Tampilkan postingan dengan label DPR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DPR. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Januari 2015

Ini Komentar Konyol Anggota DPR Soal Blok Mahakam

Kurtubi
Lagi-lagi komentar konyol keluar dari mulut anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Adalah Komisi VII DPR yang mendesak pemerintah untuk memberikan participating interest (PI) atau pemberian hak partisipasi atas pengelolaan Blok Mahakam kepada Pertamina. Masalahnya, selama ini hak tersebut diberikan ke pihak asing atau operator lamanya

Anggota Komisi VII DPR, Kurtubi, mengatakan Blok Mahakam sudah seharusnya diserahkan ke PT Pertamina (Persero) secara penuh 100 persen. Dirinya juga menilai bahwa Pertamina memiliki kemampuan dan kapasitas untuk mengelola blok tersebut.

"Jangan lagi berikan hak partisipasi 15 persen atau segala macamnya ke operator lama," ketus Kurtubi.

Kurtubi juga menganggap bahwa melalui penyerahan hak partisipasi penuh 100 persen Blok Mahakam ke Pertamina, maka akan memberikan dukungan kinerja perusahaan secara korporasi. "Ini juga menjadi salah satu cara meningkatkan produksi dan penerimaan negara," tandas Kurtubi.

Dia berpendapat bahwa pihak asing sudah cukup mengelola Blok Mahakam sampai 50 tahun. Maka perusahaan asing tidak boleh lagi menikmati hasil sumber daya alam Indonesia yang seharusnya bisa digunakan dan dioptimalkan oleh negara. "Di Blok itu cadangannya sangat luar biasa besar," tegas dia.

Saat ini blok yang akan habis kontrak pada 2017 dan terletak di Kalimantan Timur tersebut masih dikelola oleh Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation.

Pemerintah sebelumnya telah memutuskan bahwa mayoritas hak partisipasi Blok Mahakam diserahkan ke Pertamina. Namun Pertamina tetap disarankan untuk menggandeng operator lama yakni Total dan Inpex.

Sangat disayangkan bahwa anggota DPR bisa mengeluarkan pernyataan bodoh tersebut. Nasionalisme buta bisa membuat kita tidak realistis dalam mempertimbangkan keadaan. Kemampuan dan kondisi keuangan Pertamina belum siap untuk mengelola blok migas sesulit blok Mahakam sendirian.

Pertamina sedang sibuk untuk cari pinjaman supaya bisa mengelola blok Mahakam, Total E&P Indonesie sudah menyatakan siap untuk investasi triliunan di blok Mahakam. Kan sayang sekali kalau karena gengsi kemudian Pertamina menyia-nyiakan ini.


Pertamina juga bisa belajar banyak dari perusahaan sekelas Total. Semoga saja pemerintah bisa bijak dalam memutuskan nasib blok Mahakam.

Kamis, 28 Agustus 2014

Undang-Undang Panas Bumi Akhirnya Disahkan

UU Panas Bumi Disahkan
Setelah cukup lama digodok, akhirnya Undang-Undang (UU) Panas Bumi disahkan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan segera melakukan sosialisasi Undang-Undang (UU) baru pasca pengesahan UU Panas Bumi oleh DPR RI.

"Panas bumi akan berkembang lebih besar dan cepat lagi. Panas bumi ini akan menjamin kemandirian energi. Kita makin optimis karena ini adalah energi terbarukan yang bisa menggantikan BBM, sehingga energi makin mandiri," ucap Ketua DPR Pramono Anung.

Menurutnya, keberadaan undang-undang yang baru disahkan tersebut akan mempercepat pelaksanaan program percepatan pembangunan pembangkit 10.000 MW tahap dua yang sebagian di antaranya menggunakan energi panas bumi.

Direktur Utama PLN Nur Pamudji menganggap bahwa persetujuan RUU akan membuat panas bumi makin berkembang. "Karena kegiatan eksplorasi yang semula terlarang, menjadi boleh," katanya.

Ketua Panitia Khusus RUU Panas Bumi DPR Nazarudin Kiemas mengungkapkan bahwa DPR telah melakukan kunjungan kerja ke dalam maupun luar negeri untuk mendapat masukan terkait rancangan undang-undang tersebut. "Dengan persetujuan RUU ini akan memberikan kepastian hukum dan peningkatan investasi panas bumi menuju ketahanan energi," pungkasnya.

