Tampilkan postingan dengan label Jusuf Kalla. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jusuf Kalla. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Juni 2014

Subsidi BBM, Produksi Migas Indonesia & Pemerintah Baru

Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa vs Jokowi-Jusuf Kalla
Dalam beberapa hari belakangan, isu bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kembali mencuat. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti mengatasi beban subsidi BBM yang membengkak tiap tahun. Tahun 2014 ini saja, subsidi BBM diperkirakan membengkak menjadi Rp 285 miliar triliun, dari Rp 210 triliun tahun lalu.

Dari berbagai pernyataan yang muncul dari dua kubu pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prahara) dan Jokowi Widodo (JKW)-Jusuf Kalla, mengakui subsidi BBM telah membelenggu APBN setiap tahun. Kubu Prabowo mengatakan BBM subsidi hanya dinikmati oleh orang berkecukupan (the haves) atau kelas menengah ke atas. Subsidi BBM tidak kena sasaran.

Demikian juga kubu Jokowi-Jusuf Kalla, tampaknya bertekad untuk menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Seperti yang diungkapkan oleh Jokowi, jika terpilih ia akan menghapus BBM bersubsidi dalam 4 tahun. Menurut Capres yang diajukan oleh PDIP dan mitra koalisinya ini, bahwa pemotongan subsidi tidak harus berbanding lurus dengan kenaikan harga BBM. Banyak cara yang dilakukan, misalnya meningkatkan efisiensi, mendiversifikasi sumber energi dan lain.
Seperti yang dikatakan oleh Arif Budimanta, ketua Tim Ekonomi Jokowi-Jusuf Kalla, subsidi BBM memang harus dikurangi secara perlahan. Menurut dia, jika Jokowi-Kalla terpilih, maka mereka akan mengambil sikap mengurangi subsidi BBM dan dana subsidi tersebut dialihkan ke sektor lain, termasuk untuk membangun fasilitas umum dan infrastructure yang dapat mendongkrak penghidupan dan kehidupan masyarakat.

Salah satu anggota tim sukses pasangan Prabowo-Hatta Rajasa, Drajad Wibowo, mengatakan bahwa prioritas utama adalah tidak menaikkan harga BBM subsidi bagi masyarakat. Langkah yang dilakukan adalah mengurangi subsidi BBM khusus orang kaya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengenaan instrumen pajak atau cukai tambahan bagi masyarakat mampu yang menggunakan BBM bersubsidi.

Sementara itu, tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla, Darmawan Prasojo dalam kesempatan berbeda, mengungkapkan, pasangan yang diusungnya akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan.

Pengurangan subsidi BBM tersebut dilakukan seiring dengan pengembangan energi alternatif yang potensinya masih besar di Indonesia. Sehingga, adanya alternatif yang murah menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap BBM mampu diredam.

Akar Permasalahan Subsidi


Dalam berbagai diskusi soal BBM, para ekonom dan pejabat pemerintah tampak hanya fokus bagaimana mengurangi subsidi BBM, tanpa mencari akar persoalan. Mengapa pemerintah mensubsidi BBM? Alasan utamanya karena harga BBM yang diimpor ke Indonesia cukup tinggi, seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Sementara masyarakat sudah biasa dengan harga BBM yang ditetapkan (fixed) di harga rendah. Secara tidak sadar pemerintah telah memanjakan masyarakat dengan BBM subsidi.

Disatu sisi, pemerintah khawatir bila harga BBM dinaikkan, akan terjadi gejolak politik dalam negeri. Karena itu, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sejauh ini mempertahankan subsidi BBM at all cost. Rencana atau niat mengurangi subsidi BBM, hanya sampai di mulut saja, tidak direalisasikan. Berbagai program direncanakan untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi, namun program-program tersebut hingga saat ini tidak terealiasi (contoh RIFD).

Besarnya dana atau anggaran subsidi BBM setiap tahun seharusnya membuat dan memaksa pemerintah untuk mencari jalan keluar mengurangi subsidi BBM, dan pada saat yang sama meningkatkan sumber energi non-fossil atau energi baru dan terbarukan.

Jokowi-JK telah secara tegas mengatakan akan mengurangi BBM subsidi dalam 4 tahun. Bila tidak melakukan apa-apa, maka harga BBM juga akan naik secara signifikan dalam 4 tahun tersebut. PR pemerintah baru nanti adalah bagaimana mengurangi subsidi BBM secara perlahan, dan pada saat yang sama melakukan berbagai terobosan mengoptimalkan sumber energi lain seperti gas bumi, panas bumi, dll.

Intinya, seluruh potensi sumber energi harus digarap dan didorong oleh pemerintah, termasuk minyak dan gas bumi. Seperti yang kita ketahui produksi minyak Indonesia merosot tiap tahun, dari 1,5 juta barel per hari tahun 1995, menjadi hanya sekitar 800,000 bph saat ini. Sementara konsumsi BBM mencapai 1,4 juta per hari. Itu berarti, Indonesia harus mengimpor sekitar 600,000 bph. Siapa yang diuntungkan? Tentu mafia impor. Tanpa bersusah-susah mencari cadangan minyak maupun gas, mereka atau importir menikmati keuntungan besar dari mengimpor minyak. Kita khawatir, pemerintah selama ini gagal atau tidak berani mengurangi subsidi BBM akibat tekanan dari mafia-mafia importir migas, yang punya kepentingan tersendiri agar Indonesia masih bergantung pada impor minyak.

Di satu sisi, ada perusahaan-perusahaan migas besar berani mengambil risiko dengan melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Sebetulnya, akar persoalan subsidi BBM di Indonesia adalah berkurangnya produksi minyak (dan gas) nasional. Padahal, bila produksi minyak meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, impor minyak akan berkurang dan konsekuensinya subsidi BBM dari anggaran pemerintah pun dapat dikurangi.

Karena itu, sebagai solusi jangka menengah-panjang mengurangi subsidi BBM adalah mengoptimalkan sumber daya (Migas) dari dalam negeri. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi, khususnya untuk eksplorasi migas. Bila cadangan meningkat, produksi juga akan meningkat. Dan bila produksi minyak dalam negeri meningkat, otomatis subsidi BBM juga berkurang dengan sendirinya. Semoga siapapun yang menang dalam Pilpres nanti, isu subsidi BBM ini harus segera dicari jalan keluarnya. (*)

Minggu, 18 Mei 2014

Pemilihan Presiden 2014: Jokowi-Jusuf Kalla vs Prabowo-Hatta Rajasa, Golkar & PD Galau



Setelah beberapa minggu melobi sana-sini, pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mulai terang benderang. PDIP sebagai pemenang dengan jumlah suara terbanyak serta partai-partai yang telah bergabung, Nasdem, PKB dan Hanura tadi malam (18 Mei) telah sepakat untuk mengusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla (JK) sementara Gerindra yang berada di posisi ke-3 dalam Pemilihan Legislatif lalu dan partai pendukungnya PKS dan PPP hampir pasti akan mengusung Prabowo Subianto (PS) sebagai Calon presiden dan Hatta Rajasa sebagai calon Wakil Presiden.


Ditengah derasnya kritikan terhadap Prabowo terkait dugaan keterlibatannya terhadap kasus penculikan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) jelang krisis moneter dan politik 1997-1998, Prabowo maju dan melobi berbagai partai untuk mengusungnya sebagai Calon Presiden. Dari berbagai partai yang dilobi, hanya PKS yang nyaris tenggelam akibat kasus korupsi sapi impor yang melibatkan mantan presiden PKS Luthfie Hasan, Partai Amanat Nasional (PAN) serta PPP yang sudah secara terbuka mendukung pencapresan Prabowo. PPP pun pada akhirnya tidak punya pilihan kecuali mendukung Prabowo setelah sempat terjadi pertarungan internal, termasuk saling memecat antara pimpinan partai.  


ARB-SBY??
Bagaimana dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat? Apakah akan ada poros ketiga? Dalam seminggu terakhir muncul ke permukaan bakal ada poros ke-3, yang dimotori oleh Partai Demokrat. Capres dan Ketua Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) sempat bertemu dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membahas kemungkinan dibentuknya poros ketiga. Namun, tampaknya upaya tersebut terbentur antara siapa yang jadi Capres dan Cawapres. Media-media sempat memunculkan pasangan ARB sebagai Capres dan Pramono Edhie sebagai Wakil Presiden. Anehnya, Pramono Edhie bukanlah pemenang Konvensi Partai Demokrat. Justru yang menjadi pemenang adalah Dahlan Iskan, yang diklaim menjadi yang paling populer dibanding 10 bakal capres lain berdasarkan survei.


Lalu bagaimana dengan nasib pemenang konvensi Partai Demokrat? Itu ibarat berlomba untuk menjadi juara, tapi hadiah yang dijanjikan tidak diberikan. Itulah politik. Terkadang dan lebih sering terjadi rencana tidak berjalan sesuai rencana. Pemenang Konvensi Partai Demokrat dijanjikan akan diberikan ‘boarding pass’ untuk menjadi Capres Partai Demokrat tapi boarding pass itu tak dapat diberikan oleh Partai Demokrat karena partai tersebut gagal dalam Pileg 9 April lalu. Partai ini (PD) hanya memperoleh suara sekitar 10 persen, sehingga tidak dapat mengusung Capres sendiri. PD membutuhkan partai-partai lain agar bisa memenuhi persyaratan 20% suara agar dapat mengusung Capres sendiri. Sebelumnya PD sempat diisukan bakal bergabung dengan Golkar atau sebaliknya, tapi hingga hari ini tidak terjadi atau belum terjadi. Salah satu skenario yang mungkin terjadi PD dan Golkar hanya sebagai penonton saja dalm Pilpres nanti. TRAGIS MEMANG, bila itu terjadi!. Partai pemenang Pemilihan Presiden dua kali (2004 dan 2009) gagal mengajukan Capres.


Lain lagi kisah ARB, seorang tokoh partai dan pemilik Bakrie Group, ini tampak kebingungan, antara Mencapreskan diri sendiri, bergabung dengan PD, Prabowo atau Jokowi. ARB sempat terbang ke Bojongkoneng, ‘istana’ Prabowo dengan helicopter, sehingga sempat memunculkan isu koalisi helicopter. Tapi akhirnya, tidak terjadi deal apa-apa. ARB juga sempat bertemu Jokowi dan Megawati Soekarnoputri. Entah apa yang dibahas atau proposal yang diajukan ARB, tidak jelas. Sempat muncul berita bahwa ARB mungkin menjadi calon Wakil Presiden Jokowi, tapi tidak terjadi. 


Rapat Pimpinan Nasional (Rampimnas) Golkar hanya mengkonfirmasi ARB sebagai Capres atau Cawapres, tidak ada figur baru yang dimunculkan secara formal oleh partai Golkar. Kemungkinan terburuk, Golkar bakal hanya menjadi penonton saja dalam Pilpres 9 Juli nanti. 


Namun, politik bisa berubah dalam hitungan detik. Bisa saja ARB atau partai Demokrat membuat keputusan last miniture, dengan membuat poros baru. Masih tersisa sedikit waktu. Kemungkinan lain, Golkar merapat ke PDIP tanpa menuntut kursi Cawapres, hanya sebagai partai pendukung. PD, bila melihat pernyataan ketua partai PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bisa jadi PD akan menjadi dirinya sendiri, dalam arti berada di luar pemerintahan, dan menjadi partai diluar pemerintah atau semacam partai oposisi. 


Akan halnya Jokowi dan Jusuf Kalla, tentu ini telah melalui proses pembahasan internal PDIP serta diskusi dengan mitra PDIP, yakni Nasdem, PKB dan Hanura. Sebelumnya ada lima nama yang dimunculkan, kemudian menyusut menjadi 2 orang (yakni Jusuf Kalla dan Abraham Samad), tapi pada akhirnya JK yang diputuskan menjadi pendamping Jokowi. JK dianggap layak mendampingi Jokowi karena keduanya dapat saling melengkapi. Jokowi dan Jusuf Kalla merupakan paduan antara sosok populer di mata rakyat dan sosok yang berpengalaman dan tokoh lintas partai, lintas agama, lintas suku, dengan jangkauan internasional tentu memberikan nilai plus pada pasangan ini. Publik Indonesia tahu keberhasilan SBY pada masa pemerintahan 2004-2009, tak terlepas dari kontribusi JK, yang tegas, cepat bertindak dan sosok yang result-oriented. Walaupun usia JK sudah tidak muda lagi, namun ia masih aktif seperti yang ia tunjukkan saat menjadi ketua PMI. 


JK juga merupakan sosok yang masih dikagumi di internal Golkar, dan bisa jadi bila Jokowi-JK menang Pemilu, bisa jadi fraksi-fraksi internal Golkar akan mendorong pergantian ketua Golkar dan memilih sosok yang akan mendukung JK, sama seperti skenario 2004 lalu. Golkar akhirnya merapat ke partai pemenang pemilu. 


Saat ini masyarakat Indonesia menatap Pilpres 9 Juli nanti. Masyarakat kini menanti visi, misi dan program-program konkrit yang akan ditawarkan oleh masing-masing pasangan Capres-Cawapres. Masyarakat merindukan perubahan. Masyarakat kini tidak lagi membutuhkan pemimpin yang authoritarian, rejim militer atau penguasa yang otoriter, tapi sosok pemimpin yang fresh, yang mendambakan pemimpin yang melayani rakyatknya, memberi yang terbaik bagi rakyatknya, seorang pemimpin yang dapat mengayomi masyarakat Indonesia yang majemuk dari Sabang sampai Merauke, sosok pemimpin yang bukan pendendam, sosok pemimpin yang tidak emosional, sosok pemimpin yang lebih banyak bertindak dengan karya nyata, bukan dengan slogan-slogan yang sekadar menjual tapi sulit dan tidak mungkin diterapkan. 


Kita berharap Pemilihan Presiden akan berjalan lancar, tidak terjadi gontok-gontokan di lapangan, bebas kerususuhan, bebas dari saling caci-maki, saling menjatuhkan melalui black campaign. Kampanye negatif mungkin sah-sah saja, tapi black campaign yang tidak berdasarkan fakta, melakukan pembohongan publik tidak sehat bagi kemajuan demokrasi kedepan. Pihak-pihak yang melancarkan black campaign bakal menjadi bumerang bagi sang calon. Lebih baik para Capres dan Cawapres fokus pada diri sendiri dan fokus pada apa yang mereka bisa tawarkan bagi kemajuan Indonesia kedepan, bukan fokus pada apa yang dilakukan lawan politik. Semoga!!

Rabu, 16 April 2014

Menakar Kekuatan Opsi Pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Jusuf Kalla



Majalah Tempo edisi April 30-6, Mei 2012 masih tergeletak meja saya dengan cover cukup menarik, ada gambar atau sosok bakal calon presiden (Capres) yang membelakangi kamera, dengan judul di bawahnya ‘Berpacu untuk RI-1’. Menari untuk melihat ke belakangan bagaimana persepsi publik dan media 2 tahun lalu dan sesaat setelah pemilihan legislatif. Majalah tersebu mengedepankan 5 sosok yang bakal bersaing dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun ini (9 Juli), yaitu Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Mahfud MD, Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto. Dari lima sosok tersebut ada tiga orang yang menjadi ketua partai, yaitu Ical, Hatta Rajasa dan Prabowo Subianto. Dua lagi merupakan tokoh publik – Kalla sebagai ketua PMI dan Mahfud MD sebagai ketua MK saat itu. 

Saya mencoba menelusuri laporan tersebut dari awal hingga akhir. Menariknya nama Joko Widodo (Jokowi) tidak ada dalam daftar atau sosok yang diperbincangkan atau diprediksi saat itu. Melihat hasil Pileg 9 April lalu dan menyimak dinamika politik beberapa hari terakhir, ARB (Aburizal Bakrie) dan Gerindra bakal diajukan secara resmi sebagai calon Presiden, dan satu sosok lagi, yaitu Jokowi akan diajukan secara resmi sebagai calon Presiden dari Partai pemenang Pemilihan Legislatif PDIP, yang didukung oleh partai lain. 

Sejauh ini, baru Nasional Demokratik (Partai Nasdem) yang secara resmi mendukung atau memberikan suaranya untuk mendukung Jokowi sebagai Presiden. Sebetulnya, bila angka/persentase quick count sejalan dengan real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejalan, maka PDIP sudah cukup untuk mencalonkan Jokowi sebagai Presiden. Namun, tampaknya PDIP dan elit partai tersebut serta Jokowi masih terus melobi partai-partai lain untuk ‘bekerjasama’ membentuk “Kabine Kerja” bila terpilih nanti. 

