Tampilkan postingan dengan label Inpex. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inpex. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Juli 2014

Prabowo Anti Asing atau Antek Asing?

"Jangan biarkan asing menguasai seluruh sumber daya alam Indonesia. Sudah saatnya direbut kembali dan dinikmati oleh rakyat. Sudahlah asing mendapatkan kesempatan untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, rakyat juga tidak mendapatkan apa-apa," ucap Prabowo di salah satu kampanyenya.

Memang tidak jarang kita mendengar ucapan-ucapan bernuansa nasionalis dan anti asing yang keluar dari mulut Prabowo di kampanye-kampanyenya. Prabowo menganggap bahwa rakyat Indonesia yang miskin adalah orang-orang ‘goblok’, hingga dia harus mengklarifikasi pernyataannya tersebut karena menuai banyak kecaman. Selain militerisme, aroma nasionalisme sangat kental terlihat di atribut-atribut yang digunakan Prabowo.

Namun belakangan muncul jurnalis kawakan dari Amerika Serikat, Allan Nairn, yang mempublikasikan dua buah postingan di blognya yang berisi tentang pengalamannya mewawancarai Prabowo. Allan mengakui bahwa perbincangannya dengan Prabowo memang seharusnya off-the-record, namun karena sekarang Prabowo mencalonkan diri menjadi presiden dan bahaya sudah berada di depan mata. Menurut pengakuannya, Prabowo adalah kaki tangan kepercayaan Amerika selama Prabowo masih di Kopassus. Prabowo bahkan membuka pintu bagi Amerika Serikat untuk menginvasi Indonesia apabila benar diperlukan! Gila! Prabowo selalu menggadang-gadang diri sebagai seorang nasionalis dan anti asing, ternyata dialah si antek asing yang sebenarnya!

Prabowo anti asing?
Lagipula kalau dipikir-pikir lagi, untuk apa sih kita anti asing segala? Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa berkat investasi asing dan para ahli dari berbagai negara, perekonomian dan pendidikan kita bisa maju seperti ini. Misalkan saja bidang energi. Kalau perusahaan-perusahaan minyak dan gas asing tidak berkiprah di Indonesia, memangnya Pertamina mampu mengolah itu semua? Pertamina sudah korup sejak dulu dan hanya dikuasai oleh para elite yang kebanyakan hasil perbiakan Orde Baru. Hasil kelola kebanyakan masuk ke kantong para elite. Sedangkan perusahaan asing yang notabene-nya malapetaka malah menyumbang jutaan dollar bagi pendapatan negara kita tiap tahunnya, belum lagi pembangunan dan sumbangan yang diberikan kepada masyarakat sekitarnya.

Ngomong-ngomong soal anti asing dan energi, ini mengingatkan kita perihal Blok Mahakam yang akan segera berakhir kontraknya pada tahun 2017. Isu anti asing juga digadang-gadang di sini. Pertamina mau mengambil alih dan mengusir Total E&P dan Inpex yang saat ini mengelola Blok Mahakam. Padahal kita tahu bahwa Blok Mahakam adalah blok yang sulit, sedangkan Pertamina masih belum memiliki teknologi dan orang-orang yang ahli. Seharusnya, kontrak Total kembali diperpanjang selama lima tahun, bekerjasama dengan Pertamina. Selama itu pula Total sembari mentransfer teknologi dan skill yang dibutuhkan kepada Pertamina.


Tapi kalau Prabowo yang jadi presiden sih kayaknya Blok Mahakam diambil alih oleh Pertamina ya. Walaupun masih ada kemungkinan tidak, karena Prabowo ternyata sebenarnya adalah antek asing, jadi mungkin dia tidak akan keberatan apabila Blok Mahakam dikelola asing. Kita lihat saja nanti bagaimana. Semoga saja yang mengelola Blok Mahakam nanti memang yang kompeten agar tidak sia-sia.

