Jakarta banjir lagi!!! |
Di tengah perdebatan dan silang pendapat dalam mencari kambing
hitam, yang jelas, siapapun yang tinggal di Jakarta hari ini merasakan dampak
buruk dari banjir atau lebih tepatnya air tergenang dimana-mana. Entah itu
pejabat pemerintah, politisi, pengusaha, diplomat asing, pelajar, karyawan
kantor, dan lainnya. Yang pasti, aktivitas terganggu. Banyak kegiatan masyarakat
tertunda atau dibatalkan. Mereka yang
membawa kendaraan di jalan menderita kelelahan akibat macet yang terjadi dimana-mana, belum
lagi bahan bakar minyak yang terbuang percuma. Jarak tempuh yang
tadinya setengah jam, bisa menjadi tiga-empat jam. Ujung-ujungnya konsumsi BBM masyarakat
melonjak.
Untuk mencari solusi, maka kita perlu memahami persoalan
banjir di Jakarta, penyebabnya apa, lalu baru mencari solusi, baik solusi
jangka pendek maupun solusi jangka panjang.
Ada beberapa fakta penting yang menarik bila kita melihat banjir di ibu
kota.
Pertama, banjir di Jakarta tidak hanya terjadi dalam 10 tahun
terakhir, tapi sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Bila kita membaca
berbagai lembaran sejarah, saat Jakarta masih bernama Batavia, banjir sudah
terjadi. Misalnya tahun 1878, banjir
melanda hebat di Jakarta akibat hujan yang terus terjadi salama 40 hari.
Setelah Indonesia merdeka, banjir besar juga sering terjadi, misalnya pada
Januari 1952, 1953, 1954, 1956, 1950-60.
Sungai Ciliwung tempo doeloe |
Kedua, terjadi pendangkalan sungai-sungai yang melintas di
Ibu Kota. Lihat saja sungai Ciliwung atau sungai-sungai yang ada di Jakarta.
Dasar sungai semakin dangkal akibat sedimentasi serta sampah. Sebagian
masyarakat yang tinggal di bantaran sungai menjadikan sungai sebagai tempat
pembuangan. Akibatnya, volume air yang melintasi jalur sungai semakin sempit
dan akibatnya meluap ke rumah-rumah warga. Ulah masyarakat sendiri menjadi salah satu
penyebab banjir.
Ketiga, hilangnya daerah resapan air. Ini tidak hanya terjadi
di kawasan Puncak-Bogor tapi juga di daerah Ibu Kota. Ruang hijau semakin
mengecil karena telah berubah jadi pemukiman. Daerah rawa-rawa seperti Kelapa
Gading telah berubah menjadi pemukiman. Air hujan tidak bisa meresap ke dalam
tanah, akibatnya mengalir di atas permukaan dan menenggelamkan sebagian wilayah
Jakarta.
Keempat, bencana banjir. Yang menarik dari pemberitaan
belakangan ini, sebagian masyarakat dan media menganggap banjir di Jakarta
sebagai bencana alam. Istilah bencana alam itu sendiri sebetulnya tidak tepat.
Para praktisi kebencanaan telah menghindari penggunaan kata bencana alam, tapi
fenomena alam. Bencana terjadi ketika fenomena alam menyebabkan kerusakan dan
memakan korban. Gunung api yang meletus adalah fenomena alam. Yang menyebabkan
terjadi bencana adalah manusia sendiri. Bila masyarakat tahu gunung api akan
meletus, maka tindakan yang tepat adalah menjauh dari sumber potensi bencana.
Demikian juga banjir. Banjir adalah fenomena alam. Bila air meluap dan tidak ada masyarakat yang tinggal di pinggir sungai maka tidak terjadi bencana. Setiap
tahun sungai-sungai di Kalimantan misalnya meluap. Tapi masyarakat sudah
mengantisipasinya dengan membangun rumah panggung. Banjir ini juga terjadi
akibat ulah manusia, yang membabat hutan-hutan di Kalimantan. Banjir yang
terjadi di Jakarta juga akibat ulah manusia.
Masalah banjir dan air yang tergenang dimana di Jakarta bukan cuma masalah Pemerintah DKI Jakarta tapi juga pemerintah pusat. Jakarta adalah juga Ibu Kota Negara. Maka pemerintah pusat berkepentingan mencari solusi penyebab banjir di Jakarta. Saatnya, para pemangku
kepentingan dan pembuat kebijakan di negeri ini bersatu mencari solusi. Untuk
itu dibutuhkan pemimpin yang tegas sehingga bila terjadi perbedaan pendapat,
ada yang mengambil keputusan tegas, termasuk pemindahan ibu kota misalnya. Mengatasi banjir Jakarta bukan cuma dilakukan oleh Jokowi tapi juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin negara. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar