Anjungan migas lepas pantai |
Ya, tidak salah. Tahun 2013 ini merupakan tahun kritis, tahun
krisis, tahun yang tidak memuaskan. Mengapa demikian? Pertama, dalam hal
kegiatan eksplorasi, tidak ada penemuan cadangan minyak dan gas bumi yang
signifikan. Aktivitas eksplorasi minyak dan gas bumi, terutama di lepas pantai
dan laut dalam tidak memberi hasil yang memuaskan. Perusahaan-perusahaan migas
yang melakukan pengeboran, mencari cadangan baru, pulang dengan tangan kosong
karena hanya menemukan sumur kering, sumur kosong a.k.a dryhole. Hanya segelintir perusahaan yang menemukan cadangan migas,
yang nantinya dapat dikembangkan atau dikomersilkan.
Menurut siaran pers resmi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sebanyak 12 kontraktor kontrak
kerjasama (KKKS) minyak dan gas mencatat kerugiaan akumulasi hingga mencapai
US$1,9 miliar atau Rp22 triliun akibat kegagalan mengeksplorasi 16 blok di laut
dalam di Indoensia. Cadangan migas di blok-blok tersebut terbukti tidak
ekonomis. Kerugian tersebut tidak bisa diklaim ke pemerintah Indonesia melalui
skema cost recovery.
Perusahan-perusahaan migas yang gagal menemukan
cadangan migas, antara lain Exxon Mobil Corp., Statoil ASA, ConocoPhillips,
Talisman Energy Inc., Marathon Oil Corp., Tately NV, Japan Petroleum
Exploration Co., CNOOC Ltd., Hess Corp., Niko Resources Ltd. dan Murphy Oil
Corp. Seperti yang telah dilaporakan beberapa media, Hess Corp telah menjual aset-aset migasnya di Indonesia. Sementara,
Niko Resources memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan
eksplorasi/pengeboran laut dalam yang bersifat multi-years. Tentu ini merupakan berita yang tidak menguntungkan,
tidak hanya perusahaan yang bersangkutan tapi juga bagi industri migas
Indonesia.
Sesuai peraturan, bila cadangan migas tidak ditemukan, maka biaya
yang telah dikeluarkan tidak bisa diklaim. Sementara kalau cadangan migas
ditemukan dan bernilai ekonomis, maka perusahaan-perusahaan migas itu dapat
mengklaim dana yang telah diinvestasikan selama masa eksplorasi ke pemerintah
saat memasuki masa produksi di kemudian hari. Lagi-lagi, ini menunjukkan
aktivitas eksplorasi merupakan kegiatan high-risk,
berisko tinggi. Tidak salah bila dikatakan kegiatan eksplorasi merupakan sebuah
gambling, bisa untung bisa rugi. Dan
fakta telah menunjukkan, tingkat keberhasilan eksplorasi hanya berkisar antara
10-20 persen. Artinya, kemungkinan kegagalan justru jauh lebih besar, ketimbang
kemungkinan keberhasilan.
Oleh karena itu, tidak heran bila perusahaan KKKS migas besar saja
yang berani mengambil risiko investasi eksplorasi, yang sebagian besar
merupakan perusahaan migas asing (international oil company/IOC). Tanpa
perusahaan migas global bermodal besar dan berani mengambil risiko, akan sangat
sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan tambahan cadangan minyak dan gas bumi.
Padahal penemuan cadangan sangat vital bagi kelanjutan produksi atau sustainable production di masa datang.
Pesan dari situasi ini adalah bahwa Indonesia masih membutuhkan oil majors, atau perusahaan-perusahaan
migas besar dunia, untuk mengembangkan industri migas nasional. Sejauh ini,
produsen minyak terbesar Indonesia masih dipegang Chevron (CPI) sementara produsen
gas terbesar adalah Total E&P Indonesia. Produksi gas nasional terbesar
datang dari blok Mahakam, walaupun kondisi blok ini semakin tua, namun masih
bersifat strategis. Produksi gas bumi dari Blok Mahakam menyumbang sekitar 80
persen kebutuhan gas pada fasilitas produksi Bontang, di Kalimantan Timur.
Faktor krisis kedua industri migas adalah, faktor KETIDAKPASTIAN
yang berakbiat pada penurunan produksi dan sepinya aktivitas eksplorasi dan
pengembangan industri migas. Situasi ketidakpastian ini dengan jelas
digambarkan oleh sebuah
lembaga internasional ternama, Business
Monitor International. Menurut laporan terbaru Business Monitor tentang
Industri Minyak dan Gas Indonesia, meningkatnya ketidakpastian hukum dan usaha
akibat kampanye nasionalisasi yang disponsori oleh pihak-pihak dan kepentingan
tertentu yang berujung pada perubahan kebijakan pemerintah pada sektor sumber
daya alam, termasuk industri minyak dan gas bumi.
Ketiga, kasus gratifikasi yang melibatkan mantan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Kini Rudi telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini sedang ditelusuri KPK. Publik berharap kasus gratifikasi akan menjadi titik balik pengetatan praktik good corporate governance, baik di lembaga SKK Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pelaku industri migas dan industri-industri pendukung migas.
Ketiga, kasus gratifikasi yang melibatkan mantan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Kini Rudi telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini sedang ditelusuri KPK. Publik berharap kasus gratifikasi akan menjadi titik balik pengetatan praktik good corporate governance, baik di lembaga SKK Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pelaku industri migas dan industri-industri pendukung migas.
Situasi krisis ini tentu membuat kita prihatin
apalagi melihat kenyataan bahwa cadangan minyak kita akan habis 12 tahun lagi
bila tidak ditemukan cadangan baru, dan gas bumi sekitar 30-40 tahun lagi.
Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah terobosan. Pemerintah perlu
mengirim sinyal ke investor migas bahwa Indonesia terbuka bagi investasi asing,
khususnya di industri migas. Birokrasi, sistem perizinan, perlu disederhanakan.
Kepastian hukum perlu diciptakan. Faktor ketidakpastian perlu dihilangkan,
termasuk ketidakpastian perpanjangan blok-blok migas yang kontraknya akan
habis. Perusahaan migas perlu diberi kepastian mengenai kelanjutan
kontrak-kontrak migas yg akan berakhir, termasuk Blok Mahakam. Keputusan perlu
dibuat dengan segera agar perusahaan-perusahaan migas dapat melakukan
perencanaan investasi jauh-jauh hari. Investasi migas tidak dilakukan overnight. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar