Tampilkan postingan dengan label Mafia Migas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mafia Migas. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Juni 2014

Hatta Rajasa, Kasus KRL Impor dan Mafia Migas



Hatta Rajasa
 Selain sibuk keliling berkampanye Hatta Rajasa, calon wakil Presiden yang berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto harus berusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tanpa banyak diliput media, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dipanggil dan ditanyai KPK terkait kasus KRL hibah Jepang pada tahun 2006, saat dia menjabat sebagai menteri Perhubungan. Hatta dipanggil saat sebagian masyarakat menuntut pemerintah dan KPK untuk menelusuri dugaan keterkaitan Hatta Rajasa dengan mafia impor minyak.

Dalam kasus korupsi KRL impor ini, KPK telah menahan Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Soemino Eko Saputro. Baru-baru ini media-media Jepang mengangkat kasus ini dan mendapatkan bukti bahwa pejabat-pejabat tertentu Jepang telah memberi suap ke beberapa negara mitra dagang Jepang, termasuk Indonesia, terkait impor KRL.


Kasus korupsi ini berawal saat Jepang memberi bantuan kereta api listrik kepada Departemen Perhubungan tahun 2006-2007 dengan nilai proyek sebesar Rp 48 miliar. Diduga kerugian negara mencapai Rp 11 miliar. KPK menduga telah terjadi mark up dalam biaya transportasi pengiriman kereta api sebesar 9 juta Yen. Saat ini Hatta Rajasa dipanggil sebagai saksi, dan tidak menutup kemungkinan statusnya ditingkatkan, tergantung hasil pemeriksaan.

Pemanggilan Hatta Rajasa oleh KPK terjadi ketika pada saat yang sama berbagai kelompok masyarakat menuntut pemerintah dan KPK untuk menelusuri keterlibatan mantan menteri perhubungan ini dalam bisnis impor minyak, yang dikendalikan oleh mafia migas.

Sudah bukan rahasia lagi kalau bisnis impor minyak di Indonesia dikuasai mafia kakap. Mafia ini yang mengendalikan (Pertamina Trading Energy Ltd (Petral), anak perusahan Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan minyak. Petral memiliki tugas utama, yakni menjamin supply kebutuhan minyak yang dibutuhkan Pertamina/Indonesia dengan cara impor.

Bisnis impor minyak ini memang empuk dengan nilai sekitar Rp 300 triliun per tahun. Nama yang tidak asing lagi dibalik mafia migas ini adalah Muhammad Reza Chalid, yang sudah sering dimuat di media-media utama. Reza Chalid bahkan sudah dikenal sejak era Soeharto. Banyak pengamat menilai Reza Chalid sebagai seorang yang sangat powerful dan bisa menentukan dan mengatur berbagai transaksi impor minyak Indonesia.

Reza diyakini telah menguasai Petral selama puluhan tahun melalui kerjasama dengan broker-broker minyak seperti Orion Oil, Paramount Petro, Straits Oil, Cosmic Petroleum dan Supreme Energy yang berbasis di Singapura. Perusahaan-perusahaan ini terdaftar di negara bebas pajak Virgin Island.

Selama beberapa dekade rencana pemerintah untuk membangun kilang minyak selalu terhambat. Dan, berbagai pengamat, terhambatnya pembangunan kilang itu dihambat oleh mafia migas. Para mafia migas berkepentingan agar Indonesia terus bergantung pada BBM impor.

Hatta Rajasa diyakini sebagai tokoh yang berada di belakang Reza. Menurut Majalah Forum Keadilan, dalam menjalankan operasinya, Reza-Hatta melakuan segala cara. Hatta Rajasa disinyalir memiliki kedekatan dengan mafia minyak yang berbasis di Singapore, Mohammad Reza dari Global Energy Resources.

Tanggapan Hatta Rajasa

Dalam sebuah wawancara dengan koran The Jakarta Post, Hatta Rajasa mengakui bahwa ia dekat dengan Muhammad Riza Chalid, namun tidak memiliki hubungan bisnis dengan Reza Chalid.

