Tampilkan postingan dengan label Aburizal Bakrie. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aburizal Bakrie. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Juli 2014

#TVOneMemangBeda jadi Trending Topic Indonesia

parodi #TVOneMemangBeda
Pemilihan presiden kali ini memang lain daripada yang lain. Selain antusiasme para pemilih yang luar biasa, ada juga kisah lucu dan menarik untuk disimak. Seperti yang kita ketahui, ada cukong-cukong media di kubu para capres. Surya Paloh cukong Metro TV merangkap ketua Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang termasuk koalisi Jokowi, Hary Tanoe cukong MNC group dari Partai Hanura dan Aburizal Bakrie cukong TV One yang berada di koalisi Prabowo.

Selesai waktu pencoblosan, TV One menampilkan hasil quick count kedua capres. Ketika media dan lembaga survey lainnya memenangkan Jokowi, TV One menampilkan hasil quick count yang anti-mainstream, yakni memenangkan Prabowo. Pada suatu titik bahkan TV One menampilkan hasil quick count yang apabila dijumlah, hasilnya lebih dari 100%! Inilah sumber mengapa TV One menjadi bahan olok-olok, terutama di media sosial Twitter.

"Jangan dikira kami tidak memperhatikan hal-hal itu, seperti guyonan untuk TV One. Itu semua kami perhatikan dan menjadi bahan evaluasi. Kalau memang secara internal ada yang salah, itu akan kami koreksi. Di running text kalau ada yang salah, itu juga ada sanksinya," ujar Sekretaris Perusahaan PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) yang membawahkan stasiun TV One, Neil Tobing. "Seperti hari-hari ini, ketika media lain menayangkan quick count, kami sudah menayangkan krisis di Gaza. Kami berusaha menyajikan apa yang dibutuhkan pemirsa," tambahnya. Padahal, jangan-jangan TV One sedang buah simalakama! Apabila menayangkan hasil quick count, berarti akan memenangkan Jokowi, lebih baik tidak ditayangkan sekalian.

Buntut dari kejadian ini juga saham Viva News dan TV One anjlok di bursa saham ketika IHSG semua saham beserta rupiah menguat. Indeks tukar semua menguat karena pasar menganggap Jokowi lah pemenang pilpres kali ini. Namun memang dasar TV One memang beda sesuai motonya, saham mereka yang anjlok sendiri.

Selain itu, buntut lain dari insiden kecil ini adalah juga diedarkannya petisi untuk mencabut hak penyiaran TV One kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi serta Komisi Penyiaran Indonesia. Pengisi petisi berargumentasi bahwa TV One tidak layar siar karena TV One telah melakukan pembohongan publik dan sangat parsial serta tidak independen. Memang TV One sudah sangat parsial sejak jaman kampanye. TV One hanya menyiarkan berita-berita baik tentang Prabowo, berita tentang Jokowi sangat jarang. Kalaupun ada, itu pun pasti berita yang buruk. Hingga tulisan ini dibuat, pengisi petisi telah menembus 10.000 orang.

Beberapa candaan dengan hashtag #TVOneMemangBeda di Twitter adalah sebagai berikut ini:
- Status kamu masih jomblo? Coba cek di TV One siapa tahu kamu sudah tidak jomblo lagi. #TVOneMemangBeda
- Jokowi Presiden RI, Prabowo Presiden TV One #TVOneMemangBeda
 Brazil membantai Jerman 7-1 di Piala Dunia. #TVOneMemangBeda


Senin, 05 Mei 2014

Membaca Arah Koalisi Partai, Antara Koalisi Selera vs Koalisi Platform



Koalisi 'Helikopter'  (foto detik.com)
Agenda politik nasional memasuki pekan penting. Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih terseok-sekok menyelesaikan rekapitulasi suara hasil Pemilihan Legislatif 9 April lalu yang seharusnya diumumkan hari ini, tapi ditunda ke tanggal 9 Mei, sebagai tanggal keramat yang tidak bisa dilewati. Hingga hari ini, baru 12 dari 33 provinsi menyelesaikan hasil rekapitulasi suara. Artinya, dalam 3-4 hari kedepan, KPU harus menyelesaikan hitungan suara Pileg legislative. Sementara disisi lain, partai-partai peserta pemilu masih menunggu dengan cemas dan galau hasil rekapitulasi suara sebelum memutuskan akan berkoalisi dengan partai apa dalam mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden pada pemilihan presiden 9 Juli nanti. 

Dalam tiga minggu terakhir, publik dipertontonkan sebuah pertunjukan atau lebih tepat dagelan politik di sebuah panggung sandiriwara. Setelah keluar hasil quick count beberapa lembaga, partai-partai langsung melakukan manuver-manuver politik. Partai tiga besar, PDIP, Golkar dan Gerindra, berdasarkan hasil Quick Count, mencoba menggandeng partai-partai menengah dan kecil untuk bekerjasama atau berkoalisi mengusung Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres dan Cawapres).

Yang sudah tegas-tegas bergabung barulah PDIP dan Nasdem. Kedua petinggi partai – Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh beserta elit-elit partai sudah bertemu dan bahkan telah menyusun tim gabungan. Anggota tim pemenangan Pemilu kemungkinan masih akan bertambah bila memang ada partai-partai lain nanti bergabung. Yang jelas, Jokowi telah disepakati dan didukung oleh Nasdem untuk menjadi Calon Presiden. Nah, calon Wakil Presiden hingga detik ini belum diumumkan ke publik. Ada beberapa nama yang dimunculkan ke publik, yaitu mantan Wakil Presiden yang juga ketua PMI Jusuf Kalla, mantan ketua MK Mahfud MD, ketua KPK Abraham Samad, dan beberapa nama lain. Santer terdengar di publik, internal PDIP dan Nasdem condong memilih Jusuf Kalla akan dipasangkan dengan Jokowi, dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Jusuf Kalla dianggap sebagai sosok yang tepat karena memiliki pengalaman, ketenangan, ketegasan dan network pendukung yang kuat, termasuk dari internal partai Golkar dan kalangan Islam yang akan menjadi penyeimbang bagi Jokowi. Disamping itu, Jokowi membutuhkan sosok yang bisa berpacu bersama, punya chemistry yang pas dan sama-sama punya jiwa kerja atau result-oriented. Jusuf Kalla memang sudah tidak muda lagi, namun, ia masih terlihat energik di usianya yang sudah memasuki masa golden age. 

Beberapa partai dikabarkan akan merapat lagi, diantaranya PKB dan PPP. Baru-baru ini Jokowi melakukan safari politik ke pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur bertemu dengan tokoh-tokoh spiritual PKB dan PPP. Jokowi juga didampingi oleh elit-elit PKB, sebuah indikasi PKB bakal bergabung dengan PDIP. PPP sendiri masih terpecah antara yang pro-Prabowo dan pro-Jokowi. Ketua PPP masih tetap ngotot untuk membawa gerbong PPP ke Gerindra, sementara sebagian besar elit PPP menginginkan merapat ke PDIP atau mendukung Jokowi sebagai Capres.

Lalu bagaimana dengan Golkar dan Gerindra? Peta koalisi tampaknya sudah mulai berubah. Sebelumnya, publik tahu bakal ada tiga Capres, yaitu, Jokowi, Prabowo dan Aburizal Bakrie (ARB). Cawapres yang menjadi teka-teki. Namun, dalam seminggu terakhir, angin politik kembali berubah. ARB yang sebelumnya mengklaim telah memperoleh ‘boarding pass’ untuk menjadi Capres, menurunkan targetnya hanya menjadi Cawapres, itu pun dengan catatan kedua partai – Gerindra dan Golkar – sepakat dengan ‘terms and condition’ dari koalisi kedua partai.

Dari pemberitaan, kita mengetahui bahwa Aburizal Bakrie (ARB) tidak bermasalah bila dipasangkan dengan Prabowo Subianto sebagai Cawapres. Itu artinya, Golkar yang punya suara lebih besar sekitar 14-15 persen berdasarkan Quick Count rela turun derajat hanya mengusung ketua partai ARB sebagai Cawapres Prabowo. Tapi itu, masih belum final. Bisa saja rencana ARB dan beberapa elit Golkar dimentahkan lagi nanti, tergantung hasil final kesepakatan kedua partai. 

Bila ARB menjadi Cawapres Prabowo, maka sudah mulai muncul dua pasangan Capres-Cawapres, yaitu 1. Jokowi-Jusuf Kalla/Mahfud MD/Abraham Samad dan ke-2, Prabowo Subianto – ARB. 

