Tampilkan postingan dengan label Migas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Migas. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Juni 2014

Subsidi BBM, Produksi Migas Indonesia & Pemerintah Baru

Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa vs Jokowi-Jusuf Kalla
Dalam beberapa hari belakangan, isu bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali mencuat. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti mengatasi beban subsidi BBM yang membengkak tiap tahun. Tahun 2014 ini saja, subsidi BBM diperkirakan membengkak menjadi Rp 285 miliar triliun, dari Rp 210 triliun tahun lalu.

Dari berbagai pernyataan yang muncul dari dua kubu pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prahara) dan Jokowi Widodo (JKW)-Jusuf Kalla, mengakui subsidi BBM telah membelenggu APBN setiap tahun. Kubu Prabowo mengatakan BBM subsidi hanya dinikmati oleh orang berkecukupan (the haves) atau kelas menengah ke atas. Subsidi BBM tidak kena sasaran.

Demikian juga kubu Jokowi-Jusuf Kalla, tampaknya bertekad untuk menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Seperti yang diungkapkan oleh Jokowi, jika terpilih ia akan menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Menurut Capres yang diajukan oleh PDIP dan mitra koalisinya ini, bahwa pemotongan subsidi tidak harus berbanding lurus dengan kenaikan harga BBM. Banyak cara yang dilakukan, misalnya meningkatkan efisiensi, mendiversifikasi sumber energi dan lain.
Seperti yang dikatakan oleh Arif Budimanta, ketua Tim Ekonomi Jokowi-Jusuf Kalla, subsidi BBM memang harus dikurangi secara perlahan. Menurut dia, jika Jokowi-Kalla terpilih, maka mereka akan mengambil sikap mengurangi subsidi BBM dan dana subsidi tersebut dialihkan ke sektor lain, termasuk untuk membangun fasilitas umum dan infrastructure yang dapat mendongkrak penghidupan dan kehidupan masyarakat.

Salah satu anggota tim sukses pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, Drajad Wibowo, mengatakan bahwa prioritas utama adalah tidak menaikkan harga BBM subsidi bagi masyarakat. Langkah yang dilakukan adalah mengurangi subsidi BBM khusus orang kaya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengenaan instrumen pajak atau cukai tambahan bagi masyarakat mampu yang menggunakan BBM bersubsidi.

Sementara itu, tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla, Darmawan Prasojo dalam kesempatan berbeda, mengungkapkan, pasangan yang diusungnya akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan.

Pengurangan subsidi BBM tersebut dilakukan seiring dengan pengembangan energi alternatif yang potensinya masih besar di Indonesia. Sehingga, adanya alternatif yang murah menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap BBM mampu diredam.

Akar Permasalahan Subsidi


Dalam berbagai diskusi soal BBM, para ekonom dan pejabat pemerintah tampak hanya fokus bagaimana mengurangi subsidi BBM, tanpa mencari akar persoalan. Mengapa pemerintah mensubsidi BBM? Alasan utamanya karena harga BBM yang diimpor ke Indonesia cukup tinggi, seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Sementara masyarakat sudah biasa dengan harga BBM yang ditetapkan (fixed) di harga rendah. Secara tidak sadar pemerintah telah memanjakan masyarakat dengan BBM subsidi.

Disatu sisi, pemerintah khawatir bila harga BBM dinaikkan, akan terjadi gejolak politik dalam negeri. Karena itu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sejauh ini mempertahankan subsidi BBM at all cost. Rencana atau niat mengurangi subsidi BBM, hanya sampai di mulut saja, tidak direalisasikan. Berbagai program direncanakan untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi, namun program-program tersebut hingga saat ini tidak terealiasi (contoh RIFD).

Besarnya dana atau anggaran subsidi BBM setiap tahun seharusnya membuat dan memaksa pemerintah untuk mencari jalan keluar mengurangi subsidi BBM, dan pada saat yang sama meningkatkan sumber energi non-fossil atau energi baru dan terbarukan.

Jokowi-JK telah secara tegas mengatakan akan mengurangi BBM subsidi dalam 4 tahun. Bila tidak melakukan apa-apa, maka harga BBM juga akan naik secara signifikan dalam 4 tahun tersebut. PR pemerintah baru nanti adalah bagaimana mengurangi subsidi BBM secara perlahan, dan pada saat yang sama melakukan berbagai terobosan mengoptimalkan sumber energi lain seperti gas bumi, panas bumi, dll.

Intinya, seluruh potensi sumber energi harus digarap dan didorong oleh pemerintah, termasuk minyak dan gas bumi. Seperti yang kita ketahui produksi minyak Indonesia merosot tiap tahun, dari 1,5 juta barel per hari tahun 1995, menjadi hanya sekitar 800,000 bph saat ini. Sementara konsumsi BBM mencapai 1,4 juta per hari. Itu berarti, Indonesia harus mengimpor sekitar 600,000 bph. Siapa yang diuntungkan? Tentu mafia impor. Tanpa bersusah-susah mencari cadangan minyak maupun gas, mereka atau importir menikmati keuntungan besar dari mengimpor minyak. Kita khawatir, pemerintah selama ini gagal atau tidak berani mengurangi subsidi BBM akibat tekanan dari mafia-mafia importir migas, yang punya kepentingan tersendiri agar Indonesia masih bergantung pada impor minyak.

Di satu sisi, ada perusahaan-perusahaan migas besar berani mengambil risiko dengan melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Sebetulnya, akar persoalan subsidi BBM di Indonesia adalah berkurangnya produksi minyak (dan gas) nasional. Padahal, bila produksi minyak meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, impor minyak akan berkurang dan konsekuensinya subsidi BBM dari anggaran pemerintah pun dapat dikurangi.

Karena itu, sebagai solusi jangka menengah-panjang mengurangi subsidi BBM adalah mengoptimalkan sumber daya (Migas) dari dalam negeri. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi, khususnya untuk eksplorasi migas. Bila cadangan meningkat, produksi juga akan meningkat. Dan bila produksi minyak dalam negeri meningkat, otomatis subsidi BBM juga berkurang dengan sendirinya. Semoga siapapun yang menang dalam Pilpres nanti, isu subsidi BBM ini harus segera dicari jalan keluarnya. (*)

Kamis, 13 Februari 2014

Tingkatkan Eksplorasi, Solusi Jangka Panjang Kurangi Ketergantungan Indonesia Terhadap Impor Minyak


Dalam sebuah seminar tentang teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) hari ini, para insinyur mengingatkan kembali kondisi industri minyak dan gas bumi Indonesia yang mengkhawatirkan. Yang paling dikhawatirkan adalah cadangan minyak yang kian menipis. Produksi minyak terus menurun, sementara tidak ada tambahan cadangan baru yang signifikan. Bila tidak ada tambahan cadangan maka, produksi minyak hanya akan bertahan hingga 10 tahun kedepan.

Apa konsekuensinya?  Pertama, Indonesia akan bergantung 100 persen terhadap impor minyak. Saat ini konsumsi minyak Indonesia mencapai sekitar 1,5 juta barel per hari (bph), sementara produksi dalam negeri hanya sedikit di atas 800.000 bph. Akibatnya, Indonesia mengimpor sekitar 500.000-600.000 bph. Kabar buruknya, volume impor diperkirakan akan terus naik karena permintaan dalam negeri terus meningkat, sementara produksi turun.

Produksi gas bumi memang masih cenderung stagnan, namun pada titik tertentu nanti akan berkurang. Disamping itu kondisi blok-blok migas Indonesia sebagian besar memasuki usia tua, seperti blok milik Chevron di Riau sera Blok Mahakam yang dioperasikan Total E&P di Kalimantan Timur. 

Melihat kondisi ini, tepat apa yang diingatkan oleh para insinyur tersebut untuk menerapkan teknologi EOR sebagai upaya mempertahankan produksi minyak dari blok-blok tua. Saat ini antara lain telah diterapkan oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) di lapangan tua Minas, Riau. Ada beberapa perusahaan migas juga sedang melakukan uji coba di beberapa lapangan migas. Penerapan teknologi dan investasi yang besar akan menentukan produksi blok-blok migas tua (ageing) dalam tahun-tahun mendatang.

Ironisnya, saat produksi minyak turun, pemerintah tetap memanjakan masyarakat dengan memberi subsidi BBM. Ratusan triliun dialokasikan setiap tahun untuk subsidi BBM. Masalahnya, subsidi BBM selama ini lebih banyak dimanfaatkan oleh konsumen kelas menengah atas serta industri besar. Banyak penyalahunaan subsidi BBM terjadi, tapi pemerintah tampak kesulitan mencegah terjadinya pelanggaran.

Tidak heran bila Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani hari ini berteriak bahaya subsidi BBM yang terlalu besar. Tantangan ekonomi Indonesia terbesar saat ini, katanya, adalah berkaitan erat dengan ketahanan energi. Ya, Ketahanan Energi. Pasalnya, di tengah penurunan produksi minyak mentah setiap tahun, kebutuhan terhadap minyak justru bergerak naik.

“Uang kita habis untuk BBM (bahan bakar minyak) subsidi. Harus ada efforts yang sistematis," ujarnya.

Tidak ada resep rumit untuk mengatasi penurunan produksi minyak dan gas bumi. Pemerintah sudah tahu persoalan utama, yakni lemahnya aktivitas eksplorasi migas. Mengapa? Penyebabnya, antara lain, ketidakpastian hukum dan usaha, birokrasi yang rumit sehingga investor enggan melakukan eksplorasi. Disamping itu, insentif eksplorasi yang dijanjikan pemerintah, khususnya untuk eksplorasi laut dalam, belum juga dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal masih banyak cekungan bumi yang belum eksplorasi.

Oleh karena itu, kita menyambut positif rencana beberapa perusahaan migas dunia untuk melakukan eksplorasi dalam waktu mendatang. Diantaranya, ENI, perusahaan minyak raksasa asal Italia, yang mengumumkan akan segera memulai eksplorasi di laut Makassar, lepas pantai Kalimantan Timur.

Disamping itu, Total E&P Indonesie juga diberitakan hari ini bahwa perusahaan asal Perancis itu akan mengalokasikan dana US$100 juta untuk eksplorasi di laut Mentawai, lepas pantai Sumatra Barat. Dana tersebut merupakan bagian dari rencana investasi tahunan Total, yakni sebesar US$2.4 miliar. Eksplorasi di Kepala Burung di Papua Barat sejauh ini belum memberi hasil positif. Kini perusahaan asal Perancis itu akan beralih ke Mentawai. Sebagian besar dana investasi tersebut akan dialokasikan untuk melakukan eksplorasi di Mentawai.

Masih ada perusahaan-perusahaan migas lain lagi yang saat ini atau di waktu mendatang akan melakukan eksplorasi. Langkah atau investasi untuk eksplorasi migas merupakan kunci peningkatan cadangan minyak Indonesia yang saat ini hanya sejumlah 3,7 miliar barel. Tanpa adanya tambahan cadangan, maka cadangan tersebut bakal habis dalam 10-12 mendatang. Karena itu, generasi ini bertanggungjawab untuk melakukan eksplorasi yang manfaatnya mungkin baru akan dirasakan oleh generasi berikutnya.

Kita berharap pemerintah terus meningkatkan iklim investasi dan menjamin kepastian usaha, sehingga investor migas tertarik untuk investasi di industri migas Indonesia. Menariknya, sebagian besar yang melakukan eksplorasi di lepas pantai serta laut dalam saat ini adalah perusahaan multinasional. Hal ini masuk akal karena kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan yang berisiko. Tingkat keberhasilannya hanya antara 10-30 persen. Artinya, risiko tidak menemukan cadangan lebih besar.

Mendorong eksplorasi migas harus menjadi program energi utama pemerintah. Tanpa ada cadangan baru, Indonesia bakal menghadapi krisis energi yang akut. Dan tidak ada yang menginginkan hal itu terjadi. (*)

Minggu, 29 Desember 2013

Awan Gelap Membayangi Industri Migas Indonesia di Tahun Politik



Memasuki tahun baru 2014, tampaknya awan masih akan menyelimuti bumi nusantara. Yang dikhawatirkan, para pelaku industri migas menahan rencana investasi mereka, sementara pemerintah Indonesia tidak mau mengambil risiko membuat keputusan-keputusan penting. Kita berharap para pelaku industri migas tetap berinvestasi dan menjalankan roda usaha seperti biasa, sementara pemerintah berani membuat keputusan-keputusan penting, termasuk kontrak blok migas, seperti Blok Mahakam. 

* * *
Dua hari jelang pergantian tahun, mendung menyelimuti sebagian besar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau dikenal Jabodetabek. Beberapa wilayah sudah diguyur hujan sejak pagi. Seperti Jabodetabek yang mendung, demikian juga kondisi industri minyak dan gas bumi selama tahun 2013. Dikhawatirkan mendung yang membayangi industri minyak dan gas bumi ini akan terus berlanjut pada tahun 2014, tahun politik saat Indonesia akan sibuk dengan agenda Pemilihan Umum, baik untuk memilih anggota legislatif maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Salah satu situasi yang memprihatinkan adalah tingkat produksi minyak yang terus turun. Pada tahun 2013, lifting minyak Indonesia hanya mencapai 826.000 barel per hari, dibawah target 830.000 bpd. Padahal target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut sudah direvisi dari sebelumnya 900.000 bph. 

Lifting minyak ini menunjukkan penurunan yang signifikan dari tahun sebelumnya. Pada 2012, realisasi produksi minyak mentah Indonesia sebesar 860.000 bph, dibawah target sebesar 930.000 bph yang ditetapkan dalam APBN. 

Pada tahun 2014, produksi minyak diperkirakan bakal menurun lagi, dengan asumsi belum ada tambahan produksi dari proyek-proyek pengembangan minyak yang ada, terutama dari Blok Cepu. Padahal, sebelumnya pemerintah menargetkan produksi minyak dapat meningkat ke atas 1 juta bph lagi bila Blok Cepu memasuki tahapan produksi puncak (peak production). 

Pemerintah sebelumnya berharap produksi Blok Cepu di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah itu, bakal mencapai peak production sebesar 165.000 bph pada 2014. Namun, berbagai hambatan teknis dan non-teknis, termasuk masalah pembebasan lahan, perizinan yang memakan waktu lebih dari yang diperkirakan, membuat produksi puncak Blok Cepu molor.

Pemerintah sendiri telah menetapkan target lifting minyak sebesar 870.000 bph pada 2014 nanti. Namun, sebagian anggota DPR maupun pengamat energi mengatakan target lifting minyak tersebut sulit dicapai.

Sementara itu, lifting gas bumi selama 2013, seperti yang diumumkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beberapa waktu lalu, mencapai 1.204.000 bph, di bawah target pemerintah sebelumnya sebesar 1.360.00 bph. 

Cadangan minyak Indonesia hanya sebesar 3,7 miliar barel, yang diperkirakan akan habis dalam 12 tahun mendatang, dengan asumsi tidak ada penemuan cadangan minyak yang baru. Cadangan gas bumi sebesar 152,89 triliun standar kaki kubik (standard cubic feet/tsfc). Dari jumlah itu, 104,71 tscf merupakan cadangan terbukti dan 48,18 tscf merupakan cadangan potensial.

Penurunan produksi atau lifting minyak dan gas bumi tersebut merupakan cermin buruknya pengembangan industri minyak dan gas bumi pada 2014. Produksi atau lifting yang menurun menunjukkan menurunnya investasi perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, baik untuk eksplorasi maupun untuk keperluan peningkatan produksi. 

