Tampilkan postingan dengan label Hatta Rajasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hatta Rajasa. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Juni 2014

Hatta Rajasa, Kasus KRL Impor dan Mafia Migas



Hatta Rajasa
 Selain sibuk keliling berkampanye Hatta Rajasa, calon wakil Presiden yang berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto harus berusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tanpa banyak diliput media, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dipanggil dan ditanyai KPK terkait kasus KRL hibah Jepang pada tahun 2006, saat dia menjabat sebagai menteri Perhubungan. Hatta dipanggil saat sebagian masyarakat menuntut pemerintah dan KPK untuk menelusuri dugaan keterkaitan Hatta Rajasa dengan mafia impor minyak.

Dalam kasus korupsi KRL impor ini, KPK telah menahan Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Soemino Eko Saputro. Baru-baru ini media-media Jepang mengangkat kasus ini dan mendapatkan bukti bahwa pejabat-pejabat tertentu Jepang telah memberi suap ke beberapa negara mitra dagang Jepang, termasuk Indonesia, terkait impor KRL.


Kasus korupsi ini berawal saat Jepang memberi bantuan kereta api listrik kepada Departemen Perhubungan tahun 2006-2007 dengan nilai proyek sebesar Rp 48 miliar. Diduga kerugian negara mencapai Rp 11 miliar. KPK menduga telah terjadi mark up dalam biaya transportasi pengiriman kereta api sebesar 9 juta Yen. Saat ini Hatta Rajasa dipanggil sebagai saksi, dan tidak menutup kemungkinan statusnya ditingkatkan, tergantung hasil pemeriksaan.

Pemanggilan Hatta Rajasa oleh KPK terjadi ketika pada saat yang sama berbagai kelompok masyarakat menuntut pemerintah dan KPK untuk menelusuri keterlibatan mantan menteri perhubungan ini dalam bisnis impor minyak, yang dikendalikan oleh mafia migas.

Sudah bukan rahasia lagi kalau bisnis impor minyak di Indonesia dikuasai mafia kakap. Mafia ini yang mengendalikan (Pertamina Trading Energy Ltd (Petral), anak perusahan Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan minyak. Petral memiliki tugas utama, yakni menjamin supply kebutuhan minyak yang dibutuhkan Pertamina/Indonesia dengan cara impor.

Bisnis impor minyak ini memang empuk dengan nilai sekitar Rp 300 triliun per tahun. Nama yang tidak asing lagi dibalik mafia migas ini adalah Muhammad Reza Chalid, yang sudah sering dimuat di media-media utama. Reza Chalid bahkan sudah dikenal sejak era Soeharto. Banyak pengamat menilai Reza Chalid sebagai seorang yang sangat powerful dan bisa menentukan dan mengatur berbagai transaksi impor minyak Indonesia.

Reza diyakini telah menguasai Petral selama puluhan tahun melalui kerjasama dengan broker-broker minyak seperti Orion Oil, Paramount Petro, Straits Oil, Cosmic Petroleum dan Supreme Energy yang berbasis di Singapura. Perusahaan-perusahaan ini terdaftar di negara bebas pajak Virgin Island.

Selama beberapa dekade rencana pemerintah untuk membangun kilang minyak selalu terhambat. Dan, berbagai pengamat, terhambatnya pembangunan kilang itu dihambat oleh mafia migas. Para mafia migas berkepentingan agar Indonesia terus bergantung pada BBM impor.

Hatta Rajasa diyakini sebagai tokoh yang berada di belakang Reza. Menurut Majalah Forum Keadilan, dalam menjalankan operasinya, Reza-Hatta melakuan segala cara. Hatta Rajasa disinyalir memiliki kedekatan dengan mafia minyak yang berbasis di Singapore, Mohammad Reza dari Global Energy Resources.

Tanggapan Hatta Rajasa

Dalam sebuah wawancara dengan koran The Jakarta Post, Hatta Rajasa mengakui bahwa ia dekat dengan Muhammad Riza Chalid, namun tidak memiliki hubungan bisnis dengan Reza Chalid.

Berikut petikan wawancara dengan koran berbahasa Inggris itu:

T: Anda kenal dengan pebisnis Muhammad Reza Chalid (yang diyakini sebagai broker BBM impor terbesar Indonesia)?

Hatta: Kenapa Anda menanyakan soal itu. Saya tidak punya hubungan bisnis dengan dia. Tapi, kami telah menjadi teman selama beberapa dekade.

T: Bagaimana Anda mengenal dia?

Hatta: Melalui Majelis Dzikir. Saya tahu dia memiliki bisnis impor minyak dan bahan bakar minyak, tapi tidak ada hubungan dengan saya. Mengapa Anda tidak menanyakan hal itu ke Pertamina? Kenapa tanya saya?


T: Apakah benar Reza memberikan sumbangan uang untuk keperluan kampanye Anda?

Hatta: Ngawur

T: Jadi bagaimana dengan dana kampanye Anda?

Hatta: Kebanyakan konglomerat dan pebisnis berada di kubu sebelah (Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla). Kami bahkan tidak punya iklan di koran. Kami tahu biaya beriklan di Kompas. Lihat saja koran-koran, hampir semua iklan adalah iklan kubu Jokowi. Karena itu, kami bergantung pada kader-kader kami untuk mendanai biaya kampanye.

Menarik untuk mengikuti bagaimana kelanjutan kasus KRL impor dan mafia migas ini. Kita berharap KPK akan menelusuri setiap kasus yang merugikan keuangan negara, tanpa pandang bulu. Seperti kata Hatta Rajasa saat debat Capres-Cawapres, “jangan sampai hukum di negara ini, tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah”. Artinya, hukum hanya berlaku bagi  orang-orang kecil tapi tidak berlaku bagi penguasa atau orang-orang yang punya power.


Disamping itu, pemerintah mendatang harus mengambil langkah tegas terhadap mafia migas. Bila perlu Petral dipindahkan ke Jakarta saja sehingga bisa dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah membuang uang ratusan triliun setiap tahun untuk mengimpor BBM, padahal yang untuk mafia. Lebih baik pemerintah fokus mendorong eksplorasi migas, sehingga produksi dalam negeri meningkat, tidak bergantung pada impor. Melanggengkan kehadiran mafia migas sama saja melanggengkan ketergantungan Indonesia pada impor minyak.

(*)

Kamis, 05 Juni 2014

Subsidi BBM, Produksi Migas Indonesia & Pemerintah Baru

Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa vs Jokowi-Jusuf Kalla
Dalam beberapa hari belakangan, isu bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali mencuat. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti mengatasi beban subsidi BBM yang membengkak tiap tahun. Tahun 2014 ini saja, subsidi BBM diperkirakan membengkak menjadi Rp 285 miliar triliun, dari Rp 210 triliun tahun lalu.

Dari berbagai pernyataan yang muncul dari dua kubu pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prahara) dan Jokowi Widodo (JKW)-Jusuf Kalla, mengakui subsidi BBM telah membelenggu APBN setiap tahun. Kubu Prabowo mengatakan BBM subsidi hanya dinikmati oleh orang berkecukupan (the haves) atau kelas menengah ke atas. Subsidi BBM tidak kena sasaran.

Demikian juga kubu Jokowi-Jusuf Kalla, tampaknya bertekad untuk menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Seperti yang diungkapkan oleh Jokowi, jika terpilih ia akan menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Menurut Capres yang diajukan oleh PDIP dan mitra koalisinya ini, bahwa pemotongan subsidi tidak harus berbanding lurus dengan kenaikan harga BBM. Banyak cara yang dilakukan, misalnya meningkatkan efisiensi, mendiversifikasi sumber energi dan lain.
Seperti yang dikatakan oleh Arif Budimanta, ketua Tim Ekonomi Jokowi-Jusuf Kalla, subsidi BBM memang harus dikurangi secara perlahan. Menurut dia, jika Jokowi-Kalla terpilih, maka mereka akan mengambil sikap mengurangi subsidi BBM dan dana subsidi tersebut dialihkan ke sektor lain, termasuk untuk membangun fasilitas umum dan infrastructure yang dapat mendongkrak penghidupan dan kehidupan masyarakat.

Salah satu anggota tim sukses pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, Drajad Wibowo, mengatakan bahwa prioritas utama adalah tidak menaikkan harga BBM subsidi bagi masyarakat. Langkah yang dilakukan adalah mengurangi subsidi BBM khusus orang kaya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengenaan instrumen pajak atau cukai tambahan bagi masyarakat mampu yang menggunakan BBM bersubsidi.

Sementara itu, tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla, Darmawan Prasojo dalam kesempatan berbeda, mengungkapkan, pasangan yang diusungnya akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan.

Pengurangan subsidi BBM tersebut dilakukan seiring dengan pengembangan energi alternatif yang potensinya masih besar di Indonesia. Sehingga, adanya alternatif yang murah menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap BBM mampu diredam.

Akar Permasalahan Subsidi


Dalam berbagai diskusi soal BBM, para ekonom dan pejabat pemerintah tampak hanya fokus bagaimana mengurangi subsidi BBM, tanpa mencari akar persoalan. Mengapa pemerintah mensubsidi BBM? Alasan utamanya karena harga BBM yang diimpor ke Indonesia cukup tinggi, seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Sementara masyarakat sudah biasa dengan harga BBM yang ditetapkan (fixed) di harga rendah. Secara tidak sadar pemerintah telah memanjakan masyarakat dengan BBM subsidi.

Disatu sisi, pemerintah khawatir bila harga BBM dinaikkan, akan terjadi gejolak politik dalam negeri. Karena itu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sejauh ini mempertahankan subsidi BBM at all cost. Rencana atau niat mengurangi subsidi BBM, hanya sampai di mulut saja, tidak direalisasikan. Berbagai program direncanakan untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi, namun program-program tersebut hingga saat ini tidak terealiasi (contoh RIFD).

Besarnya dana atau anggaran subsidi BBM setiap tahun seharusnya membuat dan memaksa pemerintah untuk mencari jalan keluar mengurangi subsidi BBM, dan pada saat yang sama meningkatkan sumber energi non-fossil atau energi baru dan terbarukan.

Jokowi-JK telah secara tegas mengatakan akan mengurangi BBM subsidi dalam 4 tahun. Bila tidak melakukan apa-apa, maka harga BBM juga akan naik secara signifikan dalam 4 tahun tersebut. PR pemerintah baru nanti adalah bagaimana mengurangi subsidi BBM secara perlahan, dan pada saat yang sama melakukan berbagai terobosan mengoptimalkan sumber energi lain seperti gas bumi, panas bumi, dll.