Saat ini publik masih menanti-nanti dan mencoba meraba-raba siapa yang bakal menjadi calon Wakil Presiden (Cawapres) untuk mendampingi Jokowi. Berbagai nama muncul di permukaan, di antaranya Jusuf Kalla, ketua PMI yang juga mantan Wakil Presiden, Mahfud MD, mantan ketua MK, Muhaimin Iskandar (Menaker), Hatta Rajasa (Ketua PAN yang juga Menteri Koordinator Perekonomian), dan Ryamizard Ryacudu, dan Panglima TNI Jenderal Moeldoko.  Elit PDIP dan Jokowi sendiri mengatakan telah mengantongi 5 nama sabagai kandidat Cawapres Jokowi, namun tidak atau belum diumumkan ke publik.

Namun, dari berbagai sumber internal PDIP yang saya peroleh, nama Jusuf Kalla muncul sebagai calon kuat untuk mendampingi Jokowi. Dan tentu ini belum final mengingat kondisi atau dinamika politik masih sangat cair (fluid) yang bisa saja berubah dari waktu ke waktu. 

Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo hanya memberikan kriteria Cawapres Jokowi tanpa mau menyebut nama. Pertama, orang yang bisa bekerja sama dengan Jokowi selama lima tahun. Kedua, memiliki komitmen. Ketiga, siap melaksanakan program prorakyat dan mengimplementasikan trisakti Bung Karno, keempat mampu memperkuat sistem presidensial dan kelima, mendukung program pro-rakyat Jokowi.

Seberapa jauh prospek dan kekuatan pasangan Jokowi-JK, bila benar-benar diajukan oleh PDIP dan mitranya? Bila kita melihat sosok Jokowi, ia memiliki kekuatan tapi juga pengalaman. Kekuatan Jokowi ada pada karakternya. Sejak ia menjadi Wali Kota Solo hingga menjadi Gubernur DKI saat ini, karaker yang menonjol adalah kesederhanaan, kejujuran dan jiwa kepemimpinan yang melayani (servant of the people). 

Tahun lalu saat saya mengunjungi Solo untuk suatu tugas, saya sempat berbincang-bincang dengan tukang becak, pemilik warung, dan pengelola hotel. Bagi mereka, Jokowi adalah sosok pemimpin yang unik, yang merakyat. Saat menjadi Walikota Solo, ia hanya bertahan sekitar 1 jam di kantor, dan selebihnya berada di luar kantor, blusukan kemana-mana. Ia bukan tipe pemimpin yang hanya duduk di belakang meja dan menerima laporan ABS (asal bapa senang) dari bawahannya, tapi ia tipe pemimpin yang suka hands-on-the job, yang ingin tanyan kotor bersih-bersih sampah, berbaur langsung dengan masyarakat.  Tidak hanya itu, sistem birokrasi juga ia rombak, tanpa banyak bicara, sehingga tidak heran beberapa kali Kota Solo menerima penghargaan dari BPK karena laporan keuangan yang bagus.

Di Jakarta, tidak sulit untuk menemui Jokowi karena hampir tiap hari dan bahkan akhir pekan pun ia blusukan kemana-mana. Ia seolah memunculkan gaya pemimpin baru yang menyegarkan di Indonesia, yakni menjadi pelayan publik (servant of the people). Beruntung, Jokowi juga memiliki Wakil Gubernur yang memiliki komitmen yang sama untuk membangun sebuah pemerintahan yang berorientasi melayani masyarakat, dalam diri Basuki T Purnama atau Ahok. Keduanya memang memilik karakter yang berbeda, Jokowi yang lembut, rendah hati, jujur, pendengar baik, sementara Ahok sosok yang keras dan tidak sungkan-sungkan bersuara keras menegur bawahannya. Namun, keduanya saling melengkapi.

Jokowi bukan tidak punya kelemahan. Salah satunya adalah kurang berpengalaman. Ini tidak mengherankan karena sosok Jokowi melesat sangat cepat di belantara perpolitik nasional dalam dua tahun terakhir. Bahkan, majalah terbesar nasional Tempo dan media-media nasional pun belum menyebut nama Jokowi sebagai calon Presiden dua tahun lalu. Jokowi datang dari akar rumput, sosok sederhana yang lahir di desa/daerah, yang mewakili masyarakat akar rumput. Maka Jokowi tahu persis apa yang menjadi persoalan masyarakat akar rumput. Gaya kemempinan merakyat tersebut merupakan kekuatan Jokowi, tapi di satu sisi ia masih perlu meningkatkan kompensi dia sebagai pemimpin nasional (kompetensi). 

Indonesia saat ini banyak orang pintar, punya kemampuan tapi minus kejujuran, minus kesederhanaan, minus kerendahan hati untuk mendengar aspirasi dari bawah. Maka munculnya sosok Jokowi yang dicintai rakyatnya memberikan kesegaran baru bagi panggung politik dan kekuasaan nasional. Dari sisi kompetensi, calon presiden lain Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie memiliki kompetensi, tapi mereka juga punya kekurangan. PS dikait-kaitkan dengan isu HAM saat transisi politik tahun 1997-1998 dan Bakrie disandra oleh kasus Lumpur Sidoarjo (Lusi). Keraguan juga muncul karena bila ia (ARB) menjadi Presiden, dikhawatirkan akan memberikan favoritism pada group usahanya. 

Jokowi? Ia tidak punya perusahaan. Kalaupun ada, hanya sebuah perusahaan furnitur. Karena itu, masyarakat Indonesia saat ini mendambakan dan mengharapkan seorang sosok, figur baru yang dapat memberikan penyegeran dan pembaharuan di segala bidang, termasuk di birokrasi. Kelemahan Jokowi hanya ada pada pengalaman dalam menjadi pemimpin nasional. Namun, kepercayaan rakyat akan menjadi kekuatan bagi dia untuk pemimpin dengan karakter yang ia miliki. 

Karena itu, tidak mengherankan bila kemudian muncul sosok Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi dalam Pilpres nanti. Dari sisi chemistry, tidak sulit bagi JK untuk bekerja sama dengan Jokowi karena keduanya sudah beberapa kali bertemu. Sama seperti Jokowi, JK juga adalah tipe pemimpin yang bekerja. Tidak sulit juga bagi Jokowi untuk bekerjasama karena ia seorang pemimpin yang suka mendengar, bukan one man show leader seperti Capres lain.

Saya setuju dengan pendapat pengamat politik Universitas Indoensia, Arbi Sani, bahwa Joko Widodo harus menggandeng politisi senior Golkar yang juga Wapres 2004-2009, Jusuf Kalla. Hanya faktor yang masih perlu dipertimbangkan adalah faktor umur JK, namun keraguan tersebut bakal terbantahkan melihat kesibukan JK saat memimpin PMI hingga saat ini. Pepatah old soldier never die pas disematkan ke pundak JK. JK sosok yang pas untuk mengimbangi Jokowi. Jokowi memiliki keunggulan yang dibanding Capres lainnya, namun ia masih tergolong hijau dari sisi pengalaman dalam memimpin pemerintahan dalam skala nasional. Dan, kekurangan tersebut dapat diisi oleh sosok seorang Jusuf Kalla. (*)

Senin, 20 Januari 2014

Kritikan Politisi Demokrat Ruhut Sitompul Tak Goyahkan Popularitas Jokowi




Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama pebalap MotoGP, 
Jorge Lorenzo, bersiap gowes sepeda (17/1/2014). 
Sosok Joko Widodo atau Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, makin dicintai. Popularitasnya pun terus menanjak secara konsisten dalam setahun terakhir. Berbagai survei independen menunjukkan Jokowi tetap menjadi calon Presiden idaman publik. 

Survei Kompas terbaru menunjukkan bila Pemilihan Umum Presiden dilakukan hari ini, Jokowi akan terpilih menjadi Presiden. Survei tersebut juga menunjukkan pergeseran suara pada beberapa calon Presiden lain seperti Wiranto, Prabowo, Megawati Soekarnoputri, Aburizal Bakrie dan Jusuf Kalla. Ada yang naik, ada yang turun. Pergeseran akan terus terjadi jelang Pemilu nanti. Namun, hanya satu sosok yang tetap konsisten menanjak, yaitu Jokowi.

Popularitas Jokowi membuat partai-partai lain mencoba menjegal Jokowi. Berbagai kritikan dan hujatan dan black campaign dilakukan untuk menghantam sosok yang bersahaja ini. Namun, semakin dia dikritik, semakin dihujat, semakin kuat pula popularitas mantan Walikota Solo ini.

Salah satu sosok yang paling terbuka mengkritik dan menjegal Jokowi adalah salah satu juru bicara Parai Demokrat Ruhut Sitompul. Ia menantang Jokowi untuk berdebat publik, tapi tidak diladeni oleh Jokowi. "Saya nggak suka diskusi, nggak suka debat. Senangnya kerja sajalah. Kalau mau debat ya cari yang pintar saja, yang suka debat," kata Jokowi di Balaikota. 

Jokowi tetap tegar dan melakukan apa yang dia lakukan seperti biasa, melayani masyarakat. Ia jarang sekali berada di kantor. Kalaupun ke kantor, itu hanya untuk mengadakan rapat dengan bawahannya atau melakukan koordinasi. Selebihnya ia menghabiskan waktunya di luar kantor, mengunjungi waduk, sungai atau taman-taman, berdialog dengan masyarakat. Dengan cara itu, ia melihat dan merasakan langsung setiap persoalan yang dihadapi masyarakat ibu kota. Karena itu, walaupun persoalan silih berganti yang dihadapi warga, warga tetap merasa mempunyai pemimpin yang setia dan selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga ketika banjir yang melanda ibu kota. Jokowi hampir seluruh waktunya berada di luar kantor.

Berbagai kata-kata pedas dikeluarkan Ruhut Sitompul untuk menjegal laju Jokowi menjadi bakal calon Presiden Indonesia. Ketika banjir melanda beberapa wilayah Jakarta, Ruhut pun seolah-oleh mendapatkan momentum untuk kembali menyerang sosok Jokowi.

“Dia berjanji untuk mengatasi banjir, tapi apa yang terjadi?” ucap Ruhut seperti dikutip vivanews.com. Memang sulit karena ia hanya seorang pengusaha furniture, lanjut Ruhut. Pernyataan Ruhut ini seolah menganggap remeh para pengusaha mebel. Padahal pengusaha mebel adalah salah satu penyumbang devisa negara. Jutaan pengusaha mebel dan pengusaha kecil di Indonesia menjadi penopang ekonomi Indonesia saat ekonomi dihantam badai krisis tahun 1998.  

Pernyataan Ruhut Sitompul ini menunjukkan betapa tidak sensitifnya para elit Demokrat. Mereka tampak seperti ‘out of touch’ terhadap kehidupan nyata masyarakat. Pernyataan Ruhut yang mengkritisi para pembuat furniture juga menyinggung perasaan jutaan para pengusaha dan pekerja industri furniture di Tanah air yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia.  

Menurut data BPS, industri furniture pada 2012 memberikan kontribusi terhadap perolehan devisa negara sebesar US$2,6 miliar. Sekitar US$1,8 miliar disumbangkan oleh sektor furniture dan US$800 juta dari sektor kerajinan. Diperkirakan lima tahun kedepan ekspor mebel akan menyumbang US$5 miliar atau Rp50 triliun devisa negara.

Pada kesempatan lain, Ruhut mengatakan Jokowi ibarat tong kosong nyaring bunyinya. Padahal yang tong kosong sebetulnya adalah Ruhut sendiri. Mendengar pernyataan politisi Demokirat ini, masyarakat umum hanya menggeleng kepala. Tak sepantasnya kata-kata itu keluar dari seorang wakil rakyat.

Boleh jadi Ruhut terus melancarkan ‘ocehan’ tidak berbobotnya lantaran Partai Demokrat terus dihantam badai. Berbagai kader Partai Demokrat terus menjadi penghuni ‘hotel prodeo’ (penjara) akibat terlibat kasus korupsi. Popularitas Partai Demokrat juga terus menurun. Popularitas para bakal calon Partai Presiden yang sedang mengikuti Konvensi Partai Demokrat pun masih rendah, termasuk Edhi Pramono yang disebut-sebut Ruhut Sitompul bakal mengalahkan Jokowi. 

Politisi Demokrat ini sebaiknya mengaca. Lebih baik dia memperbaiki internal partai daripada terus menghujamkan peluru ke Jokowi. Semakin dia ‘menembak’ Jokowi, semakin meningkat popularitas Jokowi. Walaupun Jokowi sebelumnya hanya seorang pengusaha furniture, fakta membuktikan bahwa sosok mantan Walikota Solo ini kian diperhitungkan publik untuk menjadi “the next Mr President Indonesia”. (*)