Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 April 2014

Rakyat Indonesia Ingin Jokowi, Bukan Megawati!



Jokowi sedang blusukan di Jatim (courtesy foto Kompas)
Dalam seminggu terakhir, serangan terhadap Joko Widodo atau Jokowi, yang telah diajukan PDIP untuk menjadi calon Presiden dalam pemilihan Presiden mendatang, kian gencar. Salah satu serangan yang dilakukan bahwa Jokowi adalah ‘Capres boneka’. Benarkah demikian adanya?

Pertanyaan berikutnya, kemanakah Jokowi dalam beberapa hari? Spanduk Jokowi hanya sedikit saja yang terlihat di Ibu Kota. Iklan Jokowi pun tak ada. Yang ada adalah iklan Capres partai-partai lain yang menguasai dan gencar di televisi-televisi, yang notabene dimiliki dan atau berafiliasi dengan partai politik. Yang muncul ke permukaan adalah imej Megawati Soekarnoputri, sang ketua Partai Demokrasi Indoensia-Perjuangan (PDIP).

Gambar-gambar Jokowi di spanduk-spanduk lebih sedikit, dibanding gambar-gambar Megawati, yang dianggap sebagian pengamat sebagai sosok pemimpin yang tidak efektif. Ada kesan rakyat mulai khawatir bila Jokowi “tenggelam”, Indonesia bakal dipimpin oleh seorang sosok Capres lain, yang dapat membawa Indonesia ke situasi yang lebih buruk. Rupanya, belakangan Jokowi sedang blusukan ke berbagai daerah untuk menyapa rakyat. Jokowi perlu segera tampil kedepan, dan tidak menjadi bulan-bulanan dari serangan para lawan politiknya.

Di Hong Kong, para TKI rupanya mengidolakan Jokowi. Hanya sekitar 7,000 surat suara untuk pemilihan legislatif yang dicoblos, sisanya 100,000 tidak dicoblos. Sebagian besar urung mencoblos karena tak ada gambar Jokowi. Mereka lupa bahwa pemilihan pertama (9 April) adalah pemilihan untuk memilih anggota DPR (legislatif). Setelah itu, partai-partai yang lolos threshold akan mencalonkan calon Presiden. Rupanya mereka menunggu Pemilihan Presiden 9 Juli nanti.

Seorang warga Indonesia di sebuah negara Amerika Selatan membuat catatan di wall facebooknya. “Ini pertama kali saya coblos di luar negeri. Tapi tak ada gambar Jokowi, jadi males. Yang ada gambar-gambar wajah para calon DPR yang tidak saya kenal. Maka saya mencoba mendengar suara hati, dan menusuk sosok tertentu sambil berharap, bila beliau terpilih, dia akan menyuarakan suara saya, suara mayoritas warga yang memilih dia.”

Jokowi memang sosok fenomenal. Benarkah ia tokoh boneka? Jawabannya, “ya, Jokowi adalah bonekanya rakyat”. Jokowi bukan pula sang boneka yang dipeluk-peluk oleh seorang tokoh partai.

Masyarakat Indonesia kini sudah cerdas. Setelah beberapa kali pemilihan langsung setelah reformasi 1998, kali ini rakyat tidak ingin lagi salah pilih. Rakyat tidak ingin lagi memilih pemimpin yang doyan pencitraan, hanya memberi janji-janji manis, tapi gagal menyerap aspirasi dari akar rumput. Rakyat sudah muak memilik pemimpin dan elit-elit politik yang korup, yang gemar bagi-bagi kekuasaan dan kue APBN ke partai atau kelompok-kelompoknya.

Rakyat tidak ingin memilih partai yang mengklaim paling putih, paling bersih, paling jujur, paling amanah, paling Islami, tapi presiden atau ketua partainya, malah todong sana-todong sini, ngumpulin duit untuk menggelembungkan duit partai agar bisa mendanai pemilu berikutnya. Ujung-ujungnya bersemedi di hotel prodeo karena ketangkap basah oleh KPK.

Rakyat juga sudah belajar tidak lagi memilih partai-partai yang mengusung partai yang paling anti-korupsi, tapi ujung-ujungnya elit-elit dan kader-kader partainya justru berlomba-lomba mengumpulkan duit secara ilegal untuk kepentingan pribadi.

Untuk itulah, rakyat kini melihat sosok yang membumi, sosok yang merakyat, sosok yang jujur, tidak berpura-pura, karena ia memang berasal dari kalangan bawah. Rakyat kini mendambakan sosok pemimpin dan wakil rakyat yang melayani mereka, atau a servant leader. Pemimpin yang melayani rakyatnya, bukan minta terus dilayani rakyatnya. Seorang pemimpin yang berekad menyejahterakan rakyatnya, bukan partai, kelompok, keluarga, tim sukses atau koleganya.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang petarung, pemimpin yang berjuang menegakkan pilar-pilar bangsa. Seorang pemimpin yang tidak sekadar berwacana, berteori dengan rencana yang indah-indah, tapi pemimpin yang tahu bagaimana merealisasikan rencananya.

Di atas semua itu, rakyat Indonesia kini mendambakan seorang pemimpin yang sekaligus negarawan, yang mengutamakan kepentingan rumah besar Indonesia, bukan kelompoknya, seorang pemimpin yang visioner, pandai, bermoral dan memegang teguh prinsipnya. Dan sebagian besar masyarakat dan rakyat Indonesia melihat apa yang mereka dampakan itu dalam sosok Jokowi. Rakyat ingin Jokowi menjadi pemimpin, bukan Megawati!.

Bila kita mengambil sosok Jokowi dan menempatkannya di partai lain, katakanlah di Golkar, Demokrat, Hanura, Gerinda atau partai lain, maka masyarakat akan memilih Jokowi. Prinsipnya, APAPUN PARTAINYA,JOKOWI PILIHANNYA!


Senin, 27 Januari 2014

Pemerintah Indonesia Jadikan 'Ancaman Luar' Alasan untuk Perbesar Belanja Pertahanan?

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa ancaman dari luar (external threat) mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran untuk memperkuat sistem pertahanan. Jangan-jangan isu ‘ancaman eksternal’ ini sengaja dihembuskan sehingga ada alasan untuk meningkatkan anggaran pertahanan. Sebuah ironi saat negara ini dihadapkan dengan berbagai bencana, baik bencana alam maupun 'bencana korupsi'.

***

Melihat show-of-force dan alokasi anggaran, Pemerintah Indonesia tampaknya terus memperkuat sistem pertahanan dalam beberapa tahun terakhir. Anggaran Belanja yang dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] pun terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan lebih dari dua kali lipat anggaran untuk ke polisian.

Kapal selam
Pertanyaan publik adalah mengapa anggaran terus diperbesar? Bukankah lebih baik anggaran untuk kesejahteraan masyarakan diperbesar seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain? Apakah memang karena Presidennya berlatar belakang militer, sehingga sang Presiden tahu apa yang dibutuhkan tentara nasional kita. Atau ada motif-motif lain, misalnya untuk menjaga hubungan baik dengan pihak militer sehingga perlu diistimewahkan? Pertanyaan terakhir relevan mengingat tahun 2014 ini adalah tahun politik sehingga wajar saja bila pertanyaan semacam itu muncul.

Pertanyaan lain yang muncul di benak publik adalah apakah belanja dan sistem pertahanan diperkuat karena ancaman eksternal meningkat. Contoh saja, potensi ancaman di laut China Selatan, akibat klaim perbatasan dan wilayah yang tumpang tindih antara China, Filipina dan Vietnam?
Pesawat tempur Sukhoi

Bila kita melihat anggaran pemerintah di APBN tahun 2014 ini, anggaran untuk pertahanan memang cukup besar. Untuk tahun 2014 saja, alokasi anggaran Kementerian Pertahanan sebesar Rp83,4 triliun, dua kali lipat anggaran untuk Kepolisian sebesar Rp41,5 triliun.

Anggaran tersebut antara lain digunakan untuk memperkuat alat dan mesin-mesin pertahanan atau lebih dikenal [Alutsista atau alat utama sistem pertahanan negara], seperti pesawat tempur, kapal laut, kapal selam, helikopter dan lain-lain. Di bawah Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri Pertahanan, pemerintah tampaknya cukup agresif memperkuat alat dan sistem pertahanan.

Purnomo Yusgiantoro dalam beberapa kesempatan mengungkapkan secara terbuka rencana pemerintah untuk membeli pesawat perang. Indonesia, kata Purnomo, butuh satu skuadron Sukhoi yang terdir atas 16 pesawat, Su-30MK2 yang akan difungsikan sebagai jet tempur serang maritim. Pesawat-pesawat itu akan melengkapi 10 Sukhoi yang kini sudah dimiliki Indonesia sehingga nantinya genap menjadi satu skuadron yang ditempatkan di Pangkalan Udara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Pemerintah juga berencana membeli pesawat tempur T-50 atau light fighter buatan Korea Selatan sebanyak 16 unit (satu skuadron).

Saat Indonesia menghadapi berbagai bencana, rasanya miris saja melihat anggaran dan alokasi anggaran pemerintah untuk pertahanan tersebut. Dari sisi urgensi, justru yang diperlukan pemerintah saat ini adalah memperkuat sistem pertahanan internal agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap utuh.

Potensi ancaman terbesar kita sebetulnya datang dari dalam, bukan dari luar. Lihat saja, gerakan atau kasus penembakan misterius yang terjadi di Papua Barat. Boleh jadi ini terjadi karena ketidakpuasan masyarakat lokal, karena bumi dan sumber daya di Papua dikeruk, tapi sedikit dana yang dikembalikan untuk menyejahterahkan masyarakat. Kalaupun ada peningkatan dana yang disalurkan, seperti yang diklaim pemerintah, dana tersebut ditilep atau dikorupsi. Hanya sedikit dana yang menetes ke bawah atau dirasakan masyarakat.

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa ancaman dari luar (external threat) mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran untuk memperkuat sistem pertahanan. Jangan-jangan alasan ‘ancaman eksternal’ ini hanya dijadikan alasan untuk meningkatkan anggaran pertahanan.

Salah satu anggota DPR yang getol mendukung langkah pemerintah tersebut adalah Susaningtyas Handayani Kertopati, politisi Hanura yang membidangi komisi pertahanan, inteligen dan hubungan luar negeri. Ia mengatakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus lebih melihat ancaman dari luar (outward looking) karena telah muncul tanda-tanda meningkatnya ancaman. “Ancaman terbesar tentu saja dari Australia,” kata Susaningtyas.

Mungkin hanya segelintir saja yang mengiyakan pernyataan politisi ini. Apakah ancaman ini terkait dengan insiden baru-baru ini dimana angkatan laut australia melewati batas negara secara tidak sengaja saat menarik dan mendorong keluar para ‘boat people’(illegal immigrant) yang berusaha masuk ke Australia.

Rasa-rasanya tidak masuk akal dan sulit diterima publik bila insiden tersebut dijadikan alasan utama bagi pemerintah menggelontorkan dana hampir Rp100 triliun untuk pertahanan. Yang jelas, ancaman terbesar datang dari dalam negeri, bukan dari luar. Sehingga, perhatian pemerintah seharusnya ke dalam negeri, bukan ke luar (external threat). Publik tidak ingin dana tersebut hanya dijadikan obyek untuk dikorupsi oleh elit-elit politik di Republik ini. Masih banyak rakyat di Papua atau perbatasan Kalimantan-Malaysia atau di Timor Barat yang hingga saat ini belum mendapatkan listrik. Sebuah ironi. (*)

Kamis, 05 Desember 2013

Rhoma Irama, antara Mimpi Jadi Calon Presiden Indonesia dan Nasionalisasi SDA



Mimpi, stres atau benaran?(karikatur oleh Robbigandamana)
Memasuki tahun politik 2014, ada-ada saja berita yang menggelitik muncul. Reaksi pun bermacam-macam. Ada yang menggeleng-geleng heran, ada yang tertawa sinis, ada yang mengkritik dan ada pula yang serius menanggapi. Salah satu contoh adalah soal pernyataan Rhoma Irama bahwa salah satu cara untuk memakmurkan bangsa adalah “mengambil semua konsesi asing”. Beberapa hari sebelumnya ia bahkan melemparkan wacana untuk menggandeng Jokowi jadi pasangan calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (Cawapres) pada Pemilihan Umum 2014 nanti.

 Tidak hanya itu, beberapa hari sebelumnya sang raja dangdut melontarkan pernyataan untuk membubarkan Mahkamah Konstitusi dan menggabungkan lembaga tersebut dengan Mahkamah Agung (MA). Bagi Rhoma, eksistensi MK hanya memboroskan uang negara. Pernyataan Rhoma pun mendapat reaksi keras dari publik. Mantan ketua MK Mahfud MD, para hakim MK pun mengkritik balik Rhoma dengan mengatakan, raja dangdut itu perlu belajar Undang-Undang dulu. Bahwa sebuah lembaga negara seperti MK, tidak jatuh dari langit begitu saja, atau DPR kelewat kreatif mengarang, eh,  membentuk lembaga seperti MK.

Anggota DPR Ruhut Sitompul, yang juga sering dikritik publik karena sering melontarkan pernyataan kontroversial dan tidak bermutu, ikut nimbrung. Ia menyarankan Rhoma agar mengangkat juru bicara, kalau ia memang serius untuk maju menjadi cawapres.

Pertanyaannya, apa alasan atau latar belakang Rhoma melontarkan berbagai pernyataan kontroversial, yang kadang tidak bermutu itu, ke ruang publik? Lalu kenapa pula media baik cetak maupun elektronik tertarik memuat berita pernyataan bang Rhoma tersebut? Bukankah masih ada tokoh-tokoh lain yang lebih berbobot yang bisa membuat pernyataan yang dapat mendidik publik?

Pertanyaan tersebut tidak untuk mendapat jawaban, hanya sekadar memancing rasa ingin tahu. Tapi jelas Indonesia saat ini ibarat panggung sandiriwara. Tokoh-tokoh dengan lakon masing-masing dan plot masing-masing hasil kreasi sendiri atau tim dibalik panggung masuk dan keluar panggung sesuka hati untuk menarik perhatian publik. Bukan esensi dan pernyataan atau tindakan yang ingin ditampilkan, melainkan sekadar ingin muncul dan terlihat di pandangan mata publik. Berbagai tokoh atau calon tokoh publik berupaya mendapat perhatian di ruang publik.

Rhoma Irama, sang raja dangdut, adalah salah satu yang ingin mentokohkan diri tadi. Ia memang sudah dikenal dan terkenal di republik dangdut. Ia bahkan berupaya menjegal beberapa penyanyi dangdut hanya karena mereka tampil sedikit terbuka dan terkesan kurang bahan, seperti Inul Darastista. Ia berusaha menjadi ‘polisi moral’, berupaya menentukan pakaian apa yang boleh dan tidak boleh dikenakan para penyanyi dangdut.

Padahal moral Rhoma Irama sendiri patut di pertanyaan. Publik tahu ia punya beberapa istri dan pernah beberapa kali terlibat nikah siri kemudian dilepas begitu saja. Oh, publik banyak tidak bahwa bang Rhoma pernah menjadi anggota DPR? Tidak jelas apa yang dikerjakannya ketika menjadi anggota DPR. Sulit untuk melihat jejak-jejak hasil karyanya ketika menjadi anggota parlemen. Tidak beda dengan artis-artis lain yang mencoba mengadu nasib menjadi anggota DPR dengan memanfaatkan popularitas. Substansi hasil kerja tidak penting. Hanya sedikit mantan artis yang berhasil menunjukkan eksistensi mereka di parlemen.

Rhoma Irama, sang raja dangdut, memang seorang figur kontroversial. Saat ramai-ramainya pemilihan gubernur DKI, ia melontarkan isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dengan mempertanyakan agama Jokowi. Berbagai upaya dilakukan untuk menjegal Jokowi menjadi gubernur DKI. Tapi kebenaran muncul sebagai kebenaran. Yang salah dihukum. Jokowi muncul menjadi pemenang pemilihan gubernur DKI bersama wakilnya Basuki Rachmat (Ahok).

Saat ramai-ramainya para pengamat membahas sumber daya alam, pertambangan, minyak dan gas bumi, dan lain-lain, Rhoma Irama pun tidak mau ketinggalan kereta. Ia ingin tampil agar terlihat tidak ketinggalan isu. Ia tahu isu nasionalisasi dapat dijual jelang pemilihan umum. Ia pun melontarkan pernyataan.

"Ini juga harus disiasati dengan komponen pertama, yakni migas misalnya, harus kita akuisi. Kita tahu semua alam kita jadi konsesi perusahaan asing. Salah satu jalan makmurkan bangsa ini, kita harus akuisi semua konsesi asing," kata Rhoma Irama seperti yang dikutip Gatra.com.

Yang jelas, Indonesia bukan negara rimba. Indonesia adalah negara modern yang menjadi bagian dari ekonomi global. Indonesia adalah negara hukum, transaksi-transaksi bisnis, kontrak-kontrak business dilakukan berdasarkan hukum. Dunia bisnis, industri dan ekonomi hanya maju bila ada panglima yang menjadi pegangan bersama, yakni hukum. Tanpa itu, ekonomi suatu negara akan menjadi seperti hutan rimba. Siapa kuat dia yang menang. Yang besar akan menerkam yang kecil. Tidak ada rambu-rambu yang mengawasi.

Dan Indonesia, sebagai negara demokratis (emerging democratic country), telah melangkah cukup jauh sejak reformasi, walaupun belum sempurna. Indonesia masih punya pekerjaan rumah untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang bermartabat, bangsa yang disegani dunia. Cita-cita itu hanya bisa tercipta bila ada rambu-rambu hukum, rambu-rambu etika dan moral yang harus dipatuhi oleh seluruh anak bangsa.

Kita tidak ingin Indonesia menjadi negara rimba, mencaplok apa saja yang telah menjadi hak orang lain. Isu nasionalisasi, atau mengambil semua konsesi asing di pertambangan, blok-blok migas termasuk blok Mahakam, seperti yang dilontarkan Rhoma Irama, tidak seharusnya dipakai sebagai barang dagangan jelang Pemilihan Umum. Semua ada aturan mainnya, dan semua yang berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia ini harus tunduk pada hukum yang telah diletakan oleh para pendiri bangsa.  Generasi ini tidak boleh menjadi generasi yang akan dikenang sebagai generasi penghancur bangsa, tapi harus menjadi generasi pencipta landasan kokoh, agar Indonesia bisa terbang lebih tinggi lagi, seperti burung rajawali. (*)

Rabu, 10 Juli 2013

Catatan Harian -- Selamat Pagi Indonesia!!



Bundaran HI
 Apa yang baru hari ini di kota Metropolitan Jakarta? Demikian pertanyaan kolega saya dari Hong Kong lewat jalur skype pagi ini. 

Tanpa berpikir panjang saya langsung menjawab, ‘not much really’. As usual, jalanan masih macet. Pada hari pertama bulan puasa kemarin, kemacetan sedikit berkurang. Mungkin ada sebagian warga memilih cuti pada hari pertama puasa (dan hari kedua bagi sebagian warga Muslim yang telah memasuki bulan puasa hari Selasa).

Menarik untuk mengamati prilaku para elit politik, kata saya kepada kawan saya itu. Biasanya, periode fasting month ini terkadang digunakan untuk ber-bukber (buka bersama) sambil bersilahturahmi. Saat-saat seperti ini dimanfaatkan untuk bersilahturahmi dengan teman, kompetitor ataupun musuh.

Lihat saja dua raja media, ARB (Aburizal Bakrie) sang pemilik Viva group dan Bakrie Group dan Surya Paloh (SP), sang empunya Metro TV. Tiba-tiba keduanya terlihat mesra di hadapan wartawan kemarin. Keduanya, terlihat akrab padahal hubungan keduanya sempat renggang sejak berkompetisi merebut posisi Ketua Golkar beberapa tahun lalu. Kala itu, ARB keluar sebagai Ketua Umum Golkar, partai besar peninggalan Orba (sempat mau dicabut dan dihapus dari muka bumi saat reformasi, tapi belakangan tetap rimbun).

SP kemudian tetap menunjukkan eksistensinya dengan mendirikan sebuah organisasi masa (Ormas) -- Nasional Demokrat.  Banyak tokoh Golkar maupun non-Golkar yang sempat tersedot ke gerakan tersebut karena misinya yang menarik -- mengedepankan gerakan perubahan.

Ya, siapa sih yang tidak ingin berubah. Semua orang ingin berubah. Menuju ke sesuatu yang lebih baik tentunya. Nasdem juga demikian. Dengan media yang dimilikinya, Metro TV, terkadang dijadikan corong oleh sang pemilik untuk mendiseminasi informasi dan menggalang dukungan bagi gerakan tersebut. 

Smart (or unsmart) move?

Yang pasti, gerakan SP lewat Nasdem terus bergulir. Namun, sebagian orang melihat gerakan masa tersebut  akan bermuara dan bermetamorfosis menjadi sebuah partai politik. Soal ini, tidak dibantah dan juga tidak diiyakan oleh SP. Yang jelas, kemudian ARB mewanti-wanti dan memberikan warning kepada para politisi Golkar -- pilih Nasdem or Golkar. Sebagian tokoh-tokoh pendiri atau penggerak Nasdem melakukan gerakan ‘Muntaber’ – mundur tanpa beritahu atau sebagian pamit baik-baik setelah membaca, mencium, ada motivasi tersembunyi dibalik gerakan masa tersebut.

Ah, orang yang hijau dalam berpolitik saja yang pura-pura bodoh, pura-pura tidak tahu. Apapun misi dan motivasinya, adalah hak Mr. SP untuk melakukan sesuatu yang dijamin Undang-Undang. Hak setiap warga pula untuk bergabung, mendukungmaupun memilih jalur Muntaber.

Apa yang terjadi kemudian telah menjadi sejarah. Salah satu raja media ‘HT’ (Harry Tanoe), tiba-tiba membuat kejutan, dengan menyatakan bergabung dengan Nasdem. Semua melihat, memantau dan menganalisa dengan pisau analisis masing-masing. Apa yang terjadi bila dua raksasa media bergabung? Yang pasti, lawan-lawan politik melakukan perhitungan. Pemerintahan yang berkuasa (PD) melakukan perhitungan.

Yang menarik, langkah HT tersebut dilakukan pada saat salah satu saudaranya tersandung kasus proyek IT di Kementerian Hukum and Hak Asasai Manusia. HT pun menjadi saksi dalam kasus tersebut. Bukan tidak mungkin statusnya meningkat jadi tersangka.

Tersangka? Hmm, menentukan status tersangka, terdakwa tak semudah meng-update status di twitterland, facebook atau media sosial lainnya. Sebagai lembaga yang tidak steril terhadap pengaruh kekuatan eksternal, KPK, tidak semudah itu menetapkan status seseroang. Kalau pun status telah dibuat, eksekusinya pun mengambang. Lihat saja, mantan Menteri Olah Raga Andi Malarangeng (AM) atau Anas Urbaningrum (AU – Au ah gelap) sudah ditetapkan tersangka tapi belum ditahan.

Kembali ke dua tokoh kita di atas tadi – SP dan ARB. SP kemudian membuat partai sendiri Partai Nasdem dan ARB pemegang kendali Golkar. HT? Setelah bergabung, mencoba membesarkan Nasdem lewat jaringan-jaringan TV-nya, membangun jaringan partai hingga ke bawah. Nasdem pun lolos jadi peserta Pemilu 2014. Lagi-lagi, kejutan terjadi. Setelah beredar ada cracking internal di Nasdem lantaran ada matahari kembar. Keretakan internal itu berujung pada HTH – HT hengkang.

Dengan resources yang dimiliki HT digoda berbagai partai untuk bergabung. Tapi, rupanya pilihan HT jatuh ke Hanura, partai yang didirikan (retired general) Wiranto. Kenapa bukan Gerindra? Golkar? PAN? Atau partai-partai lain? Hanya HT yang tahu. Adakah deal-deal politik antara HT dan Hanura? Dalam berpolitik, there is no lunch. “Tidak mungkin tidak ada” kata seorang sahabat.   Benar saja, Wiranto dan HT beberapa waktu lalu mengumumkan menjadi pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Langkah W-HT tersebut menyulut keresahan internal di Hanura. Beberapa tokoh senior Hanura berkoar-koar di media, langkah W-HT tidak sesuai aturan main partai, terlalu awal, langkah blunder, etc, etc. Sebagian mendukung dan memuji, langkah bagus untuk ‘test the water’. Tidak salah juga sih. Apakah pasangan W dan HT, merupakan pasangan ‘married made in heaven?’ Hanya waktu yang akan memberi jawaban.

Itu perkembangan politik dari kacamata warga, kata saya kepada kolega saya tersebut.

Media-media jugahingga hari ini  masih memberitakan soal harga-harga yang melambung pasca kenaikan harga BBM bersubsidi. Sebagian masyarakat terjepit karena harga-harga kebutuhan pokok naik saat kebutuhan dana meningkat bulan Juni-Juli untuk biaya pendidikan. Inilah ongkos sebuah keputusan yang terlambat dibuat. Lebih tepat keputusan kenaikan BBM dibuat awal tahun.

Berita menarik lain, apalagi kalau bukan sang media darling ‘Jokowi’, blusukan (kunjungan tanpa rencana dan bersifat mendadak) tetap menarik perhatian media. Kemarin JoKoWi ber-blusukan ke Kemayoran dan sorenya mengunjungi sebuah mesjid di kawasan Manggarai dan berbaur dengan masyarakat saat buka puasa.

Ah setelah ngobrol tanpa batas waktu dan ruang, saya dan kolega saya pun pamitan sambil mengucapakan ‘enjoy your day’ and ‘have a nice day’.   

Selamat Pagi Indonesia!!!