Tampilkan postingan dengan label BP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BP. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 April 2014

Blok Mahakam, Jelang Berakhirnya Pemerintahan SBY dan Datangnya Pemerintah Baru!


Blok Mahakam sebaiknya memang tidak dijadikan ajang perebutan partai-partai atau kelompok masyarakat. Biarkan pemerintah mengambil keputusan yang terbaik bagi bangsa. Isu Blok Mahakam, bukan siapa yang mengelola, tapi lebih pada apakah pengelola (operator) dapat mengoptimalkan produksi Blok Mahakam. 
 

Indonesia akan memasuki berbagai agenda politik penting dalam beberapa bulan kedepan, mulai dari pemilihan anggota legislatif (Pileg) 9 April mendatang, Pemilihan Presiden pada 9 Juli dan memuncak pada peralihan pemerintahan dari Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke pemerintahan baru hasil pemilihan umum Presiden pada Oktober nanti. Hingga adanya peralihan pemerintah, maka Pemerintah SBY dituntut untuk memastikan proses agenda politik terlaksana dengan baik, aman, adil dan sesuai rencana, serta memastikan roda pemerintah tetap harus berjalan hingga terjadi peralihan nanti. Termasuk didalamnya adalah membuat keputusan-keputusan penting bila memang harus diperlukan demi kepentingan bangsa dan tidak meninggalkan warisan berbagai persoalan dan keputusan yang memang seharusnya diambil Presiden SBY.

Di sektor pertambangan misalnya, pemerintah tetap perlu melanjutkan renegosiasi kontrak dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, termasuk dengan Newmont dan Freeport menyusul dikeluarkannya keputusan pemerintah untuk melarang ekspor bahan mentah mineral. Menteri-menteri juga dituntut untuk tetap bekerja dan melanjutkan roda pemerintahan. Agenda politik tidak harus menghentikan roda pemerintahan, dengan demikian pihak swasta juga terus melanjutkan kegiatan mereka.

Salah satu indikator pemerintahan tetap berjalan adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat terealisasi dengan baik, baik dari sisi pemasukan (pendapatan – baik dari pajak maupun non pajak) maupun pada sisi pengeluaran. Pemerintah perlu tetap memastikan target-target dalam APBN dapat tercapai sesuai rencana. Salah satunya adalah target lifting minyak dan gas bumi. Dalam konteks pemenuhan target lifting minyak dan gas bumi tadi, maka pemerintah perlu memastikan kegiatan produksi blok-blok migas tetap harus berjalan dengan baik, tidak hanya untuk memenuhi target tahun 2014 ini, tapi juga untuk memenuhi target-target dalam beberapa tahun kedepan (jangka pendek-menengah).

Dalam konteks ini, Pemerintah SBY tetap perlu memperhatikan blok-blok migas agar tetap berproduksi dan memberi sumbangsih bagi pendapatan negara. Pendapatan dari sektor migas penting karena sekitar 30% pendapatan negara datang dari sektor minyak dan gas bumi. Karena itu, pemerintah, siapa pun itu, baik pemerintah saat ini, maupun pemerintah baru nanti, tetap harus memberi perhatian lebih pada sektor atau industri minyak dan gas bumi.

Banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan di sektor migas, antara lain menurunnya produksi minyak, rendahnya investasi, menurunnya cadangan migas, kondisi blok-blok migas yang sudah tua, tantangan untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan. Untuk itu, pemerintah, baik incumbent maupun pemerintah baru dituntut untuk mengatasi masalah-masalah itu dengan mendorong investasi baik eksplorasi maupun produksi untuk meningkatkan cadangan maupun produksi migas, mengembangkan energi baru dan terbarukan dll.

Disamping itu, pemerintah perlu menghilangkan faktor-faktor ketidakpastian agar pelaku industri tidak gamang, antara lain terkait blok-blok migas yang kontraknya akan berakhir dalam beberapa tahun mendatang. Blok Mahakam, misalnya, kontraknya akan berakhir pada semester I (akhir Maret) 2017), artinya kontrak Total E&P Indonesie (dan Inpex) dalam mengoperasikan blok tersebut akan berakhir. Pemerintah saat ini masih menimbang nimbang berbagai opsi terkait kelanjutan operatorship Blok Mahakam, yaitu, ops tidak diperpanjang, opsi diperpanjang dan ketiga, opsi diperpanjang dengan skema baru, dengan melibatkan operator lama (Total E&P Indonesie) dan pemain baru (Pertamina dan/atau perusahaan migas nasional lainnya).