Intinya, seluruh potensi sumber energi harus digarap dan didorong oleh pemerintah, termasuk minyak dan gas bumi. Seperti yang kita ketahui produksi minyak Indonesia merosot tiap tahun, dari 1,5 juta barel per hari tahun 1995, menjadi hanya sekitar 800,000 bph saat ini. Sementara konsumsi BBM mencapai 1,4 juta per hari. Itu berarti, Indonesia harus mengimpor sekitar 600,000 bph. Siapa yang diuntungkan? Tentu mafia impor. Tanpa bersusah-susah mencari cadangan minyak maupun gas, mereka atau importir menikmati keuntungan besar dari mengimpor minyak. Kita khawatir, pemerintah selama ini gagal atau tidak berani mengurangi subsidi BBM akibat tekanan dari mafia-mafia importir migas, yang punya kepentingan tersendiri agar Indonesia masih bergantung pada impor minyak.

Di satu sisi, ada perusahaan-perusahaan migas besar berani mengambil risiko dengan melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Sebetulnya, akar persoalan subsidi BBM di Indonesia adalah berkurangnya produksi minyak (dan gas) nasional. Padahal, bila produksi minyak meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, impor minyak akan berkurang dan konsekuensinya subsidi BBM dari anggaran pemerintah pun dapat dikurangi.

Karena itu, sebagai solusi jangka menengah-panjang mengurangi subsidi BBM adalah mengoptimalkan sumber daya (Migas) dari dalam negeri. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi, khususnya untuk eksplorasi migas. Bila cadangan meningkat, produksi juga akan meningkat. Dan bila produksi minyak dalam negeri meningkat, otomatis subsidi BBM juga berkurang dengan sendirinya. Semoga siapapun yang menang dalam Pilpres nanti, isu subsidi BBM ini harus segera dicari jalan keluarnya. (*)

Minggu, 18 Mei 2014

Pemilihan Presiden 2014: Jokowi-Jusuf Kalla vs Prabowo-Hatta Rajasa, Golkar & PD Galau



Setelah beberapa minggu melobi sana-sini, pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mulai terang benderang. PDIP sebagai pemenang dengan jumlah suara terbanyak serta partai-partai yang telah bergabung, Nasdem, PKB dan Hanura tadi malam (18 Mei) telah sepakat untuk mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla (JK) sementara Gerindra yang berada di posisi ke-3 dalam Pemilihan Legislatif lalu dan partai pendukungnya PKS dan PPP hampir pasti akan mengusung Prabowo Subianto (PS) sebagai Calon presiden dan Hatta Rajasa sebagai calon Wakil Presiden.


Ditengah derasnya kritikan terhadap Prabowo terkait dugaan keterlibatannya terhadap kasus penculikan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) jelang krisis moneter dan politik 1997-1998, Prabowo maju dan melobi berbagai partai untuk mengusungnya sebagai Calon Presiden. Dari berbagai partai yang dilobi, hanya PKS yang nyaris tenggelam akibat kasus korupsi sapi impor yang melibatkan mantan presiden PKS Luthfie Hasan, Partai Amanat Nasional (PAN) serta PPP yang sudah secara terbuka mendukung pencapresan Prabowo. PPP pun pada akhirnya tidak punya pilihan kecuali mendukung Prabowo setelah sempat terjadi pertarungan internal, termasuk saling memecat antara pimpinan partai.  


ARB-SBY??
Bagaimana dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat? Apakah akan ada poros ketiga? Dalam seminggu terakhir muncul ke permukaan bakal ada poros ke-3, yang dimotori oleh Partai Demokrat. Capres dan Ketua Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) sempat bertemu dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membahas kemungkinan dibentuknya poros ketiga. Namun, tampaknya upaya tersebut terbentur antara siapa yang jadi Capres dan Cawapres. Media-media sempat memunculkan pasangan ARB sebagai Capres dan Pramono Edhie sebagai Wakil Presiden. Anehnya, Pramono Edhie bukanlah pemenang Konvensi Partai Demokrat. Justru yang menjadi pemenang adalah Dahlan Iskan, yang diklaim menjadi yang paling populer dibanding 10 bakal capres lain berdasarkan survei.


Lalu bagaimana dengan nasib pemenang konvensi Partai Demokrat? Itu ibarat berlomba untuk menjadi juara, tapi hadiah yang dijanjikan tidak diberikan. Itulah politik. Terkadang dan lebih sering terjadi rencana tidak berjalan sesuai rencana. Pemenang Konvensi Partai Demokrat dijanjikan akan diberikan ‘boarding pass’ untuk menjadi Capres Partai Demokrat tapi boarding pass itu tak dapat diberikan oleh Partai Demokrat karena partai tersebut gagal dalam Pileg 9 April lalu. Partai ini (PD) hanya memperoleh suara sekitar 10 persen, sehingga tidak dapat mengusung Capres sendiri. PD membutuhkan partai-partai lain agar bisa memenuhi persyaratan 20% suara agar dapat mengusung Capres sendiri. Sebelumnya PD sempat diisukan bakal bergabung dengan Golkar atau sebaliknya, tapi hingga hari ini tidak terjadi atau belum terjadi. Salah satu skenario yang mungkin terjadi PD dan Golkar hanya sebagai penonton saja dalm Pilpres nanti. TRAGIS MEMANG, bila itu terjadi!. Partai pemenang Pemilihan Presiden dua kali (2004 dan 2009) gagal mengajukan Capres.


Lain lagi kisah ARB, seorang tokoh partai dan pemilik Bakrie Group, ini tampak kebingungan, antara Mencapreskan diri sendiri, bergabung dengan PD, Prabowo atau Jokowi. ARB sempat terbang ke Bojongkoneng, ‘istana’ Prabowo dengan helicopter, sehingga sempat memunculkan isu koalisi helicopter. Tapi akhirnya, tidak terjadi deal apa-apa. ARB juga sempat bertemu Jokowi dan Megawati Soekarnoputri. Entah apa yang dibahas atau proposal yang diajukan ARB, tidak jelas. Sempat muncul berita bahwa ARB mungkin menjadi calon Wakil Presiden Jokowi, tapi tidak terjadi. 


Rapat Pimpinan Nasional (Rampimnas) Golkar hanya mengkonfirmasi ARB sebagai Capres atau Cawapres, tidak ada figur baru yang dimunculkan secara formal oleh partai Golkar. Kemungkinan terburuk, Golkar bakal hanya menjadi penonton saja dalam Pilpres 9 Juli nanti. 


Namun, politik bisa berubah dalam hitungan detik. Bisa saja ARB atau partai Demokrat membuat keputusan last miniture, dengan membuat poros baru. Masih tersisa sedikit waktu. Kemungkinan lain, Golkar merapat ke PDIP tanpa menuntut kursi Cawapres, hanya sebagai partai pendukung. PD, bila melihat pernyataan ketua partai PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bisa jadi PD akan menjadi dirinya sendiri, dalam arti berada di luar pemerintahan, dan menjadi partai diluar pemerintah atau semacam partai oposisi. 


Akan halnya Jokowi dan Jusuf Kalla, tentu ini telah melalui proses pembahasan internal PDIP serta diskusi dengan mitra PDIP, yakni Nasdem, PKB dan Hanura. Sebelumnya ada lima nama yang dimunculkan, kemudian menyusut menjadi 2 orang (yakni Jusuf Kalla dan Abraham Samad), tapi pada akhirnya JK yang diputuskan menjadi pendamping Jokowi. JK dianggap layak mendampingi Jokowi karena keduanya dapat saling melengkapi. Jokowi dan Jusuf Kalla merupakan paduan antara sosok populer di mata rakyat dan sosok yang berpengalaman dan tokoh lintas partai, lintas agama, lintas suku, dengan jangkauan internasional tentu memberikan nilai plus pada pasangan ini. Publik Indonesia tahu keberhasilan SBY pada masa pemerintahan 2004-2009, tak terlepas dari kontribusi JK, yang tegas, cepat bertindak dan sosok yang result-oriented. Walaupun usia JK sudah tidak muda lagi, namun ia masih aktif seperti yang ia tunjukkan saat menjadi ketua PMI. 


JK juga merupakan sosok yang masih dikagumi di internal Golkar, dan bisa jadi bila Jokowi-JK menang Pemilu, bisa jadi fraksi-fraksi internal Golkar akan mendorong pergantian ketua Golkar dan memilih sosok yang akan mendukung JK, sama seperti skenario 2004 lalu. Golkar akhirnya merapat ke partai pemenang pemilu. 


Saat ini masyarakat Indonesia menatap Pilpres 9 Juli nanti. Masyarakat kini menanti visi, misi dan program-program konkrit yang akan ditawarkan oleh masing-masing pasangan Capres-Cawapres. Masyarakat merindukan perubahan. Masyarakat kini tidak lagi membutuhkan pemimpin yang authoritarian, rejim militer atau penguasa yang otoriter, tapi sosok pemimpin yang fresh, yang mendambakan pemimpin yang melayani rakyatknya, memberi yang terbaik bagi rakyatknya, seorang pemimpin yang dapat mengayomi masyarakat Indonesia yang majemuk dari Sabang sampai Merauke, sosok pemimpin yang bukan pendendam, sosok pemimpin yang tidak emosional, sosok pemimpin yang lebih banyak bertindak dengan karya nyata, bukan dengan slogan-slogan yang sekadar menjual tapi sulit dan tidak mungkin diterapkan. 


Kita berharap Pemilihan Presiden akan berjalan lancar, tidak terjadi gontok-gontokan di lapangan, bebas kerususuhan, bebas dari saling caci-maki, saling menjatuhkan melalui black campaign. Kampanye negatif mungkin sah-sah saja, tapi black campaign yang tidak berdasarkan fakta, melakukan pembohongan publik tidak sehat bagi kemajuan demokrasi kedepan. Pihak-pihak yang melancarkan black campaign bakal menjadi bumerang bagi sang calon. Lebih baik para Capres dan Cawapres fokus pada diri sendiri dan fokus pada apa yang mereka bisa tawarkan bagi kemajuan Indonesia kedepan, bukan fokus pada apa yang dilakukan lawan politik. Semoga!!

Rabu, 16 April 2014

Menakar Kekuatan Opsi Pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Jusuf Kalla



Majalah Tempo edisi April 30-6, Mei 2012 masih tergeletak meja saya dengan cover cukup menarik, ada gambar atau sosok bakal calon presiden (Capres) yang membelakangi kamera, dengan judul di bawahnya ‘Berpacu untuk RI-1’. Menari untuk melihat ke belakangan bagaimana persepsi publik dan media 2 tahun lalu dan sesaat setelah pemilihan legislatif. Majalah tersebu mengedepankan 5 sosok yang bakal bersaing dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun ini (9 Juli), yaitu Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Mahfud MD, Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto. Dari lima sosok tersebut ada tiga orang yang menjadi ketua partai, yaitu Ical, Hatta Rajasa dan Prabowo Subianto. Dua lagi merupakan tokoh publik – Kalla sebagai ketua PMI dan Mahfud MD sebagai ketua MK saat itu. 