Minggu, 29 Desember 2013

Awan Gelap Membayangi Industri Migas Indonesia di Tahun Politik



Memasuki tahun baru 2014, tampaknya awan masih akan menyelimuti bumi nusantara. Yang dikhawatirkan, para pelaku industri migas menahan rencana investasi mereka, sementara pemerintah Indonesia tidak mau mengambil risiko membuat keputusan-keputusan penting. Kita berharap para pelaku industri migas tetap berinvestasi dan menjalankan roda usaha seperti biasa, sementara pemerintah berani membuat keputusan-keputusan penting, termasuk kontrak blok migas, seperti Blok Mahakam. 

* * *
Dua hari jelang pergantian tahun, mendung menyelimuti sebagian besar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau dikenal Jabodetabek. Beberapa wilayah sudah diguyur hujan sejak pagi. Seperti Jabodetabek yang mendung, demikian juga kondisi industri minyak dan gas bumi selama tahun 2013. Dikhawatirkan mendung yang membayangi industri minyak dan gas bumi ini akan terus berlanjut pada tahun 2014, tahun politik saat Indonesia akan sibuk dengan agenda Pemilihan Umum, baik untuk memilih anggota legislatif maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Salah satu situasi yang memprihatinkan adalah tingkat produksi minyak yang terus turun. Pada tahun 2013, lifting minyak Indonesia hanya mencapai 826.000 barel per hari, dibawah target 830.000 bpd. Padahal target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut sudah direvisi dari sebelumnya 900.000 bph. 

Lifting minyak ini menunjukkan penurunan yang signifikan dari tahun sebelumnya. Pada 2012, realisasi produksi minyak mentah Indonesia sebesar 860.000 bph, dibawah target sebesar 930.000 bph yang ditetapkan dalam APBN. 

Pada tahun 2014, produksi minyak diperkirakan bakal menurun lagi, dengan asumsi belum ada tambahan produksi dari proyek-proyek pengembangan minyak yang ada, terutama dari Blok Cepu. Padahal, sebelumnya pemerintah menargetkan produksi minyak dapat meningkat ke atas 1 juta bph lagi bila Blok Cepu memasuki tahapan produksi puncak (peak production). 

Pemerintah sebelumnya berharap produksi Blok Cepu di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah itu, bakal mencapai peak production sebesar 165.000 bph pada 2014. Namun, berbagai hambatan teknis dan non-teknis, termasuk masalah pembebasan lahan, perizinan yang memakan waktu lebih dari yang diperkirakan, membuat produksi puncak Blok Cepu molor.

Pemerintah sendiri telah menetapkan target lifting minyak sebesar 870.000 bph pada 2014 nanti. Namun, sebagian anggota DPR maupun pengamat energi mengatakan target lifting minyak tersebut sulit dicapai.

Sementara itu, lifting gas bumi selama 2013, seperti yang diumumkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beberapa waktu lalu, mencapai 1.204.000 bph, di bawah target pemerintah sebelumnya sebesar 1.360.00 bph. 

Cadangan minyak Indonesia hanya sebesar 3,7 miliar barel, yang diperkirakan akan habis dalam 12 tahun mendatang, dengan asumsi tidak ada penemuan cadangan minyak yang baru. Cadangan gas bumi sebesar 152,89 triliun standar kaki kubik (standard cubic feet/tsfc). Dari jumlah itu, 104,71 tscf merupakan cadangan terbukti dan 48,18 tscf merupakan cadangan potensial.

Penurunan produksi atau lifting minyak dan gas bumi tersebut merupakan cermin buruknya pengembangan industri minyak dan gas bumi pada 2014. Produksi atau lifting yang menurun menunjukkan menurunnya investasi perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, baik untuk eksplorasi maupun untuk keperluan peningkatan produksi. 

Cukup banyak ranjau menghantui pelaku industri migas pada tahun 2013. Pelaku Indonesia maupun pemerintah sendiri mengakui masih adanya berbagai persoalan yang menghambat laju industri migas di Indonesia.  Beberapa faktor yang sering diutarakan oleh pelaku industri adalah faktor birokrasi dan perizinan yang rumit. Untuk membangun fasilitas produksi minyak dan gas bumi, dibutuhkan belasan dan bahkan puluhan perizinan yang perlu dikantongi oleh pelaku industri migas.