Pemerintahan SBY, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dihadapkan pada berbagai pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Bagi pemerintah, masalah perpanjangan Blok Mahakam sangat erat kaitnya dengan upaya pemerntah untuk menjamin dan memaksimalkan penerimaan negara, seperti yang tertuang dalam APBN. Dari sisi pemerintah, apapun skema yang akan diambil, skema tersebu harus memastikan bahwa negara akan mendapatkan hasil yang lebih banyak dari kontrak sebelumnya. 

Pemerintah perlu memastikan produksi Blok Mahakam dapat terus berlanjut dan lebih optimal, sehingga dapat memberi kontribusi lebih bagi negara. Opsi yang dipilih haruslah opsi yang dapat memberi kontribusi maksimal bagi negara. Bahwa ada suara-suara agar operatorship tersebut dialihkan ke perusahaan nasional, boleh-boleh saja. Tapi tentu pemerintah juga tidak akan bodoh, mengambil keputusan hanya sekadar menyenangi kelompok atau elemen masyarakat tertentu atau sekadar menyenangi pemerintah daerah. Kepentingan negara haruslah di atas segalanya. Kepentingan 240 juta rakyat yang harus diutamakan, bukan kepentingan sekelompok elemen masyarakat, partai politik, atau pemerintah daerah tertentu. Kepentingan yang lebih besar yang diutamakan, walaupun kemudian tidak populer.

Kita tentu masih ingat kasus beralihnya PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang dulu dikembangkan oleh Rio Tinto dan BP. Saat ini, BP dan Rio Tinto akhirnya memutuskan untuk hengkang. Atas nama kepentingan nasional, maka banyak yang berteriak agar saham KPC sebagian dialihkan ke pemerintah daerah (Pemda) dan pemerintah pusat melalui PT Bukit Asam (PTBA). Namun, semua kita tahu, dengan segala manuver yang luar biasa, saham KPC akhirnya jatuh ke PT Bumi Resources (Bakrie Group). Pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun hanya gigit jari. Berbagai upaya hukum pun dilakukan oleh Pemda Kaltim, tapi hasilnya ibarat membentur tembok. Alih-alih bermanfaat bagi nasional, berbagai tudingan kemudian muncul, antara lain soal praktek transfer pricing yang dilakukan oleh KPC/Bumi Resources, penggelapan pajak, dan lain-lain. Negara pun buntung. 

Demikian juga kasus beralihnya sebagian saham Newmont ke pemerintah daerah. Pemda NTB ternyata hanya dicatut/dipinjamkan namanya, toh yang mendapatkan untung adalah pihak swasta yang mendompleng nama Pemda NTB. Saham Newmont dibeli oleh Pemda NTB dengan duit pinjaman dari mitra swasta, yang pembayarannya dilakukan melalui dividend yang diterima setiap tahun. Apakah rakyat NTB mendapatkan manfaatnya? Saya ragukan. 

Karena itu, pemerintah perlu mencermati desakan kelompok-kelompok masyarakat agar operatorship Blok Mahakam dialihkan ke perusahaan nasional. Ke perusahaan nasional yang mana? Ke perusahaan BUMD yang mana? Jangan sampai, keputusan pemerintha justru menjadi bumerang dan pada akhirnya berdampak buruk pada kelanjutan produksi Blok Mahakam. 

Blok Mahakam adalah milik bangsa Indonesia, bukan milik partai, milik LSM, milik pemda tertentu, tapi milik bangsa Indonesia. Kepentingan nasional dan bangsa harus diutamakan. Keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam ini tetap menjadi PR pemerintah, baik SBY maupun pemerintah baru nanti. Semakin cepat memang semakin baik. Bila pemerintah SBY memutuskan, jelang berakhirnya masa jabatan, maka pertimbangan kepentingan bangsa/nasional tadi yang harus diutamakan, bukan kelompok masyarakat. Blok Mahakam sebaiknya memang tidak dijadikan ajang perebutan partai-partai atau kelompok masyarakat. Biarkan pemerintah mengambil keputusan yang terbaik bagi bangsa. Isu Blok Mahakam, bukan siapa yang mengelola, tapi lebih pada apakah pengelola dapat mengoptimalkan produksi Blok Mahakam. 

Kalaupun para Capres berdebat soal Blok Mahakam, perdebatan harus fokus pada bagaimana mengoptimalkan produksi Blok Mahakam. Dan ini tidak hanya pada blok Mahakam, tetapi  juga berlaku pada blok-blok migas di Tanah Air. Sasarannya, bagaimana agar produksi migas Indonesia terus meningkat. Melihat produksi minyak yang terus anjlok, ketergantungan impor yang tinggi, permintaan atas minyak dan gas bumi yang besar dari dalam negeri, maka tugas utama pemerintah bagaimana memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dan rumah tangga. Kita tak persoalkan perusahaan A, B, atau C yang kelola Blok Migas, tapi bagaimana memastikan pengembangan blok migas memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara.  (*)

Selasa, 10 Desember 2013

Moody's: Ketergantungan Impor Tinggi, Aktivitas Akusisi di sektor Migas di Indonesia & Asia Meningkat

Ilustrasi: sebuah anjungan migas lepas pantai
 Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang kini tergantung pada minyak impor akibat terus merosotnya produksi dalam negeri. Permintaan konsumsi minyak dalam negeri mencapai sekitar 1,4-1,5 juta barel per hari, sementara produksi minyak terus menurun menjadi 830.000 bph, separuh dari puncak produksi minyak 1,65 juta bph tahun 1995. Untuk produksi gas bumi, saat ini masih stagnan, dan pada suatu saat akan menurun bila tidak ditemukan cadangan gas bumi baru. Lembaga rating internasional Moody’s memperkirakan ketergantungan impor migas di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, akan mendorong aktivitas akuisisi di sektor hulu industri migas.

Akuisisi tersebut diperkirakan akan dilakukan tidak hanya oleh perusahaan migas besar dunia (oil majors) tapi juga perusahaan-perusahaan migas nasional di kawasan ini.

“Kami perkirakan ketergantungan Asia pada minyak dan gas bumi impor akan mendorong perusahaan-perusahaan migas negara-negara di kawasan Asia (national oil companies/NOCs) untuk melakukan akuisisi untuk mengamankan kebutuhan energi mereka,” kata Moody’s dalam laporannya.

Moody’s mencatat terjadi penurunan produksi minyak yang signifikan di negara-negara Asia dalam periode 2008-2012, terutama di Australia, Indonesia dan Malaysia, sementara pada saat yang sama permintaan domestik meningkat.

Untuk gas bumi atau liquefied natural gas (LNG), Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Sekitar 50% produksi LNG diekspor, sementara 50% dari produksi dialokasikan untuk konsumsi dalam negeri. Berbeda dengan minyak, LNG yang sudah berproduksi saat ini sudah dikontrakkan ke pembeli jauh sebelum proyek-proyek LNG tersebut mulai berproduksi, seperti proyek di Badak LNG, BP Tangguh dan beberapa proyek LNG lainnya. Pada satu sisi, pemerintah telah meningkatkan alokasi output LNG ke pasar domestik, sementara pada sisi lain permintaan gas bumi dari dalam negeri meningkat tajam.

Mengingat output gas bumi saat ini sudah ada pembelinya, maka Indonesia bakal mengimpor LNG dari luar negeri untuk memenuhi permintaan dari dalam negeri yang terus meningkat tajam. Dan itu, sudah terbukti. Pertamina beberapa hari lalu telah menandatangani perjanjian jual-beli (SPA) dengan sebuah perusahaan di Amerika Serikat untuk mengimpor LNG.

Ironis, Pertamina lebih memilih mengalokasikan dana miliaran dolar AS untuk mengimpor LNG untuk periode tertentu, ketimbang mengalokasikan dana miliaran dolar setiap tahun untuk mencari cadangan migas baru di dalam negeri. Pertamina lebih memilih jalan pintas dengan mengimpor LNG ketimbang bersusah-payah dan mengambil risiko dengan berinvestasi mencari cadangan migas baru.

Maka tidak mengherankan bila perusahaan migas global seperti ExxonMobil, Total E&P Indonesie, BP, Inpex, ENI, dan Chevron, yang menemukan cadangan migas dan berproduksi migas. Sementara Pertamina cenderung pasif, menunggu blok-blok migas tua habis masa kontraknya.

