Tampilkan postingan dengan label Gerindra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gerindra. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 November 2014

FPI dan KMP Menggonggong, Ahok Berlalu!

Pelantikan Ahok
Terlepas dari gonggongan Front Pembela Islam (FPI) dan hantaman sana sini dari Koalisi Merah Putih (KMP), akhirnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dilantik juga.

Namun Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah tindakan yang ilegal dan inkonstitusional. Pelantikan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2014 pasal 174 dan pasal 203.

"Pelantikan Ahok harus dibatalkan," kata Fadli Zon

Sedangkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tidak menganggap polemik DPRD terkait dasar hukum pelantikan Ahok menjadi gubernur sebagai hambatan. Tjahjo menyebutkan bahwa Ahok telah resmi menjabat sebagai orang nomor satu di Jakarta.

"Saya kira paripurna sore tadi hasilnya sudah 'clear' ya," kata Tjahjo.

Dasar hukum Keputusan Presiden (Keppres) terkait pengunduran diri Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta sudah keluar. Demikian pula Keppres soal penunjukan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Plt Gubernur DKI Jakarta sudah keluar.

"Ya sudah semua. Kepentingan Kemendagri, Plt (Pelaksana Tugas) ini jangan lama-lama," sebut Tjahjo.

Sementara itu, soal polemik yang terjadi di DPRD DKI Jakarta, Tjahjo menganggapnya tidak bisa memengaruhi proses Ahok menjadi gubernur. Meskipun demikian, pihaknya akan tetap menghormati proses di parlemen Jakarta tersebut.

Tjahjo akan menantikan surat keputusan rapat paripurna di DPRD DKI Jakarta selambat-lambatnya dikirimkan pada Selasa mendatang.

"Kalau perlu rembug, silahkan rembug dulu enggak apa-apa. Kami akan menunggu sampai Selasa (depan)," tutur Tjahjo.

Diberitakan bahwa rapat paripurna istimewa pengumuman Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta berlangsung pada hari Jumat (14/11/2014) pukul 10.50 WIB. Namun sebanyak lima fraksi, yakni Gerindra, PKS, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Demokrat-Partai Amanat Nasional (PAN), dan Golkar, tidak hadir dalam paripurna.

"Ada yang dilanggar, itu yang menyebabkan kami dari pimpinan DPRD lainnya dan lima fraksi di DPRD tidak hadir," ujar Wakil Ketua DPRD DKI dari Fraksi PKS, Triwisaksana.

Triwisaksana menyebutkan bahwa ada dua pelanggaran dilakukan oleh Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi dalam sidang paripurna tersebut. Dua hal itu adalah tata tertib yang telah disetujui dan disepakati bersama serta kesepakatan dan komitmen dari rapat gabungan yang berlangsung pada pekan lalu. Penandatanganan surat Kementerian Dalam Negeri oleh Prasetyo terkait pelantikan Basuki menjadi Gubernur DKI juga dianggap sepihak. Maka menurutnya rapat paripurna istimewa itu cacat prosedural.


Yah sudahlah. Semoga orang-orang ini semua bisa move-on dan menerima kenyataan bahwa Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta. Mulailah bekerja dan berhenti berpolitik tidak jelas yang lebih banyak mudharatnya.

Minggu, 18 Mei 2014

Pemilihan Presiden 2014: Jokowi-Jusuf Kalla vs Prabowo-Hatta Rajasa, Golkar & PD Galau



Setelah beberapa minggu melobi sana-sini, pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mulai terang benderang. PDIP sebagai pemenang dengan jumlah suara terbanyak serta partai-partai yang telah bergabung, Nasdem, PKB dan Hanura tadi malam (18 Mei) telah sepakat untuk mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla (JK) sementara Gerindra yang berada di posisi ke-3 dalam Pemilihan Legislatif lalu dan partai pendukungnya PKS dan PPP hampir pasti akan mengusung Prabowo Subianto (PS) sebagai Calon presiden dan Hatta Rajasa sebagai calon Wakil Presiden.


Ditengah derasnya kritikan terhadap Prabowo terkait dugaan keterlibatannya terhadap kasus penculikan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) jelang krisis moneter dan politik 1997-1998, Prabowo maju dan melobi berbagai partai untuk mengusungnya sebagai Calon Presiden. Dari berbagai partai yang dilobi, hanya PKS yang nyaris tenggelam akibat kasus korupsi sapi impor yang melibatkan mantan presiden PKS Luthfie Hasan, Partai Amanat Nasional (PAN) serta PPP yang sudah secara terbuka mendukung pencapresan Prabowo. PPP pun pada akhirnya tidak punya pilihan kecuali mendukung Prabowo setelah sempat terjadi pertarungan internal, termasuk saling memecat antara pimpinan partai.  


ARB-SBY??
Bagaimana dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat? Apakah akan ada poros ketiga? Dalam seminggu terakhir muncul ke permukaan bakal ada poros ke-3, yang dimotori oleh Partai Demokrat. Capres dan Ketua Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) sempat bertemu dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membahas kemungkinan dibentuknya poros ketiga. Namun, tampaknya upaya tersebut terbentur antara siapa yang jadi Capres dan Cawapres. Media-media sempat memunculkan pasangan ARB sebagai Capres dan Pramono Edhie sebagai Wakil Presiden. Anehnya, Pramono Edhie bukanlah pemenang Konvensi Partai Demokrat. Justru yang menjadi pemenang adalah Dahlan Iskan, yang diklaim menjadi yang paling populer dibanding 10 bakal capres lain berdasarkan survei.


Lalu bagaimana dengan nasib pemenang konvensi Partai Demokrat? Itu ibarat berlomba untuk menjadi juara, tapi hadiah yang dijanjikan tidak diberikan. Itulah politik. Terkadang dan lebih sering terjadi rencana tidak berjalan sesuai rencana. Pemenang Konvensi Partai Demokrat dijanjikan akan diberikan ‘boarding pass’ untuk menjadi Capres Partai Demokrat tapi boarding pass itu tak dapat diberikan oleh Partai Demokrat karena partai tersebut gagal dalam Pileg 9 April lalu. Partai ini (PD) hanya memperoleh suara sekitar 10 persen, sehingga tidak dapat mengusung Capres sendiri. PD membutuhkan partai-partai lain agar bisa memenuhi persyaratan 20% suara agar dapat mengusung Capres sendiri. Sebelumnya PD sempat diisukan bakal bergabung dengan Golkar atau sebaliknya, tapi hingga hari ini tidak terjadi atau belum terjadi. Salah satu skenario yang mungkin terjadi PD dan Golkar hanya sebagai penonton saja dalm Pilpres nanti. TRAGIS MEMANG, bila itu terjadi!. Partai pemenang Pemilihan Presiden dua kali (2004 dan 2009) gagal mengajukan Capres.


Lain lagi kisah ARB, seorang tokoh partai dan pemilik Bakrie Group, ini tampak kebingungan, antara Mencapreskan diri sendiri, bergabung dengan PD, Prabowo atau Jokowi. ARB sempat terbang ke Bojongkoneng, ‘istana’ Prabowo dengan helicopter, sehingga sempat memunculkan isu koalisi helicopter. Tapi akhirnya, tidak terjadi deal apa-apa. ARB juga sempat bertemu Jokowi dan Megawati Soekarnoputri. Entah apa yang dibahas atau proposal yang diajukan ARB, tidak jelas. Sempat muncul berita bahwa ARB mungkin menjadi calon Wakil Presiden Jokowi, tapi tidak terjadi. 


Rapat Pimpinan Nasional (Rampimnas) Golkar hanya mengkonfirmasi ARB sebagai Capres atau Cawapres, tidak ada figur baru yang dimunculkan secara formal oleh partai Golkar. Kemungkinan terburuk, Golkar bakal hanya menjadi penonton saja dalam Pilpres 9 Juli nanti. 


Namun, politik bisa berubah dalam hitungan detik. Bisa saja ARB atau partai Demokrat membuat keputusan last miniture, dengan membuat poros baru. Masih tersisa sedikit waktu. Kemungkinan lain, Golkar merapat ke PDIP tanpa menuntut kursi Cawapres, hanya sebagai partai pendukung. PD, bila melihat pernyataan ketua partai PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bisa jadi PD akan menjadi dirinya sendiri, dalam arti berada di luar pemerintahan, dan menjadi partai diluar pemerintah atau semacam partai oposisi. 


Akan halnya Jokowi dan Jusuf Kalla, tentu ini telah melalui proses pembahasan internal PDIP serta diskusi dengan mitra PDIP, yakni Nasdem, PKB dan Hanura. Sebelumnya ada lima nama yang dimunculkan, kemudian menyusut menjadi 2 orang (yakni Jusuf Kalla dan Abraham Samad), tapi pada akhirnya JK yang diputuskan menjadi pendamping Jokowi. JK dianggap layak mendampingi Jokowi karena keduanya dapat saling melengkapi. Jokowi dan Jusuf Kalla merupakan paduan antara sosok populer di mata rakyat dan sosok yang berpengalaman dan tokoh lintas partai, lintas agama, lintas suku, dengan jangkauan internasional tentu memberikan nilai plus pada pasangan ini. Publik Indonesia tahu keberhasilan SBY pada masa pemerintahan 2004-2009, tak terlepas dari kontribusi JK, yang tegas, cepat bertindak dan sosok yang result-oriented. Walaupun usia JK sudah tidak muda lagi, namun ia masih aktif seperti yang ia tunjukkan saat menjadi ketua PMI. 


JK juga merupakan sosok yang masih dikagumi di internal Golkar, dan bisa jadi bila Jokowi-JK menang Pemilu, bisa jadi fraksi-fraksi internal Golkar akan mendorong pergantian ketua Golkar dan memilih sosok yang akan mendukung JK, sama seperti skenario 2004 lalu. Golkar akhirnya merapat ke partai pemenang pemilu. 


Saat ini masyarakat Indonesia menatap Pilpres 9 Juli nanti. Masyarakat kini menanti visi, misi dan program-program konkrit yang akan ditawarkan oleh masing-masing pasangan Capres-Cawapres. Masyarakat merindukan perubahan. Masyarakat kini tidak lagi membutuhkan pemimpin yang authoritarian, rejim militer atau penguasa yang otoriter, tapi sosok pemimpin yang fresh, yang mendambakan pemimpin yang melayani rakyatknya, memberi yang terbaik bagi rakyatknya, seorang pemimpin yang dapat mengayomi masyarakat Indonesia yang majemuk dari Sabang sampai Merauke, sosok pemimpin yang bukan pendendam, sosok pemimpin yang tidak emosional, sosok pemimpin yang lebih banyak bertindak dengan karya nyata, bukan dengan slogan-slogan yang sekadar menjual tapi sulit dan tidak mungkin diterapkan. 


Kita berharap Pemilihan Presiden akan berjalan lancar, tidak terjadi gontok-gontokan di lapangan, bebas kerususuhan, bebas dari saling caci-maki, saling menjatuhkan melalui black campaign. Kampanye negatif mungkin sah-sah saja, tapi black campaign yang tidak berdasarkan fakta, melakukan pembohongan publik tidak sehat bagi kemajuan demokrasi kedepan. Pihak-pihak yang melancarkan black campaign bakal menjadi bumerang bagi sang calon. Lebih baik para Capres dan Cawapres fokus pada diri sendiri dan fokus pada apa yang mereka bisa tawarkan bagi kemajuan Indonesia kedepan, bukan fokus pada apa yang dilakukan lawan politik. Semoga!!

Senin, 05 Mei 2014

Membaca Arah Koalisi Partai, Antara Koalisi Selera vs Koalisi Platform



Koalisi 'Helikopter'  (foto detik.com)
Agenda politik nasional memasuki pekan penting. Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih terseok-sekok menyelesaikan rekapitulasi suara hasil Pemilihan Legislatif 9 April lalu yang seharusnya diumumkan hari ini, tapi ditunda ke tanggal 9 Mei, sebagai tanggal keramat yang tidak bisa dilewati. Hingga hari ini, baru 12 dari 33 provinsi menyelesaikan hasil rekapitulasi suara. Artinya, dalam 3-4 hari kedepan, KPU harus menyelesaikan hitungan suara Pileg legislative. Sementara disisi lain, partai-partai peserta pemilu masih menunggu dengan cemas dan galau hasil rekapitulasi suara sebelum memutuskan akan berkoalisi dengan partai apa dalam mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden pada pemilihan presiden 9 Juli nanti. 

Dalam tiga minggu terakhir, publik dipertontonkan sebuah pertunjukan atau lebih tepat dagelan politik di sebuah panggung sandiriwara. Setelah keluar hasil quick count beberapa lembaga, partai-partai langsung melakukan manuver-manuver politik. Partai tiga besar, PDIP, Golkar dan Gerindra, berdasarkan hasil Quick Count, mencoba menggandeng partai-partai menengah dan kecil untuk bekerjasama atau berkoalisi mengusung Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres dan Cawapres).

Yang sudah tegas-tegas bergabung barulah PDIP dan Nasdem. Kedua petinggi partai – Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh beserta elit-elit partai sudah bertemu dan bahkan telah menyusun tim gabungan. Anggota tim pemenangan Pemilu kemungkinan masih akan bertambah bila memang ada partai-partai lain nanti bergabung. Yang jelas, Jokowi telah disepakati dan didukung oleh Nasdem untuk menjadi Calon Presiden. Nah, calon Wakil Presiden hingga detik ini belum diumumkan ke publik. Ada beberapa nama yang dimunculkan ke publik, yaitu mantan Wakil Presiden yang juga ketua PMI Jusuf Kalla, mantan ketua MK Mahfud MD, ketua KPK Abraham Samad, dan beberapa nama lain. Santer terdengar di publik, internal PDIP dan Nasdem condong memilih Jusuf Kalla akan dipasangkan dengan Jokowi, dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Jusuf Kalla dianggap sebagai sosok yang tepat karena memiliki pengalaman, ketenangan, ketegasan dan network pendukung yang kuat, termasuk dari internal partai Golkar dan kalangan Islam yang akan menjadi penyeimbang bagi Jokowi. Disamping itu, Jokowi membutuhkan sosok yang bisa berpacu bersama, punya chemistry yang pas dan sama-sama punya jiwa kerja atau result-oriented. Jusuf Kalla memang sudah tidak muda lagi, namun, ia masih terlihat energik di usianya yang sudah memasuki masa golden age. 

Beberapa partai dikabarkan akan merapat lagi, diantaranya PKB dan PPP. Baru-baru ini Jokowi melakukan safari politik ke pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur bertemu dengan tokoh-tokoh spiritual PKB dan PPP. Jokowi juga didampingi oleh elit-elit PKB, sebuah indikasi PKB bakal bergabung dengan PDIP. PPP sendiri masih terpecah antara yang pro-Prabowo dan pro-Jokowi. Ketua PPP masih tetap ngotot untuk membawa gerbong PPP ke Gerindra, sementara sebagian besar elit PPP menginginkan merapat ke PDIP atau mendukung Jokowi sebagai Capres.

Lalu bagaimana dengan Golkar dan Gerindra? Peta koalisi tampaknya sudah mulai berubah. Sebelumnya, publik tahu bakal ada tiga Capres, yaitu, Jokowi, Prabowo dan Aburizal Bakrie (ARB). Cawapres yang menjadi teka-teki. Namun, dalam seminggu terakhir, angin politik kembali berubah. ARB yang sebelumnya mengklaim telah memperoleh ‘boarding pass’ untuk menjadi Capres, menurunkan targetnya hanya menjadi Cawapres, itu pun dengan catatan kedua partai – Gerindra dan Golkar – sepakat dengan ‘terms and condition’ dari koalisi kedua partai.

Dari pemberitaan, kita mengetahui bahwa Aburizal Bakrie (ARB) tidak bermasalah bila dipasangkan dengan Prabowo Subianto sebagai Cawapres. Itu artinya, Golkar yang punya suara lebih besar sekitar 14-15 persen berdasarkan Quick Count rela turun derajat hanya mengusung ketua partai ARB sebagai Cawapres Prabowo. Tapi itu, masih belum final. Bisa saja rencana ARB dan beberapa elit Golkar dimentahkan lagi nanti, tergantung hasil final kesepakatan kedua partai. 

Bila ARB menjadi Cawapres Prabowo, maka sudah mulai muncul dua pasangan Capres-Cawapres, yaitu 1. Jokowi-Jusuf Kalla/Mahfud MD/Abraham Samad dan ke-2, Prabowo Subianto – ARB. 

Lalu bagaimana nasib PKS, PAN yang sebelumnya juga dikabarkan telah merapat ke Gerindra and menyakini akan men-Cawapreskan Hatta Rajasa (Ketua PAN) dengan Prabowo Subianto atau Anis Mata dari PKS? Dengan melihat suara hasil Pileg Legislatif dan basis politik, Prabowo boleh jadi memilih ARB bila ARB dan Golkar iklas merelakan ARB jadi Cawapres Prabowo.

Nah, publik sekarang menunggu pasangan Capres-Cawapres ketiga, dengan asumsi Partai Demokrat jadi mengusung Capres-Cawapres sendiri, dengan menggandeng partai-partai menengah lainnya, yang tidak bergabung dengan kedua pasangan Capres-Cawapres.

Untuk peta koalisi dan pasangan Capres-Cawapres, publik masih menunggu keputusan terakhir partai-partai.

Reaksi Publik
Lalu bagaimana reaksi publik melihat perkembangan rencana koalisi partai-partai di atas? Kita bisa melihat di media-media mainstream maupun sosial media, publik tampaknya mulai gerah dan kecewa dengan rencana koalisi partai-partai politik. Kekecewaan diantaranya akibat tidak jelasnya landasan keputusan koalisi. Idealnya, koalisi itu didasari oleh kesamaan platform atau sepakat memiliki platform yang sama. Namun, yang terjadi koalisi dilakukan berdasarkan ‘Selera’ ketua partai dan elit partai.

Lihat saja pernyataan, ARB usai bertemu dengan Prabowo beberapa waktu lalu. ARB mengatakan dia merasa lebih ‘nyaman’ dengan Prabowo. Namun, ARB tidak menjelaskan dia merasa ‘nyaman’ dalam hal apa? Apakah sekadar nyaman karena merasa bisa bilang ‘Loe - Gue’ dengan Prabowo? Rencana koalisi Gerindra-Golkar ini memang menarik perhatian media dan publik. Ada yang mengatakan, bahwa kedua partai melakukan “koalisi helikopter” atau koalisi di awang-awang, tidak membumi, karena keduanya senang saling berkunjung dengan mempertontonkan kemewahan dan harta yang dimiliki, yaitu melalui simbol helikopter, sementara rakyat hanya melihat ke angkasa, mendengar deru mesin helikopter.

Bila Prabowo dan ARB bergabung menjadi Capres-Cawapres, maka ini akan menjadi fenomena menarik.  Dua-duanya adalah pebisnis atau konglomerat, ARB dengan grup Bakrie-nya, dan Prabowo dengan grup Nusantara Energi. Keduanya juga memiliki catatan hitam yang bakal menjadi batu sandungan bagi keduanya dalam memenangi Pilpres 9 Juli nanti. ARB punya ‘liabilitas’ masalah Lapindo dan PS bakal dihadang oleh isu-isu terkait HAM dan isu utang salah satu perusahaannya, yaitu Kiani Kertas. Tidak heran bila, beberapa pengamat melihat bergabungnya kedua tokoh bisnis-politik ini, tidak lebih sekadar upaya untuk melindungi kepentingan bisnis masing-masing. Keberhasilan pasangan ini nanti tergantung bagaimana mereka memoles isu-isu miring seperti ini.

Sebuah fenomena menarik juga bila ARB benar-benar merapat ke Prabowo dalam satu kendaraan pada Pilpres nanti. Di sektor bisnis keduanya terkadang berseberangan. Lihat saja, ketika Bakrie terlibat masalah dengan banker berdarah Yahudi Nathaniel Rotschild terkait Bumi Resources/Bumi Plc. Saat itu, Nathaniel menggandang adik Prabowo Hashim Djojohadikusumo untuk berhadapan dengan Bakrie. Tapi kini, dua kubu – Bakrie & Prabowo – bakal berada dalam satu kapal. Atau, beda kapal, tapi akan bekerjasama, berkoalisi, saling mendukung setelah Pilpres?

Yang jelas, peta koalisi masih fluid, masih bisa berubah, dan tentu bakal menarik. Publik dan rakyat berharap Pemilihan Umum dapat berjalan lancar dan aman. Yang menang tidak mabuk kepayang, dan yang kalah legowo, sportif menerima hasil. KPU dan pengawasa pemilu beserta seluruh lembaga pendukung harus lebih profesional lagi menyelenggarakan agenda Pilpres 9 Juli nanti. (*)

Rabu, 16 April 2014

Menakar Kekuatan Opsi Pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Jusuf Kalla



Majalah Tempo edisi April 30-6, Mei 2012 masih tergeletak meja saya dengan cover cukup menarik, ada gambar atau sosok bakal calon presiden (Capres) yang membelakangi kamera, dengan judul di bawahnya ‘Berpacu untuk RI-1’. Menari untuk melihat ke belakangan bagaimana persepsi publik dan media 2 tahun lalu dan sesaat setelah pemilihan legislatif. Majalah tersebu mengedepankan 5 sosok yang bakal bersaing dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun ini (9 Juli), yaitu Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Mahfud MD, Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto. Dari lima sosok tersebut ada tiga orang yang menjadi ketua partai, yaitu Ical, Hatta Rajasa dan Prabowo Subianto. Dua lagi merupakan tokoh publik – Kalla sebagai ketua PMI dan Mahfud MD sebagai ketua MK saat itu. 

Saya mencoba menelusuri laporan tersebut dari awal hingga akhir. Menariknya nama Joko Widodo (Jokowi) tidak ada dalam daftar atau sosok yang diperbincangkan atau diprediksi saat itu. Melihat hasil Pileg 9 April lalu dan menyimak dinamika politik beberapa hari terakhir, ARB (Aburizal Bakrie) dan Gerindra bakal diajukan secara resmi sebagai calon Presiden, dan satu sosok lagi, yaitu Jokowi akan diajukan secara resmi sebagai calon Presiden dari Partai pemenang Pemilihan Legislatif PDIP, yang didukung oleh partai lain. 

Sejauh ini, baru Nasional Demokratik (Partai Nasdem) yang secara resmi mendukung atau memberikan suaranya untuk mendukung Jokowi sebagai Presiden. Sebetulnya, bila angka/persentase quick count sejalan dengan real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejalan, maka PDIP sudah cukup untuk mencalonkan Jokowi sebagai Presiden. Namun, tampaknya PDIP dan elit partai tersebut serta Jokowi masih terus melobi partai-partai lain untuk ‘bekerjasama’ membentuk “Kabine Kerja” bila terpilih nanti. 

Saat ini publik masih menanti-nanti dan mencoba meraba-raba siapa yang bakal menjadi calon Wakil Presiden (Cawapres) untuk mendampingi Jokowi. Berbagai nama muncul di permukaan, di antaranya Jusuf Kalla, ketua PMI yang juga mantan Wakil Presiden, Mahfud MD, mantan ketua MK, Muhaimin Iskandar (Menaker), Hatta Rajasa (Ketua PAN yang juga Menteri Koordinator Perekonomian), dan Ryamizard Ryacudu, dan Panglima TNI Jenderal Moeldoko.  Elit PDIP dan Jokowi sendiri mengatakan telah mengantongi 5 nama sabagai kandidat Cawapres Jokowi, namun tidak atau belum diumumkan ke publik.

Namun, dari berbagai sumber internal PDIP yang saya peroleh, nama Jusuf Kalla muncul sebagai calon kuat untuk mendampingi Jokowi. Dan tentu ini belum final mengingat kondisi atau dinamika politik masih sangat cair (fluid) yang bisa saja berubah dari waktu ke waktu. 

Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo hanya memberikan kriteria Cawapres Jokowi tanpa mau menyebut nama. Pertama, orang yang bisa bekerja sama dengan Jokowi selama lima tahun. Kedua, memiliki komitmen. Ketiga, siap melaksanakan program prorakyat dan mengimplementasikan trisakti Bung Karno, keempat mampu memperkuat sistem presidensial dan kelima, mendukung program pro-rakyat Jokowi.

Seberapa jauh prospek dan kekuatan pasangan Jokowi-JK, bila benar-benar diajukan oleh PDIP dan mitranya? Bila kita melihat sosok Jokowi, ia memiliki kekuatan tapi juga pengalaman. Kekuatan Jokowi ada pada karakternya. Sejak ia menjadi Wali Kota Solo hingga menjadi Gubernur DKI saat ini, karaker yang menonjol adalah kesederhanaan, kejujuran dan jiwa kepemimpinan yang melayani (servant of the people). 

Tahun lalu saat saya mengunjungi Solo untuk suatu tugas, saya sempat berbincang-bincang dengan tukang becak, pemilik warung, dan pengelola hotel. Bagi mereka, Jokowi adalah sosok pemimpin yang unik, yang merakyat. Saat menjadi Walikota Solo, ia hanya bertahan sekitar 1 jam di kantor, dan selebihnya berada di luar kantor, blusukan kemana-mana. Ia bukan tipe pemimpin yang hanya duduk di belakang meja dan menerima laporan ABS (asal bapa senang) dari bawahannya, tapi ia tipe pemimpin yang suka hands-on-the job, yang ingin tanyan kotor bersih-bersih sampah, berbaur langsung dengan masyarakat.  Tidak hanya itu, sistem birokrasi juga ia rombak, tanpa banyak bicara, sehingga tidak heran beberapa kali Kota Solo menerima penghargaan dari BPK karena laporan keuangan yang bagus.

