Minggu, 29 Desember 2013

Awan Gelap Membayangi Industri Migas Indonesia di Tahun Politik



Memasuki tahun baru 2014, tampaknya awan masih akan menyelimuti bumi nusantara. Yang dikhawatirkan, para pelaku industri migas menahan rencana investasi mereka, sementara pemerintah Indonesia tidak mau mengambil risiko membuat keputusan-keputusan penting. Kita berharap para pelaku industri migas tetap berinvestasi dan menjalankan roda usaha seperti biasa, sementara pemerintah berani membuat keputusan-keputusan penting, termasuk kontrak blok migas, seperti Blok Mahakam. 

* * *
Dua hari jelang pergantian tahun, mendung menyelimuti sebagian besar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau dikenal Jabodetabek. Beberapa wilayah sudah diguyur hujan sejak pagi. Seperti Jabodetabek yang mendung, demikian juga kondisi industri minyak dan gas bumi selama tahun 2013. Dikhawatirkan mendung yang membayangi industri minyak dan gas bumi ini akan terus berlanjut pada tahun 2014, tahun politik saat Indonesia akan sibuk dengan agenda Pemilihan Umum, baik untuk memilih anggota legislatif maupun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Salah satu situasi yang memprihatinkan adalah tingkat produksi minyak yang terus turun. Pada tahun 2013, lifting minyak Indonesia hanya mencapai 826.000 barel per hari, dibawah target 830.000 bpd. Padahal target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut sudah direvisi dari sebelumnya 900.000 bph. 

Lifting minyak ini menunjukkan penurunan yang signifikan dari tahun sebelumnya. Pada 2012, realisasi produksi minyak mentah Indonesia sebesar 860.000 bph, dibawah target sebesar 930.000 bph yang ditetapkan dalam APBN. 

Pada tahun 2014, produksi minyak diperkirakan bakal menurun lagi, dengan asumsi belum ada tambahan produksi dari proyek-proyek pengembangan minyak yang ada, terutama dari Blok Cepu. Padahal, sebelumnya pemerintah menargetkan produksi minyak dapat meningkat ke atas 1 juta bph lagi bila Blok Cepu memasuki tahapan produksi puncak (peak production). 

Pemerintah sebelumnya berharap produksi Blok Cepu di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah itu, bakal mencapai peak production sebesar 165.000 bph pada 2014. Namun, berbagai hambatan teknis dan non-teknis, termasuk masalah pembebasan lahan, perizinan yang memakan waktu lebih dari yang diperkirakan, membuat produksi puncak Blok Cepu molor.

Pemerintah sendiri telah menetapkan target lifting minyak sebesar 870.000 bph pada 2014 nanti. Namun, sebagian anggota DPR maupun pengamat energi mengatakan target lifting minyak tersebut sulit dicapai.

Sementara itu, lifting gas bumi selama 2013, seperti yang diumumkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beberapa waktu lalu, mencapai 1.204.000 bph, di bawah target pemerintah sebelumnya sebesar 1.360.00 bph. 

Cadangan minyak Indonesia hanya sebesar 3,7 miliar barel, yang diperkirakan akan habis dalam 12 tahun mendatang, dengan asumsi tidak ada penemuan cadangan minyak yang baru. Cadangan gas bumi sebesar 152,89 triliun standar kaki kubik (standard cubic feet/tsfc). Dari jumlah itu, 104,71 tscf merupakan cadangan terbukti dan 48,18 tscf merupakan cadangan potensial.

Penurunan produksi atau lifting minyak dan gas bumi tersebut merupakan cermin buruknya pengembangan industri minyak dan gas bumi pada 2014. Produksi atau lifting yang menurun menunjukkan menurunnya investasi perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, baik untuk eksplorasi maupun untuk keperluan peningkatan produksi. 

Cukup banyak ranjau menghantui pelaku industri migas pada tahun 2013. Pelaku Indonesia maupun pemerintah sendiri mengakui masih adanya berbagai persoalan yang menghambat laju industri migas di Indonesia.  Beberapa faktor yang sering diutarakan oleh pelaku industri adalah faktor birokrasi dan perizinan yang rumit. Untuk membangun fasilitas produksi minyak dan gas bumi, dibutuhkan belasan dan bahkan puluhan perizinan yang perlu dikantongi oleh pelaku industri migas.

Faktor kedua adalah ketidakpastian hukum dan politik sehingga keputusan pemerintah dapat berubah-ubah, tergantung siapa yang berpengaruh pada pemimpin negara. Sebagai contoh, pembubaran BPMigas, badan pelaksana kegiatan industri hulu minyak dan gas bumi Indonesia, atas tuntutan sekelompok masyarakat, padahal badan itu merupakan buah dari sebuah Undang-Undang Migas yang dihasilkan oleh DPR, yang notabene dipilih oleh rakyat. Namun, pemerintah tidak hilang akal. Pemerintah kemudian membentuk lembaga pengganti yakni SKK Migas, yang memiliki tugas dan fungsi yang mirip, hanya statusnya sekarang langsung berada di bawah kontrol Kementerian ESDM.

Faktor lain adalah ketidakpastian kontrak blok-blok Migas yang kontraknya segera berakhir. Paling tidak ada 5-6 blok migas yang kontraknya akan berakhir dalam 5 tahun kedepan. Perusahaan migas, atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS), membutuhkan kepastian lebih awal mengenai nasib kontrak blok-blok migas karena itu akan mempengaruhi rencana investasi mereka. Dalam peraturan yang ada, pemerintah memberikan kesempatan kepada KKKS untuk mengajukan perpanjangan hingga 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Tentu ketentuan ini punya maksud, yakni investasi industri migas bersifat jangka panjang, apalagi blok-blok migas yang berskala besar, seperti Blok Mahakam.

Sinyal yang diberikan pemerintah sejauh ini tidak mengesankan. Sebagai contoh, Blok Siak dan Blok Kampar. Pemerintah baru membuat keputusan pada hari terakhir kontrak. Karena itu, pemerintah memberi kesempatan kepada operator lama untuk tetap beroperasi selama 6 bulan berikutnya, sebelum blok Siak diserahkan ke pemerintah.

Operator blok-blok migas berharap pemerintah membuat keputusan jauh sebelum kontrak berakhir. Idealnya, keputusan dibuat 3-5 tahun sebelum kontrak berakhir, sehingga operator punya cukup waktu untuk melakukan strategi kedepan, termasuk keputusan terkait investasi. Operator Blok Mahakam, Total E&P Indonesie telah mengajukan perpanjangan kontrak operatorship Blok Mahakam tahun 2007 dan pendekatan terus dilakukan oleh perusahaan tersebut. Namun, hingga kini pemerintah belum membuat keputusan. 

Sejauh ini, pemerintah telah menetapkan 3 opsi terkait pengembangan Blok Mahakam, yakni diperpanjang, tidak diperpanjang dan kolaborasi operator lama (Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex), dan mengakomodasi pemain baru, dalam hal ini Pertamina. Wakil Menteri ESDM sebelumnya mengatakan pemerintah masih membutuhkan operator lama dalam pengembangan Blok Mahakam selanjutnya. Apakah itu berarti pemerintah akan memilih opsi ketiga, hingga saat ini tidak diketahui secara pasti. Tarik menarik kepentingan politik dan transisi perubahan pemerintah yang sedang terjadi dapat berpengaruh pada keputusan pemerintah. 

Namun, bila melihat tingkat kerumitan dan kompleksitas Blok Mahakam, para pelaku industri dan pengamat menilai kolaborasi atau joint-operation – melibatkan operator lama dan pemain baru – merupakan solusi ideal bagi pengembangan Blok Mahakam selanjunya.  Selain, dapat mengurangi tingkat risiko, opsi tersebut dapat menjamin kelanjutan produksi Blok Mahakam dan bahkan produksi dapat dioptimalkan. Investasi besar yang telah direncanakan oleh operator sebesar US$7,3 miliar dalam 5 tahun kedepan dapat terealisasi.

Memasuki tahun baru 2014, tampaknya awan masih akan menyelimuti bumi nusantara. Yang dikhawatirkan, para pelaku industri migas menahan rencana investasi mereka, sementara pemerintah sendiri tidak mau mengambil risiko membuat keputusan-keputusan penting. Namun, kita berharap para pelaku industri migas dapat tetap berinvestasi dan menjalankan roda usaha mereka, sementara pemerintah tetap membuat keputusan-keputusan penting, termasuk kontrak blok migas, seperti Blok Mahakam. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar