Maket FLNG, Lapangan Abadi, Blok Masela |
Inpex Corporation,
perusahaan minyak dan gas bumi raksasa asal Jepang, rupanya memilih low profile. Publik tidak banyak
mengetahui investasi dan aktivitas bisnisnya di Indonesia. Apakah portfolio
bisnisnya di Indonesia relatif kecil dibanding skala bisnis Inpex di
negara-negara lain? Boleh jadi ya. Namun, fakta berbicara bahwa Inpex memiliki
invetasi yang cukup signifikan di Indonesia untuk ukuran Indonesia. Inpex memiliki dua proyek raksasa di
Indonesia yakni Blok Mahakam yang sudah berproduksi selama 40 tahun terakhir
dan satu lagi Blok Masela yang baru pada tahap pengembangan atau persiapan
produksi.
DI Blok Mahakam, Inpex
berpartner dengan Total E&P Indonesie, perusahaan migas besar asal Perancis
dengan memegang hak kepesertaan (partisipating interest/PI) sebesar 40% dan
Total E&P Indonesie 60%. Total bertindak sebagai operator Blok Mahakam sementara
Inpex berfungsi sebagai mitra non-operator. Sebagai mitra non-operator, tidak
heran bila sejauh ini Inpex terkesan berada di balik layar, sementara Total
E&P Indonesia yang lebih banyak tampil di media atau publik. Hal ini masuk akal karena sebagai
operator, Total bertanggungjawab atas keberlangsungan operasional blok
tersebut.
Kontrak pengelolaan Blok
Mahakam oleh Total E&P Indonesie yang bermitra dengan Inpex akan berakhir
2017. Kedua perusahaan tersebut telah mengajukan perpanjangan ke pemerintah
Indonesia. CEO Inpex Toshiaki Kitamura saat berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu dan bertemu dengan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menegaskan kembali keinginan perusahaan Jepang itu untuk
memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Mahakam maupun Blok Masela.
Pemerintah saat ini masih
mengevaluasi permintaan kedua perusahaan itu. Seperti yang dikatakan
oleh Menteri ESDM Jero Wacik, pemerintah Indonesia sedang melakukan evaluasi
permintaan operator Blok Mahakam. Tentu publik berharap agar pemerintah segera
membuat keputusan karena investasi di migas bersifat jangka panjang. Bila
ditunda tahun depan, mungkin akan lebih ruwet lagi dan bisa tertunda lagi
karena pemerintah fokus pada agenda Pemilu. Karena itu, tahun ini merupakan
tahun yang tepat untuk membuat keputusan terkait hak pengelolaan Blok Mahakam
pasca 2017.
Isu perpanjangan
operatorship Blok Mahakam telah memancing pro dan kontra dengan argumen
masing-masing. Pemerintah sendiri seperti yang dikatakan oleh Wakil Menteri
ESDM beberapa waktu lalu, mengirimkan sinyal bahwa kehadiran Total
EP di blok Mahakam masih diperlukan. Alasan yang mengemuka adalah bahwa kondisi
Blok Mahakam sangat kompleks. Dibutuhkan investasi yang lebih besar lagi dan
teknologi tinggi untuk memastikan blok tersebut terus beroperasi dan
berproduksi. Mengoperasikan Blok Mahakam tidak sama dengan mengoperasikan blok migas lainnya karena itu setiap risiko harus dipertimbangkan.
Apakah pemerintah
memperpanjang, tidak memperpanjang atau membuat skema baru dengan melibatkan
operator yang sekarang dan pemain baru? Kita tunggu saja. Publik berharap
agar pemerintah membuat keputusan yang bijak dengan mengedepankan kepentingan
bangsa dan negara, bukan kepentingan kelompok atau orang-per orang.
Berbeda dengan Blok
Mahakam, Blok Masela merupakan blok gas alam raksasa, yang belum berproduksi. Sebelumnya,
Inpex memegang hak kepesertaan (PI) sebesar 90% dan sisanya 10% dimiliki oleh
PT Energi Mega Persada Tbk, anak perusahaan grup Bakrie. Namun, beberapa waktu
lalu Energi Mega menjual 10% PI di blok tersebut ke Inpex. Kini Inpex menggandeng
Shell, perusahaan migas asal Belanda untuk mengembangkan Blok Masela. Shell
sendiri sedang mengerjakan proyek floating LNG (FLNG) raksasa di Australia. Pemda Maluku sedang berjuang untuk mendapatkan participating inerest 10% .
Awalnya, lapangan Abadi, Blok
Masela, diperkirakan akan mulai berproduksi tahun 2017, sehingga dapat menjadi negara pertama
yang memproduksi gas melalui skema FLNG. Namun, rencana tersebut rupanya
meleset. Saat ini baru pengembangan blok Masela baru memasuki tahapan design engineering. Setelah itu, akan dilanjutkan ke tahap konstruksi. Bila berjalan sesuai rencana, maka lapangan Abadi di Blok
Masela baru mulai berproduksi sekitar tahun 2018-2019.
Persoalannya, kontrak
Inpex mengelola Blok tersebut akan berakhir 2028. Artinya, Inpex dan mitranya
hanya punya waktu 10 tahun untuk mengembangkan proyek raksasa tersebut. Kondisi
ini yang membuat CEO dan management Inpex “galau hati”. Alasannya, waktu
pengembalian investasi tidak cukup 10 tahun untuk sebuah proyek dengan skala
besar seperti Blok Masela. Karena itu bisa dipahami bila kemudian Inpex
mengajukan perpanjangan, bahkan sebelum proyek tersebut beroperasi. Perusahaan
itu tampaknya membutuhkan kepastian dan dukungan dari pemerintah terhadap
rencana investasi jangka panjangnya di Indonesia.
Sisi positifnya,
CEO Inpex dalam pertemuannya dengan Presiden menyampaikan komitmen jangka
panjangnya berinvestasi di Indonesia. Ini melegakan apalagi kondisi ekonomi
dunia dan Indonesia saat ini sedang terguncang. Ekonomi dunia melemah, ekspor
Indonesia tertekan dan mata uang rupiah melemah terhadap dolar AS, sementara
utang membengkak di atas pembukuan akibat melemahnya rupiah. Di saat Indonesia
sedang giat-giatnya berupaya untuk meyakinkan investor untuk berinvestasi di
Indonesia, khususnya migas, Inpex maupun mitranya Total
E&P Indonesie, menyampaikan komitmennya. Ini merupakan ‘bonus’ bagi pemerintah.
Bola sekarang ada di
tangan pemerintah. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah memainkan bola
tersebut. Tentu tujuannya mencetak “goal”, yakni kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia. Apapun keputusan pemerintah terkait hak operatorship Blok Mahakam nantinya dan perpanjangan Blok Masela, keputusan
tersebut harus mengedepankan kepentingan negara dan bangsa, bukan kepentingan
kelompok. Kita berharap pemerintah akan mengambil keputusan yang bijak sejelah melakukan evaluasi menyeluruh dan mendalam dengan mempertimbangkan segala aspek teknis, non-teknis dan risiko. (*)