Di Jakarta, tidak sulit untuk menemui Jokowi karena hampir tiap hari dan bahkan akhir pekan pun ia blusukan kemana-mana. Ia seolah memunculkan gaya pemimpin baru yang menyegarkan di Indonesia, yakni menjadi pelayan publik (servant of the people). Beruntung, Jokowi juga memiliki Wakil Gubernur yang memiliki komitmen yang sama untuk membangun sebuah pemerintahan yang berorientasi melayani masyarakat, dalam diri Basuki T Purnama atau Ahok. Keduanya memang memilik karakter yang berbeda, Jokowi yang lembut, rendah hati, jujur, pendengar baik, sementara Ahok sosok yang keras dan tidak sungkan-sungkan bersuara keras menegur bawahannya. Namun, keduanya saling melengkapi.

Jokowi bukan tidak punya kelemahan. Salah satunya adalah kurang berpengalaman. Ini tidak mengherankan karena sosok Jokowi melesat sangat cepat di belantara perpolitik nasional dalam dua tahun terakhir. Bahkan, majalah terbesar nasional Tempo dan media-media nasional pun belum menyebut nama Jokowi sebagai calon Presiden dua tahun lalu. Jokowi datang dari akar rumput, sosok sederhana yang lahir di desa/daerah, yang mewakili masyarakat akar rumput. Maka Jokowi tahu persis apa yang menjadi persoalan masyarakat akar rumput. Gaya kemempinan merakyat tersebut merupakan kekuatan Jokowi, tapi di satu sisi ia masih perlu meningkatkan kompensi dia sebagai pemimpin nasional (kompetensi). 

Indonesia saat ini banyak orang pintar, punya kemampuan tapi minus kejujuran, minus kesederhanaan, minus kerendahan hati untuk mendengar aspirasi dari bawah. Maka munculnya sosok Jokowi yang dicintai rakyatnya memberikan kesegaran baru bagi panggung politik dan kekuasaan nasional. Dari sisi kompetensi, calon presiden lain Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie memiliki kompetensi, tapi mereka juga punya kekurangan. PS dikait-kaitkan dengan isu HAM saat transisi politik tahun 1997-1998 dan Bakrie disandra oleh kasus Lumpur Sidoarjo (Lusi). Keraguan juga muncul karena bila ia (ARB) menjadi Presiden, dikhawatirkan akan memberikan favoritism pada group usahanya. 

Jokowi? Ia tidak punya perusahaan. Kalaupun ada, hanya sebuah perusahaan furnitur. Karena itu, masyarakat Indonesia saat ini mendambakan dan mengharapkan seorang sosok, figur baru yang dapat memberikan penyegeran dan pembaharuan di segala bidang, termasuk di birokrasi. Kelemahan Jokowi hanya ada pada pengalaman dalam menjadi pemimpin nasional. Namun, kepercayaan rakyat akan menjadi kekuatan bagi dia untuk pemimpin dengan karakter yang ia miliki. 

Karena itu, tidak mengherankan bila kemudian muncul sosok Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi dalam Pilpres nanti. Dari sisi chemistry, tidak sulit bagi JK untuk bekerja sama dengan Jokowi karena keduanya sudah beberapa kali bertemu. Sama seperti Jokowi, JK juga adalah tipe pemimpin yang bekerja. Tidak sulit juga bagi Jokowi untuk bekerjasama karena ia seorang pemimpin yang suka mendengar, bukan one man show leader seperti Capres lain.

Saya setuju dengan pendapat pengamat politik Universitas Indoensia, Arbi Sani, bahwa Joko Widodo harus menggandeng politisi senior Golkar yang juga Wapres 2004-2009, Jusuf Kalla. Hanya faktor yang masih perlu dipertimbangkan adalah faktor umur JK, namun keraguan tersebut bakal terbantahkan melihat kesibukan JK saat memimpin PMI hingga saat ini. Pepatah old soldier never die pas disematkan ke pundak JK. JK sosok yang pas untuk mengimbangi Jokowi. Jokowi memiliki keunggulan yang dibanding Capres lainnya, namun ia masih tergolong hijau dari sisi pengalaman dalam memimpin pemerintahan dalam skala nasional. Dan, kekurangan tersebut dapat diisi oleh sosok seorang Jusuf Kalla. (*)