Cukup banyak ranjau menghantui pelaku industri migas pada tahun 2013. Pelaku Indonesia maupun pemerintah sendiri mengakui masih adanya berbagai persoalan yang menghambat laju industri migas di Indonesia.  Beberapa faktor yang sering diutarakan oleh pelaku industri adalah faktor birokrasi dan perizinan yang rumit. Untuk membangun fasilitas produksi minyak dan gas bumi, dibutuhkan belasan dan bahkan puluhan perizinan yang perlu dikantongi oleh pelaku industri migas.

Faktor kedua adalah ketidakpastian hukum dan politik sehingga keputusan pemerintah dapat berubah-ubah, tergantung siapa yang berpengaruh pada pemimpin negara. Sebagai contoh, pembubaran BPMigas, badan pelaksana kegiatan industri hulu minyak dan gas bumi Indonesia, atas tuntutan sekelompok masyarakat, padahal badan itu merupakan buah dari sebuah Undang-Undang Migas yang dihasilkan oleh DPR, yang notabene dipilih oleh rakyat. Namun, pemerintah tidak hilang akal. Pemerintah kemudian membentuk lembaga pengganti yakni SKK Migas, yang memiliki tugas dan fungsi yang mirip, hanya statusnya sekarang langsung berada di bawah kontrol Kementerian ESDM.

Faktor lain adalah ketidakpastian kontrak blok-blok Migas yang kontraknya segera berakhir. Paling tidak ada 5-6 blok migas yang kontraknya akan berakhir dalam 5 tahun kedepan. Perusahaan migas, atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS), membutuhkan kepastian lebih awal mengenai nasib kontrak blok-blok migas karena itu akan mempengaruhi rencana investasi mereka. Dalam peraturan yang ada, pemerintah memberikan kesempatan kepada KKKS untuk mengajukan perpanjangan hingga 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Tentu ketentuan ini punya maksud, yakni investasi industri migas bersifat jangka panjang, apalagi blok-blok migas yang berskala besar, seperti Blok Mahakam.

Sinyal yang diberikan pemerintah sejauh ini tidak mengesankan. Sebagai contoh, Blok Siak dan Blok Kampar. Pemerintah baru membuat keputusan pada hari terakhir kontrak. Karena itu, pemerintah memberi kesempatan kepada operator lama untuk tetap beroperasi selama 6 bulan berikutnya, sebelum blok Siak diserahkan ke pemerintah.

Operator blok-blok migas berharap pemerintah membuat keputusan jauh sebelum kontrak berakhir. Idealnya, keputusan dibuat 3-5 tahun sebelum kontrak berakhir, sehingga operator punya cukup waktu untuk melakukan strategi kedepan, termasuk keputusan terkait investasi. Operator Blok Mahakam, Total E&P Indonesie telah mengajukan perpanjangan kontrak operatorship Blok Mahakam tahun 2007 dan pendekatan terus dilakukan oleh perusahaan tersebut. Namun, hingga kini pemerintah belum membuat keputusan. 

Sejauh ini, pemerintah telah menetapkan 3 opsi terkait pengembangan Blok Mahakam, yakni diperpanjang, tidak diperpanjang dan kolaborasi operator lama (Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex), dan mengakomodasi pemain baru, dalam hal ini Pertamina. Wakil Menteri ESDM sebelumnya mengatakan pemerintah masih membutuhkan operator lama dalam pengembangan Blok Mahakam selanjutnya. Apakah itu berarti pemerintah akan memilih opsi ketiga, hingga saat ini tidak diketahui secara pasti. Tarik menarik kepentingan politik dan transisi perubahan pemerintah yang sedang terjadi dapat berpengaruh pada keputusan pemerintah. 