Faktor kedua adalah ketidakpastian hukum dan politik sehingga keputusan pemerintah dapat berubah-ubah, tergantung siapa yang berpengaruh pada pemimpin negara. Sebagai contoh, pembubaran BPMigas, badan pelaksana kegiatan industri hulu minyak dan gas bumi Indonesia, atas tuntutan sekelompok masyarakat, padahal badan itu merupakan buah dari sebuah Undang-Undang Migas yang dihasilkan oleh DPR, yang notabene dipilih oleh rakyat. Namun, pemerintah tidak hilang akal. Pemerintah kemudian membentuk lembaga pengganti yakni SKK Migas, yang memiliki tugas dan fungsi yang mirip, hanya statusnya sekarang langsung berada di bawah kontrol Kementerian ESDM.

Faktor lain adalah ketidakpastian kontrak blok-blok Migas yang kontraknya segera berakhir. Paling tidak ada 5-6 blok migas yang kontraknya akan berakhir dalam 5 tahun kedepan. Perusahaan migas, atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS), membutuhkan kepastian lebih awal mengenai nasib kontrak blok-blok migas karena itu akan mempengaruhi rencana investasi mereka. Dalam peraturan yang ada, pemerintah memberikan kesempatan kepada KKKS untuk mengajukan perpanjangan hingga 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Tentu ketentuan ini punya maksud, yakni investasi industri migas bersifat jangka panjang, apalagi blok-blok migas yang berskala besar, seperti Blok Mahakam.

Sinyal yang diberikan pemerintah sejauh ini tidak mengesankan. Sebagai contoh, Blok Siak dan Blok Kampar. Pemerintah baru membuat keputusan pada hari terakhir kontrak. Karena itu, pemerintah memberi kesempatan kepada operator lama untuk tetap beroperasi selama 6 bulan berikutnya, sebelum blok Siak diserahkan ke pemerintah.

Operator blok-blok migas berharap pemerintah membuat keputusan jauh sebelum kontrak berakhir. Idealnya, keputusan dibuat 3-5 tahun sebelum kontrak berakhir, sehingga operator punya cukup waktu untuk melakukan strategi kedepan, termasuk keputusan terkait investasi. Operator Blok Mahakam, Total E&P Indonesie telah mengajukan perpanjangan kontrak operatorship Blok Mahakam tahun 2007 dan pendekatan terus dilakukan oleh perusahaan tersebut. Namun, hingga kini pemerintah belum membuat keputusan. 

Sejauh ini, pemerintah telah menetapkan 3 opsi terkait pengembangan Blok Mahakam, yakni diperpanjang, tidak diperpanjang dan kolaborasi operator lama (Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex), dan mengakomodasi pemain baru, dalam hal ini Pertamina. Wakil Menteri ESDM sebelumnya mengatakan pemerintah masih membutuhkan operator lama dalam pengembangan Blok Mahakam selanjutnya. Apakah itu berarti pemerintah akan memilih opsi ketiga, hingga saat ini tidak diketahui secara pasti. Tarik menarik kepentingan politik dan transisi perubahan pemerintah yang sedang terjadi dapat berpengaruh pada keputusan pemerintah. 

Namun, bila melihat tingkat kerumitan dan kompleksitas Blok Mahakam, para pelaku industri dan pengamat menilai kolaborasi atau joint-operation – melibatkan operator lama dan pemain baru – merupakan solusi ideal bagi pengembangan Blok Mahakam selanjunya.  Selain, dapat mengurangi tingkat risiko, opsi tersebut dapat menjamin kelanjutan produksi Blok Mahakam dan bahkan produksi dapat dioptimalkan. Investasi besar yang telah direncanakan oleh operator sebesar US$7,3 miliar dalam 5 tahun kedepan dapat terealisasi.

