Tampilkan postingan dengan label sarang korupsi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sarang korupsi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Agustus 2014

KPK Akan Menyentuh TNI yang Kebal Hukum Indonesia

Samad dan Moeldoko
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kaya raya punya banyak properti dan usaha di sana-sini, serta punya jam mahal seperti Moeldoko yang baru terungkap baru-baru ini. Bukannya apa, masalahnya duit sebanyak itu didapat dari mana? Kan gaji menjadi militer hanyalah tidak seberapa.

Ternyata Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menutup mata akan hal ini. KPK akan mulai menyentuh TNI! Walaupun terhalang perangkat peraturan, namun KPK yakin bahwa TNI memang bisa disentuh apabila ada kerugian negara yang berdampak signifikan pada masyarakat sipil.

"Dijelaskan di KUHAP juga bahwa kalau saja misalnya ada tindak pidana korupsi yang dilakukan TNI lebih banyak merugikan kepentingan sipil maka KPK diberikan kewenangan untuk masuk melakukan penyelidikan lewat yang namanya koneksitas. Oleh karena itu harus kita lihat substansinya. Kalau ternyata dia banyak merugikan kepentingan sipil maka bisa ditarik ke peradilan konektivitas itu. Bukan tidak dikategorikan korupsi hanya ditangani oleh TNI. Jadi bukan berarti TNI kebal hukum" jelas Abraham Samad, ketua KPK.

Menurut Samad pula, TNI tidak bisa semena-mena dalam mengelola anggaran negara. TNI harus tetap transparan dan tidak boleh menyalahgunakan wewenang yang mereka miliki. “TNI punya Undang-undang sendiri. Namun, bukan berarti TNI kebal hukum. Oleh karena itu kita lihat substansinya,” tandasnya.

Sedangkan menurut Panglima TNI Jenderal Moeldoko, KPK tidak boleh merecoki TNI karena akan membuat TNI tidak terhormat lagi. "Kalau sampai KPK masuk (menyidik kasus korupsi), maka TNI tak terhormat lagi. Karena itu, kita harus jaga kehormatan TNI. Jangan sampai terjadi korupsi di TNI. Jadi, kalau KPK masuk ke TNI, biar agendanya minum kopi dan mengobrol saja,” ujar Moeldoko dengan luar biasa ngelesnya.

Lebih luar biasanya lagi, Moeldoko menyatakan bahwa KPK tidak bisa mengusut soal pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Sebab, pengadaan alutsista merupakan rahasia negara. "Tidak bisa (KPK periksa TNI). Ada sesuatu yang tidak bisa dibuka, seperti belanja senjata karena memiliki standar rahasia. Karena itu pengadaan alutsista harus dirahasiakan. Tetapi yang tidak memiliki value rahasia, pasti akan dibuka,” tambahnya.

Seolah-olah beritikad baik, Moeldoko juga mengatakan bahwa TNI memiliki komitmen untuk tidak melakukan nepotisme dalam tubuh TNI. “Contohnya begini, saya sudah membuat zona integritas dan bebas korupsi. Kepada seluruh Letnan Kolonel yang kelola keuangan saya katakan, tidak ada istrinya Panglima, anak dan sanak saudarnya Panglima yang bermain di logistik. Kalau ada, kamu tangkap dia. Ini sudah zona yang saya buat, karena saya tidak ingin bawahan saya tersandera oleh bayang-bayang orangnya Panglima. Saya tidak ingin memberikan beban kepada mereka. Tapi kalau Letkol, bintang, dan lainnya macam-macam, saya akan pecat,” katanya.

Namun pernyataan Moeldoko tersebut sangat meragukan. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa TNI itu kebal hukum seperti negara di dalam negara karena TNI mempunyai mekanisme peradilan sendiri. Tidak semua kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota TNI akan diproses. Kalau diproses pun, hukumannya pasti minimal. Kesewenang-wenangan seperti ini sudah banyak diprotes oleh berbagai kalangan namun belum juga berhasil. Mari kita dukung KPK untuk menjadi pertama yang berhasil!





Selasa, 20 Agustus 2013

KPK, Mafia Minyak dan SKK Migas

Peristiwa diciduknya mantan kepala SKK Migas Rudi Rubiandini memancing beberapa elemen masyarakat untuk membubarkan SKK Migas dan menyerahkan regulasi dan pengawasan industri migas ke Pertamina. Namun, mayoritas publik menolak mentah-mentah permintaan sekelompok masyarakat tersebut. Justru pada era Orde Baru atau era Soeharto, korupsi justru lebih parah. Pertamina saat itu biangnya korupsi dan menjadi sumber dana empuk bagi penguasa. Bila tugas regulasi dan pengawasan dicaplok Pertamina, justru akan menjerumuskan Pertamina kembali menjadi sarang korupsi dan mengkerdilkan kemampuan dan upaya Pertamina menjadi korporasi kelas dunia.

 ==========================================

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Mafia Migas [atau Mafia Migas] dan SKK Migas”, barangkali tiga kata/kelompok kata yang paling banyak disebutkan dalam beberapa hari terakhir. Ketiga kelompok kata tersebut menjadi perhatian masyarakat setelah KPK menangkap tangan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini, seorang akademisi yang terjun ke birokrasi, sedang menerima suap ratusan ribu dolar.

Apa motivasi dibalik kasus suap tersebut masih terus dikembangkan oleh KPK. Namun, paling tidak terjadinya kasus ini menyadarkan masyarakat bahwa kasus suap, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan sejenisnya, oleh penyelenggara negara masih terjadi 15 tahun sejak Reformasi digulirkan, dan bahkan lebih menyedihkan terjadi saat Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan yang ke-68.

Dari berbagai pemberitaan di media masa, baik online, media cetak, radio maupun televisi, kita menangkap aspirasi masyarakat, bahwa hampir seluruh masyarakat mendukung langkah KPK untuk mengungkap segala jenis kasus korupsi atau gratifikasi yang melibatkan pejabat negara.

Kita melihat berbagai elemen masyarakat dengan cara yang berbeda-beda mengungkapkan dukungan mereka kepada KPK. Ada yang datang langsung ke KPK, ada yang melakukan demo mendukung KPK ada juga yang menulis di berbagai media atau terlibat diskusi publik.

Ini merupakan dukungan moral bagi KPK untuk terus melakukan tugasnya untuk menghilangkan dan mencegah setiap praktik korupsi dan gratifikasi, yang juga merupakan cita-cita para Pendiri Bangsa maupun amanat Reformasi, yang hingga kini belum terlaksana.

Kasus tertangkapk tangan tersebut membuka mata masyarakat betapa cengkraman mafia migas masih kuat. Adanya mafia migas di balik perdagangan minyak di Indonesia bukan terjadi kali ini saja bahkan sudah sering dilaporkan oleh media-media ternama. Dugaan keterlibatan mafia migas di balik impor minyak yang menelan ratusan miliar hingga triliunan rupiah setiap hari kembali mencuat ke permukaan.

Sebelumnya, Menteri BUMN Dahlan Iskan pun mensinyalir adanya mafia migas dibalik impor minyak di Tanah Air, yang dikendalikan oleh Petral anak Perusahaan Pertamina. Tapi Menteri Negara BUMN pun saat itu tak kuasa mendorong dibongkarnya mafia tata niaga atau perdagangan minyak. Eksistensi Petral pun  tetap dipertahankan dan terus beroperasi.

Pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan oleh TV One baru-baru ini, isu mafia migas kembali diangkat. “Siapa Dibalik Mafia Migas”, demikian judul acara tersebut. Perdebatan seru terjadi dan menuntut KPK untuk terus membongkar adanya mafia migas dibalik trading minyak dan gas di tanah air. Seorang peserta yang juga mantan anggota DPR, Dradjad Wibowo, bahkan mempertanyakan mengapa KPK belum atau tidak berani masuk ke Petral.

Dari perdebatan tersebut muncul desakan kepada KPK untuk melanjutkan pengembangan dugaan kasus korupsi dan gratifikasi yang melibatkan perdagangan minyak (oil trading/oil impor).

Peristiwa terangkapnya RR juga mencuatkan desakan oleh beberapa elemen masyarakat untuk membubarkan SKK Migas dan menyerahkan regulasi dan pengawasan industri migas ke Pertamina. Namun, mayoritas publik tampaknya tidak menyutujui permintaan sekelompok masyarakat. Justru pada era Orde Baru atau era Soeharto, korupsi justru lebih parah. Pertamina saat itu biangnya korupsi dan menjadi sumber dana empuk bagi penguasa saat itu. Bila tugas regulasi dan pengawasan dicaplok Pertamina, justru akan menjerumuskan Pertamina kembali menjadi sarang korupsi.

Beberapa peserta diskusi ILC mengulang kembali pernyataan beberapa tokoh masyarakat bahwa membubarkan sebuah institusi karena ada oknum yang korup bukan solusi karena adanya sebuah lembaga merupakan buah dari sebuah Undang-Undang. Undang-Undang harus dibuat dulu, kalau memang sebuah institusi tidak diperlukan lagi.

Bila ada oknum yang terlibat gratifikasi atau korupsi, maka oknum tersebut yang harus dibawa ke meja hijau. Insitusinya yang harus diselamatkan. Demikian juga dalam kasus gratifikasi yang melibatkan mantan Kepala SKK Migas. Yang terlibat diproses secara hukum, sementara lembaganya harus diselamatkan dan dibersihkan. Sistem diperbaiki dan orang-orang yang mengisi posisi kunci harus orang-orang yang tepat, kompeten dan berakhlak.

Industri migas memang rawan terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Karena itu, publik mendukung langkah KPK untuk menciptakan good governance di industri migas. Sistem internal SKK Migas harus diperkuat, tidak harus dibubarkan. KPK tetap harus fokus mengembangkan dan menuntaskan kasus hukum ini, tidak terpengaruh oleh desakan atau tekanan politik dari luar. (*)