Tabung LPG 12 kg |
Keputusan
Pertamina tersebut menyuguhkan dagelan dan panggung sandiwara baru.
Menteri-menteri terkait membuat pernyataan-pernyataan yang membingungkan yang
memprovokasi komentar pedas dari masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun turun tangan dengan mengadakan
rapat mendadak pada akhir pekan lalu. Presiden SBY meminta Wakil Presiden Budiono
untuk memanggil Pertamina agar mengevaluasi keputusan tersebut. Beberapa
menteri mencoba mencuci tangan dengan mengatakan tidak tahu menahu dengan
keputusan pemerintah tersebut. Keputusan tersebut merupakan tanggung jawab korporasi, Pertamina.
Menteri
Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Jero Wacik mengatakan tidak mengetahui keputusan
Pertamina tersebut. Aneh bin ajaib, seorang menteri ESDM kok tidak mengetahui
keputusan kenaikan yang fantastis itu, padahal LPG (Elpiji) merupakan produk
yang merupakan hajat hidup orang banyak.
Dibanding BBM, LPG kini menjadi kebutuhan pokok masyarakat, tidak hanya kelas menengah tapi juga masyarakat golongan bawah dan UKM. Dulu minyak tanah menjadi kebutuhan utama karena tanpa minyak tanah, masyarakat tidak bisa masak. Kini, masyarakat tidak bisa memasak tanpa ada gas LPG (3 kg dan 12 kg). Masyarakat menengah ke bawah masih bisa hidup tanpa BBM, tapi tidak bisa (susah) hidup tanpa gas Elpiji. Jadi pantas bila masyarakat umum bereaksi begitu keras dan membahana, meresponse keputusan Pertamina tersebut.
Dibanding BBM, LPG kini menjadi kebutuhan pokok masyarakat, tidak hanya kelas menengah tapi juga masyarakat golongan bawah dan UKM. Dulu minyak tanah menjadi kebutuhan utama karena tanpa minyak tanah, masyarakat tidak bisa masak. Kini, masyarakat tidak bisa memasak tanpa ada gas LPG (3 kg dan 12 kg). Masyarakat menengah ke bawah masih bisa hidup tanpa BBM, tapi tidak bisa (susah) hidup tanpa gas Elpiji. Jadi pantas bila masyarakat umum bereaksi begitu keras dan membahana, meresponse keputusan Pertamina tersebut.
Menteri Jero Wacik
kemudian meralat pernyataannya bahwa ia bukan tidak tahu. Ia baru mendapat
pemberitahuan melalui surat yang ia terima tanggal 2 Januari, sementara
keputusan Pertamina dibuat 2-3 hari sebelumnya. Tetap saja, tidak mungkin seorang Menteri
ESDM tidak mengetahui keputusan Pertamina.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mencoba mencuci tangan dengan mengatakan kenaikan harga BBM bukan keputusan dan tanggungjawab pemerintah, tapi keputusan korporat Pertamina, setelah disetujui dalam RUPS. Nah, pada RUPS tersebut tentu ada wakil pemerintah, baik Meneg BUMN, wakil dari Departemen Keuangan. Jadi, hampir pasti pemerintah sudah mengetahui keputusan Pertamina tersebut. Pernyataan Hatta terlihat ingin mengalihkan beban tanggung jawab pada Pertamina semata.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mencoba mencuci tangan dengan mengatakan kenaikan harga BBM bukan keputusan dan tanggungjawab pemerintah, tapi keputusan korporat Pertamina, setelah disetujui dalam RUPS. Nah, pada RUPS tersebut tentu ada wakil pemerintah, baik Meneg BUMN, wakil dari Departemen Keuangan. Jadi, hampir pasti pemerintah sudah mengetahui keputusan Pertamina tersebut. Pernyataan Hatta terlihat ingin mengalihkan beban tanggung jawab pada Pertamina semata.
Dahlan Iskan
sebagai Meneg BUMN seharusnya berpikir rasional juga dengan meloloskan
keputusan Pertamina tersebut. Berbeda dengan menteri-menteri yang lain, Dahlan
mencoba bertanggung jawab, “Itu salah saya”. Ya, salahnya Dahlan Iskan karena
tidak melakukan koordinasi yang baik dengan menteri-menteri terkait. Mengapa
Dahlan menyetujui keputusan tersebut? Ini menunjukkan DI tidak
sensitif dengan kondisi masyarakat.
Dahlan pun
membela diri bahwa kenaikan tersebut terpaksa dilakukan atas dasar hasil audit
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa bisnis Elpiji Pertamina terus merugi. Dan
Pertamina membiarkan itu terus terjadi. Dahlan Iskan mencoba membela diri
dengan berargumen bahwa bila gas LPG 12 kg tidak naik, direksi Pertamina bisa
dipenjara.
Lagi-lagi
kisruh harga LPG 12 kg tersebut menunjukkan betapa buruknya manajemen
komunikasi pemerintah. Tidak ada komunikasi yang baik antara Presiden SBY,
Menteri BUMN Dahlan Iskan, Menteri ESDM Jero Wacik dan Dirut Pertamina Karen
Agustiawan.
Sepertinya anti-klimaks,
pemerintah sore ini memutuskan untuk menurunkan kembali harga LPG 12 kg dari
Rp117.708 menjadi Rp82.200 per tabung mulai besok pukul
00.00. Sebuah keputusan jungkir balik (flip-flop decision) dalam kurun waktu 6 hari. Yang jelas,
pedagang yang membeli mahal beberapa hari terakhir akan menderita rugi, karena
membeli dari Pertamina dengan harga mahal lalu menjual dengan harga rendah.
Bila tidak, masyarakat akan protes. Ini salah satu harga yang dibayar akibat
kegagalan Pertamina mengantisipasi reaksi masyarakat.
Bagaimanapun
menaikkan harga LPG hampir 68 persen tidak masuk akal. Mudah-mudahan Pertamina
dan pemerintah belajar dari kisruh harga tabung gas LPG 12 kg tersebut.
Mudah-mudah pemerintah berpikir matang sebelum membuat keputusan yang begitu
strategis. Ini juga nanti berlaku pada keputusan-keputusan strategis lainnya, termasuk
keputusan blok-blok migas yang kontraknya segera berakhir (seperti Blok Mahakam
dan lainnya). Pemerintah perlu berpikir matang-matang dan bijak sebelum
mengambil keputusan strategis. (*)