Memasuki tahun baru 2014, tampaknya awan masih akan menyelimuti bumi nusantara. Yang dikhawatirkan, para pelaku industri migas menahan rencana investasi mereka, sementara pemerintah sendiri tidak mau mengambil risiko membuat keputusan-keputusan penting. Namun, kita berharap para pelaku industri migas dapat tetap berinvestasi dan menjalankan roda usaha mereka, sementara pemerintah tetap membuat keputusan-keputusan penting, termasuk kontrak blok migas, seperti Blok Mahakam. (*)

Selasa, 10 Desember 2013

Moody's: Ketergantungan Impor Tinggi, Aktivitas Akusisi di sektor Migas di Indonesia & Asia Meningkat

Ilustrasi: sebuah anjungan migas lepas pantai
 Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang kini tergantung pada minyak impor akibat terus merosotnya produksi dalam negeri. Permintaan konsumsi minyak dalam negeri mencapai sekitar 1,4-1,5 juta barel per hari, sementara produksi minyak terus menurun menjadi 830.000 bph, separuh dari puncak produksi minyak 1,65 juta bph tahun 1995. Untuk produksi gas bumi, saat ini masih stagnan, dan pada suatu saat akan menurun bila tidak ditemukan cadangan gas bumi baru. Lembaga rating internasional Moody’s memperkirakan ketergantungan impor migas di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, akan mendorong aktivitas akuisisi di sektor hulu industri migas.

Akuisisi tersebut diperkirakan akan dilakukan tidak hanya oleh perusahaan migas besar dunia (oil majors) tapi juga perusahaan-perusahaan migas nasional di kawasan ini.

“Kami perkirakan ketergantungan Asia pada minyak dan gas bumi impor akan mendorong perusahaan-perusahaan migas negara-negara di kawasan Asia (national oil companies/NOCs) untuk melakukan akuisisi untuk mengamankan kebutuhan energi mereka,” kata Moody’s dalam laporannya.

Moody’s mencatat terjadi penurunan produksi minyak yang signifikan di negara-negara Asia dalam periode 2008-2012, terutama di Australia, Indonesia dan Malaysia, sementara pada saat yang sama permintaan domestik meningkat.

Untuk gas bumi atau liquefied natural gas (LNG), Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Sekitar 50% produksi LNG diekspor, sementara 50% dari produksi dialokasikan untuk konsumsi dalam negeri. Berbeda dengan minyak, LNG yang sudah berproduksi saat ini sudah dikontrakkan ke pembeli jauh sebelum proyek-proyek LNG tersebut mulai berproduksi, seperti proyek di Badak LNG, BP Tangguh dan beberapa proyek LNG lainnya. Pada satu sisi, pemerintah telah meningkatkan alokasi output LNG ke pasar domestik, sementara pada sisi lain permintaan gas bumi dari dalam negeri meningkat tajam.

Mengingat output gas bumi saat ini sudah ada pembelinya, maka Indonesia bakal mengimpor LNG dari luar negeri untuk memenuhi permintaan dari dalam negeri yang terus meningkat tajam. Dan itu, sudah terbukti. Pertamina beberapa hari lalu telah menandatangani perjanjian jual-beli (SPA) dengan sebuah perusahaan di Amerika Serikat untuk mengimpor LNG.

Ironis, Pertamina lebih memilih mengalokasikan dana miliaran dolar AS untuk mengimpor LNG untuk periode tertentu, ketimbang mengalokasikan dana miliaran dolar setiap tahun untuk mencari cadangan migas baru di dalam negeri. Pertamina lebih memilih jalan pintas dengan mengimpor LNG ketimbang bersusah-payah dan mengambil risiko dengan berinvestasi mencari cadangan migas baru.

Maka tidak mengherankan bila perusahaan migas global seperti ExxonMobil, Total E&P Indonesie, BP, Inpex, ENI, dan Chevron, yang menemukan cadangan migas dan berproduksi migas. Sementara Pertamina cenderung pasif, menunggu blok-blok migas tua habis masa kontraknya.

Kondisi ini tidak sehat dan tidak efisien bagi keuangan Pertamina, karena biaya investasi untuk meningkatkan produksi di lapangan-lapangan tua jauh lebih besar ketimbang lapangan greenfield, lapangan baru.  Akibatnya, return on asset (ROA) dari investasi sangat tipis dan kadang rugi. Lapangan ONWJ, misalnya, Pertamina perlahan dapat meningkatkan produksi, tapi biaya investasinya pun sangat besar. Tahun 2012 saja, Pertamina mengalokasikan dana hampir US$1 miliar dolar untuk memperbaiki beberapa anjungan yang sudah tua, dan fasilitas produksi lainnya.

Demikian juga blok Siak yang akan segera dikembalikan ke Pemerintah, dibutuhkan biaya lebih besar untuk meningkatkan produksi blok tersebut yang kini berproduksi sekitar 1,800-2000 bph. Pertanyaannya, apakah dana yang dikeluarkan setimpal dengan produksi? Demikian juga blok-blok migas tua lainnya, yang kontraknya akan berakhir, termasuk Blok Mahakam. Sekitar 80 persen cadangan blok Mahakam telah dieksploitasi/diproduksi, sehingga jumlah cadangan yang masih tersisa sekitar 20% atau kurang.

Karena itu, operator yang mengelola Blok Mahakam pasca 2017, dituntut untuk meningkatkan investasi untuk menambah cadangan dan mempertahankan produksi dari sumur-sumur dan lapangan-lapangan minyak yang ada. Pertanyaannya, apakah efisien dan produktif bila blok Mahakam dikelola seluruhnya oleh Pertamina? Diperkirakan 2-3 miliar dana harus dikeluarkan setiap tahun untuk mempertahankan produksi di Blok Mahakam.

Saat ini pemerintah memiliki tiga opsi untuk mengembangkan Blok Mahakam, pasca 2017. Pertamina, kontrak operator yang sekarang (Total E&P) diperpanjang, opsi kedua, tidak diperpanjang, dan opsi ketiga, melibatkan operator lama (Total E&P Indonesie bersama mitranya Inpex) serta mengakomodasi kepentingan perusahaan migas nasional Pertamina. Dari sisi pemerintah, pertimbangan utama adalah produksi Blok Mahakam lebih dioptimalkan lagi dan risiko dapat ditekan ke titik nol.

Pemerintah kemungkinan tak akan mengambil risiko dengan menyerahkan seluruh tanggungjawab pengelolaan blok tua-raksasa tersebut kepada operator baru. Terlalu riskan dan tidak efisien. Maka opsi joint-operating, kolaborasi operator lama dan pemain baru merupakan opsi yang ideal dan efisien.

Dari konteks ketahanan energi dan pemenuhan kebutuhan dari dalam negeri, maka opsi ketiga tersebut tampaknya lebih tepat bagi Indonesia yang kini terus berupaya mengamankan ketahanan energi dalam negeri. Mempertahankan produksi migas di lapangan atau blok-blok yang berproduksi perlu tetap dilakukan Indonesia, dan pada saat yang sama terus meningkatkan investasi untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi. (*)

Minggu, 06 Oktober 2013

Perpu Mahkamah Konstitusi, BBM dan Blok Mahakam

Sebuah Fasilitas Produksi Blok Mahakam
Hanya selang beberapa hari setelah Akil Mochtar (AM), ketua Mahkamah Konstitusi (MK), ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Presiden Republik Indonesia Bambang Susilo Yudhoyono (SBY) langsung mengadakan rapat dengan pimpinan lembaga tinggi negara. Rapat itu dilakukan untuk menyelamatkan wibawa MK, yang runtuh dalam sekejab setelah AM kedapatan menerima suap dari pihak yang berpekara untuk mempengaruhi sebuah keputusan. Sebuah tindakan fatal dan memancing amarah publik.

Rapat lembaga-lembaga tinggi negara tersebut menghasilkan sebuah keputusan penting. Bahwa, pemerintah akan mengajukan Peraturan Pengganti Undang (Perpu) ke DPR. Salah satu poin penting dari Perpu soal MK tersebut adalah untuk mengatur mekanisme pengawasan dan perekrutan hakim MK. Kekuasaan para hakim MK sejauh ini memang tidak terbatas. Lebih dari itu, tidak ada yang mengawasi sehingga rentan penyalahgunaan. Komisi Yudisial tidak punya hak untuk mengawasi hakim MK. Sistem perekrutan juga dianggap sebagai salah satu penyebab.

