Tampilkan postingan dengan label Indonesia Lawyers Club. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia Lawyers Club. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Agustus 2013

KPK, Mafia Minyak dan SKK Migas

Peristiwa diciduknya mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini memancing beberapa elemen masyarakat untuk membubarkan SKK Migas dan menyerahkan regulasi dan pengawasan industri migas ke Pertamina. Namun, mayoritas publik menolak mentah-mentah permintaan sekelompok masyarakat tersebut. Justru pada era Orde Baru atau era Soeharto, korupsi justru lebih parah. Pertamina saat itu biangnya korupsi dan menjadi sumber dana empuk bagi penguasa. Bila tugas regulasi dan pengawasan dicaplok Pertamina, justru akan menjerumuskan Pertamina kembali menjadi sarang korupsi dan mengkerdilkan kemampuan dan upaya Pertamina menjadi korporasi kelas dunia.

 ==========================================

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Mafia Migas [atau Mafia Migas] dan SKK Migas”, barangkali tiga kata/kelompok kata yang paling banyak disebutkan dalam beberapa hari terakhir. Ketiga kelompok kata tersebut menjadi perhatian masyarakat setelah KPK menangkap tangan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini, seorang akademisi yang terjun ke birokrasi, sedang menerima suap ratusan ribu dolar.

Apa motivasi dibalik kasus suap tersebut masih terus dikembangkan oleh KPK. Namun, paling tidak terjadinya kasus ini menyadarkan masyarakat bahwa kasus suap, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan sejenisnya, oleh penyelenggara negara masih terjadi 15 tahun sejak Reformasi digulirkan, dan bahkan lebih menyedihkan terjadi saat Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan yang ke-68.

Dari berbagai pemberitaan di media masa, baik online, media cetak, radio maupun televisi, kita menangkap aspirasi masyarakat, bahwa hampir seluruh masyarakat mendukung langkah KPK untuk mengungkap segala jenis kasus korupsi atau gratifikasi yang melibatkan pejabat negara.

Kita melihat berbagai elemen masyarakat dengan cara yang berbeda-beda mengungkapkan dukungan mereka kepada KPK. Ada yang datang langsung ke KPK, ada yang melakukan demo mendukung KPK ada juga yang menulis di berbagai media atau terlibat diskusi publik.

Ini merupakan dukungan moral bagi KPK untuk terus melakukan tugasnya untuk menghilangkan dan mencegah setiap praktik korupsi dan gratifikasi, yang juga merupakan cita-cita para Pendiri Bangsa maupun amanat Reformasi, yang hingga kini belum terlaksana.

Kasus tertangkapk tangan tersebut membuka mata masyarakat betapa cengkraman mafia migas masih kuat. Adanya mafia migas di balik perdagangan minyak di Indonesia bukan terjadi kali ini saja bahkan sudah sering dilaporkan oleh media-media ternama. Dugaan keterlibatan mafia migas di balik impor minyak yang menelan ratusan miliar hingga triliunan rupiah setiap hari kembali mencuat ke permukaan.

Sebelumnya, Menteri BUMN Dahlan Iskan pun mensinyalir adanya mafia migas dibalik impor minyak di Tanah Air, yang dikendalikan oleh Petral anak Perusahaan Pertamina. Tapi Menteri Negara BUMN pun saat itu tak kuasa mendorong dibongkarnya mafia tata niaga atau perdagangan minyak. Eksistensi Petral pun  tetap dipertahankan dan terus beroperasi.

Pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan oleh TV One baru-baru ini, isu mafia migas kembali diangkat. “Siapa Dibalik Mafia Migas”, demikian judul acara tersebut. Perdebatan seru terjadi dan menuntut KPK untuk terus membongkar adanya mafia migas dibalik trading minyak dan gas di tanah air. Seorang peserta yang juga mantan anggota DPR, Dradjad Wibowo, bahkan mempertanyakan mengapa KPK belum atau tidak berani masuk ke Petral.

Dari perdebatan tersebut muncul desakan kepada KPK untuk melanjutkan pengembangan dugaan kasus korupsi dan gratifikasi yang melibatkan perdagangan minyak (oil trading/oil impor).

Peristiwa terangkapnya RR juga mencuatkan desakan oleh beberapa elemen masyarakat untuk membubarkan SKK Migas dan menyerahkan regulasi dan pengawasan industri migas ke Pertamina. Namun, mayoritas publik tampaknya tidak menyutujui permintaan sekelompok masyarakat. Justru pada era Orde Baru atau era Soeharto, korupsi justru lebih parah. Pertamina saat itu biangnya korupsi dan menjadi sumber dana empuk bagi penguasa saat itu. Bila tugas regulasi dan pengawasan dicaplok Pertamina, justru akan menjerumuskan Pertamina kembali menjadi sarang korupsi.

Beberapa peserta diskusi ILC mengulang kembali pernyataan beberapa tokoh masyarakat bahwa membubarkan sebuah institusi karena ada oknum yang korup bukan solusi karena adanya sebuah lembaga merupakan buah dari sebuah Undang-Undang. Undang-Undang harus dibuat dulu, kalau memang sebuah institusi tidak diperlukan lagi.

Bila ada oknum yang terlibat gratifikasi atau korupsi, maka oknum tersebut yang harus dibawa ke meja hijau. Insitusinya yang harus diselamatkan. Demikian juga dalam kasus gratifikasi yang melibatkan mantan Kepala SKK Migas. Yang terlibat diproses secara hukum, sementara lembaganya harus diselamatkan dan dibersihkan. Sistem diperbaiki dan orang-orang yang mengisi posisi kunci harus orang-orang yang tepat, kompeten dan berakhlak.

Industri migas memang rawan terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Karena itu, publik mendukung langkah KPK untuk menciptakan good governance di industri migas. Sistem internal SKK Migas harus diperkuat, tidak harus dibubarkan. KPK tetap harus fokus mengembangkan dan menuntaskan kasus hukum ini, tidak terpengaruh oleh desakan atau tekanan politik dari luar. (*)