Lalu bagaimana nasib PKS, PAN yang sebelumnya juga dikabarkan telah merapat ke Gerindra and menyakini akan men-Cawapreskan Hatta Rajasa (Ketua PAN) dengan Prabowo Subianto atau Anis Mata dari PKS? Dengan melihat suara hasil Pileg Legislatif dan basis politik, Prabowo boleh jadi memilih ARB bila ARB dan Golkar iklas merelakan ARB jadi Cawapres Prabowo.

Nah, publik sekarang menunggu pasangan Capres-Cawapres ketiga, dengan asumsi Partai Demokrat jadi mengusung Capres-Cawapres sendiri, dengan menggandeng partai-partai menengah lainnya, yang tidak bergabung dengan kedua pasangan Capres-Cawapres.

Untuk peta koalisi dan pasangan Capres-Cawapres, publik masih menunggu keputusan terakhir partai-partai.

Reaksi Publik
Lalu bagaimana reaksi publik melihat perkembangan rencana koalisi partai-partai di atas? Kita bisa melihat di media-media mainstream maupun sosial media, publik tampaknya mulai gerah dan kecewa dengan rencana koalisi partai-partai politik. Kekecewaan diantaranya akibat tidak jelasnya landasan keputusan koalisi. Idealnya, koalisi itu didasari oleh kesamaan platform atau sepakat memiliki platform yang sama. Namun, yang terjadi koalisi dilakukan berdasarkan ‘Selera’ ketua partai dan elit partai.

Lihat saja pernyataan, ARB usai bertemu dengan Prabowo beberapa waktu lalu. ARB mengatakan dia merasa lebih ‘nyaman’ dengan Prabowo. Namun, ARB tidak menjelaskan dia merasa ‘nyaman’ dalam hal apa? Apakah sekadar nyaman karena merasa bisa bilang ‘Loe - Gue’ dengan Prabowo? Rencana koalisi Gerindra-Golkar ini memang menarik perhatian media dan publik. Ada yang mengatakan, bahwa kedua partai melakukan “koalisi helikopter” atau koalisi di awang-awang, tidak membumi, karena keduanya senang saling berkunjung dengan mempertontonkan kemewahan dan harta yang dimiliki, yaitu melalui simbol helikopter, sementara rakyat hanya melihat ke angkasa, mendengar deru mesin helikopter.

Bila Prabowo dan ARB bergabung menjadi Capres-Cawapres, maka ini akan menjadi fenomena menarik.  Dua-duanya adalah pebisnis atau konglomerat, ARB dengan grup Bakrie-nya, dan Prabowo dengan grup Nusantara Energi. Keduanya juga memiliki catatan hitam yang bakal menjadi batu sandungan bagi keduanya dalam memenangi Pilpres 9 Juli nanti. ARB punya ‘liabilitas’ masalah Lapindo dan PS bakal dihadang oleh isu-isu terkait HAM dan isu utang salah satu perusahaannya, yaitu Kiani Kertas. Tidak heran bila, beberapa pengamat melihat bergabungnya kedua tokoh bisnis-politik ini, tidak lebih sekadar upaya untuk melindungi kepentingan bisnis masing-masing. Keberhasilan pasangan ini nanti tergantung bagaimana mereka memoles isu-isu miring seperti ini.

Sebuah fenomena menarik juga bila ARB benar-benar merapat ke Prabowo dalam satu kendaraan pada Pilpres nanti. Di sektor bisnis keduanya terkadang berseberangan. Lihat saja, ketika Bakrie terlibat masalah dengan banker berdarah Yahudi Nathaniel Rotschild terkait Bumi Resources/Bumi Plc. Saat itu, Nathaniel menggandang adik Prabowo Hashim Djojohadikusumo untuk berhadapan dengan Bakrie. Tapi kini, dua kubu – Bakrie & Prabowo – bakal berada dalam satu kapal. Atau, beda kapal, tapi akan bekerjasama, berkoalisi, saling mendukung setelah Pilpres?