Pada titik ini, kita salut pada pemerintah untuk segera mengambil langkah cepat untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi. Upaya tersebut penting mengingat lembaga ini merupakan salah satu pilar demokrasi dan merupakan amanat reformasi.

Pemerintah, khususnya Presiden SBY, memang harus sigap dalam mengambil keputusan. Seorang pemimpin harus tegas dan berani dalam mengambil keputusan. Berani tidak berarti grasa-grusu. Risiko tetap diperhitungkan.

Kasus BBM Bersubsidi
Apa yang terjadi bila seorang pemimpin lamban mengambil keputusan? Risiko dan ongkosnya menjadi lebih mahal. Lihat saja, ketika pemerintah lamban mengambil keputusan menaikkan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi beberapa bulan lalu. Akibat kelambanan pemerintah dalam mengambil keputusan, biaya subsidi terus meningkat sementara harga-harga barang meningkat, bahkan jauh sebelum keputusan diambil. Timing keputusan pemerintah dalam membuat kenaikan harga BBM dinilai tidak tepat karena bersamaan dengan meningkatnya belanja rumah tangga untuk pendidikan serta meningkatnya pengeluaran jelang hari Raya Idul Fitri.

Publik dan dunia usaha mendampakan seorang pemimpin yang tegas, tidak ragu-ragu dan bimbang dalam mengambil keputusan. Salah satu kritikan yang dialamatkan ke pemerintah dan Presiden SBY secara khusus adalah kelambanan dalam mengambil keputusan. Pihak istana pernah berdalil bahwa Presiden SBY memang sangat hati-hati dalam mengambil keputusan dan mempertimbangkan semua risiko. Sehingga, terkesan lamban.

Mempertimbangkan semua aspek dan risiko memang perlu. Tapi hal itu tidak boleh mengorbankan waktu. Penting juga untuk mempertimbangkan ketepatan waktu (timing) dalam mengambil sebuah keputusan. Kalau sebuah keputusan ditunda-tuda, justru biaya dan risiko juga meningkat seperti contoh kenaikan harga BBM diatas tadi.

Kontrak Blok Mahakam
Salah satu contoh keputusan yang mendesak dan saat ini dinanti-nantikan oleh berbagai pihak adalah terkait hak pengelolaan blok Mahakam, yang akan berakhir tahun 2017. Idealnya, sebuah kontrak perpanjangan atau tidak atas sebuah blok Migas dilakukan paling lambat 5 tahun sebelum kontrak berakhir. Dengan demikian, operator dapat melakukan perencanaan dengan matang, rencana investasi bila diperpanjang atau exit strategy bila memang tidak diperpanjang. Hal ini penting mengingat rencana investasi sebuah proyek minyak dan gas bersifat jangka panjang. Sebuah proyek investasi yang sedang dilakukan saat ini, misalnya, biasanya sudah direncanakan 4-5 lima tahun sebelumnya.

Saat ini, operator Blok Mahakam sedang menantikan keputusan pemerintah apakah memperpanjang, tidak diperpanjang atau membuat skema baru semacam joint-operation yang melibatkan operator lama dan operator baru. Opsi ketiga ini yang kelihatannya bakal diambil pemerintah untuk menjamin transisi yang smooth dan memastikan operasional blok tersebut tidak terganggu dan tetap berjalan. Namun, detail skema-nya belum jelas.

Mengingat investasi sebuah proyek migas bersifat jangka panjang, maka keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam tidak ditunda-tunda terus. Idealnya, keputusan dilakukan tahun ini, karena bila ditunda ke tahun 2014, maka bisa jadi tidak akan ada keputusan karena pemerintah sudah akan sibuk dengan Pemilihan Umum. Bila ini yang terjadi, maka akan sangat berisiko karena operator Blok tersebut bisa saja menghentikan sementara rencana investasi kedepan sambil menunggu keputusan pemerintah, terutama investasi atau proyek yang akan berakhir melebih batas akhir kontrak, yakni 2017. 

