Tampilkan postingan dengan label Prabowo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prabowo. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Juli 2014

#TVOneMemangBeda jadi Trending Topic Indonesia

parodi #TVOneMemangBeda
Pemilihan presiden kali ini memang lain daripada yang lain. Selain antusiasme para pemilih yang luar biasa, ada juga kisah lucu dan menarik untuk disimak. Seperti yang kita ketahui, ada cukong-cukong media di kubu para capres. Surya Paloh cukong Metro TV merangkap ketua Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang termasuk koalisi Jokowi, Hary Tanoe cukong MNC group dari Partai Hanura dan Aburizal Bakrie cukong TV One yang berada di koalisi Prabowo.

Selesai waktu pencoblosan, TV One menampilkan hasil quick count kedua capres. Ketika media dan lembaga survey lainnya memenangkan Jokowi, TV One menampilkan hasil quick count yang anti-mainstream, yakni memenangkan Prabowo. Pada suatu titik bahkan TV One menampilkan hasil quick count yang apabila dijumlah, hasilnya lebih dari 100%! Inilah sumber mengapa TV One menjadi bahan olok-olok, terutama di media sosial Twitter.

"Jangan dikira kami tidak memperhatikan hal-hal itu, seperti guyonan untuk TV One. Itu semua kami perhatikan dan menjadi bahan evaluasi. Kalau memang secara internal ada yang salah, itu akan kami koreksi. Di running text kalau ada yang salah, itu juga ada sanksinya," ujar Sekretaris Perusahaan PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) yang membawahkan stasiun TV One, Neil Tobing. "Seperti hari-hari ini, ketika media lain menayangkan quick count, kami sudah menayangkan krisis di Gaza. Kami berusaha menyajikan apa yang dibutuhkan pemirsa," tambahnya. Padahal, jangan-jangan TV One sedang buah simalakama! Apabila menayangkan hasil quick count, berarti akan memenangkan Jokowi, lebih baik tidak ditayangkan sekalian.

Buntut dari kejadian ini juga saham Viva News dan TV One anjlok di bursa saham ketika IHSG semua saham beserta rupiah menguat. Indeks tukar semua menguat karena pasar menganggap Jokowi lah pemenang pilpres kali ini. Namun memang dasar TV One memang beda sesuai motonya, saham mereka yang anjlok sendiri.

Selain itu, buntut lain dari insiden kecil ini adalah juga diedarkannya petisi untuk mencabut hak penyiaran TV One kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi serta Komisi Penyiaran Indonesia. Pengisi petisi berargumentasi bahwa TV One tidak layar siar karena TV One telah melakukan pembohongan publik dan sangat parsial serta tidak independen. Memang TV One sudah sangat parsial sejak jaman kampanye. TV One hanya menyiarkan berita-berita baik tentang Prabowo, berita tentang Jokowi sangat jarang. Kalaupun ada, itu pun pasti berita yang buruk. Hingga tulisan ini dibuat, pengisi petisi telah menembus 10.000 orang.

Beberapa candaan dengan hashtag #TVOneMemangBeda di Twitter adalah sebagai berikut ini:
- Status kamu masih jomblo? Coba cek di TV One siapa tahu kamu sudah tidak jomblo lagi. #TVOneMemangBeda
- Jokowi Presiden RI, Prabowo Presiden TV One #TVOneMemangBeda
 Brazil membantai Jerman 7-1 di Piala Dunia. #TVOneMemangBeda


Senin, 07 Juli 2014

Prabowo Anti Asing atau Antek Asing?

"Jangan biarkan asing menguasai seluruh sumber daya alam Indonesia. Sudah saatnya direbut kembali dan dinikmati oleh rakyat. Sudahlah asing mendapatkan kesempatan untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, rakyat juga tidak mendapatkan apa-apa," ucap Prabowo di salah satu kampanyenya.

Memang tidak jarang kita mendengar ucapan-ucapan bernuansa nasionalis dan anti asing yang keluar dari mulut Prabowo di kampanye-kampanyenya. Prabowo menganggap bahwa rakyat Indonesia yang miskin adalah orang-orang ‘goblok’, hingga dia harus mengklarifikasi pernyataannya tersebut karena menuai banyak kecaman. Selain militerisme, aroma nasionalisme sangat kental terlihat di atribut-atribut yang digunakan Prabowo.

Namun belakangan muncul jurnalis kawakan dari Amerika Serikat, Allan Nairn, yang mempublikasikan dua buah postingan di blognya yang berisi tentang pengalamannya mewawancarai Prabowo. Allan mengakui bahwa perbincangannya dengan Prabowo memang seharusnya off-the-record, namun karena sekarang Prabowo mencalonkan diri menjadi presiden dan bahaya sudah berada di depan mata. Menurut pengakuannya, Prabowo adalah kaki tangan kepercayaan Amerika selama Prabowo masih di Kopassus. Prabowo bahkan membuka pintu bagi Amerika Serikat untuk menginvasi Indonesia apabila benar diperlukan! Gila! Prabowo selalu menggadang-gadang diri sebagai seorang nasionalis dan anti asing, ternyata dialah si antek asing yang sebenarnya!