Kondisi ini tidak sehat dan tidak efisien bagi keuangan Pertamina, karena biaya investasi untuk meningkatkan produksi di lapangan-lapangan tua jauh lebih besar ketimbang lapangan greenfield, lapangan baru.  Akibatnya, return on asset (ROA) dari investasi sangat tipis dan kadang rugi. Lapangan ONWJ, misalnya, Pertamina perlahan dapat meningkatkan produksi, tapi biaya investasinya pun sangat besar. Tahun 2012 saja, Pertamina mengalokasikan dana hampir US$1 miliar dolar untuk memperbaiki beberapa anjungan yang sudah tua, dan fasilitas produksi lainnya.

Demikian juga blok Siak yang akan segera dikembalikan ke Pemerintah, dibutuhkan biaya lebih besar untuk meningkatkan produksi blok tersebut yang kini berproduksi sekitar 1,800-2000 bph. Pertanyaannya, apakah dana yang dikeluarkan setimpal dengan produksi? Demikian juga blok-blok migas tua lainnya, yang kontraknya akan berakhir, termasuk Blok Mahakam. Sekitar 80 persen cadangan blok Mahakam telah dieksploitasi/diproduksi, sehingga jumlah cadangan yang masih tersisa sekitar 20% atau kurang.

Karena itu, operator yang mengelola Blok Mahakam pasca 2017, dituntut untuk meningkatkan investasi untuk menambah cadangan dan mempertahankan produksi dari sumur-sumur dan lapangan-lapangan minyak yang ada. Pertanyaannya, apakah efisien dan produktif bila blok Mahakam dikelola seluruhnya oleh Pertamina? Diperkirakan 2-3 miliar dana harus dikeluarkan setiap tahun untuk mempertahankan produksi di Blok Mahakam.

Saat ini pemerintah memiliki tiga opsi untuk mengembangkan Blok Mahakam, pasca 2017. Pertamina, kontrak operator yang sekarang (Total E&P) diperpanjang, opsi kedua, tidak diperpanjang, dan opsi ketiga, melibatkan operator lama (Total E&P Indonesie bersama mitranya Inpex) serta mengakomodasi kepentingan perusahaan migas nasional Pertamina. Dari sisi pemerintah, pertimbangan utama adalah produksi Blok Mahakam lebih dioptimalkan lagi dan risiko dapat ditekan ke titik nol.

Pemerintah kemungkinan tak akan mengambil risiko dengan menyerahkan seluruh tanggungjawab pengelolaan blok tua-raksasa tersebut kepada operator baru. Terlalu riskan dan tidak efisien. Maka opsi joint-operating, kolaborasi operator lama dan pemain baru merupakan opsi yang ideal dan efisien.

Dari konteks ketahanan energi dan pemenuhan kebutuhan dari dalam negeri, maka opsi ketiga tersebut tampaknya lebih tepat bagi Indonesia yang kini terus berupaya mengamankan ketahanan energi dalam negeri. Mempertahankan produksi migas di lapangan atau blok-blok yang berproduksi perlu tetap dilakukan Indonesia, dan pada saat yang sama terus meningkatkan investasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi. (*)

Rabu, 24 Juli 2013

Anjungan Minyak Lepas Pantai Sasaran Pencurian



Kawanan pelaku pencurian (foto Pikiran Rakyat)


Dalam beberapa tahun terakhir anjungan-anjungan minyak dan gas lepas pantai jadi sasaran pencurian. Target utama yang disasar para pencuri adalah tiang besi, lempeng baja atau material besi lainnya pada anjungan lepas pantai yang tidak berpenghuni atau unmanned platform.  Mengapa anjungan lepas pantai diincar? Mengapa kasus-kasus pencurian ini sering terjadi? Bagaimana mencegahnya?

Kasus pencurian besi pada anjungan lepas pantai ternyata bukan isapan jempol belaka. Beberapa eksekutif minyak dan gas baik perusahaan asing maupun nasional terkadang mengeluhkan hal ini. Petinggi anak perusahaan Pertamina PHE ONWJI yang mengoperasikan lapangan minyak lepas pantai utara Jawa – yang sebelumnya dikelola BP – sudah beberapa kali mengeluhkan hal ini.

