadi bumerang dan pada akhirnya berdampak buruk pada kelanjutan produksi Blok Mahakam. 

Blok Mahakam adalah milik bangsa Indonesia, bukan milik partai, milik LSM, milik pemda tertentu, tapi milik bangsa Indonesia. Kepentingan nasional dan bangsa harus diutamakan. Keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam ini tetap menjadi PR pemerintah, baik SBY maupun pemerintah baru nanti. Semakin cepat memang semakin baik. Bila pemerintah SBY memutuskan, jelang berakhirnya masa jabatan, maka pertimbangan kepentingan bangsa/nasional tadi yang harus diutamakan, bukan kelompok masyarakat. Blok Mahakam sebaiknya memang tidak dijadikan ajang perebutan partai-partai atau kelompok masyarakat. Biarkan pemerintah mengambil keputusan yang terbaik bagi bangsa. Isu Blok Mahakam, bukan siapa yang mengelola, tapi lebih pada apakah pengelola dapat mengoptimalkan produksi Blok Mahakam. 

Kalaupun para Capres berdebat soal Blok Mahakam, perdebatan harus fokus pada bagaimana mengoptimalkan produksi Blok Mahakam. Dan ini tidak hanya pada blok Mahakam, tetapi  juga berlaku pada blok-blok migas di Tanah Air. Sasarannya, bagaimana agar produksi migas Indonesia terus meningkat. Melihat produksi minyak yang terus anjlok, ketergantungan impor yang tinggi, permintaan atas minyak dan gas bumi yang besar dari dalam negeri, maka tugas utama pemerintah bagaimana memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dan rumah tangga. Kita tak persoalkan perusahaan A, B, atau C yang kelola Blok Migas, tapi bagaimana memastikan pengembangan blok migas memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara.  (*)

Rabu, 05 Maret 2014

Apakah Gita Wirjawan Calon Presiden Terbaik dari Partai Demokrat dan Terbaik untuk Indonesia?



Gita Wirjawan (courtesy photo Wikipedia)
Tampaknya Gita Wirjawan, mantan Menteri Perdagangan, mantan Kepala BPKM dan mantan CEO JP Morgan Indonesia ini, sejauh ini merupakan calon presiden terbaik dari Partai Demokrat. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, persepsi di media, tanggapan dari masyarakat kelas menengah dan pengaruh di sosial media, Gita tampaknya berada di garis terdepan. Yang jauh dari kepastian adalah apakah dia merupakan sosok yang memiliki karakter yang dibutuhkan untuk memimpin Indonesia kedepan, jika dia terpilih menjadi orang nomor satu di Indonesia (RI-1)?

Gita mengawali karir politiknya dengan cukup menjanjikan. Ia merupakan sosok investment banker dan pebisnis yang sukses. Dia memiliki modal fulus yang cukup untuk maju sebagai calon Presiden melalui Partai Demokrat. Gita Wirjawan (GW), pendiri private equity fund Ancora Capital, mewakili tokoh-tokoh/profesional muda. Sebelum terjun ke dunia politik, Gita sempat menimbulkan kontroversi di antara partai-partai politik ketika incumbent Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat dia menjadi Menteri Perdagangan tahun 2011, saat Presiden SBY melakukan reshufle cabinet.

Saat dia mengundur diri sebagai Menteri Perdagangan dan memilih fokus maju berjuang menjadi calon Presiden dari Partai Demokrat, ia menuai banyak kontroversi, termasuk berbagai kasus impor komoditi, seperti beras, bawang, dll. Dia gagal menjadi Menteri Perdagangan? Boleh jadi, tapi dia tak bebas dari campur tangan pihak yang lebih berkuasa, termasuk Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, salah satu menteri yang sangat berpengaruh di bawah kabinet Indonesia Bersatu jilid II saat ini. 