Yang jelas, peta koalisi masih fluid, masih bisa berubah, dan tentu bakal menarik. Publik dan rakyat berharap Pemilihan Umum dapat berjalan lancar dan aman. Yang menang tidak mabuk kepayang, dan yang kalah legowo, sportif menerima hasil. KPU dan pengawasa pemilu beserta seluruh lembaga pendukung harus lebih profesional lagi menyelenggarakan agenda Pilpres 9 Juli nanti. (*)

Rabu, 16 April 2014

Menakar Kekuatan Opsi Pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Jusuf Kalla



Majalah Tempo edisi April 30-6, Mei 2012 masih tergeletak meja saya dengan cover cukup menarik, ada gambar atau sosok bakal calon presiden (Capres) yang membelakangi kamera, dengan judul di bawahnya ‘Berpacu untuk RI-1’. Menari untuk melihat ke belakangan bagaimana persepsi publik dan media 2 tahun lalu dan sesaat setelah pemilihan legislatif. Majalah tersebu mengedepankan 5 sosok yang bakal bersaing dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun ini (9 Juli), yaitu Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Mahfud MD, Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto. Dari lima sosok tersebut ada tiga orang yang menjadi ketua partai, yaitu Ical, Hatta Rajasa dan Prabowo Subianto. Dua lagi merupakan tokoh publik – Kalla sebagai ketua PMI dan Mahfud MD sebagai ketua MK saat itu. 

Saya mencoba menelusuri laporan tersebut dari awal hingga akhir. Menariknya nama Joko Widodo (Jokowi) tidak ada dalam daftar atau sosok yang diperbincangkan atau diprediksi saat itu. Melihat hasil Pileg 9 April lalu dan menyimak dinamika politik beberapa hari terakhir, ARB (Aburizal Bakrie) dan Gerindra bakal diajukan secara resmi sebagai calon Presiden, dan satu sosok lagi, yaitu Jokowi akan diajukan secara resmi sebagai calon Presiden dari Partai pemenang Pemilihan Legislatif PDIP, yang didukung oleh partai lain. 

Sejauh ini, baru Nasional Demokratik (Partai Nasdem) yang secara resmi mendukung atau memberikan suaranya untuk mendukung Jokowi sebagai Presiden. Sebetulnya, bila angka/persentase quick count sejalan dengan real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejalan, maka PDIP sudah cukup untuk mencalonkan Jokowi sebagai Presiden. Namun, tampaknya PDIP dan elit partai tersebut serta Jokowi masih terus melobi partai-partai lain untuk ‘bekerjasama’ membentuk “Kabine Kerja” bila terpilih nanti. 

Saat ini publik masih menanti-nanti dan mencoba meraba-raba siapa yang bakal menjadi calon Wakil Presiden (Cawapres) untuk mendampingi Jokowi. Berbagai nama muncul di permukaan, di antaranya Jusuf Kalla, ketua PMI yang juga mantan Wakil Presiden, Mahfud MD, mantan ketua MK, Muhaimin Iskandar (Menaker), Hatta Rajasa (Ketua PAN yang juga Menteri Koordinator Perekonomian), dan Ryamizard Ryacudu, dan Panglima TNI Jenderal Moeldoko.  Elit PDIP dan Jokowi sendiri mengatakan telah mengantongi 5 nama sabagai kandidat Cawapres Jokowi, namun tidak atau belum diumumkan ke publik.

Namun, dari berbagai sumber internal PDIP yang saya peroleh, nama Jusuf Kalla muncul sebagai calon kuat untuk mendampingi Jokowi. Dan tentu ini belum final mengingat kondisi atau dinamika politik masih sangat cair (fluid) yang bisa saja berubah dari waktu ke waktu. 

Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo hanya memberikan kriteria Cawapres Jokowi tanpa mau menyebut nama. Pertama, orang yang bisa bekerja sama dengan Jokowi selama lima tahun. Kedua, memiliki komitmen. Ketiga, siap melaksanakan program prorakyat dan mengimplementasikan trisakti Bung Karno, keempat mampu memperkuat sistem presidensial dan kelima, mendukung program pro-rakyat Jokowi.

Seberapa jauh prospek dan kekuatan pasangan Jokowi-JK, bila benar-benar diajukan oleh PDIP dan mitranya? Bila kita melihat sosok Jokowi, ia memiliki kekuatan tapi juga pengalaman. Kekuatan Jokowi ada pada karakternya. Sejak ia menjadi Wali Kota Solo hingga menjadi Gubernur DKI saat ini, karaker yang menonjol adalah kesederhanaan, kejujuran dan jiwa kepemimpinan yang melayani (servant of the people). 

Tahun lalu saat saya mengunjungi Solo untuk suatu tugas, saya sempat berbincang-bincang dengan tukang becak, pemilik warung, dan pengelola hotel. Bagi mereka, Jokowi adalah sosok pemimpin yang unik, yang merakyat. Saat menjadi Walikota Solo, ia hanya bertahan sekitar 1 jam di kantor, dan selebihnya berada di luar kantor, blusukan kemana-mana. Ia bukan tipe pemimpin yang hanya duduk di belakang meja dan menerima laporan ABS (asal bapa senang) dari bawahannya, tapi ia tipe pemimpin yang suka hands-on-the job, yang ingin tanyan kotor bersih-bersih sampah, berbaur langsung dengan masyarakat.  Tidak hanya itu, sistem birokrasi juga ia rombak, tanpa banyak bicara, sehingga tidak heran beberapa kali Kota Solo menerima penghargaan dari BPK karena laporan keuangan yang bagus.

Di Jakarta, tidak sulit untuk menemui Jokowi karena hampir tiap hari dan bahkan akhir pekan pun ia blusukan kemana-mana. Ia seolah memunculkan gaya pemimpin baru yang menyegarkan di Indonesia, yakni menjadi pelayan publik (servant of the people). Beruntung, Jokowi juga memiliki Wakil Gubernur yang memiliki komitmen yang sama untuk membangun sebuah pemerintahan yang berorientasi melayani masyarakat, dalam diri Basuki T Purnama atau Ahok. Keduanya memang memilik karakter yang berbeda, Jokowi yang lembut, rendah hati, jujur, pendengar baik, sementara Ahok sosok yang keras dan tidak sungkan-sungkan bersuara keras menegur bawahannya. Namun, keduanya saling melengkapi.

Jokowi bukan tidak punya kelemahan. Salah satunya adalah kurang berpengalaman. Ini tidak mengherankan karena sosok Jokowi melesat sangat cepat di belantara perpolitik nasional dalam dua tahun terakhir. Bahkan, majalah terbesar nasional Tempo dan media-media nasional pun belum menyebut nama Jokowi sebagai calon Presiden dua tahun lalu. Jokowi datang dari akar rumput, sosok sederhana yang lahir di desa/daerah, yang mewakili masyarakat akar rumput. Maka Jokowi tahu persis apa yang menjadi persoalan masyarakat akar rumput. Gaya kemempinan merakyat tersebut merupakan kekuatan Jokowi, tapi di satu sisi ia masih perlu meningkatkan kompensi dia sebagai pemimpin nasional (kompetensi). 

Indonesia saat ini banyak orang pintar, punya kemampuan tapi minus kejujuran, minus kesederhanaan, minus kerendahan hati untuk mendengar aspirasi dari bawah. Maka munculnya sosok Jokowi yang dicintai rakyatnya memberikan kesegaran baru bagi panggung politik dan kekuasaan nasional. Dari sisi kompetensi, calon presiden lain Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie memiliki kompetensi, tapi mereka juga punya kekurangan. PS dikait-kaitkan dengan isu HAM saat transisi politik tahun 1997-1998 dan Bakrie disandra oleh kasus Lumpur Sidoarjo (Lusi). Keraguan juga muncul karena bila ia (ARB) menjadi Presiden, dikhawatirkan akan memberikan favoritism pada group usahanya. 

Jokowi? Ia tidak punya perusahaan. Kalaupun ada, hanya sebuah perusahaan furnitur. Karena itu, masyarakat Indonesia saat ini mendambakan dan mengharapkan seorang sosok, figur baru yang dapat memberikan penyegeran dan pembaharuan di segala bidang, termasuk di birokrasi. Kelemahan Jokowi hanya ada pada pengalaman dalam menjadi pemimpin nasional. Namun, kepercayaan rakyat akan menjadi kekuatan bagi dia untuk pemimpin dengan karakter yang ia miliki. 

Karena itu, tidak mengherankan bila kemudian muncul sosok Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi dalam Pilpres nanti. Dari sisi chemistry, tidak sulit bagi JK untuk bekerja sama dengan Jokowi karena keduanya sudah beberapa kali bertemu. Sama seperti Jokowi, JK juga adalah tipe pemimpin yang bekerja. Tidak sulit juga bagi Jokowi untuk bekerjasama karena ia seorang pemimpin yang suka mendengar, bukan one man show leader seperti Capres lain.

