Tampilkan postingan dengan label Wiranto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wiranto. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Januari 2014

Kritikan Politisi Demokrat Ruhut Sitompul Tak Goyahkan Popularitas Jokowi




Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama pebalap MotoGP, 
Jorge Lorenzo, bersiap gowes sepeda (17/1/2014). 
Sosok Joko Widodo atau Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, makin dicintai. Popularitasnya pun terus menanjak secara konsisten dalam setahun terakhir. Berbagai survei independen menunjukkan Jokowi tetap menjadi calon Presiden idaman publik. 

Survei Kompas terbaru menunjukkan bila Pemilihan Umum Presiden dilakukan hari ini, Jokowi akan terpilih menjadi Presiden. Survei tersebut juga menunjukkan pergeseran suara pada beberapa calon Presiden lain seperti Wiranto, Prabowo, Megawati Soekarnoputri, Aburizal Bakrie dan Jusuf Kalla. Ada yang naik, ada yang turun. Pergeseran akan terus terjadi jelang Pemilu nanti. Namun, hanya satu sosok yang tetap konsisten menanjak, yaitu Jokowi.

Popularitas Jokowi membuat partai-partai lain mencoba menjegal Jokowi. Berbagai kritikan dan hujatan dan black campaign dilakukan untuk menghantam sosok yang bersahaja ini. Namun, semakin dia dikritik, semakin dihujat, semakin kuat pula popularitas mantan Walikota Solo ini.

Salah satu sosok yang paling terbuka mengkritik dan menjegal Jokowi adalah salah satu juru bicara Parai Demokrat Ruhut Sitompul. Ia menantang Jokowi untuk berdebat publik, tapi tidak diladeni oleh Jokowi. "Saya nggak suka diskusi, nggak suka debat. Senangnya kerja sajalah. Kalau mau debat ya cari yang pintar saja, yang suka debat," kata Jokowi di Balaikota. 

Jokowi tetap tegar dan melakukan apa yang dia lakukan seperti biasa, melayani masyarakat. Ia jarang sekali berada di kantor. Kalaupun ke kantor, itu hanya untuk mengadakan rapat dengan bawahannya atau melakukan koordinasi. Selebihnya ia menghabiskan waktunya di luar kantor, mengunjungi waduk, sungai atau taman-taman, berdialog dengan masyarakat. Dengan cara itu, ia melihat dan merasakan langsung setiap persoalan yang dihadapi masyarakat ibu kota. Karena itu, walaupun persoalan silih berganti yang dihadapi warga, warga tetap merasa mempunyai pemimpin yang setia dan selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga ketika banjir yang melanda ibu kota. Jokowi hampir seluruh waktunya berada di luar kantor.

Berbagai kata-kata pedas dikeluarkan Ruhut Sitompul untuk menjegal laju Jokowi menjadi bakal calon Presiden Indonesia. Ketika banjir melanda beberapa wilayah Jakarta, Ruhut pun seolah-oleh mendapatkan momentum untuk kembali menyerang sosok Jokowi.

“Dia berjanji untuk mengatasi banjir, tapi apa yang terjadi?” ucap Ruhut seperti dikutip vivanews.com. Memang sulit karena ia hanya seorang pengusaha furniture, lanjut Ruhut. Pernyataan Ruhut ini seolah menganggap remeh para pengusaha mebel. Padahal pengusaha mebel adalah salah satu penyumbang devisa negara. Jutaan pengusaha mebel dan pengusaha kecil di Indonesia menjadi penopang ekonomi Indonesia saat ekonomi dihantam badai krisis tahun 1998.  

Pernyataan Ruhut Sitompul ini menunjukkan betapa tidak sensitifnya para elit Demokrat. Mereka tampak seperti ‘out of touch’ terhadap kehidupan nyata masyarakat. Pernyataan Ruhut yang mengkritisi para pembuat furniture juga menyinggung perasaan jutaan para pengusaha dan pekerja industri furniture di Tanah air yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia.  

Menurut data BPS, industri furniture pada 2012 memberikan kontribusi terhadap perolehan devisa negara sebesar US$2,6 miliar. Sekitar US$1,8 miliar disumbangkan oleh sektor furniture dan US$800 juta dari sektor kerajinan. Diperkirakan lima tahun kedepan ekspor mebel akan menyumbang US$5 miliar atau Rp50 triliun devisa negara.

Pada kesempatan lain, Ruhut mengatakan Jokowi ibarat tong kosong nyaring bunyinya. Padahal yang tong kosong sebetulnya adalah Ruhut sendiri. Mendengar pernyataan politisi Demokirat ini, masyarakat umum hanya menggeleng kepala. Tak sepantasnya kata-kata itu keluar dari seorang wakil rakyat.

Boleh jadi Ruhut terus melancarkan ‘ocehan’ tidak berbobotnya lantaran Partai Demokrat terus dihantam badai. Berbagai kader Partai Demokrat terus menjadi penghuni ‘hotel prodeo’ (penjara) akibat terlibat kasus korupsi. Popularitas Partai Demokrat juga terus menurun. Popularitas para bakal calon Partai Presiden yang sedang mengikuti Konvensi Partai Demokrat pun masih rendah, termasuk Edhi Pramono yang disebut-sebut Ruhut Sitompul bakal mengalahkan Jokowi. 

Politisi Demokrat ini sebaiknya mengaca. Lebih baik dia memperbaiki internal partai daripada terus menghujamkan peluru ke Jokowi. Semakin dia ‘menembak’ Jokowi, semakin meningkat popularitas Jokowi. Walaupun Jokowi sebelumnya hanya seorang pengusaha furniture, fakta membuktikan bahwa sosok mantan Walikota Solo ini kian diperhitungkan publik untuk menjadi “the next Mr President Indonesia”. (*)
 

Kamis, 10 Oktober 2013

Ketahanan Energi Indonesia dan Pandangan Para Calon Presiden




Sebuah Platform Migas Lepas Pantai
Isu mengenai ketahanan energi (energy security) menjadi salah satu agenda dalam pertemuan puncak para kepala negara yang tergabung dalam forum APEC 2013 di Bali awal minggu ini. Para kepala negara menyadari ketahanan energi, disamping ketahanan pangan, menjadi salah satu isu penting yang perlu diatasi. Isu ketahanan energi seharusnya menjadi salah satu isu penting yang perlu diagendakan oleh para calon presiden yang akan bertempur pada pemilihan umum tahun 2014.


Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar mengakui ketahanan energi Indonesia masih lemah. Ia menuturkan Indonesia mengidap ‘penyakit’ tiga L, lemah karena ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) sehingga menyebabkan transaksi berjalan defisit. Kedua, lemah dalam ketahanan fiskal. Akibat konsumsi BBM bersubsidi yang tinggi, ketahanan fiskal digerogoti. Ketiga, terkait ketergantungan pada harga internasional.


Di Indonesia sendiri, ketahanan energi masih rentan. Pasokan bahan bakar minyak (BBM) saja hanya rata-rata 21 hari. Gangguan distribusi dan suplai serta harga minyak dunia yang melonjak mengancam ketahanan energi Indonesia dari waktu ke waktu. Persoalan ketahanan energi kita tak hanya pada sisi hilir, tapi juga pada sisi hulu. Bahkan masalah di sisi hulu menuntut keseriusan pemerintah untuk mengatasi persoalan di sektor hulu migas.


Persoalan mendasar pada sisi hulu migas adalah produksi minyak yang terus terun dalam dekade terakhir. Produksi gas cenderung stabil tapi terancama menurun pada tahun-tahun mendatang bila tak ada upaya keras dari pemerintha untuk meningkatkan investasi, khususnya pada aktivitas pencarian cadangan minyak dan gas baru. Investasi untuk eksplorasi dalam beberapa tahun terakhir tidak menggembirakan. Dan ini sudah diakui oleh pemerintah dan pelaku industri. Salah satu masalah yang sering mengemuka adalah iklim investasi yang tidak mendukung serta birokrasi yang njelimet sehingga terkadang menyurutkan niat dan langkah investor migas untuk berinvestasi.


Disamping itu, investasi untuk eksplorasi migas kian mahal dan berisiko karena sebagian besar blok Migas Indonesia saat ini berlokasi di lepas pantai dan berada di daerah yang terpencil (remote areas). Dibutuhkan nyali besar para investor migas untuk berinvestasi dan keberanian untuk mengambil risiko. Risiko investasi untuk eksplorasi memang terbilang tinggi karena tingkat keberhasilannya Cuma sekitar 10-20 percent. Bila menemukan cadangan minyak dan gas maka akan untung, bila tidak menemukan cadangan atau potensi cadangan, maka uang yang telah diinvestasikan menguap a.k.a. hilang, tidak bisa diganti atau diklaim ke pemerintah melalui skema cost recovery.


Lalu apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah hasil Pemilu 2014? Kita belum banyak mendengar pandangan para calon Presiden terkait program ketahanan energi ataupun pandangan atau rencana mereka terhadap industri energi, khususnya minyak dan gas. Publik sejauh ini hanya meraba-raba atau mengira-ngira kira-kira apa yang akan dilakukan oleh pemerintah baru hasil pemilu?


Apa pandangan Partai Demokrat terkait ketahanan energi? Sebagai partai incumbent, sebetulnya tidak sulit kita membaca arah kebijakan Partai Demokrat. Di atas kertas, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menyadari pentingnya ketahanan energi bagi Indonesia. SBY, dalam beberapa kesempatan, termasuk dalam forum APEC di Bali menyatakan komitmen Indonesia terhadap masuknya investasi asing ke Indonesia, termasuk investasi untuk mengembangkan sektor energi tentunya.


Kenyataannya, masih banyak persoalan energi yang dihadapi Indonesia dibawah pemerintahan SBY, mulai dari masih tingginya ketergantungan pada impor, investasi migas yang cenderung melambat khususnya eksplorasi, produksi minyak yang menurun, program-program pengembangan infrastruktur energi yang lamban. Intinya, masih ada jurang antara rencana, komitmen, program dan kebijakan dengan kenyataan atau realitas di lapangan. Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru nanti, khususnya untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia.


PDIP sebagai partai yang pernah berkuasa belum banyak bicara soal ketahanan energi. Bila Megawati Soekarnoputri yang akan dicalonkan menjadi presiden dari PDIP, publik paling tidak punya gambaran terkait kebijakan energi partai itu. Sebagai partai yang pernah berkuasa publik punya catatan negatif terkait energi. Indonesia menjual LNG dari Tangguh proyek ke China dengan harga murah saat Presiden Megawati berkuasa. Bisa jadi ini akan diungkit oleh lawan-lawan politik PDIP untuk menyerang kebijakan energi partai tersebut. Namun, bila PDIP mendorong Jokowi menjadi calon Presiden, persepsi publik mungkin akan berubah dan ingin mengetahui lebih jauh kebijakan energi Jokowi.


Publik juga belum banyak mendengar mengenai program terkait energy (energy policy) partai-partai lain seperti Golkar, PDIP, PSK, Hanura atau partai-partai lainnya. Golkar yang diketuai oleh Aburizal Bakrie sebetulnya bukan awam terhadap masalah energi. Beberapa anak perusahaan Group Bakrie bergerak di sektor energi seperti PT Energi Mega Persada. Namun, Bakrie punya catatan hitam terkait energi, yakni masalah lumpur Lapindo yang kini masih terus dipersoalkan publik. Salah satu perusahaan afiliasi Bakrie diduga menjadi pemicu muntahnya lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebagai pebisnis yang menjadi politisi Aburizal Bakrie mestinya sangat paham tentang pentingnya ketahanan energi. Sebagai mantan ketua Kadin yang pro-bisnis, kita bisa menduga Bakrie akan pro-investasi. Namun, seperti apa program Golkar terkait energi, sejauh ini masih belum jelas.


Barangkali satu-satunya calon presiden yang memiliki visi yang jelas terkait ketahanan energi (energy security adalah Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Hal ini bisa dimaklumi karena Prabowo sendiri memiliki perusahaan energi, yakni Nusantara Energy, yang tentu sangat paham pentingnya ketahanan energi. Prabowo tampak mengetahui dan memahami akar persoalan energi yang dihadapi Indonesia saat ini, yakni ketergantungan pada impor. Sementara pada sisi lain, investasi untuk eksplorasi rendah. Karena itu, tidak mengherankan bila baru-baru ini Prabowo mengkritik pemerintah terkait kegagalan serta rendahnya perhatian pemerintah untuk mendorong investasi eksplorasi. Disamping itu, Prabowo juga dengan tegas mengkritik upaya sebagian kelompok masyarakat untuk menasionalisasi aset migas. Menurut dia, ini hanya persoalan pemahaman saja. Yang terutama adalah bekerja untuk kepentingan nasional dan semangat nasionalisme, bukan menasionalisasi.


Kita berharap para calon presiden dan partai-partai yang akan bertempur pada Pemilu 2014 akan menempatkan isu ketahanan energi ini menjadi salah satu isu utama. Tentu kita berharap akan terjadi perdebatan yang sehat, bukan manipulasi isu sekadar untuk menarik simpati publik. Ketahanan energi adalah isu yang sangat penting bagi kemajuan bangsa. Tanpa itu, ekonomi Indonesia dapat terancam dari waktu ke waktu.


Profil Kebijakan Energi Para Calon Presiden:


Prabowo Subianto (Gerindra)

Prabowo Subianto: Prabowo Subianto baru-baru ini mengatakan dia tidak setuju dengan nasionalisasi aset migas (gaya Chaves). Seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo tampaknya mendukung investasi asing untuk mempertahankan produksi minyak dan gas, namun, berbeda dengan Presiden Yudhoyono, Prabowo ingin fokus pada investasi untuk eksplorasi migas. Prabowo mengkritik kegagalan pemerintah saat ini untuk mendorong investasi untuk eksplorasi migas.

Poin Kebijakan Energi: 8/10




Aburizal Bakrie (Golkar)

Aburizal Bakrie, seorang pelaku bisnis melalui group Bakrie, yang kemudian terjun ke politik tampaknya akan pro-bisnis dan pro-investasi. Maksudnya, kepentingan bisnisnya kemungkinan akan diprioritaskan. Investor bisa jadi akan nervous bila Bakrie menjadi presiden, yang sejauh ini kemungkinannya (menjadi presiden) kecil. Golkar kemungkinan akan berjuang untuk fokus pada pemilihan parlemen (legislative election) agar tetap bisa menjaga keseimbangan politik seperti yang dilakukan saat ini. Namun, Bakrie sebagai pelaku bisnis punya catatan buruk yakni terkait kasus lumpur Lapindo.

Poin Kebijakan Energi: 3/10



Megawati Soekarnoputri (PDIP)

Saat ini PDIP belum menetapkan siapa yang bakal menjadi calon Presiden partainya. Kita asumsikan ketua partai Megawati Soekarnoputri masih berpeluang untuk dicalonkan. Siapapun yang akan dicalonkan pengaruh Megawati masih akan besar. Namun, publik punya catatan terhadap Megawati. Saat menjadi Presiden, Mengawati dihadapkan pada tantangan berat yakni melakukan reformasi birokrasi dan menghapus praktik-praktik korupsi yang telah merajalela, termasuk di sektor minyak dan gas bumi. KPK pun dibentuk. Tapi ia dinilai gagal.

Nilai Kebijakan Energi: 2/10



Joko Widodo (PDIP & Dijagokan oleh Partai-Partai Lain)

Jokowi saat ini menjadi tokoh yang disukai oleh publik dan menjadi media darling. Peluang Jokowi menjadi Presiden sangat besar, dengan catatan Megawati tidak ego dan menghalangi jalan Jokowi menjadi Presiden. Walaupun prestasi yang dicapainya dalam waktu singkat saat menjadi Gubernur DKI Jakarta mengagumkan, prestasi Jokowi di tingkat nasional belum terbukti dan belum diketahui pandangan dan kebijakan dia terkait industri minyak dan gas.

Nilai Kebijakan Energi: ?/10




Hatta Rajasa (Partai Amanat Rakyat)

Hatta Rajasa merupakan mantan menteri perhubungan yang memiliki catatan buruk. Cukup banyak kecelakaan pesawat, kerita api dan ferry saat ia menjadi menteri perhubungan. Namun, kedekatannya dengan Presiden SBY (melalui ikatan perkawinan, putrinya menikah dengan salah satu putra SBY) membuat Hatta tetap dipertahankan menjadi menteri dan bahkan menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. Catatan buruk saat ia menjadi menteri perhubungan dan dukungannya terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan BPMIGAS dan pandangan nasionalisme ekstrim PAN  terhadap industri minyak dan gas akan membuat investor nervous. Melihat posisi PAN, kemungkinan Hatta akan menjadi calon Wakil Presiden.

Nilai Kebijakan Energi: 1/10


Incumbent: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Partai Demokrat belum menetapkan siapa yang bakal menjadi calon Presiden dari Partai itu. Namun, publik paling tidak memiliki catatan terhadap berbagai kebijakan, program dan realisasi program pemerintah terkait kebijakan energi. Presiden SBY terlihat pro-investasi energi dan pro-bisnis.  Namun, SBY gagal meningkatkan investasi eksplorasi migas dan produksi minyak cenderung turun. Ketergantungan impor minyak tinggi. Ada jurang antara rencana dengan realitas di lapangan. Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru nanti, khususnya untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia.

Nilai Kebijakan Energi: 3/10


Wiranto (Hanura)

Hanura telah mendeklarasikan Wiranto sebagai calon Presiden berpasangan dengan Harry Tanoesudibyo sebagai wakil Presiden. Kebijakan energi Wiranto belum kelihatan jelas, namun, kemungkinan dia akan pro-bisnis dan pro-investasi. Bergabungnya Harry Tanoe ke Hanura paling tidak akan sedikit banyak berpengaruh pada kebijakan Wiranto bila ia menjadi Presiden. Harry Tanoe merupakan pemilik MNC group, sebuah konglomerasi bisnis yang bergerak di media dan industri lainnya, termasuk minyak dan gas bumi melalui Bhakti Group.

Nilai kebijakan Energi: 5/10