Sejauh ini, dia termasuk birokrat/politisi Demokrat yang bebas dari kasus korupsi, modal yang cukup untuk maju menjadi bakal calon Presiden, apalagi mengingat bejibunnya politisi senior Partai Demokrat yang tercemar, terjerat, terlibat, terjatuh dan terseret kasus korupsi yang menghantar mereka menginap di hotel prodeo tarmasuk Anas Urbaningrum, Malarangeng bersaudara, dan masih banyak lagi. 

Gita termasuk sosok yang menarik di mata para pemilih pemula untuk beberapa alasan, termasuk kecintaannya pada musik yang memudahkan dia connect dengan para pemilih pemula atau berjiwa muda. Dia sendiri memiliki record lavel, serta seorang yang secara cerdas memanfaatkan media sosial seprti twitter untuk menyebarkan pesan-pesan kampanyenya bak virus. Strategi seperti ini persis dilakukan oleh Presiden Obama saat memenangi Pemilihan Presiden Amerika Serikat. 

Masih ada nilai plus lagi. Indonesia membutuhkan investasi asing dan sebagai mantan Menteri Perdagangan yang mengenyam pendidikan di Harvard serta pengalaman menjadi kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) membuat dia menjadi sosok yang menairik bagi sebagian investor asing.

Faktor Negatif
Ibarat sebuah koin, kita baru melihat sosok Gita Wirjawan satu sisi. Transisi perjalanan karir dia dari seorang profesional ke dunia politik juga perlu dilihat dan dieksplor lebih jauh dan bisa menjadi batu sandungan bagi Gita untuk melanjutkan perjalanan dan perjuangan dia menjadi RI-1. Sosok dia yang pro-bisnis, dan pro-investasi kini dipertanyakan menyusul komentar-komentarnya yang cenderung pro-nasionalisasi sumber daya alam. 

Batu sandungan pertama adalah kedekatan Gita dengan Cikeas. Gita melalui yayasan dan lembaga filantropis yang dimilikinya membantu mensponsori salah satu anak Presiden SBY untuk sekolah di Harvard. Melalui lembaga-lembaga itu, dia mendukung berbagai kegiatan sosial yayasan dan aktivitas sosial Ibu Negara. Dari orang-orang lingkaran satu, terekam kesan bahwa Presiden SBY memang kagum dengan sosok Gita Wirjawan. 

Kedekatan dengan keluarga Cikeas ini dapat menjadi faktor negatif yang dapat memukul balik. Pihak-pihak atau publik yang tidak simpatik lagi dengan Demokrat dan keluarga Cikeas, dapat berdampak pada ketidaksukaan mereka pada tokoh-tokoh dan elit Demokrat yang maju sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden. Apakah Gita berada di gelanggang yang salah? Sama seperti Anis Badeswan, pemikir dan tokoh muda yang juga maju dan berebut tiket untuk menjadi calon Presiden dari partai berlambang Mercedes itu? Hampir pasti ya. 

Batu sandungan ketiga adalah belum dikenalnya sosok Gita Wirjawan di kelompok masyarakat akar rumput. Jangan lupa, kelompok masyarakat rumput, dapat berperan sangat penting dalam memenangi Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti. Mereka ini adalah kelompok masyarakat yang tak terlalu peduli dengan pertarungan di tingkat elit. Yang mereka butuhkan adalah apakah kebutuhan pokok mereka tercukupi. Ketika harga-harga kebutuhan pokok mahal, naik, maka mereka tidak akan memilih sosok yang dianggap telah gagal menjaga harga-harga kebutuhan pokok. Selembar uang biru atau merah dapat mempengaruhi keputusan mereka.

Kelompok masyarakat akar rumput lebih memilih sosok yang mereka kenal, yang mau mendengar jeritan hati mereka dan mau memahami kondisi mereka. Dan sosok itu, jatuh pada wong Solo yang kini menjadi orang nomor 1 di DKI. Gita memang sosok yang appealing di kalangan kelas menengah, well-educated, tapi tidak pada masyarakat akar rumput.

