Tampilkan postingan dengan label Megawati Soekarnoputri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Megawati Soekarnoputri. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Mei 2014

Membaca Arah Koalisi Partai, Antara Koalisi Selera vs Koalisi Platform



Koalisi 'Helikopter'  (foto detik.com)
Agenda politik nasional memasuki pekan penting. Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih terseok-sekok menyelesaikan rekapitulasi suara hasil Pemilihan Legislatif 9 April lalu yang seharusnya diumumkan hari ini, tapi ditunda ke tanggal 9 Mei, sebagai tanggal keramat yang tidak bisa dilewati. Hingga hari ini, baru 12 dari 33 provinsi menyelesaikan hasil rekapitulasi suara. Artinya, dalam 3-4 hari kedepan, KPU harus menyelesaikan hitungan suara Pileg legislative. Sementara disisi lain, partai-partai peserta pemilu masih menunggu dengan cemas dan galau hasil rekapitulasi suara sebelum memutuskan akan berkoalisi dengan partai apa dalam mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden pada pemilihan presiden 9 Juli nanti. 

Dalam tiga minggu terakhir, publik dipertontonkan sebuah pertunjukan atau lebih tepat dagelan politik di sebuah panggung sandiriwara. Setelah keluar hasil quick count beberapa lembaga, partai-partai langsung melakukan manuver-manuver politik. Partai tiga besar, PDIP, Golkar dan Gerindra, berdasarkan hasil Quick Count, mencoba menggandeng partai-partai menengah dan kecil untuk bekerjasama atau berkoalisi mengusung Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres dan Cawapres).

Yang sudah tegas-tegas bergabung barulah PDIP dan Nasdem. Kedua petinggi partai – Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh beserta elit-elit partai sudah bertemu dan bahkan telah menyusun tim gabungan. Anggota tim pemenangan Pemilu kemungkinan masih akan bertambah bila memang ada partai-partai lain nanti bergabung. Yang jelas, Jokowi telah disepakati dan didukung oleh Nasdem untuk menjadi Calon Presiden. Nah, calon Wakil Presiden hingga detik ini belum diumumkan ke publik. Ada beberapa nama yang dimunculkan ke publik, yaitu mantan Wakil Presiden yang juga ketua PMI Jusuf Kalla, mantan ketua MK Mahfud MD, ketua KPK Abraham Samad, dan beberapa nama lain. Santer terdengar di publik, internal PDIP dan Nasdem condong memilih Jusuf Kalla akan dipasangkan dengan Jokowi, dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Jusuf Kalla dianggap sebagai sosok yang tepat karena memiliki pengalaman, ketenangan, ketegasan dan network pendukung yang kuat, termasuk dari internal partai Golkar dan kalangan Islam yang akan menjadi penyeimbang bagi Jokowi. Disamping itu, Jokowi membutuhkan sosok yang bisa berpacu bersama, punya chemistry yang pas dan sama-sama punya jiwa kerja atau result-oriented. Jusuf Kalla memang sudah tidak muda lagi, namun, ia masih terlihat energik di usianya yang sudah memasuki masa golden age. 

Beberapa partai dikabarkan akan merapat lagi, diantaranya PKB dan PPP. Baru-baru ini Jokowi melakukan safari politik ke pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur bertemu dengan tokoh-tokoh spiritual PKB dan PPP. Jokowi juga didampingi oleh elit-elit PKB, sebuah indikasi PKB bakal bergabung dengan PDIP. PPP sendiri masih terpecah antara yang pro-Prabowo dan pro-Jokowi. Ketua PPP masih tetap ngotot untuk membawa gerbong PPP ke Gerindra, sementara sebagian besar elit PPP menginginkan merapat ke PDIP atau mendukung Jokowi sebagai Capres.

Lalu bagaimana dengan Golkar dan Gerindra? Peta koalisi tampaknya sudah mulai berubah. Sebelumnya, publik tahu bakal ada tiga Capres, yaitu, Jokowi, Prabowo dan Aburizal Bakrie (ARB). Cawapres yang menjadi teka-teki. Namun, dalam seminggu terakhir, angin politik kembali berubah. ARB yang sebelumnya mengklaim telah memperoleh ‘boarding pass’ untuk menjadi Capres, menurunkan targetnya hanya menjadi Cawapres, itu pun dengan catatan kedua partai – Gerindra dan Golkar – sepakat dengan ‘terms and condition’ dari koalisi kedua partai.

Dari pemberitaan, kita mengetahui bahwa Aburizal Bakrie (ARB) tidak bermasalah bila dipasangkan dengan Prabowo Subianto sebagai Cawapres. Itu artinya, Golkar yang punya suara lebih besar sekitar 14-15 persen berdasarkan Quick Count rela turun derajat hanya mengusung ketua partai ARB sebagai Cawapres Prabowo. Tapi itu, masih belum final. Bisa saja rencana ARB dan beberapa elit Golkar dimentahkan lagi nanti, tergantung hasil final kesepakatan kedua partai. 

Bila ARB menjadi Cawapres Prabowo, maka sudah mulai muncul dua pasangan Capres-Cawapres, yaitu 1. Jokowi-Jusuf Kalla/Mahfud MD/Abraham Samad dan ke-2, Prabowo Subianto – ARB. 

Lalu bagaimana nasib PKS, PAN yang sebelumnya juga dikabarkan telah merapat ke Gerindra and menyakini akan men-Cawapreskan Hatta Rajasa (Ketua PAN) dengan Prabowo Subianto atau Anis Mata dari PKS? Dengan melihat suara hasil Pileg Legislatif dan basis politik, Prabowo boleh jadi memilih ARB bila ARB dan Golkar iklas merelakan ARB jadi Cawapres Prabowo.

Nah, publik sekarang menunggu pasangan Capres-Cawapres ketiga, dengan asumsi Partai Demokrat jadi mengusung Capres-Cawapres sendiri, dengan menggandeng partai-partai menengah lainnya, yang tidak bergabung dengan kedua pasangan Capres-Cawapres.

Untuk peta koalisi dan pasangan Capres-Cawapres, publik masih menunggu keputusan terakhir partai-partai.

Reaksi Publik
Lalu bagaimana reaksi publik melihat perkembangan rencana koalisi partai-partai di atas? Kita bisa melihat di media-media mainstream maupun sosial media, publik tampaknya mulai gerah dan kecewa dengan rencana koalisi partai-partai politik. Kekecewaan diantaranya akibat tidak jelasnya landasan keputusan koalisi. Idealnya, koalisi itu didasari oleh kesamaan platform atau sepakat memiliki platform yang sama. Namun, yang terjadi koalisi dilakukan berdasarkan ‘Selera’ ketua partai dan elit partai.

Lihat saja pernyataan, ARB usai bertemu dengan Prabowo beberapa waktu lalu. ARB mengatakan dia merasa lebih ‘nyaman’ dengan Prabowo. Namun, ARB tidak menjelaskan dia merasa ‘nyaman’ dalam hal apa? Apakah sekadar nyaman karena merasa bisa bilang ‘Loe - Gue’ dengan Prabowo? Rencana koalisi Gerindra-Golkar ini memang menarik perhatian media dan publik. Ada yang mengatakan, bahwa kedua partai melakukan “koalisi helikopter” atau koalisi di awang-awang, tidak membumi, karena keduanya senang saling berkunjung dengan mempertontonkan kemewahan dan harta yang dimiliki, yaitu melalui simbol helikopter, sementara rakyat hanya melihat ke angkasa, mendengar deru mesin helikopter.

Bila Prabowo dan ARB bergabung menjadi Capres-Cawapres, maka ini akan menjadi fenomena menarik.  Dua-duanya adalah pebisnis atau konglomerat, ARB dengan grup Bakrie-nya, dan Prabowo dengan grup Nusantara Energi. Keduanya juga memiliki catatan hitam yang bakal menjadi batu sandungan bagi keduanya dalam memenangi Pilpres 9 Juli nanti. ARB punya ‘liabilitas’ masalah Lapindo dan PS bakal dihadang oleh isu-isu terkait HAM dan isu utang salah satu perusahaannya, yaitu Kiani Kertas. Tidak heran bila, beberapa pengamat melihat bergabungnya kedua tokoh bisnis-politik ini, tidak lebih sekadar upaya untuk melindungi kepentingan bisnis masing-masing. Keberhasilan pasangan ini nanti tergantung bagaimana mereka memoles isu-isu miring seperti ini.

Sebuah fenomena menarik juga bila ARB benar-benar merapat ke Prabowo dalam satu kendaraan pada Pilpres nanti. Di sektor bisnis keduanya terkadang berseberangan. Lihat saja, ketika Bakrie terlibat masalah dengan banker berdarah Yahudi Nathaniel Rotschild terkait Bumi Resources/Bumi Plc. Saat itu, Nathaniel menggandang adik Prabowo Hashim Djojohadikusumo untuk berhadapan dengan Bakrie. Tapi kini, dua kubu – Bakrie & Prabowo – bakal berada dalam satu kapal. Atau, beda kapal, tapi akan bekerjasama, berkoalisi, saling mendukung setelah Pilpres?

Yang jelas, peta koalisi masih fluid, masih bisa berubah, dan tentu bakal menarik. Publik dan rakyat berharap Pemilihan Umum dapat berjalan lancar dan aman. Yang menang tidak mabuk kepayang, dan yang kalah legowo, sportif menerima hasil. KPU dan pengawasa pemilu beserta seluruh lembaga pendukung harus lebih profesional lagi menyelenggarakan agenda Pilpres 9 Juli nanti. (*)

Senin, 17 Maret 2014

Pengumuman Jokowi Sebagai Calon Presiden Republik Indonesia dan Reaksi Media



Jokowi Nyatakan Kesiapannya(courtessy foto Kompas.com)
Spekulasi publik dalam beberapa bulan terakhir apakah Jokowi Widodo (Jokowi), gubernur DKI Jakarta, akan menjadi Calon Presiden (Capres) terjawab sudah. Pada hari Jumat lalu Megawati Soekarnoputri, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), secara resmi mengumumkannya ke publik. 

Jokowi secara resmi juga menyatakan kesiapannya menjadi capres di tempat yang unik yakni di Rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara. Jokowi memilih lokasi tersebut karena tempat itu dianggap sebagai simbol perlawanan. Jokowi pun menyatakan “Siap mengemban amanat rakyat” bila terpilih nanti.

Pengumuman pencapresan Jokowi jauh dari kesan megah, wah, diiringi oleh lampu kerlap-kerlip. Pengumuman tersebut hanya disertai sebuah pengumuman tulis tangan oleh Megawati, mantan Presiden Republik Indonesia, putri proklamator Bung Karno. Ada kesan sederhana, tapi cukup untuk menjawab spekulasi dan tanda-tanya publik. 

Pengumuman tersebut juga membuat peta siapa saja yang akan menjadi calon Presiden di Pemilihan Umum mendatang semakin jelas. Pencapresan Jokowi juga membuat partai-partai lain melakukan kalkulasi siapa yang akan dicalonkan bila berhak untuk mencalonkan Presiden. Apakah mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres (calon wakil presiden) sendiri atau berkoalisi dengan Partai lain? 

Perbincangan pun ramai di media-media, baik elektronik maupun media cetak. Seperti diduga, reaksi media-media pun beragam, ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang nuansa liputannya mendukung, dan ada pula yang tidak mendukung, dan cenderung mencari-cari alasan untuk menolak, menentang. Reaksi media-media seperti ini sebetulnya tidak mengherankan apabila kita melihat siapa dibalik media tersebut. Kita akan membaca mengapa media A, cenderung independen, melihat dua sisi. Kita juga bisa memahami mengapa media B cenderung menentang.

Saat ini bukan momen yang menyenangkan bagi wartawan yang masih memiliki hati nurani. Mereka menghadapi dilema antara mendengar dan menyuarakan hati nurani dan menghadapi tekanan si pemilik media. 

Sebuah media seharusnya indepeden dan merekam apa yang terjadi di masyarakat maupun di dunia birokrasi dan politik. Namun, independensi tersebut menjadi sesuatu yang mahal dan dipertanyakan saat ini mengingat media-media pun kini dikuasai oleh konglomerat dan para politisi yang juga menjadi ‘pemegang saham’ sebuah partai politik. Sebenarnya, setiap warga negara berhak memiliki perusahaan media. Tapi media tersebut harus tetap independen. Urusan redaksi diserahkan ke awak media profesional dan pemiliki media sebatas sebagai pemegang saham saja.

Posisi dan afiliasi sebuah media dapat dengan jelas terlihat ketika memuat berita politik, terutama terkait pemilihan umum. Tapi bisa juga posisi dan afiliasi tak terlihat dengan jelas karena media tersebut tidak dimiliki secara langsung oleh politisi atau konglomerat. Namun, media seperti ini akan terlihat berafiliasi dengan partai-partai tertentu dengan melihat karakter atau nuansa (tone) berita yang dimuat.

Mari kita lihat media-media nasional kita dan mereka berafiliasi dengan partai apa. 
Pertama, media-media yang berafiliasi dengan Partai Demokrat, yaitu Jurnal Nasional. Media ini memang didirikan oleh pendukung Partai Demokrat dan didesain untuk mendukung Partai Demokrat. Nah, ada juga media-media nasional yang kini berafiliasi dengan Partai Demokrat karena pemilik atau pendirinya bergabung atau jelas-jelas mendukung Partai Demokrat, yaitu media-media milik Dahlan Iskan, yaitu Jawa Pos group dan media-media mokil Chairul Tanjung, yaitu Trans TV, Trans7 dan media online detik.com.
Media-media ini memang terlihat hati-hati, tidak secara gamblang atau kasar mendukung Partai Demokrat. Media-media ini masih membuka ruang memuat berita-berita yang terkait dengan partai lain, walaupun untuk kasus-kasus tertentu terlihat bias. Dalam pengumuman pencalonan Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP, media-media tersebut masih memuatnya walaupun dalam porsi kecil. 

Dari pengamatan sebagai anggota masyarakat, TVRI terlihat memberikan porsi pemberitaan yang cukup besar terhadap Partai Demokrat. Ini tak bisa dipungkiri karena secara tradisi TVRI merupapakan televisi milik negara dan secara psikologis mendukung partai yang berkuasa. Memang dari sono-nya seperit itu.

Kedua, media-media yang berafiliasi dengan Partai Hanura. Seperti yang kita ketahui, Harry Tanoesudibjo telah bergabung dengan partai ini, setelah keluar dari Partai Nasdem, yang didirikan oleh Surya Paloh. Harry memiliki jaringan media yang cukup luas, yakni RCI, MNC TV, Global TV, Indovision (TV kabel), jaringan radi Tri Jaya, Koran Sindo dan media online Okezone.com

Menarik bahwa media-media televisi milik MNC group sedikit sekali atau hampir tidak ada berita mengenai pencapresan Jokowi pada akhir pekan lalu. Dengan kekecualian media cetak dan online. Media online Okezone.com, misalnya, dengan gencar memuat berita-berita dengan tone  negatif terkait pencalonan Jokowi.

Ketiga, media-media yang berafiliasi dan berada dibawah kendali Aburizal Bakrie, Ketua Partai Golkar, yaitu TVOne, ANTV dan Vivanews.co.id, media online serta Suara Karya dan Surabaya Post, yang juga telah diakusisi oleh keluarga Bakrie. Keberpihakan dan biasnya media sudah mulai kelihatan menjelang dan saat memasuki kampanye. Saat Jokowi diumumkan Jumat lalu, misalnya, televisi-televisi milik orang nomor satu di Golkar ini sedikit sekali memuat beritanya, dan cenderung memuat berita-berita negatif. Jokowi dilaporkan telah mengkhianati warga Jakarta.

Padahal, andaikan Jokowi dipilih jadi Presiden, dari perspektif orang Jakarta, maka akan diuntungkan. Program-program selama ini yang macet, seperti urusan pembangunan waduk dan berbagai proyek mencegah banjir, boleh jadi akan menjadi lebih efektif. Dengan kekuasaan yang lebih besar, maka hambatan-hambatan yang terjadi selama ini, termasuk ganjalan dari pemerintah pusat, dapat diatasi dengan lebih efektif.

Pengumuman pencalonan Jokowi sebagai Capres dari PDIP hanyalah sebagai contoh bagaimana media-media kini menjadi bias dan karena telah dikontrol oleh tycoons dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu. Media-media yang dimiliki oleh petinggi partai cenderung dipakai untuk mendukung partai tersebut. 

Parai-partai yang tidak memiliki media atau berafiliasi dengan media-media tertentu, seperti PDIP yang tidak memiliki media, tentu akan menghadapi tantangan yang berat. Namun, justru dengan tidak memiliki media. Namun, bila partai ini mendapat pemberitaan yang positif dari media-media yang independen, maka tentu itu akan menjadi cerminan dukungan riil dari akar rumput atau general public.

Pertanyaannya, bagaimana media bersikap dalam Pemilu? Media-media seharusnya memang independen. Karena, esensi dari sebuah media adalah menyuarakan kepentingan umum, bukan kepentingan golongan, apalagi sebuah partai. Bila media tersebut telah ‘melacurkan’ diri menjadi kuda tunggangan sebuah partai politik, maka itu sama saja dengan era Orba, dimana media-media dikontrol oleh rejim yang berkuasa. Media-media tidak bebas menyuarakan apa yang benar dan tidak benar. Kepentingan umum dan kepentingan golongan atau partai menjadi kabur, tidak jelas batas pemisahnya. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak menguntungan media itu sendiri. Boleh jadi media tersebut akan ditinggalkan oleh pembacanya. (*)

Kamis, 10 Oktober 2013

Ketahanan Energi Indonesia dan Pandangan Para Calon Presiden




Sebuah Platform Migas Lepas Pantai
Isu mengenai ketahanan energi (energy security) menjadi salah satu agenda dalam pertemuan puncak para kepala negara yang tergabung dalam forum APEC 2013 di Bali awal minggu ini. Para kepala negara menyadari ketahanan energi, disamping ketahanan pangan, menjadi salah satu isu penting yang perlu diatasi. Isu ketahanan energi seharusnya menjadi salah satu isu penting yang perlu diagendakan oleh para calon presiden yang akan bertempur pada pemilihan umum tahun 2014.


Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar mengakui ketahanan energi Indonesia masih lemah. Ia menuturkan Indonesia mengidap ‘penyakit’ tiga L, lemah karena ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) sehingga menyebabkan transaksi berjalan defisit. Kedua, lemah dalam ketahanan fiskal. Akibat konsumsi BBM bersubsidi yang tinggi, ketahanan fiskal digerogoti. Ketiga, terkait ketergantungan pada harga internasional.


Di Indonesia sendiri, ketahanan energi masih rentan. Pasokan bahan bakar minyak (BBM) saja hanya rata-rata 21 hari. Gangguan distribusi dan suplai serta harga minyak dunia yang melonjak mengancam ketahanan energi Indonesia dari waktu ke waktu. Persoalan ketahanan energi kita tak hanya pada sisi hilir, tapi juga pada sisi hulu. Bahkan masalah di sisi hulu menuntut keseriusan pemerintah untuk mengatasi persoalan di sektor hulu migas.


Persoalan mendasar pada sisi hulu migas adalah produksi minyak yang terus terun dalam dekade terakhir. Produksi gas cenderung stabil tapi terancama menurun pada tahun-tahun mendatang bila tak ada upaya keras dari pemerintha untuk meningkatkan investasi, khususnya pada aktivitas pencarian cadangan minyak dan gas baru. Investasi untuk eksplorasi dalam beberapa tahun terakhir tidak menggembirakan. Dan ini sudah diakui oleh pemerintah dan pelaku industri. Salah satu masalah yang sering mengemuka adalah iklim investasi yang tidak mendukung serta birokrasi yang njelimet sehingga terkadang menyurutkan niat dan langkah investor migas untuk berinvestasi.


Disamping itu, investasi untuk eksplorasi migas kian mahal dan berisiko karena sebagian besar blok Migas Indonesia saat ini berlokasi di lepas pantai dan berada di daerah yang terpencil (remote areas). Dibutuhkan nyali besar para investor migas untuk berinvestasi dan keberanian untuk mengambil risiko. Risiko investasi untuk eksplorasi memang terbilang tinggi karena tingkat keberhasilannya Cuma sekitar 10-20 percent. Bila menemukan cadangan minyak dan gas maka akan untung, bila tidak menemukan cadangan atau potensi cadangan, maka uang yang telah diinvestasikan menguap a.k.a. hilang, tidak bisa diganti atau diklaim ke pemerintah melalui skema cost recovery.


Lalu apa yang akan dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah hasil Pemilu 2014? Kita belum banyak mendengar pandangan para calon Presiden terkait program ketahanan energi ataupun pandangan atau rencana mereka terhadap industri energi, khususnya minyak dan gas. Publik sejauh ini hanya meraba-raba atau mengira-ngira kira-kira apa yang akan dilakukan oleh pemerintah baru hasil pemilu?


Apa pandangan Partai Demokrat terkait ketahanan energi? Sebagai partai incumbent, sebetulnya tidak sulit kita membaca arah kebijakan Partai Demokrat. Di atas kertas, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menyadari pentingnya ketahanan energi bagi Indonesia. SBY, dalam beberapa kesempatan, termasuk dalam forum APEC di Bali menyatakan komitmen Indonesia terhadap masuknya investasi asing ke Indonesia, termasuk investasi untuk mengembangkan sektor energi tentunya.


Kenyataannya, masih banyak persoalan energi yang dihadapi Indonesia dibawah pemerintahan SBY, mulai dari masih tingginya ketergantungan pada impor, investasi migas yang cenderung melambat khususnya eksplorasi, produksi minyak yang menurun, program-program pengembangan infrastruktur energi yang lamban. Intinya, masih ada jurang antara rencana, komitmen, program dan kebijakan dengan kenyataan atau realitas di lapangan. Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru nanti, khususnya untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia.


PDIP sebagai partai yang pernah berkuasa belum banyak bicara soal ketahanan energi. Bila Megawati Soekarnoputri yang akan dicalonkan menjadi presiden dari PDIP, publik paling tidak punya gambaran terkait kebijakan energi partai itu. Sebagai partai yang pernah berkuasa publik punya catatan negatif terkait energi. Indonesia menjual LNG dari Tangguh proyek ke China dengan harga murah saat Presiden Megawati berkuasa. Bisa jadi ini akan diungkit oleh lawan-lawan politik PDIP untuk menyerang kebijakan energi partai tersebut. Namun, bila PDIP mendorong Jokowi menjadi calon Presiden, persepsi publik mungkin akan berubah dan ingin mengetahui lebih jauh kebijakan energi Jokowi.


Publik juga belum banyak mendengar mengenai program terkait energy (energy policy) partai-partai lain seperti Golkar, PDIP, PSK, Hanura atau partai-partai lainnya. Golkar yang diketuai oleh Aburizal Bakrie sebetulnya bukan awam terhadap masalah energi. Beberapa anak perusahaan Group Bakrie bergerak di sektor energi seperti PT Energi Mega Persada. Namun, Bakrie punya catatan hitam terkait energi, yakni masalah lumpur Lapindo yang kini masih terus dipersoalkan publik. Salah satu perusahaan afiliasi Bakrie diduga menjadi pemicu muntahnya lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebagai pebisnis yang menjadi politisi Aburizal Bakrie mestinya sangat paham tentang pentingnya ketahanan energi. Sebagai mantan ketua Kadin yang pro-bisnis, kita bisa menduga Bakrie akan pro-investasi. Namun, seperti apa program Golkar terkait energi, sejauh ini masih belum jelas.


Barangkali satu-satunya calon presiden yang memiliki visi yang jelas terkait ketahanan energi (energy security adalah Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Hal ini bisa dimaklumi karena Prabowo sendiri memiliki perusahaan energi, yakni Nusantara Energy, yang tentu sangat paham pentingnya ketahanan energi. Prabowo tampak mengetahui dan memahami akar persoalan energi yang dihadapi Indonesia saat ini, yakni ketergantungan pada impor. Sementara pada sisi lain, investasi untuk eksplorasi rendah. Karena itu, tidak mengherankan bila baru-baru ini Prabowo mengkritik pemerintah terkait kegagalan serta rendahnya perhatian pemerintah untuk mendorong investasi eksplorasi. Disamping itu, Prabowo juga dengan tegas mengkritik upaya sebagian kelompok masyarakat untuk menasionalisasi aset migas. Menurut dia, ini hanya persoalan pemahaman saja. Yang terutama adalah bekerja untuk kepentingan nasional dan semangat nasionalisme, bukan menasionalisasi.


Kita berharap para calon presiden dan partai-partai yang akan bertempur pada Pemilu 2014 akan menempatkan isu ketahanan energi ini menjadi salah satu isu utama. Tentu kita berharap akan terjadi perdebatan yang sehat, bukan manipulasi isu sekadar untuk menarik simpati publik. Ketahanan energi adalah isu yang sangat penting bagi kemajuan bangsa. Tanpa itu, ekonomi Indonesia dapat terancam dari waktu ke waktu.


Profil Kebijakan Energi Para Calon Presiden:


Prabowo Subianto (Gerindra)

Prabowo Subianto: Prabowo Subianto baru-baru ini mengatakan dia tidak setuju dengan nasionalisasi aset migas (gaya Chaves). Seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo tampaknya mendukung investasi asing untuk mempertahankan produksi minyak dan gas, namun, berbeda dengan Presiden Yudhoyono, Prabowo ingin fokus pada investasi untuk eksplorasi migas. Prabowo mengkritik kegagalan pemerintah saat ini untuk mendorong investasi untuk eksplorasi migas.

Poin Kebijakan Energi: 8/10




Aburizal Bakrie (Golkar)

Aburizal Bakrie, seorang pelaku bisnis melalui group Bakrie, yang kemudian terjun ke politik tampaknya akan pro-bisnis dan pro-investasi. Maksudnya, kepentingan bisnisnya kemungkinan akan diprioritaskan. Investor bisa jadi akan nervous bila Bakrie menjadi presiden, yang sejauh ini kemungkinannya (menjadi presiden) kecil. Golkar kemungkinan akan berjuang untuk fokus pada pemilihan parlemen (legislative election) agar tetap bisa menjaga keseimbangan politik seperti yang dilakukan saat ini. Namun, Bakrie sebagai pelaku bisnis punya catatan buruk yakni terkait kasus lumpur Lapindo.

Poin Kebijakan Energi: 3/10



Megawati Soekarnoputri (PDIP)

Saat ini PDIP belum menetapkan siapa yang bakal menjadi calon Presiden partainya. Kita asumsikan ketua partai Megawati Soekarnoputri masih berpeluang untuk dicalonkan. Siapapun yang akan dicalonkan pengaruh Megawati masih akan besar. Namun, publik punya catatan terhadap Megawati. Saat menjadi Presiden, Mengawati dihadapkan pada tantangan berat yakni melakukan reformasi birokrasi dan menghapus praktik-praktik korupsi yang telah merajalela, termasuk di sektor minyak dan gas bumi. KPK pun dibentuk. Tapi ia dinilai gagal.

Nilai Kebijakan Energi: 2/10



Joko Widodo (PDIP & Dijagokan oleh Partai-Partai Lain)

Jokowi saat ini menjadi tokoh yang disukai oleh publik dan menjadi media darling. Peluang Jokowi menjadi Presiden sangat besar, dengan catatan Megawati tidak ego dan menghalangi jalan Jokowi menjadi Presiden. Walaupun prestasi yang dicapainya dalam waktu singkat saat menjadi Gubernur DKI Jakarta mengagumkan, prestasi Jokowi di tingkat nasional belum terbukti dan belum diketahui pandangan dan kebijakan dia terkait industri minyak dan gas.

Nilai Kebijakan Energi: ?/10




Hatta Rajasa (Partai Amanat Rakyat)

Hatta Rajasa merupakan mantan menteri perhubungan yang memiliki catatan buruk. Cukup banyak kecelakaan pesawat, kerita api dan ferry saat ia menjadi menteri perhubungan. Namun, kedekatannya dengan Presiden SBY (melalui ikatan perkawinan, putrinya menikah dengan salah satu putra SBY) membuat Hatta tetap dipertahankan menjadi menteri dan bahkan menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. Catatan buruk saat ia menjadi menteri perhubungan dan dukungannya terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan BPMIGAS dan pandangan nasionalisme ekstrim PAN  terhadap industri minyak dan gas akan membuat investor nervous. Melihat posisi PAN, kemungkinan Hatta akan menjadi calon Wakil Presiden.

Nilai Kebijakan Energi: 1/10


Incumbent: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Partai Demokrat belum menetapkan siapa yang bakal menjadi calon Presiden dari Partai itu. Namun, publik paling tidak memiliki catatan terhadap berbagai kebijakan, program dan realisasi program pemerintah terkait kebijakan energi. Presiden SBY terlihat pro-investasi energi dan pro-bisnis.  Namun, SBY gagal meningkatkan investasi eksplorasi migas dan produksi minyak cenderung turun. Ketergantungan impor minyak tinggi. Ada jurang antara rencana dengan realitas di lapangan. Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru nanti, khususnya untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia.

Nilai Kebijakan Energi: 3/10


Wiranto (Hanura)

Hanura telah mendeklarasikan Wiranto sebagai calon Presiden berpasangan dengan Harry Tanoesudibyo sebagai wakil Presiden. Kebijakan energi Wiranto belum kelihatan jelas, namun, kemungkinan dia akan pro-bisnis dan pro-investasi. Bergabungnya Harry Tanoe ke Hanura paling tidak akan sedikit banyak berpengaruh pada kebijakan Wiranto bila ia menjadi Presiden. Harry Tanoe merupakan pemilik MNC group, sebuah konglomerasi bisnis yang bergerak di media dan industri lainnya, termasuk minyak dan gas bumi melalui Bhakti Group.

Nilai kebijakan Energi: 5/10