Tampilkan postingan dengan label Capres. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Capres. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Mei 2014

Membaca Arah Koalisi Partai, Antara Koalisi Selera vs Koalisi Platform



Koalisi 'Helikopter'  (foto detik.com)
Agenda politik nasional memasuki pekan penting. Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih terseok-sekok menyelesaikan rekapitulasi suara hasil Pemilihan Legislatif 9 April lalu yang seharusnya diumumkan hari ini, tapi ditunda ke tanggal 9 Mei, sebagai tanggal keramat yang tidak bisa dilewati. Hingga hari ini, baru 12 dari 33 provinsi menyelesaikan hasil rekapitulasi suara. Artinya, dalam 3-4 hari kedepan, KPU harus menyelesaikan hitungan suara Pileg legislative. Sementara disisi lain, partai-partai peserta pemilu masih menunggu dengan cemas dan galau hasil rekapitulasi suara sebelum memutuskan akan berkoalisi dengan partai apa dalam mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden pada pemilihan presiden 9 Juli nanti. 

Dalam tiga minggu terakhir, publik dipertontonkan sebuah pertunjukan atau lebih tepat dagelan politik di sebuah panggung sandiriwara. Setelah keluar hasil quick count beberapa lembaga, partai-partai langsung melakukan manuver-manuver politik. Partai tiga besar, PDIP, Golkar dan Gerindra, berdasarkan hasil Quick Count, mencoba menggandeng partai-partai menengah dan kecil untuk bekerjasama atau berkoalisi mengusung Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres dan Cawapres).

Yang sudah tegas-tegas bergabung barulah PDIP dan Nasdem. Kedua petinggi partai – Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh beserta elit-elit partai sudah bertemu dan bahkan telah menyusun tim gabungan. Anggota tim pemenangan Pemilu kemungkinan masih akan bertambah bila memang ada partai-partai lain nanti bergabung. Yang jelas, Jokowi telah disepakati dan didukung oleh Nasdem untuk menjadi Calon Presiden. Nah, calon Wakil Presiden hingga detik ini belum diumumkan ke publik. Ada beberapa nama yang dimunculkan ke publik, yaitu mantan Wakil Presiden yang juga ketua PMI Jusuf Kalla, mantan ketua MK Mahfud MD, ketua KPK Abraham Samad, dan beberapa nama lain. Santer terdengar di publik, internal PDIP dan Nasdem condong memilih Jusuf Kalla akan dipasangkan dengan Jokowi, dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Jusuf Kalla dianggap sebagai sosok yang tepat karena memiliki pengalaman, ketenangan, ketegasan dan network pendukung yang kuat, termasuk dari internal partai Golkar dan kalangan Islam yang akan menjadi penyeimbang bagi Jokowi. Disamping itu, Jokowi membutuhkan sosok yang bisa berpacu bersama, punya chemistry yang pas dan sama-sama punya jiwa kerja atau result-oriented. Jusuf Kalla memang sudah tidak muda lagi, namun, ia masih terlihat energik di usianya yang sudah memasuki masa golden age. 

Beberapa partai dikabarkan akan merapat lagi, diantaranya PKB dan PPP. Baru-baru ini Jokowi melakukan safari politik ke pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur bertemu dengan tokoh-tokoh spiritual PKB dan PPP. Jokowi juga didampingi oleh elit-elit PKB, sebuah indikasi PKB bakal bergabung dengan PDIP. PPP sendiri masih terpecah antara yang pro-Prabowo dan pro-Jokowi. Ketua PPP masih tetap ngotot untuk membawa gerbong PPP ke Gerindra, sementara sebagian besar elit PPP menginginkan merapat ke PDIP atau mendukung Jokowi sebagai Capres.

Lalu bagaimana dengan Golkar dan Gerindra? Peta koalisi tampaknya sudah mulai berubah. Sebelumnya, publik tahu bakal ada tiga Capres, yaitu, Jokowi, Prabowo dan Aburizal Bakrie (ARB). Cawapres yang menjadi teka-teki. Namun, dalam seminggu terakhir, angin politik kembali berubah. ARB yang sebelumnya mengklaim telah memperoleh ‘boarding pass’ untuk menjadi Capres, menurunkan targetnya hanya menjadi Cawapres, itu pun dengan catatan kedua partai – Gerindra dan Golkar – sepakat dengan ‘terms and condition’ dari koalisi kedua partai.

Dari pemberitaan, kita mengetahui bahwa Aburizal Bakrie (ARB) tidak bermasalah bila dipasangkan dengan Prabowo Subianto sebagai Cawapres. Itu artinya, Golkar yang punya suara lebih besar sekitar 14-15 persen berdasarkan Quick Count rela turun derajat hanya mengusung ketua partai ARB sebagai Cawapres Prabowo. Tapi itu, masih belum final. Bisa saja rencana ARB dan beberapa elit Golkar dimentahkan lagi nanti, tergantung hasil final kesepakatan kedua partai. 

Bila ARB menjadi Cawapres Prabowo, maka sudah mulai muncul dua pasangan Capres-Cawapres, yaitu 1. Jokowi-Jusuf Kalla/Mahfud MD/Abraham Samad dan ke-2, Prabowo Subianto – ARB. 

Lalu bagaimana nasib PKS, PAN yang sebelumnya juga dikabarkan telah merapat ke Gerindra and menyakini akan men-Cawapreskan Hatta Rajasa (Ketua PAN) dengan Prabowo Subianto atau Anis Mata dari PKS? Dengan melihat suara hasil Pileg Legislatif dan basis politik, Prabowo boleh jadi memilih ARB bila ARB dan Golkar iklas merelakan ARB jadi Cawapres Prabowo.

Nah, publik sekarang menunggu pasangan Capres-Cawapres ketiga, dengan asumsi Partai Demokrat jadi mengusung Capres-Cawapres sendiri, dengan menggandeng partai-partai menengah lainnya, yang tidak bergabung dengan kedua pasangan Capres-Cawapres.

Untuk peta koalisi dan pasangan Capres-Cawapres, publik masih menunggu keputusan terakhir partai-partai.

Reaksi Publik
Lalu bagaimana reaksi publik melihat perkembangan rencana koalisi partai-partai di atas? Kita bisa melihat di media-media mainstream maupun sosial media, publik tampaknya mulai gerah dan kecewa dengan rencana koalisi partai-partai politik. Kekecewaan diantaranya akibat tidak jelasnya landasan keputusan koalisi. Idealnya, koalisi itu didasari oleh kesamaan platform atau sepakat memiliki platform yang sama. Namun, yang terjadi koalisi dilakukan berdasarkan ‘Selera’ ketua partai dan elit partai.

Lihat saja pernyataan, ARB usai bertemu dengan Prabowo beberapa waktu lalu. ARB mengatakan dia merasa lebih ‘nyaman’ dengan Prabowo. Namun, ARB tidak menjelaskan dia merasa ‘nyaman’ dalam hal apa? Apakah sekadar nyaman karena merasa bisa bilang ‘Loe - Gue’ dengan Prabowo? Rencana koalisi Gerindra-Golkar ini memang menarik perhatian media dan publik. Ada yang mengatakan, bahwa kedua partai melakukan “koalisi helikopter” atau koalisi di awang-awang, tidak membumi, karena keduanya senang saling berkunjung dengan mempertontonkan kemewahan dan harta yang dimiliki, yaitu melalui simbol helikopter, sementara rakyat hanya melihat ke angkasa, mendengar deru mesin helikopter.

Bila Prabowo dan ARB bergabung menjadi Capres-Cawapres, maka ini akan menjadi fenomena menarik.  Dua-duanya adalah pebisnis atau konglomerat, ARB dengan grup Bakrie-nya, dan Prabowo dengan grup Nusantara Energi. Keduanya juga memiliki catatan hitam yang bakal menjadi batu sandungan bagi keduanya dalam memenangi Pilpres 9 Juli nanti. ARB punya ‘liabilitas’ masalah Lapindo dan PS bakal dihadang oleh isu-isu terkait HAM dan isu utang salah satu perusahaannya, yaitu Kiani Kertas. Tidak heran bila, beberapa pengamat melihat bergabungnya kedua tokoh bisnis-politik ini, tidak lebih sekadar upaya untuk melindungi kepentingan bisnis masing-masing. Keberhasilan pasangan ini nanti tergantung bagaimana mereka memoles isu-isu miring seperti ini.

Sebuah fenomena menarik juga bila ARB benar-benar merapat ke Prabowo dalam satu kendaraan pada Pilpres nanti. Di sektor bisnis keduanya terkadang berseberangan. Lihat saja, ketika Bakrie terlibat masalah dengan banker berdarah Yahudi Nathaniel Rotschild terkait Bumi Resources/Bumi Plc. Saat itu, Nathaniel menggandang adik Prabowo Hashim Djojohadikusumo untuk berhadapan dengan Bakrie. Tapi kini, dua kubu – Bakrie & Prabowo – bakal berada dalam satu kapal. Atau, beda kapal, tapi akan bekerjasama, berkoalisi, saling mendukung setelah Pilpres?

Yang jelas, peta koalisi masih fluid, masih bisa berubah, dan tentu bakal menarik. Publik dan rakyat berharap Pemilihan Umum dapat berjalan lancar dan aman. Yang menang tidak mabuk kepayang, dan yang kalah legowo, sportif menerima hasil. KPU dan pengawasa pemilu beserta seluruh lembaga pendukung harus lebih profesional lagi menyelenggarakan agenda Pilpres 9 Juli nanti. (*)

Rabu, 16 April 2014

Menakar Kekuatan Opsi Pasangan Capres-Cawapres Jokowi-Jusuf Kalla



Majalah Tempo edisi April 30-6, Mei 2012 masih tergeletak meja saya dengan cover cukup menarik, ada gambar atau sosok bakal calon presiden (Capres) yang membelakangi kamera, dengan judul di bawahnya ‘Berpacu untuk RI-1’. Menari untuk melihat ke belakangan bagaimana persepsi publik dan media 2 tahun lalu dan sesaat setelah pemilihan legislatif. Majalah tersebu mengedepankan 5 sosok yang bakal bersaing dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun ini (9 Juli), yaitu Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, Mahfud MD, Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto. Dari lima sosok tersebut ada tiga orang yang menjadi ketua partai, yaitu Ical, Hatta Rajasa dan Prabowo Subianto. Dua lagi merupakan tokoh publik – Kalla sebagai ketua PMI dan Mahfud MD sebagai ketua MK saat itu. 

Saya mencoba menelusuri laporan tersebut dari awal hingga akhir. Menariknya nama Joko Widodo (Jokowi) tidak ada dalam daftar atau sosok yang diperbincangkan atau diprediksi saat itu. Melihat hasil Pileg 9 April lalu dan menyimak dinamika politik beberapa hari terakhir, ARB (Aburizal Bakrie) dan Gerindra bakal diajukan secara resmi sebagai calon Presiden, dan satu sosok lagi, yaitu Jokowi akan diajukan secara resmi sebagai calon Presiden dari Partai pemenang Pemilihan Legislatif PDIP, yang didukung oleh partai lain. 

Sejauh ini, baru Nasional Demokratik (Partai Nasdem) yang secara resmi mendukung atau memberikan suaranya untuk mendukung Jokowi sebagai Presiden. Sebetulnya, bila angka/persentase quick count sejalan dengan real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejalan, maka PDIP sudah cukup untuk mencalonkan Jokowi sebagai Presiden. Namun, tampaknya PDIP dan elit partai tersebut serta Jokowi masih terus melobi partai-partai lain untuk ‘bekerjasama’ membentuk “Kabine Kerja” bila terpilih nanti. 

Saat ini publik masih menanti-nanti dan mencoba meraba-raba siapa yang bakal menjadi calon Wakil Presiden (Cawapres) untuk mendampingi Jokowi. Berbagai nama muncul di permukaan, di antaranya Jusuf Kalla, ketua PMI yang juga mantan Wakil Presiden, Mahfud MD, mantan ketua MK, Muhaimin Iskandar (Menaker), Hatta Rajasa (Ketua PAN yang juga Menteri Koordinator Perekonomian), dan Ryamizard Ryacudu, dan Panglima TNI Jenderal Moeldoko.  Elit PDIP dan Jokowi sendiri mengatakan telah mengantongi 5 nama sabagai kandidat Cawapres Jokowi, namun tidak atau belum diumumkan ke publik.

Namun, dari berbagai sumber internal PDIP yang saya peroleh, nama Jusuf Kalla muncul sebagai calon kuat untuk mendampingi Jokowi. Dan tentu ini belum final mengingat kondisi atau dinamika politik masih sangat cair (fluid) yang bisa saja berubah dari waktu ke waktu. 

Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo hanya memberikan kriteria Cawapres Jokowi tanpa mau menyebut nama. Pertama, orang yang bisa bekerja sama dengan Jokowi selama lima tahun. Kedua, memiliki komitmen. Ketiga, siap melaksanakan program prorakyat dan mengimplementasikan trisakti Bung Karno, keempat mampu memperkuat sistem presidensial dan kelima, mendukung program pro-rakyat Jokowi.

Seberapa jauh prospek dan kekuatan pasangan Jokowi-JK, bila benar-benar diajukan oleh PDIP dan mitranya? Bila kita melihat sosok Jokowi, ia memiliki kekuatan tapi juga pengalaman. Kekuatan Jokowi ada pada karakternya. Sejak ia menjadi Wali Kota Solo hingga menjadi Gubernur DKI saat ini, karaker yang menonjol adalah kesederhanaan, kejujuran dan jiwa kepemimpinan yang melayani (servant of the people). 

Tahun lalu saat saya mengunjungi Solo untuk suatu tugas, saya sempat berbincang-bincang dengan tukang becak, pemilik warung, dan pengelola hotel. Bagi mereka, Jokowi adalah sosok pemimpin yang unik, yang merakyat. Saat menjadi Walikota Solo, ia hanya bertahan sekitar 1 jam di kantor, dan selebihnya berada di luar kantor, blusukan kemana-mana. Ia bukan tipe pemimpin yang hanya duduk di belakang meja dan menerima laporan ABS (asal bapa senang) dari bawahannya, tapi ia tipe pemimpin yang suka hands-on-the job, yang ingin tanyan kotor bersih-bersih sampah, berbaur langsung dengan masyarakat.  Tidak hanya itu, sistem birokrasi juga ia rombak, tanpa banyak bicara, sehingga tidak heran beberapa kali Kota Solo menerima penghargaan dari BPK karena laporan keuangan yang bagus.

Di Jakarta, tidak sulit untuk menemui Jokowi karena hampir tiap hari dan bahkan akhir pekan pun ia blusukan kemana-mana. Ia seolah memunculkan gaya pemimpin baru yang menyegarkan di Indonesia, yakni menjadi pelayan publik (servant of the people). Beruntung, Jokowi juga memiliki Wakil Gubernur yang memiliki komitmen yang sama untuk membangun sebuah pemerintahan yang berorientasi melayani masyarakat, dalam diri Basuki T Purnama atau Ahok. Keduanya memang memilik karakter yang berbeda, Jokowi yang lembut, rendah hati, jujur, pendengar baik, sementara Ahok sosok yang keras dan tidak sungkan-sungkan bersuara keras menegur bawahannya. Namun, keduanya saling melengkapi.

Jokowi bukan tidak punya kelemahan. Salah satunya adalah kurang berpengalaman. Ini tidak mengherankan karena sosok Jokowi melesat sangat cepat di belantara perpolitik nasional dalam dua tahun terakhir. Bahkan, majalah terbesar nasional Tempo dan media-media nasional pun belum menyebut nama Jokowi sebagai calon Presiden dua tahun lalu. Jokowi datang dari akar rumput, sosok sederhana yang lahir di desa/daerah, yang mewakili masyarakat akar rumput. Maka Jokowi tahu persis apa yang menjadi persoalan masyarakat akar rumput. Gaya kemempinan merakyat tersebut merupakan kekuatan Jokowi, tapi di satu sisi ia masih perlu meningkatkan kompensi dia sebagai pemimpin nasional (kompetensi). 

Indonesia saat ini banyak orang pintar, punya kemampuan tapi minus kejujuran, minus kesederhanaan, minus kerendahan hati untuk mendengar aspirasi dari bawah. Maka munculnya sosok Jokowi yang dicintai rakyatnya memberikan kesegaran baru bagi panggung politik dan kekuasaan nasional. Dari sisi kompetensi, calon presiden lain Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie memiliki kompetensi, tapi mereka juga punya kekurangan. PS dikait-kaitkan dengan isu HAM saat transisi politik tahun 1997-1998 dan Bakrie disandra oleh kasus Lumpur Sidoarjo (Lusi). Keraguan juga muncul karena bila ia (ARB) menjadi Presiden, dikhawatirkan akan memberikan favoritism pada group usahanya. 

