Senin, 06 Januari 2014

Kisruh Harga LPG, Cermin Buruknya Sistem Komunikasi Pemerintah Indonesia


Tabung LPG 12 kg
Sebagian besar masyarakat Indonesia larut dalam merayakan kegembiraan merayakan tahun baru 2014. Beberapa jam kemudian, masyarakat dihebohkan oleh fakta naiknya harga LPG 12 kg menjadi Rp117.708 dari sebelumnya Rp70.200 per tabung, atau melonjak 67,7 persen. Fantastis!! Ini merupakan kado terpahit yang dialami masyarakat, menambah kado-kado pahit lainnya, seperti naiknya tarif listrik, tarif tol dan harga-harga lainnya akibat kenaikan tarif tersebut. Keputusan tersebut membuat kehebohan dan kekisruhan dalam 5 hari terakhir. Masyarakat menumpahkan kekesalan mereka melalui media mainstream maupun media sosial seperti di twitter, facebook, dan media sosial lainnya. 

Keputusan Pertamina tersebut menyuguhkan dagelan dan panggung sandiwara baru. Menteri-menteri terkait membuat pernyataan-pernyataan yang membingungkan yang memprovokasi komentar pedas dari masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun turun tangan dengan mengadakan rapat mendadak pada akhir pekan lalu. Presiden SBY meminta Wakil Presiden Budiono untuk memanggil Pertamina agar mengevaluasi keputusan tersebut. Beberapa menteri mencoba mencuci tangan dengan mengatakan tidak tahu menahu dengan keputusan pemerintah tersebut. Keputusan tersebut merupakan tanggung jawab korporasi, Pertamina.

Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Jero Wacik mengatakan tidak mengetahui keputusan Pertamina tersebut. Aneh bin ajaib, seorang menteri ESDM kok tidak mengetahui keputusan kenaikan yang fantastis itu, padahal LPG (Elpiji) merupakan produk yang merupakan hajat hidup orang banyak. 

Dibanding BBM, LPG kini menjadi kebutuhan pokok masyarakat, tidak hanya kelas menengah tapi juga masyarakat golongan bawah dan UKM. Dulu minyak tanah menjadi kebutuhan utama karena tanpa minyak tanah, masyarakat tidak bisa masak. Kini, masyarakat tidak bisa memasak tanpa ada gas LPG (3 kg dan 12 kg). Masyarakat menengah ke bawah masih bisa hidup tanpa BBM, tapi tidak bisa (susah) hidup tanpa gas Elpiji. Jadi pantas bila masyarakat umum bereaksi begitu keras dan membahana, meresponse keputusan Pertamina tersebut.

Menteri Jero Wacik kemudian meralat pernyataannya bahwa ia bukan tidak tahu. Ia baru mendapat pemberitahuan melalui surat yang ia terima tanggal 2 Januari, sementara keputusan Pertamina dibuat 2-3 hari sebelumnya. Tetap saja, tidak mungkin seorang Menteri ESDM tidak mengetahui keputusan Pertamina. 

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mencoba mencuci tangan dengan mengatakan kenaikan harga BBM bukan keputusan dan tanggungjawab pemerintah, tapi keputusan korporat Pertamina, setelah disetujui dalam RUPS. Nah, pada RUPS tersebut tentu ada wakil pemerintah, baik Meneg BUMN, wakil dari Departemen Keuangan. Jadi, hampir pasti pemerintah sudah mengetahui keputusan Pertamina tersebut. Pernyataan Hatta terlihat ingin mengalihkan beban tanggung jawab pada Pertamina semata. 

Dahlan Iskan sebagai Meneg BUMN seharusnya berpikir rasional juga dengan meloloskan keputusan Pertamina tersebut. Berbeda dengan menteri-menteri yang lain, Dahlan mencoba bertanggung jawab, “Itu salah saya”. Ya, salahnya Dahlan Iskan karena tidak melakukan koordinasi yang baik dengan menteri-menteri terkait. Mengapa Dahlan menyetujui keputusan tersebut? Ini menunjukkan DI tidak sensitif dengan kondisi masyarakat.

Dahlan pun membela diri bahwa kenaikan tersebut terpaksa dilakukan atas dasar hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa bisnis Elpiji Pertamina terus merugi. Dan Pertamina membiarkan itu terus terjadi. Dahlan Iskan mencoba membela diri dengan berargumen bahwa bila gas LPG 12 kg tidak naik, direksi Pertamina bisa dipenjara. 

Lagi-lagi kisruh harga LPG 12 kg tersebut menunjukkan betapa buruknya manajemen komunikasi pemerintah. Tidak ada komunikasi yang baik antara Presiden SBY, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Menteri ESDM Jero Wacik dan Dirut Pertamina Karen Agustiawan.

Sepertinya anti-klimaks, pemerintah sore ini memutuskan untuk menurunkan kembali harga LPG 12 kg dari Rp117.708 menjadi Rp82.200 per tabung mulai besok pukul 00.00. Sebuah keputusan jungkir balik (flip-flop decision) dalam kurun waktu 6 hari. Yang jelas, pedagang yang membeli mahal beberapa hari terakhir akan menderita rugi, karena membeli dari Pertamina dengan harga mahal lalu menjual dengan harga rendah. Bila tidak, masyarakat akan protes. Ini salah satu harga yang dibayar akibat kegagalan Pertamina mengantisipasi reaksi masyarakat. 

Bagaimanapun menaikkan harga LPG hampir 68 persen tidak masuk akal. Mudah-mudahan Pertamina dan pemerintah belajar dari kisruh harga tabung gas LPG 12 kg tersebut. Mudah-mudah pemerintah berpikir matang sebelum membuat keputusan yang begitu strategis. Ini juga nanti berlaku pada keputusan-keputusan strategis lainnya, termasuk keputusan blok-blok migas yang kontraknya segera berakhir (seperti Blok Mahakam dan lainnya). Pemerintah perlu berpikir matang-matang dan bijak sebelum mengambil keputusan strategis. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar