Koalisi 'Helikopter' (foto detik.com) |
Dalam tiga minggu terakhir,
publik dipertontonkan sebuah pertunjukan atau lebih tepat dagelan politik di
sebuah panggung sandiriwara. Setelah keluar hasil quick count beberapa lembaga,
partai-partai langsung melakukan manuver-manuver politik. Partai tiga besar,
PDIP, Golkar dan Gerindra, berdasarkan hasil Quick Count, mencoba menggandeng
partai-partai menengah dan kecil untuk bekerjasama atau berkoalisi mengusung
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres dan Cawapres).
Yang sudah tegas-tegas bergabung
barulah PDIP dan Nasdem. Kedua petinggi partai – Megawati Soekarnoputri dan
Surya Paloh beserta elit-elit partai sudah bertemu dan bahkan telah menyusun
tim gabungan. Anggota tim pemenangan Pemilu kemungkinan masih akan bertambah
bila memang ada partai-partai lain nanti bergabung. Yang jelas, Jokowi telah
disepakati dan didukung oleh Nasdem untuk menjadi Calon Presiden. Nah, calon
Wakil Presiden hingga detik ini belum diumumkan ke publik. Ada beberapa nama
yang dimunculkan ke publik, yaitu mantan Wakil Presiden yang juga ketua PMI
Jusuf Kalla, mantan ketua MK Mahfud MD, ketua KPK Abraham Samad, dan beberapa
nama lain. Santer terdengar di publik, internal PDIP dan Nasdem condong memilih
Jusuf Kalla akan dipasangkan dengan Jokowi, dengan berbagai alasan dan
pertimbangan.
Jusuf Kalla dianggap sebagai
sosok yang tepat karena memiliki pengalaman, ketenangan, ketegasan dan network
pendukung yang kuat, termasuk dari internal partai Golkar dan kalangan Islam
yang akan menjadi penyeimbang bagi Jokowi. Disamping itu, Jokowi membutuhkan
sosok yang bisa berpacu bersama, punya chemistry yang pas dan sama-sama punya
jiwa kerja atau result-oriented. Jusuf Kalla memang sudah tidak muda lagi,
namun, ia masih terlihat energik di usianya yang sudah memasuki masa golden
age.
Beberapa partai dikabarkan akan
merapat lagi, diantaranya PKB dan PPP. Baru-baru ini Jokowi melakukan safari
politik ke pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur bertemu dengan tokoh-tokoh
spiritual PKB dan PPP. Jokowi juga didampingi oleh elit-elit PKB, sebuah
indikasi PKB bakal bergabung dengan PDIP. PPP sendiri masih terpecah antara
yang pro-Prabowo dan pro-Jokowi. Ketua PPP masih tetap ngotot untuk membawa
gerbong PPP ke Gerindra, sementara sebagian besar elit PPP menginginkan merapat
ke PDIP atau mendukung Jokowi sebagai Capres.
Lalu bagaimana dengan Golkar dan
Gerindra? Peta koalisi tampaknya sudah mulai berubah. Sebelumnya, publik tahu
bakal ada tiga Capres, yaitu, Jokowi, Prabowo dan Aburizal Bakrie (ARB).
Cawapres yang menjadi teka-teki. Namun, dalam seminggu terakhir, angin politik
kembali berubah. ARB yang sebelumnya mengklaim telah memperoleh ‘boarding pass’
untuk menjadi Capres, menurunkan targetnya hanya menjadi Cawapres, itu pun
dengan catatan kedua partai – Gerindra dan Golkar – sepakat dengan ‘terms and
condition’ dari koalisi kedua partai.
Dari pemberitaan, kita mengetahui
bahwa Aburizal Bakrie (ARB) tidak bermasalah bila dipasangkan dengan Prabowo
Subianto sebagai Cawapres. Itu artinya, Golkar yang punya suara lebih besar
sekitar 14-15 persen berdasarkan Quick Count rela turun derajat hanya mengusung
ketua partai ARB sebagai Cawapres Prabowo. Tapi itu, masih belum final. Bisa
saja rencana ARB dan beberapa elit Golkar dimentahkan lagi nanti, tergantung
hasil final kesepakatan kedua partai.
Bila ARB menjadi Cawapres
Prabowo, maka sudah mulai muncul dua pasangan Capres-Cawapres, yaitu 1. Jokowi-Jusuf
Kalla/Mahfud MD/Abraham Samad dan ke-2, Prabowo Subianto – ARB.
Lalu bagaimana nasib PKS, PAN
yang sebelumnya juga dikabarkan telah merapat ke Gerindra and menyakini akan
men-Cawapreskan Hatta Rajasa (Ketua PAN) dengan Prabowo Subianto atau Anis Mata
dari PKS? Dengan melihat suara hasil Pileg Legislatif dan basis politik, Prabowo
boleh jadi memilih ARB bila ARB dan Golkar iklas merelakan ARB jadi Cawapres
Prabowo.
Nah, publik sekarang menunggu
pasangan Capres-Cawapres ketiga, dengan asumsi Partai Demokrat jadi mengusung
Capres-Cawapres sendiri, dengan menggandeng partai-partai menengah lainnya, yang
tidak bergabung dengan kedua pasangan Capres-Cawapres.
Untuk peta koalisi dan pasangan
Capres-Cawapres, publik masih menunggu keputusan terakhir partai-partai.
Reaksi
Publik
Lalu bagaimana reaksi publik
melihat perkembangan rencana koalisi partai-partai di atas? Kita bisa melihat
di media-media mainstream maupun sosial media, publik tampaknya mulai gerah dan
kecewa dengan rencana koalisi partai-partai politik. Kekecewaan diantaranya
akibat tidak jelasnya landasan keputusan koalisi. Idealnya, koalisi itu
didasari oleh kesamaan platform atau sepakat memiliki platform yang sama.
Namun, yang terjadi koalisi dilakukan berdasarkan ‘Selera’ ketua partai dan
elit partai.
Lihat saja pernyataan, ARB usai
bertemu dengan Prabowo beberapa waktu lalu. ARB mengatakan dia merasa lebih ‘nyaman’
dengan Prabowo. Namun, ARB tidak menjelaskan dia merasa ‘nyaman’ dalam hal apa?
Apakah sekadar nyaman karena merasa bisa bilang ‘Loe - Gue’ dengan Prabowo? Rencana
koalisi Gerindra-Golkar ini memang menarik perhatian media dan publik. Ada yang
mengatakan, bahwa kedua partai melakukan “koalisi helikopter” atau koalisi di awang-awang,
tidak membumi, karena keduanya senang saling berkunjung dengan mempertontonkan
kemewahan dan harta yang dimiliki, yaitu melalui simbol helikopter, sementara
rakyat hanya melihat ke angkasa, mendengar deru mesin helikopter.
Bila Prabowo dan ARB bergabung
menjadi Capres-Cawapres, maka ini akan menjadi fenomena menarik. Dua-duanya adalah pebisnis atau konglomerat,
ARB dengan grup Bakrie-nya, dan Prabowo dengan grup Nusantara Energi. Keduanya
juga memiliki catatan hitam yang bakal menjadi batu sandungan bagi keduanya dalam
memenangi Pilpres 9 Juli nanti. ARB punya ‘liabilitas’ masalah Lapindo dan PS
bakal dihadang oleh isu-isu terkait HAM dan isu utang salah satu perusahaannya,
yaitu Kiani Kertas. Tidak heran bila, beberapa pengamat melihat bergabungnya
kedua tokoh bisnis-politik ini, tidak lebih sekadar upaya untuk melindungi
kepentingan bisnis masing-masing. Keberhasilan pasangan ini nanti tergantung
bagaimana mereka memoles isu-isu miring seperti ini.
Sebuah fenomena menarik juga bila
ARB benar-benar merapat ke Prabowo dalam satu kendaraan pada Pilpres nanti. Di
sektor bisnis keduanya terkadang berseberangan. Lihat saja, ketika Bakrie
terlibat masalah dengan banker berdarah Yahudi Nathaniel Rotschild terkait Bumi
Resources/Bumi Plc. Saat itu, Nathaniel menggandang adik Prabowo Hashim
Djojohadikusumo untuk berhadapan dengan Bakrie. Tapi kini, dua kubu – Bakrie &
Prabowo – bakal berada dalam satu kapal. Atau, beda kapal, tapi akan bekerjasama,
berkoalisi, saling mendukung setelah Pilpres?
Yang jelas, peta koalisi masih fluid, masih bisa berubah, dan tentu
bakal menarik. Publik dan rakyat berharap Pemilihan Umum dapat berjalan lancar
dan aman. Yang menang tidak mabuk kepayang, dan yang kalah legowo, sportif
menerima hasil. KPU dan pengawasa pemilu beserta seluruh lembaga pendukung
harus lebih profesional lagi menyelenggarakan agenda Pilpres 9 Juli nanti. (*)