Saya setuju dengan pendapat pengamat politik Universitas Indoensia, Arbi Sani, bahwa Joko Widodo harus menggandeng politisi senior Golkar yang juga Wapres 2004-2009, Jusuf Kalla. Hanya faktor yang masih perlu dipertimbangkan adalah faktor umur JK, namun keraguan tersebut bakal terbantahkan melihat kesibukan JK saat memimpin PMI hingga saat ini. Pepatah old soldier never die pas disematkan ke pundak JK. JK sosok yang pas untuk mengimbangi Jokowi. Jokowi memiliki keunggulan yang dibanding Capres lainnya, namun ia masih tergolong hijau dari sisi pengalaman dalam memimpin pemerintahan dalam skala nasional. Dan, kekurangan tersebut dapat diisi oleh sosok seorang Jusuf Kalla. (*)

Minggu, 23 Maret 2014

UPDATE PEMILU INDONESIA -- Skandal Plesiran ARB dengan 2 Artis ke Maladewa Pukulan Bagi Golkar & ARB



Mayoritas calon Presiden yang akan berlaga dalam Pemilihan Presiden 2014 (Pilpres) membawa beban berat masa lalu. Salah satunya Aburizal Bakrie (ARB), yang mengklaim telah memperoleh boarding pass untuk maju menjadi Calon Presiden dari Partai Golkar. Beban ARB bakal menjadi lebih berat lagi pada Pemilu nanti setelah video skandal kunjungannya bersama dua artis kakak beradik Marcela Zailanti dan Olivia Zailanti ke pulau yang dikenal sebagai destinasi bulan madu menyebar di media-media sosial dan media-media mainstream.

Di dalam video tersebut Aburizal ‘Ical’ Bakrie mengunjungi Maladewa dengan pesawat jet pribadi. Di dalam pesawat itu, terlihat lengang, hanya 4 orang yang tertangkap kamera – Ical yang duduk di barisan depan berdampingan dengan Marcella dan di berisan belakang (menghadap kamera) seorang anggota politisi Golkar dan sang adik, Olivia Z, yang memegang handicam. Keempatnya terlihat bercanda dengan akrab.

Video tersebut berjudul "Aburizal Bakrie & Marcella Zalianty Liburan Bersama Ke Maladewa." Terlihat video skandal Maladewa tersebut diunggah pemilik akun ARB pada 20 Maret 2014. Hingga pagi ini, sudah 80,803 pengunjung yang menonton video tersebut. Video skandal ARB bersama 2 artis tersebut muncul dalam beberapa judul. Ada yang menulis dengan judul: “Capres Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical) + Marcela Zalianty Berama Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin + Olivia Zailanti, Romantis di pulau Maladewa/Maldives”.

Tak hanya video, ada foto juga sang ketua Partai Golkar itu memeluk erat boneka Teddy Bear milik sang artis. Ada juga foto dalam pesawat terlihat ARB memeluk Marcella. Belum ada penjelasan apakah foto tersebut asli atau hasil editan. Sontak, foto dan video-video itu bertebaran di media-media sosial dengan komentar-komentar nada mengecam, sinis, tapi ada juga ada yang menimpali dengan santai. Pertanyaan-pertanyaan yang banyak muncul mempertanyakan liburan ke Maladewa tersebut. “Ada apa seorang ketua Partai berwisata ke Maladewa dengan dua artis ke pulau Honeymoon? Berfoya-foya?”.

Maladewa memang langgan para artis-artis holiwood dan orang-orang kaya di dunia untuk berlibur. Dengan tarif hotel berkisar US$2,500 per malam, tentu bukan tempat plesiran biasa. Hotel-hotel yang bertebaran di sekitar pantai/Atol dengan pemandangan yang wah menarik wisatan luar-negeri. Bagi pasangan yang ingin honeymoon, Maladewa memang tempatnya. Sebagian orang mengatakan, pergilah ke Maladewa sebelum Anda meninggal. It's heaven on earth.

Ada yang mencak-mencak dengan mengatakan, inikah tipe calon Presiden yang akan memimpin 240 juta penduduk, plesiran ke pulau wisata bersama artis dan bersenang-senang di atas penderitaan rakyat? 

ARB dan Marcella Zailanty sudah mengkonfirmasi pada akhir pekan bahwa orang-orang yang terlihat di video tersebut memang mereka. Benar mereka mengunjungi pulau Maladewa. Marcella dalam keterangannya kepada media mengatakan video tersebut diambil akhir 2009 atau awal 2010. Ada pihak-pihak yang berusaha memeras dirinya dan keluarga Bakrie dengan menyebar video tersebut. Marcella sendiri menyerahkan ke Golkar apakah akan melaporkan penyebar video tersebut. 

Namun, dari publik tak akan menghiraukan apakah mereka yang terlihat dalam video tersebut akan melaporkan ke polisi. Publik mungkin akan justru berterimakasih dengan beredarnya video tersebut. Paling tidak publik akan mendapat informasi tambahan mengenai karakter seorang tokoh/pemimpin partai yang menjadi bakal calon presiden di  Pemilu nanti. 

Komentar-komentar pedas di media-media sosial maupun di media-media mainstream online, dapat dipahami apalagi saat ini ARB menjadi Capres dari Golkar. Rakyat butuh informasi selengkap-lengkapnya mengenai sosok-sosok yang disuguhkan kepada mereka sehingga kelak saat hari H, mereka mendapatkan pilihan yang tepat sesuai hati nurani. Publik butuh memilih Calon Presiden yang bertanggungjawab, punya tenggang rasa dengan rakyat, tidak justru berplesiran ke pulau honeymoon pula. Publik dan rakyat butuh seorang pemimpin yang melayani mereka, memahami kebutuhan rakyat dan mementingkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, golongan atau bisnis. 

Menyebarnya video skandal pelesrian bersama dua artis tersebut merupakan pukulan telak, tidak hanya pada Aburizal Bakrie sendiri, tapi bisa juga bagi Partai Golkar. Sejauh mana dampak penyebaran video tersebut terhadap Golkar dan ARB, akan terlihat pada hasil Pemilu nanti. Namun, melihat dampak, reaksi publik dan media, tampaknya, video tersebut menjadi pukulan bagi ARB dan Golkar yang bakal mempengaruhi pilhan para voters nanti. 

Saat ini, dengan berbagai persoalan bangsa yang begitu banyak, mulai masalah ekonomi, masalah kebangsaan, maupun masalah moral, mendera bangsa ini. Masalah kebangsaan, misalnya, meningkatnya masalah intoleransi antar umat beragama dan antar kelompok masyarakat. Berbagai kelompok menggunakan cara-cara kekerasan untuk menindak atau menyerang pihak atau kelompok lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya. Daerah-daerah mulai mementingkan daerahnya terkait pengelolaan SDA sehingga benturan antar daerah dan pusat mulai meningkat. Ada daerah yang merasa ditinggalkan, karena SDA di wilayahnya dikeruk oleh pengusaha-pengusaha nasional yang tak bertanggungjawab.

Masalah-masalah ekonomi juga tak kalah banyaknya. Mulai dari masalah pengangguran, kemiskinan, kebijakan ekonomi yang tidak menyentuh kepentingan umum, ancaman krisis pangan dan energi, masalah salah pengelolaan SDA dan bejibun masalah-masalah lain. Di sektor energi, banyak proyek-proyek minyak dan gas bumi yang mangkrak atau tertunda/terlambat. Banyak juga perusahaan migas yang menunda atau menahan investasi mereka karena ketidakpastian berusaha, termasuk keputusan perpanjangan kontrak blok-blok migas, termasuk Blok Mahakam, yang kini belum diputuskan pemerintah (Kementerian ESDM).

Kita juga banyak menyaksikan berbagai skandal dan kasus yang mencuat ke permukaan, seperti skandal politisi yang terlibat skandal sex dengan artis-artis, skandal threesome Ustad Cisarua baru-baru ini, skandal/kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh partai atau elit politik, dan lain-lain.

Kita berharap, Pemilu 2014 ini akan menghasilkan para politisi Senayan yang mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat di atas kepentingan golongan, serta Presiden yang menjadi panutan bagi rakyat, seorang pemimpin jujur, tidak hipokrit – muncul manis di hadapan publik, tapi dari belakang menikam rakyatnya sendiri. (*)