Prabowo anti asing?
Lagipula kalau dipikir-pikir lagi, untuk apa sih kita anti asing segala? Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa berkat investasi asing dan para ahli dari berbagai negara, perekonomian dan pendidikan kita bisa maju seperti ini. Misalkan saja bidang energi. Kalau perusahaan-perusahaan minyak dan gas asing tidak berkiprah di Indonesia, memangnya Pertamina mampu mengolah itu semua? Pertamina sudah korup sejak dulu dan hanya dikuasai oleh para elite yang kebanyakan hasil perbiakan Orde Baru. Hasil kelola kebanyakan masuk ke kantong para elite. Sedangkan perusahaan asing yang notabene-nya malapetaka malah menyumbang jutaan dollar bagi pendapatan negara kita tiap tahunnya, belum lagi pembangunan dan sumbangan yang diberikan kepada masyarakat sekitarnya.

Ngomong-ngomong soal anti asing dan energi, ini mengingatkan kita perihal Blok Mahakam yang akan segera berakhir kontraknya pada tahun 2017. Isu anti asing juga digadang-gadang di sini. Pertamina mau mengambil alih dan mengusir Total E&P dan Inpex yang saat ini mengelola Blok Mahakam. Padahal kita tahu bahwa Blok Mahakam adalah blok yang sulit, sedangkan Pertamina masih belum memiliki teknologi dan orang-orang yang ahli. Seharusnya, kontrak Total kembali diperpanjang selama lima tahun, bekerjasama dengan Pertamina. Selama itu pula Total sembari mentransfer teknologi dan skill yang dibutuhkan kepada Pertamina.


Tapi kalau Prabowo yang jadi presiden sih kayaknya Blok Mahakam diambil alih oleh Pertamina ya. Walaupun masih ada kemungkinan tidak, karena Prabowo ternyata sebenarnya adalah antek asing, jadi mungkin dia tidak akan keberatan apabila Blok Mahakam dikelola asing. Kita lihat saja nanti bagaimana. Semoga saja yang mengelola Blok Mahakam nanti memang yang kompeten agar tidak sia-sia.

Kamis, 05 Juni 2014

Subsidi BBM, Produksi Migas Indonesia & Pemerintah Baru

Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa vs Jokowi-Jusuf Kalla
Dalam beberapa hari belakangan, isu bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali mencuat. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti mengatasi beban subsidi BBM yang membengkak tiap tahun. Tahun 2014 ini saja, subsidi BBM diperkirakan membengkak menjadi Rp 285 miliar triliun, dari Rp 210 triliun tahun lalu.

Dari berbagai pernyataan yang muncul dari dua kubu pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prahara) dan Jokowi Widodo (JKW)-Jusuf Kalla, mengakui subsidi BBM telah membelenggu APBN setiap tahun. Kubu Prabowo mengatakan BBM subsidi hanya dinikmati oleh orang berkecukupan (the haves) atau kelas menengah ke atas. Subsidi BBM tidak kena sasaran.

Demikian juga kubu Jokowi-Jusuf Kalla, tampaknya bertekad untuk menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Seperti yang diungkapkan oleh Jokowi, jika terpilih ia akan menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Menurut Capres yang diajukan oleh PDIP dan mitra koalisinya ini, bahwa pemotongan subsidi tidak harus berbanding lurus dengan kenaikan harga BBM. Banyak cara yang dilakukan, misalnya meningkatkan efisiensi, mendiversifikasi sumber energi dan lain.
Seperti yang dikatakan oleh Arif Budimanta, ketua Tim Ekonomi Jokowi-Jusuf Kalla, subsidi BBM memang harus dikurangi secara perlahan. Menurut dia, jika Jokowi-Kalla terpilih, maka mereka akan mengambil sikap mengurangi subsidi BBM dan dana subsidi tersebut dialihkan ke sektor lain, termasuk untuk membangun fasilitas umum dan infrastructure yang dapat mendongkrak penghidupan dan kehidupan masyarakat.

Salah satu anggota tim sukses pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, Drajad Wibowo, mengatakan bahwa prioritas utama adalah tidak menaikkan harga BBM subsidi bagi masyarakat. Langkah yang dilakukan adalah mengurangi subsidi BBM khusus orang kaya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengenaan instrumen pajak atau cukai tambahan bagi masyarakat mampu yang menggunakan BBM bersubsidi.

Sementara itu, tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla, Darmawan Prasojo dalam kesempatan berbeda, mengungkapkan, pasangan yang diusungnya akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan.

Pengurangan subsidi BBM tersebut dilakukan seiring dengan pengembangan energi alternatif yang potensinya masih besar di Indonesia. Sehingga, adanya alternatif yang murah menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap BBM mampu diredam.

Akar Permasalahan Subsidi


Dalam berbagai diskusi soal BBM, para ekonom dan pejabat pemerintah tampak hanya fokus bagaimana mengurangi subsidi BBM, tanpa mencari akar persoalan. Mengapa pemerintah mensubsidi BBM? Alasan utamanya karena harga BBM yang diimpor ke Indonesia cukup tinggi, seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Sementara masyarakat sudah biasa dengan harga BBM yang ditetapkan (fixed) di harga rendah. Secara tidak sadar pemerintah telah memanjakan masyarakat dengan BBM subsidi.

Disatu sisi, pemerintah khawatir bila harga BBM dinaikkan, akan terjadi gejolak politik dalam negeri. Karena itu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sejauh ini mempertahankan subsidi BBM at all cost. Rencana atau niat mengurangi subsidi BBM, hanya sampai di mulut saja, tidak direalisasikan. Berbagai program direncanakan untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi, namun program-program tersebut hingga saat ini tidak terealiasi (contoh RIFD).

Besarnya dana atau anggaran subsidi BBM setiap tahun seharusnya membuat dan memaksa pemerintah untuk mencari jalan keluar mengurangi subsidi BBM, dan pada saat yang sama meningkatkan sumber energi non-fossil atau energi baru dan terbarukan.

Jokowi-JK telah secara tegas mengatakan akan mengurangi BBM subsidi dalam 4 tahun. Bila tidak melakukan apa-apa, maka harga BBM juga akan naik secara signifikan dalam 4 tahun tersebut. PR pemerintah baru nanti adalah bagaimana mengurangi subsidi BBM secara perlahan, dan pada saat yang sama melakukan berbagai terobosan mengoptimalkan sumber energi lain seperti gas bumi, panas bumi, dll.

Intinya, seluruh potensi sumber energi harus digarap dan didorong oleh pemerintah, termasuk minyak dan gas bumi. Seperti yang kita ketahui produksi minyak Indonesia merosot tiap tahun, dari 1,5 juta barel per hari tahun 1995, menjadi hanya sekitar 800,000 bph saat ini. Sementara konsumsi BBM mencapai 1,4 juta per hari. Itu berarti, Indonesia harus mengimpor sekitar 600,000 bph. Siapa yang diuntungkan? Tentu mafia impor. Tanpa bersusah-susah mencari cadangan minyak maupun gas, mereka atau importir menikmati keuntungan besar dari mengimpor minyak. Kita khawatir, pemerintah selama ini gagal atau tidak berani mengurangi subsidi BBM akibat tekanan dari mafia-mafia importir migas, yang punya kepentingan tersendiri agar Indonesia masih bergantung pada impor minyak.

Di satu sisi, ada perusahaan-perusahaan migas besar berani mengambil risiko dengan melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Sebetulnya, akar persoalan subsidi BBM di Indonesia adalah berkurangnya produksi minyak (dan gas) nasional. Padahal, bila produksi minyak meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, impor minyak akan berkurang dan konsekuensinya subsidi BBM dari anggaran pemerintah pun dapat dikurangi.

Karena itu, sebagai solusi jangka menengah-panjang mengurangi subsidi BBM adalah mengoptimalkan sumber daya (Migas) dari dalam negeri. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi, khususnya untuk eksplorasi migas. Bila cadangan meningkat, produksi juga akan meningkat. Dan bila produksi minyak dalam negeri meningkat, otomatis subsidi BBM juga berkurang dengan sendirinya. Semoga siapapun yang menang dalam Pilpres nanti, isu subsidi BBM ini harus segera dicari jalan keluarnya. (*)

Senin, 20 Januari 2014

Kritikan Politisi Demokrat Ruhut Sitompul Tak Goyahkan Popularitas Jokowi




Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama pebalap MotoGP, 
Jorge Lorenzo, bersiap gowes sepeda (17/1/2014). 
Sosok Joko Widodo atau Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, makin dicintai. Popularitasnya pun terus menanjak secara konsisten dalam setahun terakhir. Berbagai survei independen menunjukkan Jokowi tetap menjadi calon Presiden idaman publik. 

Survei Kompas terbaru menunjukkan bila Pemilihan Umum Presiden dilakukan hari ini, Jokowi akan terpilih menjadi Presiden. Survei tersebut juga menunjukkan pergeseran suara pada beberapa calon Presiden lain seperti Wiranto, Prabowo, Megawati Soekarnoputri, Aburizal Bakrie dan Jusuf Kalla. Ada yang naik, ada yang turun. Pergeseran akan terus terjadi jelang Pemilu nanti. Namun, hanya satu sosok yang tetap konsisten menanjak, yaitu Jokowi.