Saya mencoba menelusuri laporan tersebut dari awal hingga akhir. Menariknya nama Joko Widodo (Jokowi) tidak ada dalam daftar atau sosok yang diperbincangkan atau diprediksi saat itu. Melihat hasil Pileg 9 April lalu dan menyimak dinamika politik beberapa hari terakhir, ARB (Aburizal Bakrie) dan Gerindra bakal diajukan secara resmi sebagai calon Presiden, dan satu sosok lagi, yaitu Jokowi akan diajukan secara resmi sebagai calon Presiden dari Partai pemenang Pemilihan Legislatif PDIP, yang didukung oleh partai lain. 

Sejauh ini, baru Nasional Demokratik (Partai Nasdem) yang secara resmi mendukung atau memberikan suaranya untuk mendukung Jokowi sebagai Presiden. Sebetulnya, bila angka/persentase quick count sejalan dengan real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejalan, maka PDIP sudah cukup untuk mencalonkan Jokowi sebagai Presiden. Namun, tampaknya PDIP dan elit partai tersebut serta Jokowi masih terus melobi partai-partai lain untuk ‘bekerjasama’ membentuk “Kabine Kerja” bila terpilih nanti. 

Saat ini publik masih menanti-nanti dan mencoba meraba-raba siapa yang bakal menjadi calon Wakil Presiden (Cawapres) untuk mendampingi Jokowi. Berbagai nama muncul di permukaan, di antaranya Jusuf Kalla, ketua PMI yang juga mantan Wakil Presiden, Mahfud MD, mantan ketua MK, Muhaimin Iskandar (Menaker), Hatta Rajasa (Ketua PAN yang juga Menteri Koordinator Perekonomian), dan Ryamizard Ryacudu, dan Panglima TNI Jenderal Moeldoko.  Elit PDIP dan Jokowi sendiri mengatakan telah mengantongi 5 nama sabagai kandidat Cawapres Jokowi, namun tidak atau belum diumumkan ke publik.

Namun, dari berbagai sumber internal PDIP yang saya peroleh, nama Jusuf Kalla muncul sebagai calon kuat untuk mendampingi Jokowi. Dan tentu ini belum final mengingat kondisi atau dinamika politik masih sangat cair (fluid) yang bisa saja berubah dari waktu ke waktu. 

Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo hanya memberikan kriteria Cawapres Jokowi tanpa mau menyebut nama. Pertama, orang yang bisa bekerja sama dengan Jokowi selama lima tahun. Kedua, memiliki komitmen. Ketiga, siap melaksanakan program prorakyat dan mengimplementasikan trisakti Bung Karno, keempat mampu memperkuat sistem presidensial dan kelima, mendukung program pro-rakyat Jokowi.

Seberapa jauh prospek dan kekuatan pasangan Jokowi-JK, bila benar-benar diajukan oleh PDIP dan mitranya? Bila kita melihat sosok Jokowi, ia memiliki kekuatan tapi juga pengalaman. Kekuatan Jokowi ada pada karakternya. Sejak ia menjadi Wali Kota Solo hingga menjadi Gubernur DKI saat ini, karaker yang menonjol adalah kesederhanaan, kejujuran dan jiwa kepemimpinan yang melayani (servant of the people). 

Tahun lalu saat saya mengunjungi Solo untuk suatu tugas, saya sempat berbincang-bincang dengan tukang becak, pemilik warung, dan pengelola hotel. Bagi mereka, Jokowi adalah sosok pemimpin yang unik, yang merakyat. Saat menjadi Walikota Solo, ia hanya bertahan sekitar 1 jam di kantor, dan selebihnya berada di luar kantor, blusukan kemana-mana. Ia bukan tipe pemimpin yang hanya duduk di belakang meja dan menerima laporan ABS (asal bapa senang) dari bawahannya, tapi ia tipe pemimpin yang suka hands-on-the job, yang ingin tanyan kotor bersih-bersih sampah, berbaur langsung dengan masyarakat.  Tidak hanya itu, sistem birokrasi juga ia rombak, tanpa banyak bicara, sehingga tidak heran beberapa kali Kota Solo menerima penghargaan dari BPK karena laporan keuangan yang bagus.

Di Jakarta, tidak sulit untuk menemui Jokowi karena hampir tiap hari dan bahkan akhir pekan pun ia blusukan kemana-mana. Ia seolah memunculkan gaya pemimpin baru yang menyegarkan di Indonesia, yakni menjadi pelayan publik (servant of the people). Beruntung, Jokowi juga memiliki Wakil Gubernur yang memiliki komitmen yang sama untuk membangun sebuah pemerintahan yang berorientasi melayani masyarakat, dalam diri Basuki T Purnama atau Ahok. Keduanya memang memilik karakter yang berbeda, Jokowi yang lembut, rendah hati, jujur, pendengar baik, sementara Ahok sosok yang keras dan tidak sungkan-sungkan bersuara keras menegur bawahannya. Namun, keduanya saling melengkapi.

Jokowi bukan tidak punya kelemahan. Salah satunya adalah kurang berpengalaman. Ini tidak mengherankan karena sosok Jokowi melesat sangat cepat di belantara perpolitik nasional dalam dua tahun terakhir. Bahkan, majalah terbesar nasional Tempo dan media-media nasional pun belum menyebut nama Jokowi sebagai calon Presiden dua tahun lalu. Jokowi datang dari akar rumput, sosok sederhana yang lahir di desa/daerah, yang mewakili masyarakat akar rumput. Maka Jokowi tahu persis apa yang menjadi persoalan masyarakat akar rumput. Gaya kemempinan merakyat tersebut merupakan kekuatan Jokowi, tapi di satu sisi ia masih perlu meningkatkan kompensi dia sebagai pemimpin nasional (kompetensi). 

Indonesia saat ini banyak orang pintar, punya kemampuan tapi minus kejujuran, minus kesederhanaan, minus kerendahan hati untuk mendengar aspirasi dari bawah. Maka munculnya sosok Jokowi yang dicintai rakyatnya memberikan kesegaran baru bagi panggung politik dan kekuasaan nasional. Dari sisi kompetensi, calon presiden lain Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie memiliki kompetensi, tapi mereka juga punya kekurangan. PS dikait-kaitkan dengan isu HAM saat transisi politik tahun 1997-1998 dan Bakrie disandra oleh kasus Lumpur Sidoarjo (Lusi). Keraguan juga muncul karena bila ia (ARB) menjadi Presiden, dikhawatirkan akan memberikan favoritism pada group usahanya. 

Jokowi? Ia tidak punya perusahaan. Kalaupun ada, hanya sebuah perusahaan furnitur. Karena itu, masyarakat Indonesia saat ini mendambakan dan mengharapkan seorang sosok, figur baru yang dapat memberikan penyegeran dan pembaharuan di segala bidang, termasuk di birokrasi. Kelemahan Jokowi hanya ada pada pengalaman dalam menjadi pemimpin nasional. Namun, kepercayaan rakyat akan menjadi kekuatan bagi dia untuk pemimpin dengan karakter yang ia miliki. 

Karena itu, tidak mengherankan bila kemudian muncul sosok Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi dalam Pilpres nanti. Dari sisi chemistry, tidak sulit bagi JK untuk bekerja sama dengan Jokowi karena keduanya sudah beberapa kali bertemu. Sama seperti Jokowi, JK juga adalah tipe pemimpin yang bekerja. Tidak sulit juga bagi Jokowi untuk bekerjasama karena ia seorang pemimpin yang suka mendengar, bukan one man show leader seperti Capres lain.

Saya setuju dengan pendapat pengamat politik Universitas Indoensia, Arbi Sani, bahwa Joko Widodo harus menggandeng politisi senior Golkar yang juga Wapres 2004-2009, Jusuf Kalla. Hanya faktor yang masih perlu dipertimbangkan adalah faktor umur JK, namun keraguan tersebut bakal terbantahkan melihat kesibukan JK saat memimpin PMI hingga saat ini. Pepatah old soldier never die pas disematkan ke pundak JK. JK sosok yang pas untuk mengimbangi Jokowi. Jokowi memiliki keunggulan yang dibanding Capres lainnya, namun ia masih tergolong hijau dari sisi pengalaman dalam memimpin pemerintahan dalam skala nasional. Dan, kekurangan tersebut dapat diisi oleh sosok seorang Jusuf Kalla. (*)

Kamis, 10 Oktober 2013

Ketahanan Energi Indonesia dan Pandangan Para Calon Presiden




Sebuah Platform Migas Lepas Pantai
Isu mengenai ketahanan energi (energy security) menjadi salah satu agenda dalam pertemuan puncak para kepala negara yang tergabung dalam forum APEC 2013 di Bali awal minggu ini. Para kepala negara menyadari ketahanan energi, disamping ketahanan pangan, menjadi salah satu isu penting yang perlu diatasi. Isu ketahanan energi seharusnya menjadi salah satu isu penting yang perlu diagendakan oleh para calon presiden yang akan bertempur pada pemilihan umum tahun 2014.


Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar mengakui ketahanan energi Indonesia masih lemah. Ia menuturkan Indonesia mengidap ‘penyakit’ tiga L, lemah karena ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) sehingga menyebabkan transaksi berjalan defisit. Kedua, lemah dalam ketahanan fiskal. Akibat konsumsi BBM bersubsidi yang tinggi, ketahanan fiskal digerogoti. Ketiga, terkait ketergantungan pada harga internasional.


Di Indonesia sendiri, ketahanan energi masih rentan. Pasokan bahan bakar minyak (BBM) saja hanya rata-rata 21 hari. Gangguan distribusi dan suplai serta harga minyak dunia yang melonjak mengancam ketahanan energi Indonesia dari waktu ke waktu. Persoalan ketahanan energi kita tak hanya pada sisi hilir, tapi juga pada sisi hulu. Bahkan masalah di sisi hulu menuntut keseriusan pemerintah untuk mengatasi persoalan di sektor hulu migas.


Persoalan mendasar pada sisi hulu migas adalah produksi minyak yang terus terun dalam dekade terakhir. Produksi gas cenderung stabil tapi terancama menurun pada tahun-tahun mendatang bila tak ada upaya keras dari pemerintha untuk meningkatkan investasi, khususnya pada aktivitas pencarian cadangan minyak dan gas baru. Investasi untuk eksplorasi dalam beberapa tahun terakhir tidak menggembirakan. Dan ini sudah diakui oleh pemerintah dan pelaku industri. Salah satu masalah yang sering mengemuka adalah iklim investasi yang tidak mendukung serta birokrasi yang njelimet sehingga terkadang menyurutkan niat dan langkah investor migas untuk berinvestasi.


Disamping itu, investasi untuk eksplorasi migas kian mahal dan berisiko karena sebagian besar blok Migas Indonesia saat ini berlokasi di lepas pantai dan berada di daerah yang terpencil (remote areas). Dibutuhkan nyali besar para investor migas untuk berinvestasi dan keberanian untuk mengambil risiko. Risiko investasi untuk eksplorasi memang terbilang tinggi karena tingkat keberhasilannya Cuma sekitar 10-20 percent. Bila menemukan cadangan minyak dan gas maka akan untung, bila tidak menemukan cadangan atau potensi cadangan, maka uang yang telah diinvestasikan menguap a.k.a. hilang, tidak bisa diganti atau diklaim ke pemerintah melalui skema cost recovery.


Lalu apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah hasil Pemilu 2014? Kita belum banyak mendengar pandangan para calon Presiden terkait program ketahanan energi ataupun pandangan atau rencana mereka terhadap industri energi, khususnya minyak dan gas. Publik sejauh ini hanya meraba-raba atau mengira-ngira kira-kira apa yang akan dilakukan oleh pemerintah baru hasil pemilu?


Apa pandangan Partai Demokrat terkait ketahanan energi? Sebagai partai incumbent, sebetulnya tidak sulit kita membaca arah kebijakan Partai Demokrat. Di atas kertas, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menyadari pentingnya ketahanan energi bagi Indonesia. SBY, dalam beberapa kesempatan, termasuk dalam forum APEC di Bali menyatakan komitmen Indonesia terhadap masuknya investasi asing ke Indonesia, termasuk investasi untuk mengembangkan sektor energi tentunya.


Kenyataannya, masih banyak persoalan energi yang dihadapi Indonesia dibawah pemerintahan SBY, mulai dari masih tingginya ketergantungan pada impor, investasi migas yang cenderung melambat khususnya eksplorasi, produksi minyak yang menurun, program-program pengembangan infrastruktur energi yang lamban. Intinya, masih ada jurang antara rencana, komitmen, program dan kebijakan dengan kenyataan atau realitas di lapangan. Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru nanti, khususnya untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia.


PDIP sebagai partai yang pernah berkuasa belum banyak bicara soal ketahanan energi. Bila Megawati Soekarnoputri yang akan dicalonkan menjadi presiden dari PDIP, publik paling tidak punya gambaran terkait kebijakan energi partai itu. Sebagai partai yang pernah berkuasa publik punya catatan negatif terkait energi. Indonesia menjual LNG dari Tangguh proyek ke China dengan harga murah saat Presiden Megawati berkuasa. Bisa jadi ini akan diungkit oleh lawan-lawan politik PDIP untuk menyerang kebijakan energi partai tersebut. Namun, bila PDIP mendorong Jokowi menjadi calon Presiden, persepsi publik mungkin akan berubah dan ingin mengetahui lebih jauh kebijakan energi Jokowi.


Publik juga belum banyak mendengar mengenai program terkait energy (energy policy) partai-partai lain seperti Golkar, PDIP, PSK, Hanura atau partai-partai lainnya. Golkar yang diketuai oleh Aburizal Bakrie sebetulnya bukan awam terhadap masalah energi. Beberapa anak perusahaan Group Bakrie bergerak di sektor energi seperti PT Energi Mega Persada. Namun, Bakrie punya catatan hitam terkait energi, yakni masalah lumpur Lapindo yang kini masih terus dipersoalkan publik. Salah satu perusahaan afiliasi Bakrie diduga menjadi pemicu muntahnya lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebagai pebisnis yang menjadi politisi Aburizal Bakrie mestinya sangat paham tentang pentingnya ketahanan energi. Sebagai mantan ketua Kadin yang pro-bisnis, kita bisa menduga Bakrie akan pro-investasi. Namun, seperti apa program Golkar terkait energi, sejauh ini masih belum jelas.


Barangkali satu-satunya calon presiden yang memiliki visi yang jelas terkait ketahanan energi (energy security adalah Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Hal ini bisa dimaklumi karena Prabowo sendiri memiliki perusahaan energi, yakni Nusantara Energy, yang tentu sangat paham pentingnya ketahanan energi. Prabowo tampak mengetahui dan memahami akar persoalan energi yang dihadapi Indonesia saat ini, yakni ketergantungan pada impor. Sementara pada sisi lain, investasi untuk eksplorasi rendah. Karena itu, tidak mengherankan bila baru-baru ini Prabowo mengkritik pemerintah terkait kegagalan serta rendahnya perhatian pemerintah untuk mendorong investasi eksplorasi. Disamping itu, Prabowo juga dengan tegas mengkritik upaya sebagian kelompok masyarakat untuk menasionalisasi aset migas. Menurut dia, ini hanya persoalan pemahaman saja. Yang terutama adalah bekerja untuk kepentingan nasional dan semangat nasionalisme, bukan menasionalisasi.


Kita berharap para calon presiden dan partai-partai yang akan bertempur pada Pemilu 2014 akan menempatkan isu ketahanan energi ini menjadi salah satu isu utama. Tentu kita berharap akan terjadi perdebatan yang sehat, bukan manipulasi isu sekadar untuk menarik simpati publik. Ketahanan energi adalah isu yang sangat penting bagi kemajuan bangsa. Tanpa itu, ekonomi Indonesia dapat terancam dari waktu ke waktu.


Profil Kebijakan Energi Para Calon Presiden:


Prabowo Subianto (Gerindra)

Prabowo Subianto: Prabowo Subianto baru-baru ini mengatakan dia tidak setuju dengan nasionalisasi aset migas (gaya Chaves). Seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo tampaknya mendukung investasi asing untuk mempertahankan produksi minyak dan gas, namun, berbeda dengan Presiden Yudhoyono, Prabowo ingin fokus pada investasi untuk eksplorasi migas. Prabowo mengkritik kegagalan pemerintah saat ini untuk mendorong investasi untuk eksplorasi migas.

Poin Kebijakan Energi: 8/10




Aburizal Bakrie (Golkar)

Aburizal Bakrie, seorang pelaku bisnis melalui group Bakrie, yang kemudian terjun ke politik tampaknya akan pro-bisnis dan pro-investasi. Maksudnya, kepentingan bisnisnya kemungkinan akan diprioritaskan. Investor bisa jadi akan nervous bila Bakrie menjadi presiden, yang sejauh ini kemungkinannya (menjadi presiden) kecil. Golkar kemungkinan akan berjuang untuk fokus pada pemilihan parlemen (legislative election) agar tetap bisa menjaga keseimbangan politik seperti yang dilakukan saat ini. Namun, Bakrie sebagai pelaku bisnis punya catatan buruk yakni terkait kasus lumpur Lapindo.

Poin Kebijakan Energi: 3/10



Megawati Soekarnoputri (PDIP)

Saat ini PDIP belum menetapkan siapa yang bakal menjadi calon Presiden partainya. Kita asumsikan ketua partai Megawati Soekarnoputri masih berpeluang untuk dicalonkan. Siapapun yang akan dicalonkan pengaruh Megawati masih akan besar. Namun, publik punya catatan terhadap Megawati. Saat menjadi Presiden, Mengawati dihadapkan pada tantangan berat yakni melakukan reformasi birokrasi dan menghapus praktik-praktik korupsi yang telah merajalela, termasuk di sektor minyak dan gas bumi. KPK pun dibentuk. Tapi ia dinilai gagal.

Nilai Kebijakan Energi: 2/10



Joko Widodo (PDIP & Dijagokan oleh Partai-Partai Lain)

Jokowi saat ini menjadi tokoh yang disukai oleh publik dan menjadi media darling. Peluang Jokowi menjadi Presiden sangat besar, dengan catatan Megawati tidak ego dan menghalangi jalan Jokowi menjadi Presiden. Walaupun prestasi yang dicapainya dalam waktu singkat saat menjadi Gubernur DKI Jakarta mengagumkan, prestasi Jokowi di tingkat nasional belum terbukti dan belum diketahui pandangan dan kebijakan dia terkait industri minyak dan gas.

Nilai Kebijakan Energi: ?/10




Hatta Rajasa (Partai Amanat Rakyat)

Hatta Rajasa merupakan mantan menteri perhubungan yang memiliki catatan buruk. Cukup banyak kecelakaan pesawat, kerita api dan ferry saat ia menjadi menteri perhubungan. Namun, kedekatannya dengan Presiden SBY (melalui ikatan perkawinan, putrinya menikah dengan salah satu putra SBY) membuat Hatta tetap dipertahankan menjadi menteri dan bahkan menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. Catatan buruk saat ia menjadi menteri perhubungan dan dukungannya terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan BPMIGAS dan pandangan nasionalisme ekstrim PAN  terhadap industri minyak dan gas akan membuat investor nervous. Melihat posisi PAN, kemungkinan Hatta akan menjadi calon Wakil Presiden.

Nilai Kebijakan Energi: 1/10


Incumbent: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Partai Demokrat belum menetapkan siapa yang bakal menjadi calon Presiden dari Partai itu. Namun, publik paling tidak memiliki catatan terhadap berbagai kebijakan, program dan realisasi program pemerintah terkait kebijakan energi. Presiden SBY terlihat pro-investasi energi dan pro-bisnis.  Namun, SBY gagal meningkatkan investasi eksplorasi migas dan produksi minyak cenderung turun. Ketergantungan impor minyak tinggi. Ada jurang antara rencana dengan realitas di lapangan. Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru nanti, khususnya untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia.

Nilai Kebijakan Energi: 3/10


Wiranto (Hanura)

Hanura telah mendeklarasikan Wiranto sebagai calon Presiden berpasangan dengan Harry Tanoesudibyo sebagai wakil Presiden. Kebijakan energi Wiranto belum kelihatan jelas, namun, kemungkinan dia akan pro-bisnis dan pro-investasi. Bergabungnya Harry Tanoe ke Hanura paling tidak akan sedikit banyak berpengaruh pada kebijakan Wiranto bila ia menjadi Presiden. Harry Tanoe merupakan pemilik MNC group, sebuah konglomerasi bisnis yang bergerak di media dan industri lainnya, termasuk minyak dan gas bumi melalui Bhakti Group.

Nilai kebijakan Energi: 5/10