Namun, bila melihat tingkat kerumitan dan kompleksitas Blok Mahakam, para pelaku industri dan pengamat menilai kolaborasi atau joint-operation – melibatkan operator lama dan pemain baru – merupakan solusi ideal bagi pengembangan Blok Mahakam selanjunya.  Selain, dapat mengurangi tingkat risiko, opsi tersebut dapat menjamin kelanjutan produksi Blok Mahakam dan bahkan produksi dapat dioptimalkan. Investasi besar yang telah direncanakan oleh operator sebesar US$7,3 miliar dalam 5 tahun kedepan dapat terealisasi.

Memasuki tahun baru 2014, tampaknya awan masih akan menyelimuti bumi nusantara. Yang dikhawatirkan, para pelaku industri migas menahan rencana investasi mereka, sementara pemerintah sendiri tidak mau mengambil risiko membuat keputusan-keputusan penting. Namun, kita berharap para pelaku industri migas dapat tetap berinvestasi dan menjalankan roda usaha mereka, sementara pemerintah tetap membuat keputusan-keputusan penting, termasuk kontrak blok migas, seperti Blok Mahakam. (*)

Selasa, 17 Desember 2013

Kilas Balik 2013, Industri Minyak dan Gas Indonesia Mencapai Titik Kritis



Anjungan migas lepas pantai
Tahun 2013 beberapa lagi akan berakhir dan kita akan memasuki tahun baru, tahun 2014. Sebelum beranjak ke 2014, ada baiknya kita menengok ke belakang, melakukan review atau kilas balik industri minyak dan gas bumi (migas), salah satu industri yang strategis bagi bangsa ini. Industri migas strategis tidak perlu diperdebatkan lagi karena industri ini menyumbang sekitar 30 persen pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Industri ini juga menjadi lokomotif bagi industri-industri pendukung migas dan industri lainnya. Jutaan tenaga kerja bekerja di industri migas, baik yang bekerja secara langsung di perusaan migas, nasional dan internasional, serta yang  tidak langsung. Satu kesimpulan yang muncul ke permukaan bahwa INDUSTRI MIGAS MENCAPAI TITIK KRITIS tahun 2013.

Ya, tidak salah. Tahun 2013 ini merupakan tahun kritis, tahun krisis, tahun yang tidak memuaskan. Mengapa demikian? Pertama, dalam hal kegiatan eksplorasi, tidak ada penemuan cadangan minyak dan gas bumi yang signifikan. Aktivitas eksplorasi minyak dan gas bumi, terutama di lepas pantai dan laut dalam tidak memberi hasil yang memuaskan. Perusahaan-perusahaan migas yang melakukan pengeboran, mencari cadangan baru, pulang dengan tangan kosong karena hanya menemukan sumur kering, sumur kosong a.k.a dryhole. Hanya segelintir perusahaan yang menemukan cadangan migas, yang nantinya dapat dikembangkan atau dikomersilkan.

Menurut siaran pers resmi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sebanyak 12 kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) minyak dan gas mencatat kerugiaan akumulasi hingga mencapai US$1,9 miliar atau Rp22 triliun akibat kegagalan mengeksplorasi 16 blok di laut dalam di Indoensia. Cadangan migas di blok-blok tersebut terbukti tidak ekonomis. Kerugian tersebut tidak bisa diklaim ke pemerintah Indonesia melalui skema cost recovery.

Perusahan-perusahaan migas yang gagal menemukan cadangan migas, antara lain Exxon Mobil Corp., Statoil ASA, ConocoPhillips, Talisman Energy Inc., Marathon Oil Corp., Tately NV, Japan Petroleum Exploration Co., CNOOC Ltd., Hess Corp., Niko Resources Ltd. dan Murphy Oil Corp. Seperti yang telah dilaporakan beberapa media, Hess Corp telah menjual aset-aset migasnya di Indonesia. Sementara, Niko Resources memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan eksplorasi/pengeboran laut dalam yang bersifat multi-years. Tentu ini merupakan berita yang tidak menguntungkan, tidak hanya perusahaan yang bersangkutan tapi juga bagi industri migas Indonesia.