Batu sandungan keempat adalah sikap Gita yang tidak konsisten. Persepsi kalangan usaha bahwa Gita adalah pro bisnis dan pro investasi diragukan setelah dia terbawa oleh isu nasionalisasi sumber daya alam, termasuk isu Blok Mahakam. “Tidak ada keraguan dalam keyakinan saya bahwa Blok Mahakam mutlak dimiliki dan dikelola oleh bangsa sendiri," kata Gita usai mengikuti perdebatan di Balikpapan beberapa waktu lalu. Sayangnya, Gita tidak menjelaskan lebih jauh. Gita seolah mendikotomikan bangsa sendiri dan bukan bangsa sendiri, asing versus nasional. Pernyataan Gita tampaknya memunculkan kekhawatiran akan sikap anti-asing Gita Wirjawan kelak bila dia menjadi Presiden. Sikap anti-asing GW ini dapat membuat dunia bisnis menjadi antipati terhadap GW.

Seharusnya GW memberi pernyataan yang bijak bahwa semua sumber daya alam termasuk blok Migas, harus dikelola dengan baik, lebih optimal sehingga mampu memberi kontribusi positif bagi Negara. Sumber Daya Alam, termasuk Blok Mahakam, tidak boleh dijadikan sebagai obyek untuk dikorupsi ramai-ramai. SDA kita, termasuk Blok Mahakam, harus dikelola secara profesional oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti saat ini, sehingga dapat menyumbang pendapatan yang lebih besar lagi bagi negara.

Publik juga belum melihat komitmen GW untuk memberantas korupsi. Dari sekian pesan-pesan di media sosial, pernyataan-pernyataan yang dilontarkannya, sedikit sekali dan hampir tidak ada yang menyangkut komitmen GW untuk menghancurleburkan praktek-praktek korupsi di Tanah Air. Seharusnya GW keluar dari pakem kampanye para calon presiden PD dengan mengungkapkan bahwa dia berada di garis paling depan, menjadi ksatria untuk melibas dan membasmi semua praktek-praktek korupsi, praktek-praktek kotor yang telah menjerumuskan dan menenggelamkan Indonesia selama lebih dari 60 tahun. Apakah karena ia berada di kandang Partai Demokrat yang notabene banyak tokoh-tokoh dan elit-elitnya yang terseret berbagai kasus korupsi? Hhmmm….Menjawab judul tulisan ini, maka pembaca yang membaca tulisan ini, akan dapat menjawabnya sendiri. (*)

Jakarta, 5 Maret 2014
Oleh Elang Putih, Bangkitlah Indonesiaku
Catatan ini ditulis sambil menyeruput kopi hitam asal Aceh. !!!!

Senin, 06 Januari 2014

Kisruh Harga LPG, Cermin Buruknya Sistem Komunikasi Pemerintah Indonesia


Tabung LPG 12 kg
Sebagian besar masyarakat Indonesia larut dalam merayakan kegembiraan merayakan tahun baru 2014. Beberapa jam kemudian, masyarakat dihebohkan oleh fakta naiknya harga LPG 12 kg menjadi Rp117.708 dari sebelumnya Rp70.200 per tabung, atau melonjak 67,7 persen. Fantastis!! Ini merupakan kado terpahit yang dialami masyarakat, menambah kado-kado pahit lainnya, seperti naiknya tarif listrik, tarif tol dan harga-harga lainnya akibat kenaikan tarif tersebut. Keputusan tersebut membuat kehebohan dan kekisruhan dalam 5 hari terakhir. Masyarakat menumpahkan kekesalan mereka melalui media mainstream maupun media sosial seperti di twitter, facebook, dan media sosial lainnya. 

Keputusan Pertamina tersebut menyuguhkan dagelan dan panggung sandiwara baru. Menteri-menteri terkait membuat pernyataan-pernyataan yang membingungkan yang memprovokasi komentar pedas dari masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun turun tangan dengan mengadakan rapat mendadak pada akhir pekan lalu. Presiden SBY meminta Wakil Presiden Budiono untuk memanggil Pertamina agar mengevaluasi keputusan tersebut. Beberapa menteri mencoba mencuci tangan dengan mengatakan tidak tahu menahu dengan keputusan pemerintah tersebut. Keputusan tersebut merupakan tanggung jawab korporasi, Pertamina.

Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Jero Wacik mengatakan tidak mengetahui keputusan Pertamina tersebut. Aneh bin ajaib, seorang menteri ESDM kok tidak mengetahui keputusan kenaikan yang fantastis itu, padahal LPG (Elpiji) merupakan produk yang merupakan hajat hidup orang banyak. 

Dibanding BBM, LPG kini menjadi kebutuhan pokok masyarakat, tidak hanya kelas menengah tapi juga masyarakat golongan bawah dan UKM. Dulu minyak tanah menjadi kebutuhan utama karena tanpa minyak tanah, masyarakat tidak bisa masak. Kini, masyarakat tidak bisa memasak tanpa ada gas LPG (3 kg dan 12 kg). Masyarakat menengah ke bawah masih bisa hidup tanpa BBM, tapi tidak bisa (susah) hidup tanpa gas Elpiji. Jadi pantas bila masyarakat umum bereaksi begitu keras dan membahana, meresponse keputusan Pertamina tersebut.

Menteri Jero Wacik kemudian meralat pernyataannya bahwa ia bukan tidak tahu. Ia baru mendapat pemberitahuan melalui surat yang ia terima tanggal 2 Januari, sementara keputusan Pertamina dibuat 2-3 hari sebelumnya. Tetap saja, tidak mungkin seorang Menteri ESDM tidak mengetahui keputusan Pertamina. 

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mencoba mencuci tangan dengan mengatakan kenaikan harga BBM bukan keputusan dan tanggungjawab pemerintah, tapi keputusan korporat Pertamina, setelah disetujui dalam RUPS. Nah, pada RUPS tersebut tentu ada wakil pemerintah, baik Meneg BUMN, wakil dari Departemen Keuangan. Jadi, hampir pasti pemerintah sudah mengetahui keputusan Pertamina tersebut. Pernyataan Hatta terlihat ingin mengalihkan beban tanggung jawab pada Pertamina semata. 

Dahlan Iskan sebagai Meneg BUMN seharusnya berpikir rasional juga dengan meloloskan keputusan Pertamina tersebut. Berbeda dengan menteri-menteri yang lain, Dahlan mencoba bertanggung jawab, “Itu salah saya”. Ya, salahnya Dahlan Iskan karena tidak melakukan koordinasi yang baik dengan menteri-menteri terkait. Mengapa Dahlan menyetujui keputusan tersebut? Ini menunjukkan DI tidak sensitif dengan kondisi masyarakat.

Dahlan pun membela diri bahwa kenaikan tersebut terpaksa dilakukan atas dasar hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa bisnis Elpiji Pertamina terus merugi. Dan Pertamina membiarkan itu terus terjadi. Dahlan Iskan mencoba membela diri dengan berargumen bahwa bila gas LPG 12 kg tidak naik, direksi Pertamina bisa dipenjara. 

Lagi-lagi kisruh harga LPG 12 kg tersebut menunjukkan betapa buruknya manajemen komunikasi pemerintah. Tidak ada komunikasi yang baik antara Presiden SBY, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Menteri ESDM Jero Wacik dan Dirut Pertamina Karen Agustiawan.

Sepertinya anti-klimaks, pemerintah sore ini memutuskan untuk menurunkan kembali harga LPG 12 kg dari Rp117.708 menjadi Rp82.200 per tabung mulai besok pukul 00.00. Sebuah keputusan jungkir balik (flip-flop decision) dalam kurun waktu 6 hari. Yang jelas, pedagang yang membeli mahal beberapa hari terakhir akan menderita rugi, karena membeli dari Pertamina dengan harga mahal lalu menjual dengan harga rendah. Bila tidak, masyarakat akan protes. Ini salah satu harga yang dibayar akibat kegagalan Pertamina mengantisipasi reaksi masyarakat. 

Bagaimanapun menaikkan harga LPG hampir 68 persen tidak masuk akal. Mudah-mudahan Pertamina dan pemerintah belajar dari kisruh harga tabung gas LPG 12 kg tersebut. Mudah-mudah pemerintah berpikir matang sebelum membuat keputusan yang begitu strategis. Ini juga nanti berlaku pada keputusan-keputusan strategis lainnya, termasuk keputusan blok-blok migas yang kontraknya segera berakhir (seperti Blok Mahakam dan lainnya). Pemerintah perlu berpikir matang-matang dan bijak sebelum mengambil keputusan strategis. (*)

Senin, 15 Juli 2013

Antara Nairobi dan Nabire



 Oleh Iran Toleng*
Kota Nabire ( sumber: traveldojo.com)
Kekerasan dan kekerasan terus berlangsung di negeri ini. Bukankah ini negeri yang berlandaskan Pancasila yang mengedepankan KeTuhanan? Mengedepankan Kemanusiaan yang adil dan BERADAB? Tapi mengapa kekerasan terus terjadi?

Senin, 15 Juli kemarin, merupakan hari pertama anak-anak kembali ke bangku sekolah. Seperti halnya orang-tua yang lain, saya pun mencuri waktu untuk menghantar anak kembali ke sekolah pada hari pertama ini. Rutinitas pagi untuk membaca koran saya lewatkan dulu. Namun saya sempat membaca judul dan halaman pertama koran pagi.

Sebuah kejadian menyesakkan dada ketika membaca sebuah berita bahwa belasan orang meninggal terinjak dan kehabisan napas atau oksigen saat pertandingan tinju (boxing match) di sebuah kota di Papua Barat, Nabire. Saya hampir tidak percaya. Awalnya, saya berpikir kericuhan (violence) tersebut berlangsung di sebuah kota indah di Afrika, Nairobi. Eh, tahu-tahunya kejadian tersebut di kota Nabire, Papua Barat. Terdengar mirip-mirip bukan?

Nairobi (source: Wikipedia)
Nairobi adalah ibukota Kenya. Nama ini berasal dari bahasa suku Maasai Ewaso Nyirobi yang berarti "air sejuk". Nairobi adalah salah satu kota terbesar di Afrika dan tentu saja kota yang eksotik. Kita mengenal negara ini melalui tayangan-tayangan National Geography (NG) di televisi. Biasanya tayangan-tayangan bertemakan kehidupan wildlife Afrika. Kota ini memiliki penduduk sekitar 3 juta jiwa dengan wilayah sekitar 150 km2 . (sumber: Wikipedia) 

Sementara Nairobi, eh Nabire, merupakan sebuah kota di Papua Barat. Nabire adalah ibukota Kabupaten Nabire yang terletak di punggung Papua. Saya sendiri belum menginjakkan kaki di Nabire. Tapi saya sudah beberapa kali menginjakkan kaki di kota-kota lain yang dekat Nabire, seperti Manokwari, Sorong atau Biak. Saya pun pernah menyusuri beberapa tempat di Papua termasuk bagian dagu 'kepala burung'. Alamnya yang indah dan alami membuat saya selalu ingin kembali ke Papua.

Kejadian yang terjadi di Nabire pada hari minggu 14 Juli mengganggu pikiran dan hati saya. 

Kericuhan antar penonton tersebut ternyata terjadi di negaraku, tempat kaki berpijak dan bumi dijunjung. Penyebab kejadian terdengar sepele. Sekelompok pemuda yang juga penonton melemparkan kursi ke penonton lain yang kabarnya tidak menerima jagoannya kalah dalam pertandingan tinju memperebutkan piala Bupati Nabire

Bisa dibayangkan, penonton lain seperti berbalas pantun, melemparkan kursi. Singkat kata, terjadilah kericuhan yang tidak terkendali. Penonton yang meninggal dalam tragedi tersebut rata-rata akibat terinjak-injak atau kehabisan oksigen.