Sedangkan menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, yang mewakili Presiden Yudhoyono menyampaikan pendapat akhir pemerintah dalam sidang paripurna, mengatakan bahwa pengesahan RUU Panas Bumi akan membuat pengembangan panas bumi lebih berkembang.

Direktur Panas Bumi Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Tisnaldi, mengatakan bahwa sosialisasi akan dilakukan ke daerah-daerah yang memiliki potensi besar panas bumi seperti di Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Aceh.

"Kita akan sosialisasikan melalui website kementerian dan kunjungan ke Pemerintah provinsi dan daerah kalau pemanfaatan panas bumi itu bisa dilakukan di dalam hutan," terangnya.

Saat ini di Indonesia terdapat 299 titik potensi panas bumi yang siap dimanfaatkan. "Dari 299 titik itu ada 65 wilayah kerja panas bumi yang sudah dan sedang dimanfaatkan. Salah satunya PLTP Sibayat, PLTP Kamojang, dan PLTP Drajat," tukasnya. Ke depannya, Tisnaldi mengatakan akan ada 25 titik lagi yang tersebar di Indonesia yang siap di lelang di 2014.



Senin, 03 Maret 2014

Agar Kasus Akil Moctar Tak Terulang, Tolak Calon Hakim Mahkamah Konstitusi dari Partai Politik!



Dimyati Natakusumah, calon Hakim MK dari PPP

Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang di Republik ini? Semua bisa asalkan punya uang, demikian kelakar seorang anggota DPR saat ditemui penulis beberapa waktu lalu. Sang anggota DPR tersebut mengungkapkan hal itu sebagai ungkapan kekesalannya menanggapi berbagai kasus-kasus mega korupsi belakangan ini. Tidak tanggung-tanggu, yang terlibat korupsi, tidak hanya pejabat pemerintah, lembaga peradilan, kepolisian, lembaga politik, tapi juga justru tembok terakhir penjaga keadilan di Republik ini, yakni Mahkamah Konstitusi. 

Mahkamah Konstisi adalah salah satu anak kandung dari reformasi kelembagaan di negara Pancasila ini, agar proses evolusi bernegara tetap berada di jalur yang benar, jalur yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bagi sebagian rakyat Mahkamah konstitusi dianggap sebagai ‘dewa’nya lembaga peradilan di Indonesia. Itu dulu, sebelum kasus korupsi yang melibatkan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. 

Nama Akil Mochtar tiba-tiba saja menggetarkan jagat Republik ini lantaran tertangkap basah menerima suap dari pihak-pihak tertentu yang terlibat sebuah perkara. Kalau Akil Moctar adalah seorang kepala desa, mungkin tidak menimbulkan kehebohan dan kegusaran jagat Republik ini. Persoalannya, Akil Moctar adalah seorang Hakim Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga Peradilan yang dianggap sakral oleh sebagian rakyat. Itu dulu. 

Setelah ditelusuri dan kasusnya diproses di pengadilan khusus korupsi (Tipikor), banyak fakta-fakta yang mencengangkan terbuka. Rupanya sang mantan Ketua Hakim Konstitusi MK ini terlibat dan menerima suap untuk dengan imbalan memenangkan pihak-pihak tertentu yang berperkara. Publik tercengang karena AM terlibat korupsi ratusan miliar rupiah. Setiap perkara, AM dapat menerima suap mulai dari ratusan juga hingga miliaran rupiah tergantung magnitude sebuah perkara. 

Tidak heran bila kita sering mendengar ungkapan, ‘apa yang tidak bisa dibeli di negara ini’? Bila terlibat perkara, dan bisa menyiapkan uang puluhan milyar untuk menyuap oknum hakim, ada kemungkinan besar Anda akan memenangi perkara. Tentu tidak semua hakim seperti itu. Tapi imej hakim bisa disuap sudah terlanjur menempel di kepala masyarakat. 