Popularitas Jokowi membuat partai-partai lain mencoba menjegal Jokowi. Berbagai kritikan dan hujatan dan black campaign dilakukan untuk menghantam sosok yang bersahaja ini. Namun, semakin dia dikritik, semakin dihujat, semakin kuat pula popularitas mantan Walikota Solo ini.

Salah satu sosok yang paling terbuka mengkritik dan menjegal Jokowi adalah salah satu juru bicara Parai Demokrat Ruhut Sitompul. Ia menantang Jokowi untuk berdebat publik, tapi tidak diladeni oleh Jokowi. "Saya nggak suka diskusi, nggak suka debat. Senangnya kerja sajalah. Kalau mau debat ya cari yang pintar saja, yang suka debat," kata Jokowi di Balaikota. 

Jokowi tetap tegar dan melakukan apa yang dia lakukan seperti biasa, melayani masyarakat. Ia jarang sekali berada di kantor. Kalaupun ke kantor, itu hanya untuk mengadakan rapat dengan bawahannya atau melakukan koordinasi. Selebihnya ia menghabiskan waktunya di luar kantor, mengunjungi waduk, sungai atau taman-taman, berdialog dengan masyarakat. Dengan cara itu, ia melihat dan merasakan langsung setiap persoalan yang dihadapi masyarakat ibu kota. Karena itu, walaupun persoalan silih berganti yang dihadapi warga, warga tetap merasa mempunyai pemimpin yang setia dan selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga ketika banjir yang melanda ibu kota. Jokowi hampir seluruh waktunya berada di luar kantor.

Berbagai kata-kata pedas dikeluarkan Ruhut Sitompul untuk menjegal laju Jokowi menjadi bakal calon Presiden Indonesia. Ketika banjir melanda beberapa wilayah Jakarta, Ruhut pun seolah-oleh mendapatkan momentum untuk kembali menyerang sosok Jokowi.

“Dia berjanji untuk mengatasi banjir, tapi apa yang terjadi?” ucap Ruhut seperti dikutip vivanews.com. Memang sulit karena ia hanya seorang pengusaha furniture, lanjut Ruhut. Pernyataan Ruhut ini seolah menganggap remeh para pengusaha mebel. Padahal pengusaha mebel adalah salah satu penyumbang devisa negara. Jutaan pengusaha mebel dan pengusaha kecil di Indonesia menjadi penopang ekonomi Indonesia saat ekonomi dihantam badai krisis tahun 1998.  

Pernyataan Ruhut Sitompul ini menunjukkan betapa tidak sensitifnya para elit Demokrat. Mereka tampak seperti ‘out of touch’ terhadap kehidupan nyata masyarakat. Pernyataan Ruhut yang mengkritisi para pembuat furniture juga menyinggung perasaan jutaan para pengusaha dan pekerja industri furniture di Tanah air yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia.  

Menurut data BPS, industri furniture pada 2012 memberikan kontribusi terhadap perolehan devisa negara sebesar US$2,6 miliar. Sekitar US$1,8 miliar disumbangkan oleh sektor furniture dan US$800 juta dari sektor kerajinan. Diperkirakan lima tahun kedepan ekspor mebel akan menyumbang US$5 miliar atau Rp50 triliun devisa negara.

Pada kesempatan lain, Ruhut mengatakan Jokowi ibarat tong kosong nyaring bunyinya. Padahal yang tong kosong sebetulnya adalah Ruhut sendiri. Mendengar pernyataan politisi Demokirat ini, masyarakat umum hanya menggeleng kepala. Tak sepantasnya kata-kata itu keluar dari seorang wakil rakyat.

Boleh jadi Ruhut terus melancarkan ‘ocehan’ tidak berbobotnya lantaran Partai Demokrat terus dihantam badai. Berbagai kader Partai Demokrat terus menjadi penghuni ‘hotel prodeo’ (penjara) akibat terlibat kasus korupsi. Popularitas Partai Demokrat juga terus menurun. Popularitas para bakal calon Partai Presiden yang sedang mengikuti Konvensi Partai Demokrat pun masih rendah, termasuk Edhi Pramono yang disebut-sebut Ruhut Sitompul bakal mengalahkan Jokowi. 

Politisi Demokrat ini sebaiknya mengaca. Lebih baik dia memperbaiki internal partai daripada terus menghujamkan peluru ke Jokowi. Semakin dia ‘menembak’ Jokowi, semakin meningkat popularitas Jokowi. Walaupun Jokowi sebelumnya hanya seorang pengusaha furniture, fakta membuktikan bahwa sosok mantan Walikota Solo ini kian diperhitungkan publik untuk menjadi “the next Mr President Indonesia”. (*)