Sesuai peraturan, bila cadangan migas tidak ditemukan, maka biaya yang telah dikeluarkan tidak bisa diklaim. Sementara kalau cadangan migas ditemukan dan bernilai ekonomis, maka perusahaan-perusahaan migas itu dapat mengklaim dana yang telah diinvestasikan selama masa eksplorasi ke pemerintah saat memasuki masa produksi di kemudian hari. Lagi-lagi, ini menunjukkan aktivitas eksplorasi merupakan kegiatan high-risk, berisko tinggi. Tidak salah bila dikatakan kegiatan eksplorasi merupakan sebuah gambling, bisa untung bisa rugi. Dan fakta telah menunjukkan, tingkat keberhasilan eksplorasi hanya berkisar antara 10-20 persen. Artinya, kemungkinan kegagalan justru jauh lebih besar, ketimbang kemungkinan keberhasilan.

Oleh karena itu, tidak heran bila perusahaan KKKS migas besar saja yang berani mengambil risiko investasi eksplorasi, yang sebagian besar merupakan perusahaan migas asing (international oil company/IOC). Tanpa perusahaan migas global bermodal besar dan berani mengambil risiko, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan tambahan cadangan minyak dan gas bumi. Padahal penemuan cadangan sangat vital bagi kelanjutan produksi atau sustainable production di masa datang.

Pesan dari situasi ini adalah bahwa Indonesia masih membutuhkan oil majors, atau perusahaan-perusahaan migas besar dunia, untuk mengembangkan industri migas nasional. Sejauh ini, produsen minyak terbesar Indonesia masih dipegang Chevron (CPI) sementara produsen gas terbesar adalah Total E&P Indonesia. Produksi gas nasional terbesar datang dari blok Mahakam, walaupun kondisi blok ini semakin tua, namun masih bersifat strategis. Produksi gas bumi dari Blok Mahakam menyumbang sekitar 80 persen kebutuhan gas pada fasilitas produksi Bontang, di Kalimantan Timur.  

Faktor krisis kedua industri migas adalah, faktor KETIDAKPASTIAN yang berakbiat pada penurunan produksi dan sepinya aktivitas eksplorasi dan pengembangan industri migas. Situasi ketidakpastian ini dengan jelas digambarkan oleh sebuah lembaga internasional ternama, Business Monitor International. Menurut laporan terbaru Business Monitor tentang Industri Minyak dan Gas Indonesia, meningkatnya ketidakpastian hukum dan usaha akibat kampanye nasionalisasi yang disponsori oleh pihak-pihak dan kepentingan tertentu yang berujung pada perubahan kebijakan pemerintah pada sektor sumber daya alam, termasuk industri minyak dan gas bumi. 

Ketiga, kasus gratifikasi yang melibatkan mantan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Kini Rudi telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini sedang ditelusuri KPK. Publik berharap kasus gratifikasi akan menjadi titik balik pengetatan praktik good corporate governance, baik di lembaga SKK Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pelaku industri migas dan industri-industri pendukung migas. 

Situasi krisis ini tentu membuat kita prihatin apalagi melihat kenyataan bahwa cadangan minyak kita akan habis 12 tahun lagi bila tidak ditemukan cadangan baru, dan gas bumi sekitar 30-40 tahun lagi. Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah terobosan. Pemerintah perlu mengirim sinyal ke investor migas bahwa Indonesia terbuka bagi investasi asing, khususnya di industri migas. Birokrasi, sistem perizinan, perlu disederhanakan. Kepastian hukum perlu diciptakan. Faktor ketidakpastian perlu dihilangkan, termasuk ketidakpastian perpanjangan blok-blok migas yang kontraknya akan habis. Perusahaan migas perlu diberi kepastian mengenai kelanjutan kontrak-kontrak migas yg akan berakhir, termasuk Blok Mahakam. Keputusan perlu dibuat dengan segera agar perusahaan-perusahaan migas dapat melakukan perencanaan investasi jauh-jauh hari. Investasi migas tidak dilakukan overnight. (*)