Jokowi? Ia tidak punya perusahaan. Kalaupun ada, hanya sebuah perusahaan furnitur. Karena itu, masyarakat Indonesia saat ini mendambakan dan mengharapkan seorang sosok, figur baru yang dapat memberikan penyegeran dan pembaharuan di segala bidang, termasuk di birokrasi. Kelemahan Jokowi hanya ada pada pengalaman dalam menjadi pemimpin nasional. Namun, kepercayaan rakyat akan menjadi kekuatan bagi dia untuk pemimpin dengan karakter yang ia miliki. 

Karena itu, tidak mengherankan bila kemudian muncul sosok Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi dalam Pilpres nanti. Dari sisi chemistry, tidak sulit bagi JK untuk bekerja sama dengan Jokowi karena keduanya sudah beberapa kali bertemu. Sama seperti Jokowi, JK juga adalah tipe pemimpin yang bekerja. Tidak sulit juga bagi Jokowi untuk bekerjasama karena ia seorang pemimpin yang suka mendengar, bukan one man show leader seperti Capres lain.

Saya setuju dengan pendapat pengamat politik Universitas Indoensia, Arbi Sani, bahwa Joko Widodo harus menggandeng politisi senior Golkar yang juga Wapres 2004-2009, Jusuf Kalla. Hanya faktor yang masih perlu dipertimbangkan adalah faktor umur JK, namun keraguan tersebut bakal terbantahkan melihat kesibukan JK saat memimpin PMI hingga saat ini. Pepatah old soldier never die pas disematkan ke pundak JK. JK sosok yang pas untuk mengimbangi Jokowi. Jokowi memiliki keunggulan yang dibanding Capres lainnya, namun ia masih tergolong hijau dari sisi pengalaman dalam memimpin pemerintahan dalam skala nasional. Dan, kekurangan tersebut dapat diisi oleh sosok seorang Jusuf Kalla. (*)

Senin, 17 Maret 2014

Pengumuman Jokowi Sebagai Calon Presiden Republik Indonesia dan Reaksi Media



Jokowi Nyatakan Kesiapannya(courtessy foto Kompas.com)
Spekulasi publik dalam beberapa bulan terakhir apakah Jokowi Widodo (Jokowi), gubernur DKI Jakarta, akan menjadi Calon Presiden (Capres) terjawab sudah. Pada hari Jumat lalu Megawati Soekarnoputri, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), secara resmi mengumumkannya ke publik. 

Jokowi secara resmi juga menyatakan kesiapannya menjadi capres di tempat yang unik yakni di Rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara. Jokowi memilih lokasi tersebut karena tempat itu dianggap sebagai simbol perlawanan. Jokowi pun menyatakan “Siap mengemban amanat rakyat” bila terpilih nanti.

Pengumuman pencapresan Jokowi jauh dari kesan megah, wah, diiringi oleh lampu kerlap-kerlip. Pengumuman tersebut hanya disertai sebuah pengumuman tulis tangan oleh Megawati, mantan Presiden Republik Indonesia, putri proklamator Bung Karno. Ada kesan sederhana, tapi cukup untuk menjawab spekulasi dan tanda-tanya publik. 

Pengumuman tersebut juga membuat peta siapa saja yang akan menjadi calon Presiden di Pemilihan Umum mendatang semakin jelas. Pencapresan Jokowi juga membuat partai-partai lain melakukan kalkulasi siapa yang akan dicalonkan bila berhak untuk mencalonkan Presiden. Apakah mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres (calon wakil presiden) sendiri atau berkoalisi dengan Partai lain? 

Perbincangan pun ramai di media-media, baik elektronik maupun media cetak. Seperti diduga, reaksi media-media pun beragam, ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang nuansa liputannya mendukung, dan ada pula yang tidak mendukung, dan cenderung mencari-cari alasan untuk menolak, menentang. Reaksi media-media seperti ini sebetulnya tidak mengherankan apabila kita melihat siapa dibalik media tersebut. Kita akan membaca mengapa media A, cenderung independen, melihat dua sisi. Kita juga bisa memahami mengapa media B cenderung menentang.

Saat ini bukan momen yang menyenangkan bagi wartawan yang masih memiliki hati nurani. Mereka menghadapi dilema antara mendengar dan menyuarakan hati nurani dan menghadapi tekanan si pemilik media. 