Penundaan keputusan akan berdampak pada kesinambungan produksi Blok Mahakam. Sebuah proyek gas alam, bila dihentikan akan membutuhkan waktu dan ongkos yang mahal lagi untuk membuat produksi kembali berjalan.

Juru bicara Total E&P Indonesie Kristanto Hartadi 4 Oktober lalu telah mengatakan bahwa operator blok Mahakam telah menganggarkan Rp73 triliun (US$7.3 miliar) untuk pengembangan Blok Mahakam pasca 2017. Namun, operator blok tersebut kemungkinan menahan sementara rencana investasi untuk mengembangan blok Mahakam sebelum pemerintah mengambil keputusan. 

Beberapa rencana proyek pengembangan dalam beberapa tahun kedepan terancam dihentikan akibat tidak adanya kepastian terkait kontrak pasca 2017. Ini menunjukkan penundaan sebuah keputusan berdampak pada meningkatnya risiko kesimbungan produksi Blok Mahakam. Karena itu, masuk akal bila operator blok tersebut berharap pemerintah dapat mengambil keputusan segera dan tidak ditunda-tudan. Setiap keputusan memang berisiko apalagi bila pemerintah mengambil keputusan yang berani dan tidak populis.  (*)

Senin, 23 September 2013

Kontrak Blok Mahakam & Blok Masela setelah Kunjungan CEO Inpex


Maket FLNG, Lapangan Abadi, Blok Masela
Inpex Corporation, perusahaan minyak dan gas bumi raksasa asal Jepang, rupanya memilih low profile. Publik tidak banyak mengetahui investasi dan aktivitas bisnisnya di Indonesia. Apakah portfolio bisnisnya di Indonesia relatif kecil dibanding skala bisnis Inpex di negara-negara lain? Boleh jadi ya. Namun, fakta berbicara bahwa Inpex memiliki invetasi yang cukup signifikan di Indonesia untuk ukuran Indonesia. Inpex memiliki dua proyek raksasa di Indonesia yakni Blok Mahakam yang sudah berproduksi selama 40 tahun terakhir dan satu lagi Blok Masela yang baru pada tahap pengembangan atau persiapan produksi. 


DI Blok Mahakam, Inpex berpartner dengan Total E&P Indonesie, perusahaan migas besar asal Perancis dengan memegang hak kepesertaan (partisipating interest/PI) sebesar 40% dan Total E&P Indonesie 60%. Total bertindak sebagai operator Blok Mahakam sementara Inpex berfungsi sebagai mitra non-operator. Sebagai mitra non-operator, tidak heran bila sejauh ini Inpex terkesan berada di balik layar, sementara Total E&P Indonesia yang lebih banyak tampil di media atau publik. Hal ini masuk akal karena sebagai operator, Total bertanggungjawab atas keberlangsungan operasional blok tersebut.


Kontrak pengelolaan Blok Mahakam oleh Total E&P Indonesie yang bermitra dengan Inpex akan berakhir 2017. Kedua perusahaan tersebut telah mengajukan perpanjangan ke pemerintah Indonesia. CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu dan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan kembali keinginan perusahaan Jepang itu untuk memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Mahakam maupun Blok Masela.

Pemerintah saat ini masih mengevaluasi permintaan kedua perusahaan itu. Seperti yang dikatakan oleh Menteri ESDM Jero Wacik, pemerintah Indonesia sedang melakukan evaluasi permintaan operator Blok Mahakam. Tentu publik berharap agar pemerintah segera membuat keputusan karena investasi di migas bersifat jangka panjang. Bila ditunda tahun depan, mungkin akan lebih ruwet lagi dan bisa tertunda lagi karena pemerintah fokus pada agenda Pemilu. Karena itu, tahun ini merupakan tahun yang tepat untuk membuat keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017.


