Peristiwa
diciduknya mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini memancing beberapa elemen masyarakat untuk membubarkan SKK
Migas
dan menyerahkan regulasi dan pengawasan industri migas ke Pertamina.
Namun,
mayoritas publik menolak mentah-mentah permintaan sekelompok
masyarakat tersebut. Justru pada era Orde Baru atau era Soeharto, korupsi justru
lebih parah. Pertamina saat itu biangnya korupsi dan menjadi sumber dana
empuk bagi penguasa. Bila tugas regulasi dan pengawasan
dicaplok Pertamina, justru akan menjerumuskan Pertamina kembali menjadi
sarang korupsi dan mengkerdilkan kemampuan dan upaya Pertamina menjadi korporasi kelas dunia.
==========================================
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Mafia Migas [atau Mafia Migas] dan SKK Migas”, barangkali tiga kata/kelompok kata yang paling banyak disebutkan dalam beberapa hari terakhir. Ketiga kelompok kata tersebut menjadi perhatian masyarakat setelah KPK menangkap tangan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini, seorang akademisi yang terjun ke birokrasi, sedang menerima suap ratusan ribu dolar.
Apa motivasi dibalik kasus suap
tersebut masih terus dikembangkan oleh KPK. Namun, paling tidak terjadinya
kasus ini menyadarkan masyarakat bahwa kasus suap, penyalahgunaan wewenang,
korupsi dan sejenisnya, oleh penyelenggara negara masih terjadi 15 tahun sejak
Reformasi digulirkan, dan bahkan lebih menyedihkan terjadi saat Indonesia merayakan
HUT Kemerdekaan yang ke-68.
Dari berbagai pemberitaan di
media masa, baik online, media cetak, radio maupun televisi, kita menangkap
aspirasi masyarakat, bahwa hampir seluruh masyarakat mendukung langkah KPK
untuk mengungkap segala jenis kasus korupsi atau gratifikasi yang melibatkan
pejabat negara.
Kita melihat berbagai elemen
masyarakat dengan cara yang berbeda-beda mengungkapkan dukungan mereka kepada
KPK. Ada yang datang langsung ke KPK, ada yang melakukan demo mendukung KPK ada
juga yang menulis di berbagai media atau terlibat diskusi publik.
Ini merupakan dukungan moral bagi
KPK untuk terus melakukan tugasnya untuk menghilangkan dan mencegah setiap
praktik korupsi dan gratifikasi, yang juga merupakan cita-cita para Pendiri
Bangsa maupun amanat Reformasi, yang hingga kini belum terlaksana.
Kasus tertangkapk tangan tersebut
membuka mata masyarakat betapa cengkraman mafia migas masih kuat. Adanya mafia
migas di balik perdagangan minyak di Indonesia bukan terjadi kali ini saja
bahkan sudah sering dilaporkan oleh media-media ternama. Dugaan keterlibatan
mafia migas di balik impor minyak yang menelan ratusan miliar hingga triliunan
rupiah setiap hari kembali mencuat ke permukaan.
Sebelumnya, Menteri BUMN Dahlan Iskan pun
mensinyalir adanya mafia migas dibalik impor minyak di Tanah Air, yang
dikendalikan oleh Petral anak Perusahaan Pertamina. Tapi Menteri Negara BUMN pun saat
itu tak kuasa mendorong dibongkarnya mafia tata niaga atau perdagangan minyak. Eksistensi Petral
pun tetap dipertahankan dan terus beroperasi.
Pada acara Indonesia Lawyers Club
(ILC) yang ditayangkan oleh TV One baru-baru ini, isu mafia migas kembali
diangkat. “Siapa Dibalik Mafia Migas”, demikian judul acara tersebut.
Perdebatan seru terjadi dan menuntut KPK untuk terus membongkar adanya mafia
migas dibalik trading minyak dan gas di tanah air. Seorang peserta yang juga
mantan anggota DPR, Dradjad Wibowo, bahkan mempertanyakan mengapa KPK belum
atau tidak berani masuk ke Petral.
Dari perdebatan tersebut muncul
desakan kepada KPK untuk melanjutkan pengembangan dugaan kasus korupsi dan
gratifikasi yang melibatkan perdagangan minyak (oil trading/oil impor).
Peristiwa terangkapnya RR juga
mencuatkan desakan oleh beberapa elemen masyarakat untuk membubarkan SKK Migas
dan menyerahkan regulasi dan pengawasan industri migas ke Pertamina. Namun,
mayoritas publik tampaknya tidak menyutujui permintaan sekelompok masyarakat. Justru pada era Orde Baru atau era Soeharto, korupsi justru lebih parah. Pertamina saat itu biangnya korupsi dan menjadi sumber dana empuk bagi penguasa saat itu. Bila tugas regulasi dan pengawasan dicaplok Pertamina, justru akan menjerumuskan Pertamina kembali menjadi sarang korupsi.
Beberapa peserta diskusi ILC
mengulang kembali pernyataan beberapa tokoh masyarakat bahwa membubarkan sebuah
institusi karena ada oknum yang korup bukan solusi karena adanya sebuah lembaga
merupakan buah dari sebuah Undang-Undang. Undang-Undang harus dibuat dulu,
kalau memang sebuah institusi tidak diperlukan lagi.
Bila ada oknum yang terlibat
gratifikasi atau korupsi, maka oknum tersebut yang harus dibawa ke meja hijau.
Insitusinya yang harus diselamatkan. Demikian juga dalam kasus gratifikasi yang
melibatkan mantan Kepala SKK Migas. Yang terlibat diproses secara hukum,
sementara lembaganya harus diselamatkan dan dibersihkan. Sistem diperbaiki dan
orang-orang yang mengisi posisi kunci harus orang-orang yang tepat, kompeten
dan berakhlak.
Industri migas memang rawan
terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Karena itu, publik mendukung
langkah KPK untuk menciptakan good governance di industri migas. Sistem
internal SKK Migas harus diperkuat, tidak harus dibubarkan. KPK tetap harus
fokus mengembangkan dan menuntaskan kasus hukum ini, tidak terpengaruh oleh desakan
atau tekanan politik dari luar. (*)