Sebuah media seharusnya indepeden dan merekam apa yang terjadi di masyarakat maupun di dunia birokrasi dan politik. Namun, independensi tersebut menjadi sesuatu yang mahal dan dipertanyakan saat ini mengingat media-media pun kini dikuasai oleh konglomerat dan para politisi yang juga menjadi ‘pemegang saham’ sebuah partai politik. Sebenarnya, setiap warga negara berhak memiliki perusahaan media. Tapi media tersebut harus tetap independen. Urusan redaksi diserahkan ke awak media profesional dan pemiliki media sebatas sebagai pemegang saham saja.

Posisi dan afiliasi sebuah media dapat dengan jelas terlihat ketika memuat berita politik, terutama terkait pemilihan umum. Tapi bisa juga posisi dan afiliasi tak terlihat dengan jelas karena media tersebut tidak dimiliki secara langsung oleh politisi atau konglomerat. Namun, media seperti ini akan terlihat berafiliasi dengan partai-partai tertentu dengan melihat karakter atau nuansa (tone) berita yang dimuat.

Mari kita lihat media-media nasional kita dan mereka berafiliasi dengan partai apa. 
Pertama, media-media yang berafiliasi dengan Partai Demokrat, yaitu Jurnal Nasional. Media ini memang didirikan oleh pendukung Partai Demokrat dan didesain untuk mendukung Partai Demokrat. Nah, ada juga media-media nasional yang kini berafiliasi dengan Partai Demokrat karena pemilik atau pendirinya bergabung atau jelas-jelas mendukung Partai Demokrat, yaitu media-media milik Dahlan Iskan, yaitu Jawa Pos group dan media-media mokil Chairul Tanjung, yaitu Trans TV, Trans7 dan media online detik.com.
Media-media ini memang terlihat hati-hati, tidak secara gamblang atau kasar mendukung Partai Demokrat. Media-media ini masih membuka ruang memuat berita-berita yang terkait dengan partai lain, walaupun untuk kasus-kasus tertentu terlihat bias. Dalam pengumuman pencalonan Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP, media-media tersebut masih memuatnya walaupun dalam porsi kecil. 

Dari pengamatan sebagai anggota masyarakat, TVRI terlihat memberikan porsi pemberitaan yang cukup besar terhadap Partai Demokrat. Ini tak bisa dipungkiri karena secara tradisi TVRI merupapakan televisi milik negara dan secara psikologis mendukung partai yang berkuasa. Memang dari sono-nya seperit itu.

Kedua, media-media yang berafiliasi dengan Partai Hanura. Seperti yang kita ketahui, Harry Tanoesudibjo telah bergabung dengan partai ini, setelah keluar dari Partai Nasdem, yang didirikan oleh Surya Paloh. Harry memiliki jaringan media yang cukup luas, yakni RCI, MNC TV, Global TV, Indovision (TV kabel), jaringan radi Tri Jaya, Koran Sindo dan media online Okezone.com

Menarik bahwa media-media televisi milik MNC group sedikit sekali atau hampir tidak ada berita mengenai pencapresan Jokowi pada akhir pekan lalu. Dengan kekecualian media cetak dan online. Media online Okezone.com, misalnya, dengan gencar memuat berita-berita dengan tone  negatif terkait pencalonan Jokowi.

Ketiga, media-media yang berafiliasi dan berada dibawah kendali Aburizal Bakrie, Ketua Partai Golkar, yaitu TVOne, ANTV dan Vivanews.co.id, media online serta Suara Karya dan Surabaya Post, yang juga telah diakusisi oleh keluarga Bakrie. Keberpihakan dan biasnya media sudah mulai kelihatan menjelang dan saat memasuki kampanye. Saat Jokowi diumumkan Jumat lalu, misalnya, televisi-televisi milik orang nomor satu di Golkar ini sedikit sekali memuat beritanya, dan cenderung memuat berita-berita negatif. Jokowi dilaporkan telah mengkhianati warga Jakarta.

Padahal, andaikan Jokowi dipilih jadi Presiden, dari perspektif orang Jakarta, maka akan diuntungkan. Program-program selama ini yang macet, seperti urusan pembangunan waduk dan berbagai proyek mencegah banjir, boleh jadi akan menjadi lebih efektif. Dengan kekuasaan yang lebih besar, maka hambatan-hambatan yang terjadi selama ini, termasuk ganjalan dari pemerintah pusat, dapat diatasi dengan lebih efektif.

Pengumuman pencalonan Jokowi sebagai Capres dari PDIP hanyalah sebagai contoh bagaimana media-media kini menjadi bias dan karena telah dikontrol oleh tycoons dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu. Media-media yang dimiliki oleh petinggi partai cenderung dipakai untuk mendukung partai tersebut. 

Parai-partai yang tidak memiliki media atau berafiliasi dengan media-media tertentu, seperti PDIP yang tidak memiliki media, tentu akan menghadapi tantangan yang berat. Namun, justru dengan tidak memiliki media. Namun, bila partai ini mendapat pemberitaan yang positif dari media-media yang independen, maka tentu itu akan menjadi cerminan dukungan riil dari akar rumput atau general public.

Pertanyaannya, bagaimana media bersikap dalam Pemilu? Media-media seharusnya memang independen. Karena, esensi dari sebuah media adalah menyuarakan kepentingan umum, bukan kepentingan golongan, apalagi sebuah partai. Bila media tersebut telah ‘melacurkan’ diri menjadi kuda tunggangan sebuah partai politik, maka itu sama saja dengan era Orba, dimana media-media dikontrol oleh rejim yang berkuasa. Media-media tidak bebas menyuarakan apa yang benar dan tidak benar. Kepentingan umum dan kepentingan golongan atau partai menjadi kabur, tidak jelas batas pemisahnya. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak menguntungan media itu sendiri. Boleh jadi media tersebut akan ditinggalkan oleh pembacanya. (*)

Kamis, 05 Desember 2013

Rhoma Irama, antara Mimpi Jadi Calon Presiden Indonesia dan Nasionalisasi SDA



Mimpi, stres atau benaran?(karikatur oleh Robbigandamana)
Memasuki tahun politik 2014, ada-ada saja berita yang menggelitik muncul. Reaksi pun bermacam-macam. Ada yang menggeleng-geleng heran, ada yang tertawa sinis, ada yang mengkritik dan ada pula yang serius menanggapi. Salah satu contoh adalah soal pernyataan Rhoma Irama bahwa salah satu cara untuk memakmurkan bangsa adalah “mengambil semua konsesi asing”. Beberapa hari sebelumnya ia bahkan melemparkan wacana untuk menggandeng Jokowi jadi pasangan calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (Cawapres) pada Pemilihan Umum 2014 nanti.

 Tidak hanya itu, beberapa hari sebelumnya sang raja dangdut melontarkan pernyataan untuk membubarkan Mahkamah Konstitusi dan menggabungkan lembaga tersebut dengan Mahkamah Agung (MA). Bagi Rhoma, eksistensi MK hanya memboroskan uang negara. Pernyataan Rhoma pun mendapat reaksi keras dari publik. Mantan ketua MK Mahfud MD, para hakim MK pun mengkritik balik Rhoma dengan mengatakan, raja dangdut itu perlu belajar Undang-Undang dulu. Bahwa sebuah lembaga negara seperti MK, tidak jatuh dari langit begitu saja, atau DPR kelewat kreatif mengarang, eh,  membentuk lembaga seperti MK.

Anggota DPR Ruhut Sitompul, yang juga sering dikritik publik karena sering melontarkan pernyataan kontroversial dan tidak bermutu, ikut nimbrung. Ia menyarankan Rhoma agar mengangkat juru bicara, kalau ia memang serius untuk maju menjadi cawapres.

Pertanyaannya, apa alasan atau latar belakang Rhoma melontarkan berbagai pernyataan kontroversial, yang kadang tidak bermutu itu, ke ruang publik? Lalu kenapa pula media baik cetak maupun elektronik tertarik memuat berita pernyataan bang Rhoma tersebut? Bukankah masih ada tokoh-tokoh lain yang lebih berbobot yang bisa membuat pernyataan yang dapat mendidik publik?

Pertanyaan tersebut tidak untuk mendapat jawaban, hanya sekadar memancing rasa ingin tahu. Tapi jelas Indonesia saat ini ibarat panggung sandiriwara. Tokoh-tokoh dengan lakon masing-masing dan plot masing-masing hasil kreasi sendiri atau tim dibalik panggung masuk dan keluar panggung sesuka hati untuk menarik perhatian publik. Bukan esensi dan pernyataan atau tindakan yang ingin ditampilkan, melainkan sekadar ingin muncul dan terlihat di pandangan mata publik. Berbagai tokoh atau calon tokoh publik berupaya mendapat perhatian di ruang publik.