Beberapa media juga sudah beberapa kali melaporkan kasus pencurian pada fasilitas anjungan lepas pantai. Pada Juni 2007, misalnya, kawanan pencuri berupaya mencuri lempengan besi baja yang nilainya milyaran pada sebuah anjungan lepas pantai. Beruntung, jajaran TNI Statiun Angkatan Laut (Sional) Cirebon kalau itu menggagalkan aksi kawanan pencuri tersebut. TKP saat itu berada di sekitar 20 mil dari perairan Indramayu.

Pada Maret 2013 lalu, sekelompak orang berusaha mencuri tembaga dengan pura-pura memancing. Rupanya, yang diincar bukan ikan tapi besi dan lempeng tembaga anjungan lepas pantai milik Pertamina, namun aksi mereka kepergok warga yang melintas menggunakan perahu. Rupanya warga yang melihat, melaporkan ke polisi air dan tidak lama kemudian polisi air meluncur dan menangkap kelompok Lima Sekawan itu.

Kemungkinan besar, kasus pencurian material pada anjungan lepas pantai lebih sering terjadi dibanding yang dilaporkan media masa atau yang berhasil ditangkap aparat. Rupanya, penangkapan kawanan pencuri tersebut tidak atau belum berhenti juga. Hari ini kita kembali mendengar berita bahwa sebanyak 31 orang pelaku pencurian fasilitas anjungan lepas panta milik PT Pertamina di lepas pantai utara Jawa ditangkap Polair Polda, Jawa Barat 22  Juli atau Senin sore.

Dalam beberapa kasus mereka bergerak sendiri dengan menggunakan perahu, tapi pada saat tertentu mereka bekerjasama dengan nelayan yang kepepet akibat harga BBM yang terus naik dengan sistem bagi hasil, seperti yang terjadi sore hari kemarin.

Apa yang mereka incar? Minyak? Tentu tidak. Yang diincar adalah besi atau lempeng tembaga. Bisa diduga hasil pencurian besi dan lempeng tembaga kemudian dijual ke bandar pengumpul besi tua. Nah, karena besi atau lempeng yang dijarah dari anjungan minyak, pasti dihargai mahal oleh penadah. Betapa tidak, kualitas besi atau lempengan baja di lepas pantai memiliki standar kualitas yang sangat tinggi dibanding misalnya material besi atau lempengan baja yang digunakan di darat agar dapat bertahan puluhan tahun dan tidak rusak oleh air laut, panas atau hujan.

Kasus-kasus pencurian di atas sangat berbahaya karena dapat berakibat fatal bagi platform atau anjungan migas terebut. Bila terjadi pencurian, operator harus memperbaikinya dan tentu ini akan mempengaruhi operasi/produksi minyak dan gas. Bukan tidak mungkin terjadi kerusakan besar, misalnya, kerusakan permanen pada platform, yang tentu anjungan tersebut tidak berfungsi dan harus diganti total.

Melihat kasus di atas, terlihat bahwa para penjarah besi kini tidak lagi hanya beroperasi di daratan, tapi juga di lepas pantai yang notabene besi atau bajanya memiliki kualitas yang sangat tinggi. Karena itu, perusahaan migas dan aparat keamanan perlu meningkatkan patroli untuk menjaga aset-aset strategis.

Sebetulnya, pemerintah sudah mengantisipasi gangguan yang terjadi pada fasilitas produksi migas, baik yang di darat maupun di laut. SKK MIGAS, saat masih menjadi BPMIGAS, telah menandatangani kerjasama dengan pihak keamanan untuk menjaga fasilitas-fasilitas produksi migas, baik yang dimiliki perusahaan nasional maupun multinasional (MNC). Beberapa fasilitas produksi migas yang strategis seperti BP Tangguh, Masela, Blok Mahakam, Cepu dan lainnya mendapatkan perhatian khusus dari aparat keamanan.

Kita berharap kasus-kasus pencurian meterial pada fasilitas produksi dapat dicegah agar tidak terjadi lagi karena hal tersebut dapat mengganggu proses produksi minyak dan gas. Pemerintah maupun aparat keamanan perlu mengidentifikasi daerah-daerah mana atau fasilitas mana saja yang kemungkinan besar menjadi target pencurian. Pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan juga perlu melakukan sosialisasi ke masyarakat sekitar wilayah operasi agar dapat bersama menjaga fasilitas produksi migas agar tidak terganggu. (*)