Berikut petikan wawancara dengan koran berbahasa Inggris itu:

T: Anda kenal dengan pebisnis Muhammad Reza Chalid (yang diyakini sebagai broker BBM impor terbesar Indonesia)?

Hatta: Kenapa Anda menanyakan soal itu. Saya tidak punya hubungan bisnis dengan dia. Tapi, kami telah menjadi teman selama beberapa dekade.

T: Bagaimana Anda mengenal dia?

Hatta: Melalui Majelis Dzikir. Saya tahu dia memiliki bisnis impor minyak dan bahan bakar minyak, tapi tidak ada hubungan dengan saya. Mengapa Anda tidak menanyakan hal itu ke Pertamina? Kenapa tanya saya?


T: Apakah benar Reza memberikan sumbangan uang untuk keperluan kampanye Anda?

Hatta: Ngawur

T: Jadi bagaimana dengan dana kampanye Anda?

Hatta: Kebanyakan konglomerat dan pebisnis berada di kubu sebelah (Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla). Kami bahkan tidak punya iklan di koran. Kami tahu biaya beriklan di Kompas. Lihat saja koran-koran, hampir semua iklan adalah iklan kubu Jokowi. Karena itu, kami bergantung pada kader-kader kami untuk mendanai biaya kampanye.

Menarik untuk mengikuti bagaimana kelanjutan kasus KRL impor dan mafia migas ini. Kita berharap KPK akan menelusuri setiap kasus yang merugikan keuangan negara, tanpa pandang bulu. Seperti kata Hatta Rajasa saat debat Capres-Cawapres, “jangan sampai hukum di negara ini, tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah”. Artinya, hukum hanya berlaku bagi  orang-orang kecil tapi tidak berlaku bagi penguasa atau orang-orang yang punya power.


Disamping itu, pemerintah mendatang harus mengambil langkah tegas terhadap mafia migas. Bila perlu Petral dipindahkan ke Jakarta saja sehingga bisa dikontrol oleh pemerintah. Pemerintah membuang uang ratusan triliun setiap tahun untuk mengimpor BBM, padahal yang untuk mafia. Lebih baik pemerintah fokus mendorong eksplorasi migas, sehingga produksi dalam negeri meningkat, tidak bergantung pada impor. Melanggengkan kehadiran mafia migas sama saja melanggengkan ketergantungan Indonesia pada impor minyak.

(*)

Selasa, 20 Agustus 2013

KPK, Mafia Minyak dan SKK Migas

Peristiwa diciduknya mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini memancing beberapa elemen masyarakat untuk membubarkan SKK Migas dan menyerahkan regulasi dan pengawasan industri migas ke Pertamina. Namun, mayoritas publik menolak mentah-mentah permintaan sekelompok masyarakat tersebut. Justru pada era Orde Baru atau era Soeharto, korupsi justru lebih parah. Pertamina saat itu biangnya korupsi dan menjadi sumber dana empuk bagi penguasa. Bila tugas regulasi dan pengawasan dicaplok Pertamina, justru akan menjerumuskan Pertamina kembali menjadi sarang korupsi dan mengkerdilkan kemampuan dan upaya Pertamina menjadi korporasi kelas dunia.

 ==========================================

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Mafia Migas [atau Mafia Migas] dan SKK Migas”, barangkali tiga kata/kelompok kata yang paling banyak disebutkan dalam beberapa hari terakhir. Ketiga kelompok kata tersebut menjadi perhatian masyarakat setelah KPK menangkap tangan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini, seorang akademisi yang terjun ke birokrasi, sedang menerima suap ratusan ribu dolar.

Apa motivasi dibalik kasus suap tersebut masih terus dikembangkan oleh KPK. Namun, paling tidak terjadinya kasus ini menyadarkan masyarakat bahwa kasus suap, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan sejenisnya, oleh penyelenggara negara masih terjadi 15 tahun sejak Reformasi digulirkan, dan bahkan lebih menyedihkan terjadi saat Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan yang ke-68.

Dari berbagai pemberitaan di media masa, baik online, media cetak, radio maupun televisi, kita menangkap aspirasi masyarakat, bahwa hampir seluruh masyarakat mendukung langkah KPK untuk mengungkap segala jenis kasus korupsi atau gratifikasi yang melibatkan pejabat negara.

Kita melihat berbagai elemen masyarakat dengan cara yang berbeda-beda mengungkapkan dukungan mereka kepada KPK. Ada yang datang langsung ke KPK, ada yang melakukan demo mendukung KPK ada juga yang menulis di berbagai media atau terlibat diskusi publik.

Ini merupakan dukungan moral bagi KPK untuk terus melakukan tugasnya untuk menghilangkan dan mencegah setiap praktik korupsi dan gratifikasi, yang juga merupakan cita-cita para Pendiri Bangsa maupun amanat Reformasi, yang hingga kini belum terlaksana.

Kasus tertangkapk tangan tersebut membuka mata masyarakat betapa cengkraman mafia migas masih kuat. Adanya mafia migas di balik perdagangan minyak di Indonesia bukan terjadi kali ini saja bahkan sudah sering dilaporkan oleh media-media ternama. Dugaan keterlibatan mafia migas di balik impor minyak yang menelan ratusan miliar hingga triliunan rupiah setiap hari kembali mencuat ke permukaan.

Sebelumnya, Menteri BUMN Dahlan Iskan pun mensinyalir adanya mafia migas dibalik impor minyak di Tanah Air, yang dikendalikan oleh Petral anak Perusahaan Pertamina. Tapi Menteri Negara BUMN pun saat itu tak kuasa mendorong dibongkarnya mafia tata niaga atau perdagangan minyak. Eksistensi Petral pun  tetap dipertahankan dan terus beroperasi.

Pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan oleh TV One baru-baru ini, isu mafia migas kembali diangkat. “Siapa Dibalik Mafia Migas”, demikian judul acara tersebut. Perdebatan seru terjadi dan menuntut KPK untuk terus membongkar adanya mafia migas dibalik trading minyak dan gas di tanah air. Seorang peserta yang juga mantan anggota DPR, Dradjad Wibowo, bahkan mempertanyakan mengapa KPK belum atau tidak berani masuk ke Petral.

Dari perdebatan tersebut muncul desakan kepada KPK untuk melanjutkan pengembangan dugaan kasus korupsi dan gratifikasi yang melibatkan perdagangan minyak (oil trading/oil impor).

Peristiwa terangkapnya RR juga mencuatkan desakan oleh beberapa elemen masyarakat untuk membubarkan SKK Migas dan menyerahkan regulasi dan pengawasan industri migas ke Pertamina. Namun, mayoritas publik tampaknya tidak menyutujui permintaan sekelompok masyarakat. Justru pada era Orde Baru atau era Soeharto, korupsi justru lebih parah. Pertamina saat itu biangnya korupsi dan menjadi sumber dana empuk bagi penguasa saat itu. Bila tugas regulasi dan pengawasan dicaplok Pertamina, justru akan menjerumuskan Pertamina kembali menjadi sarang korupsi.

Beberapa peserta diskusi ILC mengulang kembali pernyataan beberapa tokoh masyarakat bahwa membubarkan sebuah institusi karena ada oknum yang korup bukan solusi karena adanya sebuah lembaga merupakan buah dari sebuah Undang-Undang. Undang-Undang harus dibuat dulu, kalau memang sebuah institusi tidak diperlukan lagi.

Bila ada oknum yang terlibat gratifikasi atau korupsi, maka oknum tersebut yang harus dibawa ke meja hijau. Insitusinya yang harus diselamatkan. Demikian juga dalam kasus gratifikasi yang melibatkan mantan Kepala SKK Migas. Yang terlibat diproses secara hukum, sementara lembaganya harus diselamatkan dan dibersihkan. Sistem diperbaiki dan orang-orang yang mengisi posisi kunci harus orang-orang yang tepat, kompeten dan berakhlak.

Industri migas memang rawan terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Karena itu, publik mendukung langkah KPK untuk menciptakan good governance di industri migas. Sistem internal SKK Migas harus diperkuat, tidak harus dibubarkan. KPK tetap harus fokus mengembangkan dan menuntaskan kasus hukum ini, tidak terpengaruh oleh desakan atau tekanan politik dari luar. (*)