Rhoma Irama, sang raja dangdut, adalah salah satu yang ingin mentokohkan diri tadi. Ia memang sudah dikenal dan terkenal di republik dangdut. Ia bahkan berupaya menjegal beberapa penyanyi dangdut hanya karena mereka tampil sedikit terbuka dan terkesan kurang bahan, seperti Inul Darastista. Ia berusaha menjadi ‘polisi moral’, berupaya menentukan pakaian apa yang boleh dan tidak boleh dikenakan para penyanyi dangdut.

Padahal moral Rhoma Irama sendiri patut di pertanyaan. Publik tahu ia punya beberapa istri dan pernah beberapa kali terlibat nikah siri kemudian dilepas begitu saja. Oh, publik banyak tidak bahwa bang Rhoma pernah menjadi anggota DPR? Tidak jelas apa yang dikerjakannya ketika menjadi anggota DPR. Sulit untuk melihat jejak-jejak hasil karyanya ketika menjadi anggota parlemen. Tidak beda dengan artis-artis lain yang mencoba mengadu nasib menjadi anggota DPR dengan memanfaatkan popularitas. Substansi hasil kerja tidak penting. Hanya sedikit mantan artis yang berhasil menunjukkan eksistensi mereka di parlemen.

Rhoma Irama, sang raja dangdut, memang seorang figur kontroversial. Saat ramai-ramainya pemilihan gubernur DKI, ia melontarkan isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dengan mempertanyakan agama Jokowi. Berbagai upaya dilakukan untuk menjegal Jokowi menjadi gubernur DKI. Tapi kebenaran muncul sebagai kebenaran. Yang salah dihukum. Jokowi muncul menjadi pemenang pemilihan gubernur DKI bersama wakilnya Basuki Rachmat (Ahok).

Saat ramai-ramainya para pengamat membahas sumber daya alam, pertambangan, minyak dan gas bumi, dan lain-lain, Rhoma Irama pun tidak mau ketinggalan kereta. Ia ingin tampil agar terlihat tidak ketinggalan isu. Ia tahu isu nasionalisasi dapat dijual jelang pemilihan umum. Ia pun melontarkan pernyataan.

"Ini juga harus disiasati dengan komponen pertama, yakni migas misalnya, harus kita akuisi. Kita tahu semua alam kita jadi konsesi perusahaan asing. Salah satu jalan makmurkan bangsa ini, kita harus akuisi semua konsesi asing," kata Rhoma Irama seperti yang dikutip Gatra.com.

Yang jelas, Indonesia bukan negara rimba. Indonesia adalah negara modern yang menjadi bagian dari ekonomi global. Indonesia adalah negara hukum, transaksi-transaksi bisnis, kontrak-kontrak business dilakukan berdasarkan hukum. Dunia bisnis, industri dan ekonomi hanya maju bila ada panglima yang menjadi pegangan bersama, yakni hukum. Tanpa itu, ekonomi suatu negara akan menjadi seperti hutan rimba. Siapa kuat dia yang menang. Yang besar akan menerkam yang kecil. Tidak ada rambu-rambu yang mengawasi.

Dan Indonesia, sebagai negara demokratis (emerging democratic country), telah melangkah cukup jauh sejak reformasi, walaupun belum sempurna. Indonesia masih punya pekerjaan rumah untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang bermartabat, bangsa yang disegani dunia. Cita-cita itu hanya bisa tercipta bila ada rambu-rambu hukum, rambu-rambu etika dan moral yang harus dipatuhi oleh seluruh anak bangsa.

Kita tidak ingin Indonesia menjadi negara rimba, mencaplok apa saja yang telah menjadi hak orang lain. Isu nasionalisasi, atau mengambil semua konsesi asing di pertambangan, blok-blok migas termasuk blok Mahakam, seperti yang dilontarkan Rhoma Irama, tidak seharusnya dipakai sebagai barang dagangan jelang Pemilihan Umum. Semua ada aturan mainnya, dan semua yang berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia ini harus tunduk pada hukum yang telah diletakan oleh para pendiri bangsa.  Generasi ini tidak boleh menjadi generasi yang akan dikenang sebagai generasi penghancur bangsa, tapi harus menjadi generasi pencipta landasan kokoh, agar Indonesia bisa terbang lebih tinggi lagi, seperti burung rajawali. (*)