Tampilkan postingan dengan label MA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Desember 2013

Rhoma Irama, antara Mimpi Jadi Calon Presiden Indonesia dan Nasionalisasi SDA



Mimpi, stres atau benaran?(karikatur oleh Robbigandamana)
Memasuki tahun politik 2014, ada-ada saja berita yang menggelitik muncul. Reaksi pun bermacam-macam. Ada yang menggeleng-geleng heran, ada yang tertawa sinis, ada yang mengkritik dan ada pula yang serius menanggapi. Salah satu contoh adalah soal pernyataan Rhoma Irama bahwa salah satu cara untuk memakmurkan bangsa adalah “mengambil semua konsesi asing”. Beberapa hari sebelumnya ia bahkan melemparkan wacana untuk menggandeng Jokowi jadi pasangan calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (Cawapres) pada Pemilihan Umum 2014 nanti.

 Tidak hanya itu, beberapa hari sebelumnya sang raja dangdut melontarkan pernyataan untuk membubarkan Mahkamah Konstitusi dan menggabungkan lembaga tersebut dengan Mahkamah Agung (MA). Bagi Rhoma, eksistensi MK hanya memboroskan uang negara. Pernyataan Rhoma pun mendapat reaksi keras dari publik. Mantan ketua MK Mahfud MD, para hakim MK pun mengkritik balik Rhoma dengan mengatakan, raja dangdut itu perlu belajar Undang-Undang dulu. Bahwa sebuah lembaga negara seperti MK, tidak jatuh dari langit begitu saja, atau DPR kelewat kreatif mengarang, eh,  membentuk lembaga seperti MK.

Anggota DPR Ruhut Sitompul, yang juga sering dikritik publik karena sering melontarkan pernyataan kontroversial dan tidak bermutu, ikut nimbrung. Ia menyarankan Rhoma agar mengangkat juru bicara, kalau ia memang serius untuk maju menjadi cawapres.

Pertanyaannya, apa alasan atau latar belakang Rhoma melontarkan berbagai pernyataan kontroversial, yang kadang tidak bermutu itu, ke ruang publik? Lalu kenapa pula media baik cetak maupun elektronik tertarik memuat berita pernyataan bang Rhoma tersebut? Bukankah masih ada tokoh-tokoh lain yang lebih berbobot yang bisa membuat pernyataan yang dapat mendidik publik?

Pertanyaan tersebut tidak untuk mendapat jawaban, hanya sekadar memancing rasa ingin tahu. Tapi jelas Indonesia saat ini ibarat panggung sandiriwara. Tokoh-tokoh dengan lakon masing-masing dan plot masing-masing hasil kreasi sendiri atau tim dibalik panggung masuk dan keluar panggung sesuka hati untuk menarik perhatian publik. Bukan esensi dan pernyataan atau tindakan yang ingin ditampilkan, melainkan sekadar ingin muncul dan terlihat di pandangan mata publik. Berbagai tokoh atau calon tokoh publik berupaya mendapat perhatian di ruang publik.

Rhoma Irama, sang raja dangdut, adalah salah satu yang ingin mentokohkan diri tadi. Ia memang sudah dikenal dan terkenal di republik dangdut. Ia bahkan berupaya menjegal beberapa penyanyi dangdut hanya karena mereka tampil sedikit terbuka dan terkesan kurang bahan, seperti Inul Darastista. Ia berusaha menjadi ‘polisi moral’, berupaya menentukan pakaian apa yang boleh dan tidak boleh dikenakan para penyanyi dangdut.

Padahal moral Rhoma Irama sendiri patut di pertanyaan. Publik tahu ia punya beberapa istri dan pernah beberapa kali terlibat nikah siri kemudian dilepas begitu saja. Oh, publik banyak tidak bahwa bang Rhoma pernah menjadi anggota DPR? Tidak jelas apa yang dikerjakannya ketika menjadi anggota DPR. Sulit untuk melihat jejak-jejak hasil karyanya ketika menjadi anggota parlemen. Tidak beda dengan artis-artis lain yang mencoba mengadu nasib menjadi anggota DPR dengan memanfaatkan popularitas. Substansi hasil kerja tidak penting. Hanya sedikit mantan artis yang berhasil menunjukkan eksistensi mereka di parlemen.

Rhoma Irama, sang raja dangdut, memang seorang figur kontroversial. Saat ramai-ramainya pemilihan gubernur DKI, ia melontarkan isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dengan mempertanyakan agama Jokowi. Berbagai upaya dilakukan untuk menjegal Jokowi menjadi gubernur DKI. Tapi kebenaran muncul sebagai kebenaran. Yang salah dihukum. Jokowi muncul menjadi pemenang pemilihan gubernur DKI bersama wakilnya Basuki Rachmat (Ahok).

Saat ramai-ramainya para pengamat membahas sumber daya alam, pertambangan, minyak dan gas bumi, dan lain-lain, Rhoma Irama pun tidak mau ketinggalan kereta. Ia ingin tampil agar terlihat tidak ketinggalan isu. Ia tahu isu nasionalisasi dapat dijual jelang pemilihan umum. Ia pun melontarkan pernyataan.

"Ini juga harus disiasati dengan komponen pertama, yakni migas misalnya, harus kita akuisi. Kita tahu semua alam kita jadi konsesi perusahaan asing. Salah satu jalan makmurkan bangsa ini, kita harus akuisi semua konsesi asing," kata Rhoma Irama seperti yang dikutip Gatra.com.

Yang jelas, Indonesia bukan negara rimba. Indonesia adalah negara modern yang menjadi bagian dari ekonomi global. Indonesia adalah negara hukum, transaksi-transaksi bisnis, kontrak-kontrak business dilakukan berdasarkan hukum. Dunia bisnis, industri dan ekonomi hanya maju bila ada panglima yang menjadi pegangan bersama, yakni hukum. Tanpa itu, ekonomi suatu negara akan menjadi seperti hutan rimba. Siapa kuat dia yang menang. Yang besar akan menerkam yang kecil. Tidak ada rambu-rambu yang mengawasi.

Dan Indonesia, sebagai negara demokratis (emerging democratic country), telah melangkah cukup jauh sejak reformasi, walaupun belum sempurna. Indonesia masih punya pekerjaan rumah untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang bermartabat, bangsa yang disegani dunia. Cita-cita itu hanya bisa tercipta bila ada rambu-rambu hukum, rambu-rambu etika dan moral yang harus dipatuhi oleh seluruh anak bangsa.

Kita tidak ingin Indonesia menjadi negara rimba, mencaplok apa saja yang telah menjadi hak orang lain. Isu nasionalisasi, atau mengambil semua konsesi asing di pertambangan, blok-blok migas termasuk blok Mahakam, seperti yang dilontarkan Rhoma Irama, tidak seharusnya dipakai sebagai barang dagangan jelang Pemilihan Umum. Semua ada aturan mainnya, dan semua yang berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia ini harus tunduk pada hukum yang telah diletakan oleh para pendiri bangsa.  Generasi ini tidak boleh menjadi generasi yang akan dikenang sebagai generasi penghancur bangsa, tapi harus menjadi generasi pencipta landasan kokoh, agar Indonesia bisa terbang lebih tinggi lagi, seperti burung rajawali. (*)