Dan kejadian tersebut terjadi dalam sebuah gedung dengan kapasitas sekitar 9,000 orang. Penonton, menurut laporan koran-koran, berjumlah sekitar 1,000 orang. Sang Bupati pun berada di dalam dan ikut menonton, tapi selamat/diselamatkan. 

Sebetulnya, kalau tidak terjadi amuk penonton, tinju tersebut seharusnya berjalan biasa-biasa saja dan pasti tidak sampai masuk headline atau berita utama koran nasional. Apalagi kejadiannya jauh di ufuk timur.

Pertanyaan awam, dimanakah pihak keamanan? Apakah pihak keamanan tidak bisa menenangkan masa? Aparat keamanan tidak mampu menenangkan masa? Apakah pihak penyelenggara tidak menyiapkan aparat keamanan yang cukup atau tidak mampu mengendalikan emosi penonton?

Pemerintah kini sedang melakukan investasigasi untuk mencari tahu penyebab dan siapa-siapa saja yang bertanggungjawab. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun telah memerintahkan aparat untuk melakukan investigasi menyeluruh atas kejadian tersebut.

Kericuhan di Nabire terjadi hanya berselang seminggu setelah terjadi kerusuhan dalam sebuah penjara, dalam kata halusnya, lembaga pemasyarakatan (lapas) di sebuah kota di Sumatera Utara. Para penghuni lapas membakar gedung yang mengakibatkan beberapa orang meninggal dan luka-luka, baik pegawai lapas maupun penghuni penjara . Kabarnya, kericuhan terjadi karena air mati. Masalah air ini menyulut kemarahan penghuni lapas. Jangan-jangan masalah ini hanya menjadi trigger saja. Ada masalah besar sebelumnya yang tidak terselesaikan.

Dua kejadian tersebut di atas hanya merupakan rentetan peristiwa kekerasan di Republik ini. Sebulan lalu, kaum minoritas Syiah di Sampang, Madura dipaksa mengungsi. Kehadiran mereka tidak dikehendaki oleh warga lain, yang notabene mungkin masih punya ikatan atau hubungan darah.

Peristiwa-peristiwa kekerasan, kemarahan, kericuan, kerusuhan, amuk masa kerap menghiasi pemberitaan media-media baik cetak maupun online akhir-akhir ini.

Pertanyaannya, mengapa peristiwa-peristiwa tersebut kerap terjadi? Mengapa sekelompok masyarakat begitu mudah tersulut emosinya dan melakukan tindakan diluar kendali? Mengapa kekerasan dilakukan hanya karena berbeda keyakinan dan/atau iman? Mengapa cara kekerasan yang kadang atau malah sering dilakukan?

Jawabannya dan penyebabnya pun bisa menjadi bahan perdebatan. Para ilmuwan pasti punya jawabannya sendiri-sendiri. Pihak pemerintah pasti punya jawabannya sendiri.

Saya sendiri berpikir kekerasan hanya merupakan output atau cerminan dari sebuah kondisi masyarakat yang sakit jiwa. Kondisi tersebut terjadi akibat lingkungan masyarakat yang tidak sehat, mulai dari lingkungan terkecil, KELUARGA, komunitas hingga lingkungan yang lebih luas. Bahasa yang dipakai adalah kebencian, ketidakadilan, bahasa rimba, bahasa yang hanya digunakan di kebun binatang.  

Bahasa yang dipakai bukan bahasa manusia, bahasa KASIH. Bahasa yang saling menghargai sesama. Tidak ada hukum yang berlaku. Yang dipakai, hukum rimba, siapa kuat dia menang.

Saya hanya berharap anak-anaku yang saya temani pergi kesekolah pada hari pertama sekolah kelak menjadi pelita bagi sesama. Dan generasi mereka akan menjadi generasi yang lebih baik. Semoga. (*)