Akil Mochtar boleh dibilang tidak seterkenal sekarang dibanding sebelumnya. Sebelum kasus korupsinya terbongkar, mungkin hanya segelintir masyarakat Indonesia yang mengenalnya, terutama bila rajin membaca koran setiap hari. Tapi nama AM, kini jauh lebih popular, mungkin melebih popularitas seorang artis paling terkenal di Republik ini. Sayang kepopuleran AM, bukan atas sebuah jasa bagi bangsa, tapi atas sebuah kelakuan kejahatan kerak putih, a.k.a KORUPSI. 

Nama AM kini terkenal hingga kepelosok-pelosok negara kepulauan ini, mulai dari Aceh hingga di ujung timur Indonesia, dari ujung utara pulai Kalimantan hingga selatan Republik ini, pulau Rote. Dan mungkin tidak semua orang tahu bahwa AM adalah mantan politikus Partai Golkar. 

Karena itu, ketika anggota DPR Komisi III kemarin melakukan uji fit and proper test mencari hakim agung, protes masyarakat bermunculan terhadap calon hakim MK yang berlatar belakang politikus atau petinggi sebuah partai. Salah satu yang ditentang publik adalah Dimyati Natakusumah.

Dimyati saat ini menjabat sebagai anggota DPR Komisi III dari partai PPP. Dia memenangi pilada di Daerah Pilihan Banten I dengan suara 27.187. Nama Dimyati sebagai calon hakim langsung ditentang publik. Pertama, Dimyati adalah seorang politikus dan sebagai politikus dan anggota sebuah partai, tentu ia akan membela partai yang mengusungnya. Masyarakat masih trauma dengan kasus Akil Mocthar, yang notabene anggota Partai Golkar sebelum diangkat menjadi hakim Mahkamah Konstitusi. Masyarakat tidak ingin kasus AM terulang kembali.

Dimyati juga memiliki beberapa catatan negatif. Pada November 2009, ia sempat memanfaatkan rapat dengar pendapat Komisi III DP dengan Kejaksaan Agung untuk membeberkan dan mengadukan kasus yang membelitnya saat menjadi Bupati Pendeglang, Banten. Ia diduga memberikan uang suap sebesar Rp1,5 miliar kepada anggota DPRD Pandeglang dengan tujuan untuk memuluskan rencana pinjaman daerah sebesar Rp200 miliar pada tahun 2006 di Bank Jabar. (Sumber: Merdeka.com)

Publik rupanya sudah alergi dan muak dengan munculnya calon Hakim Mahkamah Konstitusi yang datang dari Partai Politik. Kehadiran calon hakim dari Partai Politik sangat diragukan independensi mereka, karena diduga mereka masih akan bias, dan lebih memilih kepentingan partainya saat terlibat dalam memutuskan perkara yang melibatkan partai asal.

Reformasi Indonesia yang diperjuangkan pada tahun 1997-1998 telah gagal. Reformasi yang antara lain bertujuan menghapus segala praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang terjadi pada era Orde Soeharto, malah makin merajalela setelah reformasi. Korupsi atau KKN tidak hanya terjadi di lingakaran kekuasaan pusat (Ring-1) tapi malah menyebar bak virus hingga ke daerah, dan ke birokrat level paling bawah. 

Tender-tender proyek pemerintah yang seyogyanya harus dilakukan secara transparen, adil dan jujur, bahkan diselewengkan oleh berbagai pihak demi segepok atau sekardus uang dolar Singapura atau dolar AS. Belakangan dolar Singapura dan dolar AS, menjadi favorit mata uang untuk dikorupsi. Para politisi atau yang terlibat dalam berbagai kasus korupsi memiliki sandi tersendiri. Mata uang dolar AS, yang ditulis dengan jelas ‘In God We Trust’, diganti tagline itu oleh para koruptor dengan kata-kata baru ‘In Corruption We Trust’.

Kembali ke proses seleksi hakim Mahkamah Konstitusi tadi, kita dan sebagian besar publik tampaknya menolak dan tidak setuju dengan adanya hakim yang berasal dari Partai Politik. Titik. (*)

Senin, 27 Januari 2014

Pemerintah Indonesia Jadikan 'Ancaman Luar' Alasan untuk Perbesar Belanja Pertahanan?

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa ancaman dari luar (external threat) mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran untuk memperkuat sistem pertahanan. Jangan-jangan isu ‘ancaman eksternal’ ini sengaja dihembuskan sehingga ada alasan untuk meningkatkan anggaran pertahanan. Sebuah ironi saat negara ini dihadapkan dengan berbagai bencana, baik bencana alam maupun 'bencana korupsi'.

***

Melihat show-of-force dan alokasi anggaran, Pemerintah Indonesia tampaknya terus memperkuat sistem pertahanan dalam beberapa tahun terakhir. Anggaran Belanja yang dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] pun terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan lebih dari dua kali lipat anggaran untuk ke polisian.

Kapal selam
Pertanyaan publik adalah mengapa anggaran terus diperbesar? Bukankah lebih baik anggaran untuk kesejahteraan masyarakan diperbesar seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain? Apakah memang karena Presidennya berlatar belakang militer, sehingga sang Presiden tahu apa yang dibutuhkan tentara nasional kita. Atau ada motif-motif lain, misalnya untuk menjaga hubungan baik dengan pihak militer sehingga perlu diistimewahkan? Pertanyaan terakhir relevan mengingat tahun 2014 ini adalah tahun politik sehingga wajar saja bila pertanyaan semacam itu muncul.

Pertanyaan lain yang muncul di benak publik adalah apakah belanja dan sistem pertahanan diperkuat karena ancaman eksternal meningkat. Contoh saja, potensi ancaman di laut China Selatan, akibat klaim perbatasan dan wilayah yang tumpang tindih antara China, Filipina dan Vietnam?
Pesawat tempur Sukhoi

Bila kita melihat anggaran pemerintah di APBN tahun 2014 ini, anggaran untuk pertahanan memang cukup besar. Untuk tahun 2014 saja, alokasi anggaran Kementerian Pertahanan sebesar Rp83,4 triliun, dua kali lipat anggaran untuk Kepolisian sebesar Rp41,5 triliun.

Anggaran tersebut antara lain digunakan untuk memperkuat alat dan mesin-mesin pertahanan atau lebih dikenal [Alutsista atau alat utama sistem pertahanan negara], seperti pesawat tempur, kapal laut, kapal selam, helikopter dan lain-lain. Di bawah Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri Pertahanan, pemerintah tampaknya cukup agresif memperkuat alat dan sistem pertahanan.

Purnomo Yusgiantoro dalam beberapa kesempatan mengungkapkan secara terbuka rencana pemerintah untuk membeli pesawat perang. Indonesia, kata Purnomo, butuh satu skuadron Sukhoi yang terdir atas 16 pesawat, Su-30MK2 yang akan difungsikan sebagai jet tempur serang maritim. Pesawat-pesawat itu akan melengkapi 10 Sukhoi yang kini sudah dimiliki Indonesia sehingga nantinya genap menjadi satu skuadron yang ditempatkan di Pangkalan Udara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Pemerintah juga berencana membeli pesawat tempur T-50 atau light fighter buatan Korea Selatan sebanyak 16 unit (satu skuadron).

Saat Indonesia menghadapi berbagai bencana, rasanya miris saja melihat anggaran dan alokasi anggaran pemerintah untuk pertahanan tersebut. Dari sisi urgensi, justru yang diperlukan pemerintah saat ini adalah memperkuat sistem pertahanan internal agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap utuh.

Potensi ancaman terbesar kita sebetulnya datang dari dalam, bukan dari luar. Lihat saja, gerakan atau kasus penembakan misterius yang terjadi di Papua Barat. Boleh jadi ini terjadi karena ketidakpuasan masyarakat lokal, karena bumi dan sumber daya di Papua dikeruk, tapi sedikit dana yang dikembalikan untuk menyejahterahkan masyarakat. Kalaupun ada peningkatan dana yang disalurkan, seperti yang diklaim pemerintah, dana tersebut ditilep atau dikorupsi. Hanya sedikit dana yang menetes ke bawah atau dirasakan masyarakat.

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa ancaman dari luar (external threat) mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran untuk memperkuat sistem pertahanan. Jangan-jangan alasan ‘ancaman eksternal’ ini hanya dijadikan alasan untuk meningkatkan anggaran pertahanan.

Salah satu anggota DPR yang getol mendukung langkah pemerintah tersebut adalah Susaningtyas Handayani Kertopati, politisi Hanura yang membidangi komisi pertahanan, inteligen dan hubungan luar negeri. Ia mengatakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus lebih melihat ancaman dari luar (outward looking) karena telah muncul tanda-tanda meningkatnya ancaman. “Ancaman terbesar tentu saja dari Australia,” kata Susaningtyas.

Mungkin hanya segelintir saja yang mengiyakan pernyataan politisi ini. Apakah ancaman ini terkait dengan insiden baru-baru ini dimana angkatan laut australia melewati batas negara secara tidak sengaja saat menarik dan mendorong keluar para ‘boat people’(illegal immigrant) yang berusaha masuk ke Australia.

Rasa-rasanya tidak masuk akal dan sulit diterima publik bila insiden tersebut dijadikan alasan utama bagi pemerintah menggelontorkan dana hampir Rp100 triliun untuk pertahanan. Yang jelas, ancaman terbesar datang dari dalam negeri, bukan dari luar. Sehingga, perhatian pemerintah seharusnya ke dalam negeri, bukan ke luar (external threat). Publik tidak ingin dana tersebut hanya dijadikan obyek untuk dikorupsi oleh elit-elit politik di Republik ini. Masih banyak rakyat di Papua atau perbatasan Kalimantan-Malaysia atau di Timor Barat yang hingga saat ini belum mendapatkan listrik. Sebuah ironi. (*)

Kamis, 14 November 2013

Politisi Partai Demokrat Marzuki Alie Tidak Layak Jadi Ketua DPR


Sumber: Istimewah
Politisi Indonesia Marzuki Alie bukan sosok yang asing bagi publik. Marzuki sering muncul lantaran ia adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Marzuki Alie, seorang pengusaha asal Palembang yang kemudian terjun ke panggung politik, kerap menuai kritik tidak hanya dari koleganya di Parlemen (DPR) tapi juga dari masyarakat umum. Pernyataan-pernyataan yang dibuatnya menunjukkan bahwa ia bukan seorang negarawan dan bahkan cenderung memalukan, terutama dalam perang melawan korupsi. Politisi Demokrat yang sedang mengikuti konvensi Partai Demokrat ini tampaknya mencerminkan buruknya kualitas sebagian besar anggota Parlemen saat ini. 

Kontroversi terakhir yang melibatkan Marzuki Alie terkait pernyataannya bahwa ia tidak mau membongkar nama-nama yang menerima suap terkait rencana pembangunan gedung Parlemen yang baru, yang kemudian dibatalkan karena resistensi publik. 

Teguh Juwarno, Sekretaris Partai Amanat Nasional (PAN) mengatakan menyembunyikan nama-nama yang diduga menerima uang suap terkait rencana pembangunan gedung baru DPR justri bersifat kontra-produktif. Ketua DPR seharus lebih tegas dan membuka saja partai-partai mana saja yang menerima suap tersebut, jangan hanya melempar pernyataan tapi hanya setengah hati. Marzuki mengatakan bahwa ia hanya mengetahui salah satu anggota Badan Rumah Tangga DPR yang melakukan tindakan terpuji tersebut.

Pada edisi terakhir majalah Tempo, Marzuki Alie dikatakan telah menerima Rp250 juta uang suap terkait proyek tersebut, beserta politisi lainnya, termasuk Anas Urbaningrum, yang saat itu merupakan Ketua Partai Demokrat, sebelum dipaksa lengser.

(sumber: Istimewah)
Bukan kali ini saja Marzuki Alie dituding mendegradasi derajat DPR. Tahun 2011 lalu, muncul dugaan keterlibatan Marzuki Alie dalam kasus koroupsi, yang berpotensi diambilalih KPK. Ia diduga terlibat korupsi saat menjabat menjabat Direktur Komersil PT Semen Baturaja (Persero). Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK ditemukan dugaan adanya penyimpangan dan potensi kerugian keuangan negara.

Tapi kemudian Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Marzuki lolos karena kemudian KPK batal mengambil-alih kasusnya.

Bila kita melihat tiga tahun ke belakang, cukup banyak pernyataan Marzuki Alie yang menuai kritikan pedas terhadap dirinya. Pertamina, terkait tsunami yang menyerang Mentawai tahun 2010 silam. Ia mengatakan, “Ada pepatah, kalau takut ombak, jangan tinggal di pantai”. Pernyataaannya dinilai arogan, tidak berempati dengan warga yang ditimpa bencana. Bila ia mengatakan hal tersebut kepada orang Aceh setelah kota itu terkena bencana tsunami, mungkin ia kini tinggal nama.

Pada bulan Februari 2011, lagi-lagi ia membuat komentar yang tidak intelek saat mengomentari kritikan publik terhadap kegandrungan Anggota DPR bepergian ke luar negeri dengan alasan studi banding. Publik mengkritik karena sebagian anggota DPR itu membawa istri mereka. Apa kata Marzuki? “Laki-laki sifatnya macam-macam. Ya perlu diurus untuk minum, obat (atau) pengin hubgungan dengan istrinya rutin. Itu terserah. Sepanjang tidak menggunakan uang negara.” Sebuah pembelaan yang mengada-ada.

Pada bulan yang sama, ia mengomentari sejumlah kasus yang menimpa tenaga kerja wanita di luar negeri, yang sering menghadapi masalah, seperti pelecehan seksual, penyiksaan atau hak-haknya diinjak. "PRT TKW itu membuat citra buruk, sebaiknya tidak kita kirim karena memalukan." Bukannya membela, malah Marzuki menyalahkan para TKI tersebut, yang terkadang disebut sebagai pahlawan devisa.

Yang paling fatal adalah ketika ia membabi buta membela Nazaruddin yang saat itu kasusnya baru mengemuka (29 Juli 2011). Saat itu, Komisi Pemberantasan Korupsi mulai membuka kasus politikus Partai Demokrat M. Nazaruddin yang mengguncang partai berkuasa itu. "Kalau tudingan Nazaruddin terbukti, sebaiknya KPK bedol desa atau lembaganya dibubarkan saja," katanya saat itu. Apa yang terjadi kemudian, Nazaruddin ditangkap KPK dan terbukti terlibat berbagai kasus korupsi. Para politisi Demokrat yang tadinya membela, terpaksa menjilat air ludah sendiri.

Marzuki, bahkan membuat proposal yang tidak masuk akal. Saat kasus Nazaruddin menyeruak, Marzuki membuat usulan mengejutkan yakni memaafkan koruptor. "Jadi kita maafkan semuanya, kita minta semua dana yang ada di luar negeri untuk masuk. Tapi kita kenakan pajak."  What???? Kenapa tidak digantung di Monas saja, seperti yang dilontarkan oleh mantan Ketua Demokrat Anas Urbaningrum?

Sebetulnya, masih cukup banyak pernyataan-pernyataan kontroversial politisi Partai Demokrat ini. Tidak heran banyak yang menilai Marzuki Alie tidak cocok dan tidak layak menjadi Ketua DPR. Sesama anggota DPR pun berkali-kali meminta Partai Demokrat untuk mengganti Marzuki Alie sebagai Ketua DPR. Namun, rupanya Partai Demokrat lebih senang mendengar suara dari dalam partai, ketimbang mendengar desakan publik. Marzuki Alie tidak hanya mendegradasi DPR, mengingat posisinya sebagai Ketua DPR. Ia bahkan tidak pantas menjadi Wakil Rakyat.

Ulah Marzuki Alie turut menenggelamkan Partai Demokrat. Lihat saja, hasil survei terakhir dari sebuah lembaga survei. Sebagian besar rakyat tidak mengetahui sedang ada Konvensi Partai Demokrat, untuk menjaring sosok yang akan diajukan oleh Partai Demokrat sebagai calon Presiden tahun 2014 nanti. 

Sosok yang melemahkan Partai Demokrat tidak hanya kasus Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, yang terlibat dalam kasus proyek gedung olahraga di Hambalang, Bogor, atau kasus-kasus korupsi lainnya yang melibat petinggi-petinggi Demokrat, tapi juga sosok Marzuki Ali. Ia tidak hanya pantas menjadi Ketua DPR, tapi tidak pantas menjadi anggota DPR sekalipun. Lalu, ingin maju jadi calon Presiden dari Partai Demokrat? Sebaiknya Marzuki Alie bercermin dulu. (*)