Tampilkan postingan dengan label Niko Resources. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Niko Resources. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Desember 2013

Kilas Balik 2013, Industri Minyak dan Gas Indonesia Mencapai Titik Kritis



Anjungan migas lepas pantai
Tahun 2013 beberapa lagi akan berakhir dan kita akan memasuki tahun baru, tahun 2014. Sebelum beranjak ke 2014, ada baiknya kita menengok ke belakang, melakukan review atau kilas balik industri minyak dan gas bumi (migas), salah satu industri yang strategis bagi bangsa ini. Industri migas strategis tidak perlu diperdebatkan lagi karena industri ini menyumbang sekitar 30 persen pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Industri ini juga menjadi lokomotif bagi industri-industri pendukung migas dan industri lainnya. Jutaan tenaga kerja bekerja di industri migas, baik yang bekerja secara langsung di perusaan migas, nasional dan internasional, serta yang  tidak langsung. Satu kesimpulan yang muncul ke permukaan bahwa INDUSTRI MIGAS MENCAPAI TITIK KRITIS tahun 2013.

Ya, tidak salah. Tahun 2013 ini merupakan tahun kritis, tahun krisis, tahun yang tidak memuaskan. Mengapa demikian? Pertama, dalam hal kegiatan eksplorasi, tidak ada penemuan cadangan minyak dan gas bumi yang signifikan. Aktivitas eksplorasi minyak dan gas bumi, terutama di lepas pantai dan laut dalam tidak memberi hasil yang memuaskan. Perusahaan-perusahaan migas yang melakukan pengeboran, mencari cadangan baru, pulang dengan tangan kosong karena hanya menemukan sumur kering, sumur kosong a.k.a dryhole. Hanya segelintir perusahaan yang menemukan cadangan migas, yang nantinya dapat dikembangkan atau dikomersilkan.

Menurut siaran pers resmi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), sebanyak 12 kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) minyak dan gas mencatat kerugiaan akumulasi hingga mencapai US$1,9 miliar atau Rp22 triliun akibat kegagalan mengeksplorasi 16 blok di laut dalam di Indoensia. Cadangan migas di blok-blok tersebut terbukti tidak ekonomis. Kerugian tersebut tidak bisa diklaim ke pemerintah Indonesia melalui skema cost recovery.

Perusahan-perusahaan migas yang gagal menemukan cadangan migas, antara lain Exxon Mobil Corp., Statoil ASA, ConocoPhillips, Talisman Energy Inc., Marathon Oil Corp., Tately NV, Japan Petroleum Exploration Co., CNOOC Ltd., Hess Corp., Niko Resources Ltd. dan Murphy Oil Corp. Seperti yang telah dilaporakan beberapa media, Hess Corp telah menjual aset-aset migasnya di Indonesia. Sementara, Niko Resources memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan eksplorasi/pengeboran laut dalam yang bersifat multi-years. Tentu ini merupakan berita yang tidak menguntungkan, tidak hanya perusahaan yang bersangkutan tapi juga bagi industri migas Indonesia.

Sesuai peraturan, bila cadangan migas tidak ditemukan, maka biaya yang telah dikeluarkan tidak bisa diklaim. Sementara kalau cadangan migas ditemukan dan bernilai ekonomis, maka perusahaan-perusahaan migas itu dapat mengklaim dana yang telah diinvestasikan selama masa eksplorasi ke pemerintah saat memasuki masa produksi di kemudian hari. Lagi-lagi, ini menunjukkan aktivitas eksplorasi merupakan kegiatan high-risk, berisko tinggi. Tidak salah bila dikatakan kegiatan eksplorasi merupakan sebuah gambling, bisa untung bisa rugi. Dan fakta telah menunjukkan, tingkat keberhasilan eksplorasi hanya berkisar antara 10-20 persen. Artinya, kemungkinan kegagalan justru jauh lebih besar, ketimbang kemungkinan keberhasilan.

Oleh karena itu, tidak heran bila perusahaan KKKS migas besar saja yang berani mengambil risiko investasi eksplorasi, yang sebagian besar merupakan perusahaan migas asing (international oil company/IOC). Tanpa perusahaan migas global bermodal besar dan berani mengambil risiko, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan tambahan cadangan minyak dan gas bumi. Padahal penemuan cadangan sangat vital bagi kelanjutan produksi atau sustainable production di masa datang.

Pesan dari situasi ini adalah bahwa Indonesia masih membutuhkan oil majors, atau perusahaan-perusahaan migas besar dunia, untuk mengembangkan industri migas nasional. Sejauh ini, produsen minyak terbesar Indonesia masih dipegang Chevron (CPI) sementara produsen gas terbesar adalah Total E&P Indonesia. Produksi gas nasional terbesar datang dari blok Mahakam, walaupun kondisi blok ini semakin tua, namun masih bersifat strategis. Produksi gas bumi dari Blok Mahakam menyumbang sekitar 80 persen kebutuhan gas pada fasilitas produksi Bontang, di Kalimantan Timur.  

Faktor krisis kedua industri migas adalah, faktor KETIDAKPASTIAN yang berakbiat pada penurunan produksi dan sepinya aktivitas eksplorasi dan pengembangan industri migas. Situasi ketidakpastian ini dengan jelas digambarkan oleh sebuah lembaga internasional ternama, Business Monitor International. Menurut laporan terbaru Business Monitor tentang Industri Minyak dan Gas Indonesia, meningkatnya ketidakpastian hukum dan usaha akibat kampanye nasionalisasi yang disponsori oleh pihak-pihak dan kepentingan tertentu yang berujung pada perubahan kebijakan pemerintah pada sektor sumber daya alam, termasuk industri minyak dan gas bumi. 

Ketiga, kasus gratifikasi yang melibatkan mantan ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Kini Rudi telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini sedang ditelusuri KPK. Publik berharap kasus gratifikasi akan menjadi titik balik pengetatan praktik good corporate governance, baik di lembaga SKK Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pelaku industri migas dan industri-industri pendukung migas. 

Situasi krisis ini tentu membuat kita prihatin apalagi melihat kenyataan bahwa cadangan minyak kita akan habis 12 tahun lagi bila tidak ditemukan cadangan baru, dan gas bumi sekitar 30-40 tahun lagi. Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah terobosan. Pemerintah perlu mengirim sinyal ke investor migas bahwa Indonesia terbuka bagi investasi asing, khususnya di industri migas. Birokrasi, sistem perizinan, perlu disederhanakan. Kepastian hukum perlu diciptakan. Faktor ketidakpastian perlu dihilangkan, termasuk ketidakpastian perpanjangan blok-blok migas yang kontraknya akan habis. Perusahaan migas perlu diberi kepastian mengenai kelanjutan kontrak-kontrak migas yg akan berakhir, termasuk Blok Mahakam. Keputusan perlu dibuat dengan segera agar perusahaan-perusahaan migas dapat melakukan perencanaan investasi jauh-jauh hari. Investasi migas tidak dilakukan overnight. (*)