Tampilkan postingan dengan label gas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gas. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Desember 2013

Moody's: Ketergantungan Impor Tinggi, Aktivitas Akusisi di sektor Migas di Indonesia & Asia Meningkat

Ilustrasi: sebuah anjungan migas lepas pantai
 Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang kini tergantung pada minyak impor akibat terus merosotnya produksi dalam negeri. Permintaan konsumsi minyak dalam negeri mencapai sekitar 1,4-1,5 juta barel per hari, sementara produksi minyak terus menurun menjadi 830.000 bph, separuh dari puncak produksi minyak 1,65 juta bph tahun 1995. Untuk produksi gas bumi, saat ini masih stagnan, dan pada suatu saat akan menurun bila tidak ditemukan cadangan gas bumi baru. Lembaga rating internasional Moody’s memperkirakan ketergantungan impor migas di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, akan mendorong aktivitas akuisisi di sektor hulu industri migas.

Akuisisi tersebut diperkirakan akan dilakukan tidak hanya oleh perusahaan migas besar dunia (oil majors) tapi juga perusahaan-perusahaan migas nasional di kawasan ini.

“Kami perkirakan ketergantungan Asia pada minyak dan gas bumi impor akan mendorong perusahaan-perusahaan migas negara-negara di kawasan Asia (national oil companies/NOCs) untuk melakukan akuisisi untuk mengamankan kebutuhan energi mereka,” kata Moody’s dalam laporannya.

Moody’s mencatat terjadi penurunan produksi minyak yang signifikan di negara-negara Asia dalam periode 2008-2012, terutama di Australia, Indonesia dan Malaysia, sementara pada saat yang sama permintaan domestik meningkat.

Untuk gas bumi atau liquefied natural gas (LNG), Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Sekitar 50% produksi LNG diekspor, sementara 50% dari produksi dialokasikan untuk konsumsi dalam negeri. Berbeda dengan minyak, LNG yang sudah berproduksi saat ini sudah dikontrakkan ke pembeli jauh sebelum proyek-proyek LNG tersebut mulai berproduksi, seperti proyek di Badak LNG, BP Tangguh dan beberapa proyek LNG lainnya. Pada satu sisi, pemerintah telah meningkatkan alokasi output LNG ke pasar domestik, sementara pada sisi lain permintaan gas bumi dari dalam negeri meningkat tajam.

Mengingat output gas bumi saat ini sudah ada pembelinya, maka Indonesia bakal mengimpor LNG dari luar negeri untuk memenuhi permintaan dari dalam negeri yang terus meningkat tajam. Dan itu, sudah terbukti. Pertamina beberapa hari lalu telah menandatangani perjanjian jual-beli (SPA) dengan sebuah perusahaan di Amerika Serikat untuk mengimpor LNG.

Ironis, Pertamina lebih memilih mengalokasikan dana miliaran dolar AS untuk mengimpor LNG untuk periode tertentu, ketimbang mengalokasikan dana miliaran dolar setiap tahun untuk mencari cadangan migas baru di dalam negeri. Pertamina lebih memilih jalan pintas dengan mengimpor LNG ketimbang bersusah-payah dan mengambil risiko dengan berinvestasi mencari cadangan migas baru.

Maka tidak mengherankan bila perusahaan migas global seperti ExxonMobil, Total E&P Indonesie, BP, Inpex, ENI, dan Chevron, yang menemukan cadangan migas dan berproduksi migas. Sementara Pertamina cenderung pasif, menunggu blok-blok migas tua habis masa kontraknya.

Kondisi ini tidak sehat dan tidak efisien bagi keuangan Pertamina, karena biaya investasi untuk meningkatkan produksi di lapangan-lapangan tua jauh lebih besar ketimbang lapangan greenfield, lapangan baru.  Akibatnya, return on asset (ROA) dari investasi sangat tipis dan kadang rugi. Lapangan ONWJ, misalnya, Pertamina perlahan dapat meningkatkan produksi, tapi biaya investasinya pun sangat besar. Tahun 2012 saja, Pertamina mengalokasikan dana hampir US$1 miliar dolar untuk memperbaiki beberapa anjungan yang sudah tua, dan fasilitas produksi lainnya.

Demikian juga blok Siak yang akan segera dikembalikan ke Pemerintah, dibutuhkan biaya lebih besar untuk meningkatkan produksi blok tersebut yang kini berproduksi sekitar 1,800-2000 bph. Pertanyaannya, apakah dana yang dikeluarkan setimpal dengan produksi? Demikian juga blok-blok migas tua lainnya, yang kontraknya akan berakhir, termasuk Blok Mahakam. Sekitar 80 persen cadangan blok Mahakam telah dieksploitasi/diproduksi, sehingga jumlah cadangan yang masih tersisa sekitar 20% atau kurang.

Karena itu, operator yang mengelola Blok Mahakam pasca 2017, dituntut untuk meningkatkan investasi untuk menambah cadangan dan mempertahankan produksi dari sumur-sumur dan lapangan-lapangan minyak yang ada. Pertanyaannya, apakah efisien dan produktif bila blok Mahakam dikelola seluruhnya oleh Pertamina? Diperkirakan 2-3 miliar dana harus dikeluarkan setiap tahun untuk mempertahankan produksi di Blok Mahakam.

Saat ini pemerintah memiliki tiga opsi untuk mengembangkan Blok Mahakam, pasca 2017. Pertamina, kontrak operator yang sekarang (Total E&P) diperpanjang, opsi kedua, tidak diperpanjang, dan opsi ketiga, melibatkan operator lama (Total E&P Indonesie bersama mitranya Inpex) serta mengakomodasi kepentingan perusahaan migas nasional Pertamina. Dari sisi pemerintah, pertimbangan utama adalah produksi Blok Mahakam lebih dioptimalkan lagi dan risiko dapat ditekan ke titik nol.

Pemerintah kemungkinan tak akan mengambil risiko dengan menyerahkan seluruh tanggungjawab pengelolaan blok tua-raksasa tersebut kepada operator baru. Terlalu riskan dan tidak efisien. Maka opsi joint-operating, kolaborasi operator lama dan pemain baru merupakan opsi yang ideal dan efisien.

Dari konteks ketahanan energi dan pemenuhan kebutuhan dari dalam negeri, maka opsi ketiga tersebut tampaknya lebih tepat bagi Indonesia yang kini terus berupaya mengamankan ketahanan energi dalam negeri. Mempertahankan produksi migas di lapangan atau blok-blok yang berproduksi perlu tetap dilakukan Indonesia, dan pada saat yang sama terus meningkatkan investasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi. (*)

Selasa, 19 November 2013

Indonesia Dapat Mendongkrak Produksi Minyak dan Gas, Kenapa Tidak?



Saat negara-negara lain mencatat kemajuan signifikan dalam pengembangan industri minyak, Indonesia justru memperlihatkan kondisi sebaliknya. Gas bumi memang sedikit menggembirakan bila melihat tingkat produksi dan cadangan terbukti, namun akan habis juga dalam beberapa puluh tahun kedepan bila tidak ada penambahan cadangan terbukti. Pemerintah perlu melakukan terobosan untuk menambah cadangan minyak dan gas bumi (migas).  

Cadangan minyak Indonesia saat ini tinggal 3,7 miliar, ibarat sebuah sebuah titik hitam di tengah lapangan bola bila dibandingkan dengan cadangan minyak Venezuela yang mencapai 297,57 miliar per akhir 2012, negara dengan cadangan minyak terbesar di dunia.  Tanpa ada penambahan cadangan baru, maka produksi minyak Indonesia akan mencapai titik nadir atau zero, 10 tahun lagi. Produksi minyak pun terus menunjukkan tren penurunan, sekitar 830.000 barel per hari saat ini, di bawah target APBN 840.000 barel per hari. Produksi minyak saat ini hanya separuh dari puncak produksi sebesar 1,6 juta bph tahun 1995. Indonesia darurat minyak!. 

Untuk cadangan gas bumi, data Kementerian ESDM menunjukkan cadangan gas bumi Indonesia mencapai 152,89 triliun standard cubic feet (tscb), tersebar di 11 basin. Dari ttoal cadangan tersebut, 104,71 tscf merupakan cadangant erbukti dan 48,18 tscf merupakan cadangan potential. Pemerintah memperkirakan bila tak ada penambahan cadangan gas bumi, maka cadangan yang ada saat ini masih cukup untuk 50 tahun kedepan. Artinya, pada suatu titik, cadangan akan habis bila tidak ada penambahan.

Bila kita melihat keluar, peta industri minyak dan gas bumi kedepan bakal berubah. Menurut laporan International Energy Agency (IEA), Amerika akan menjadi salah satu produsen minyak dan gas dunia. Amerka akan menjadi salah satu produsen minyak terbesar tahun 2015, melewati Arab Saudi dan Russia.  Produksi minyak Paman Sam tersebut melonjak, didorong oleh lonjakan produksi negara bagian Texas dan North Dakota.

Kehebohan produksi minyak di Texas dan North Dakota yang telah melahirkan milioner-milioner minyak baru di Texas dan North Dakota tersebut didukung oleh teknik horizonal drilling dan teknik hydraulic fracturing atau fracking, sebuah metode penggunaan cairan untuk memisahkan gas dari shale atau bebatuan (rock). Ini menunjukkan pemanfaatan teknologi dan eksplorasi yang terus menerus dapat meningkatkan cadangan serta produksi.

Industri minyak dan gas bumi Brasil juga menunjukkan kemajuan pesat. Beberapa lembaga internasional memperkirakan Brasil tidak lama lagi akan menjadi produsen minyak dan gas bumi ke-6 di dunia. Kunci keberhasilan Brasil tidak lain dari keseriusan negara tersebut melakukan eksplorasi migas, termasuk di lepas pantai. Sebagian besar lapangan migas berada di laut dalam (dengan kedalaman lebih dari 1.000 meter).

Investasi Eksplorasi
Indonesia sebetulnya dapat melakukan apa yang dilakukan negara-negara lain dalam mendongkrak industri minyak dan gas bumi. Kunci utamanya adalah EKSPLORASI. Dan ini bukan kunci rahasia. Semua pelaku industri, pemerintah juga tahu. Namun, kata eksplorasi ini mudah diucap, tapi sulit untuk direalisasikan. Paling tidak, itu yang terlihat saat ini. Investasi untuk eksplorasi migas saat ini masih jauh dari yang diharapkan, akibat iklim investasi yang tidak mendukung.

Birokrasi, ketidakpastian hukum, tumpang tindih peraturan, kondisi social masyarakat yang tidak mendukung, turut menghambat investasi migas. Belum lagi isu-isu nasionalisasi industri migas, yang ditiup sekelompok LSM dan vested interest, yang mengadu-domba dan memprovokasi masyarakat, turut memperunyam industri migas. Padahal integritas kelompok-kelompok LSM tersebut meragukan karena sebagian besar tidak pernah bergelut di industri migas. Kondisi ini menuntut pemerintah untuk memetakan berbagai masalah yang menghambat laju pertumbuhan industri migas.

Disamping mengatasi isu-isu non-teknis di atas, pemerintah terus mendorong pelaku industri migas untuk menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi. Beberapa perusahaan minyak besar telah menerapkan Enhanced Oil Recovery (EOR), seperti yang dilakukan oleh CPI di lapangan minyak tua mereka di Minas ataupun di Duri.

Total E&P Indonesie juga telah menerapkan Improved Gas Recovery (IGR) untuk untuk mengoptimalkan produksi gas bumi di Blok Mahakam. Seperti yang diucapkan oleh salah satu eksekutif Total E&P Indonesie beberapa hari lalu, dari awal 2000, Total sudah menerapkan IGR. Namun, perlu disadari teknologi terus berkembang dan perusahaan migas asal Perancis tersebut menerapkan teknologi terkini untuk mengoptimalkan produksi gas bumi di lapangan-lapangan tua, Blok Mahakam.

Pada dasarnya, potensi minyak dan gas bumi Indonesia, masih bisa dikembangkan. Masih ada beberapa cekungan (basin) di Indonesia timur yang belum dieksplorasi, yang sebagian besar berada di lepas pantai. Mengesplorasi cekungan tersebut tidak mudah karena membutuhkan dana investasi besar dan teknologi. Risiko investasinya juga besar. Kini teknologi juga terus berkembang, dan bisa dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, untuk mengoptimalkan produksi seperti yang dilakukan Total E&P Indonesie di Blok Mahakam.

Tugas pemerintah adalah mendorong perusahaan-perusahaan migas baik nasional maupun internasional atau oil majors seperti Chevron, ExxonMobil, Total E&P, BP, Inpex untuk meningkatkan investasi mereka di Indonesia. Tugas pemerintah, baik yang sedang berkuasa maupun pemerintahbaru nanti adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menghilangkan berbagai ketidakpastian, termasuk birokrasi perizinan yang rumit, peraturan yang tumpang tindih serta memberikan kepastian perpanjangan blok-blok yang akan segera berakhir, termasuk Blok Mahakam. 

Penundaan keputusan tentu berdampak pada penundaan rencana investasi. Padahal disatu sisi kebutuhan minyak dan gas bumi di Indonesia terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bisa terhenti bila tidak didukung oleh suplai energi yang cukup, khususnya minyak dan gas bumi. (*)

Kamis, 20 Juni 2013

BBM & Solusi Jangka Panjang

Apa trending topic di negara 17,000 pulau dengan 240 juta penduduk hari ini? Tanpa perlu menanyakan pada twitter, jawabannya pasti jelas. BBM atau Bahan Bakar Minyak. Setelah terjadi perdebatan panas di DPR diiringi lobi-lobi dan politik 'dagang sapi', yang rakyat tidak tahu (baru ketahuan belakangan, seperti terselipnya 'pasal Lapindo'), DPR akhirnya menyetujui untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.



Sebuah fasilitas produksi migas (photo: www.steelindonesia.com)
Dengan demikian, kenaikan harga BBM bersubsidi tinggal menunggu pengumuman resmi pemerintah dalam beberapa hari ke depan.

Respons masyarakat bermacam-macam atas keputusan tersebut bermacam-macam. Ada yang bereaksi secara ekstrim, ada pula yang beradaptasi dengan situasi dengan mengencangkan ikat pinggang. Seperti telah diduga, sebagian pemuda yang mengklaim sebagai mahasiswa melakukan demo, memblokir jalan, membakar ban hingga melakukan tindakan tidak terpuji seperti merusak gerai KFC seperti yang terjadi di salah satu kota di Sumatera Utara.

Para pemilik angkutan umum seperti bis sudah menaikkan tarif angkutan, bahkan sebelum pemerintah mengumumkan harga BBM bersubsidi secara resmi dan sebagian bersiap-siap untuk menaikkan tarif. Organda, sebuah organisasi angkutan umum, telah mengajukan ke pemerintah untuk menaikkan tarif angkutan sebesar 30 persen.

Dampak langsung dari kenaikkan BBM bersubsidi memang terjadi pada angkutan atau transportasi. Jadi, masuk akal bila mereka melakukan penyesuaian asalkan masih dalam taraf wajar. Industri secara umum seharusnya tidak serta-merta menaikkan harga barang karena toh mereka selama ini telah membeli BBM  industri, yang harganya lebih tinggi dari harga BBM bersubsidi. Kecuali mereka menggunakan modus tertentu untuk membeli harga BBM bersubsidi.

Pemerintah tentu punya alasan logis untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Salah satunya, penikmat  BBM bersubsidi selama ini adalah masyarakat kelas menengah ke atas, para pemilik mobil pribadi. Mereka toh, bisa membeli harga BBM bersubsidi lebih mahal. Pasti mereka punya cara untuk beradaptasi dengan harga BBM bersubsidi yang baru.

Tantangan terberat pemerintah adalah bagaimana mengurangi dampak kenaikan subsidi pada kelompok masyarakat dengan income rendah. Persoalannya, BLSM, atau Bantuan Langsung Sementara Masyarakat hanya diberikan selama 4 bulan. Seharusnya, pemerintah menyiapkan strategi lain, misalnya menciptakan lapangan kerja masal. Misalnya, melibatkan mereka pada proyek-proyek padat karya, irigiasi, jalan raya, dan lain-lain. Jadi, disamping mereka mendapatkan uang, masyarakat umum juga mendapat manfaat dengan adanya proyek-proyek padat karya tersebut.

Kita bisa berbicara panjang lebar soal BBM ini dan pasti tidak akan habis-habisnya. Kita juga bisa memberikan alasan-alasan mengapa BBM tidak perlu naik dan mengapa harga BBM bersubsidi harus dinaikkan.

Pemerintah pun tampaknya berupaya keras untuk meyakinkan masyarakat dengan berbagai cara, mulai dari selebaran, sosialisasi di televisi, radio, spanduk-spanduk untuk memberikan 1001 alasan mengapa BBM harus naik. Masyarkat juga mempunyai 1001 alasan mengapa BBM bersubsidi tidak perlu naik, sambil menuding pemerintah telah gagal menyediakan BBM dengan harga terjangkau untuk masyarakat.

Pada saat yang sama, tersiar kabar bahwa beberapa perusahaan migas gagal menemukan cadangan migas (dryhole) atau cadangan tidak mencukupi untuk dilanjutkan ke production stage. Seperti yang dilansir media beberapa hari ini, ada 11 perusahaan minyak yang gagal menemukan cadangan migas setelah 5 tahun melakukan eksplorasi. Akibatnya, mereka terpaksa menanggung kerugian sekitar US$1.9 miliar. Sebuah angka yang besar nilainya.

Sesuai skema cost recovery, bila perusahaan gagal mendapatkan cadangan migas, kerugian ditanggung sendiri. Biaya yang telah dikeluarkan tidak bisa digantikan melalui skema cost recovery. Namun, bila mereka menemukan migas, maka biaya yang dikeluarkan selama masa eksplorasi tersebut digantikan oleh pemerintah melalui skema cost recovery.

Kegagalan perusahaan migas tersebut menunjukkan investasi di industri migas memang berisiko tinggi. Risiko lebih besar saat eksplorasi karena tingkat keberhasilannya cuma 10%. Karena itu, tidak heran bila bank-bank nasional tidak mau memberikan kredit ke perusahaan migas untuk keperluan pencarian migas (eksplorasi). . Tidak heran bila sebagian besar yang melakukan eksplorasi adalah perusahaan-perusahaan asing. Hanya perusahaan-perusahaan besar dengan modal besar yang berani mengambil risiko untuk melakukan eksplorasi.

Lalu apa hubungan antara persoalan BBM bersubsidi di atas tadi dengan berita kegagalan perusahaan migas menemukan cadangan?

Sangat erat kaitannya. Masalah BBM bersubsidi adalah masalah di hilir, sementara berita kegagalan perusahaan migas adalah persoalan di sektor hulu industri migas. Persoalan di hilir (BBM) saat ini sebetulnya refleksi persoalan besar di hulu industri migas.

Persoalan besar di hulu adalah produksi minyak yang terus turun.  Alasannya, sebagian besar blok migas yang berproduksi saat ini adalah blok migas yang sudah tua. Contoh, blok milik Chevron di Riau atau Blok Mahakam yang berada di Kalimantan Timur. Blok Mahakam, yang dioperasikan oleh Total EP Indonesie ini, sudah berproduksi lebih dari 40 tahun. Cadangan gas alam terus menipis.  Dampaknya, operator harus mengeluarkan investasi besar setiap tahun untung mengangkat gas alam (dan minyak dengan porsi kecil). Belum lagi karakter blok tersebut yang sangat kompleks.Operator harus menggunakan teknologi tertentu untuk mengangkat gas alam dari perut bumi Mahakam.

Bisnis migas memang berisiko tinggi dan horizon investasinya bersifat jangka panjang. Apa yang dialami oleh 11 perusahaan migas di atas merupakan contoh nyata risiko yang dihadapi perusahaan migas.

Apa implikasi bila perusahaan-perusahaan tersebut berhenti melakukan eksplorasi dan memutuskan melakukan eksplorasi di negara-negara tetangga seperti Vietnam, Cambodia atau Myanmar, yang notabene kian membuka diri bagi investasi migas asing?

Bisa jadi mereka akan memindahkan/mengalihkan rencana investasi mereka ke negara-negara tetangga. Bila investasi untuk eksplorasi berkurang, maka cadangan migas tidak bertambah, bahkan berkurang. Dampaknya, produksi minyak  akan menurun, sementara di satu sisi, kebutuhan minyak (BBM) meningkat. Bila gap ini terus melebar, maka biaya untuk mengimpor minyak meningkat dan akan sangat membebani anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN).

Kesimpulannya singkat: Tingkatkan investasi eksplorasi migas!!! 

#BBM#