Isu perpanjangan operatorship Blok Mahakam telah memancing pro dan kontra dengan argumen masing-masing. Pemerintah sendiri seperti yang dikatakan oleh Wakil Menteri ESDM beberapa waktu lalu, mengirimkan sinyal bahwa kehadiran Total EP di blok Mahakam masih diperlukan. Alasan yang mengemuka adalah bahwa kondisi Blok Mahakam sangat kompleks. Dibutuhkan investasi yang lebih besar lagi dan teknologi tinggi untuk memastikan blok tersebut terus beroperasi dan berproduksi. Mengoperasikan Blok Mahakam tidak sama dengan mengoperasikan blok migas lainnya karena itu setiap risiko harus dipertimbangkan.


Apakah pemerintah memperpanjang, tidak memperpanjang atau membuat skema baru dengan melibatkan operator yang sekarang dan pemain baru? Kita tunggu saja. Publik berharap agar pemerintah membuat keputusan yang bijak dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan kelompok atau orang-per orang.


Berbeda dengan Blok Mahakam, Blok Masela merupakan blok gas alam raksasa, yang belum berproduksi. Sebelumnya, Inpex memegang hak kepesertaan (PI) sebesar 90% dan sisanya 10% dimiliki oleh PT Energi Mega Persada Tbk, anak perusahaan grup Bakrie. Namun, beberapa waktu lalu Energi Mega menjual 10% PI di blok tersebut ke Inpex. Kini Inpex menggandeng Shell, perusahaan migas asal Belanda untuk mengembangkan Blok Masela. Shell sendiri sedang mengerjakan proyek floating LNG (FLNG) raksasa di Australia. Pemda Maluku sedang berjuang untuk mendapatkan participating inerest 10% .

Awalnya, lapangan Abadi, Blok Masela, diperkirakan akan mulai berproduksi tahun 2017, sehingga dapat menjadi negara pertama yang memproduksi gas melalui skema FLNG. Namun, rencana tersebut rupanya meleset. Saat ini baru pengembangan blok Masela baru memasuki tahapan design engineering. Setelah itu, akan dilanjutkan ke tahap konstruksi. Bila berjalan sesuai rencana, maka lapangan Abadi di Blok Masela baru mulai berproduksi sekitar tahun 2018-2019.


Persoalannya, kontrak Inpex mengelola Blok tersebut akan berakhir 2028. Artinya, Inpex dan mitranya hanya punya waktu 10 tahun untuk mengembangkan proyek raksasa tersebut. Kondisi ini yang membuat CEO dan management Inpex “galau hati”. Alasannya, waktu pengembalian investasi tidak cukup 10 tahun untuk sebuah proyek dengan skala besar seperti Blok Masela. Karena itu bisa dipahami bila kemudian Inpex mengajukan perpanjangan, bahkan sebelum proyek tersebut beroperasi. Perusahaan itu tampaknya membutuhkan kepastian dan dukungan dari pemerintah terhadap rencana investasi jangka panjangnya di Indonesia.


Sisi positifnya, CEO Inpex dalam pertemuannya dengan Presiden menyampaikan komitmen jangka panjangnya berinvestasi di Indonesia. Ini melegakan apalagi kondisi ekonomi dunia dan Indonesia saat ini sedang terguncang. Ekonomi dunia melemah, ekspor Indonesia tertekan dan mata uang rupiah melemah terhadap dolar AS, sementara utang membengkak di atas pembukuan akibat melemahnya rupiah. Di saat Indonesia sedang giat-giatnya berupaya untuk meyakinkan investor untuk berinvestasi di Indonesia, khususnya migas, Inpex maupun mitranya Total E&P Indonesie, menyampaikan komitmennya. Ini merupakan ‘bonus’ bagi pemerintah.


Bola sekarang ada di tangan pemerintah. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah memainkan bola tersebut. Tentu tujuannya mencetak “goal”, yakni kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Apapun keputusan pemerintah terkait hak operatorship Blok Mahakam nantinya dan perpanjangan Blok Masela, keputusan tersebut harus mengedepankan kepentingan negara dan bangsa, bukan kepentingan kelompok. Kita berharap pemerintah akan mengambil keputusan yang bijak sejelah melakukan evaluasi menyeluruh dan mendalam dengan mempertimbangkan segala aspek teknis, non-teknis dan risiko. (*)