|
Dimyati Natakusumah, calon Hakim MK dari PPP |
Apa yang
tidak bisa dibeli dengan uang di Republik ini? Semua bisa asalkan punya uang,
demikian kelakar seorang anggota DPR saat ditemui penulis beberapa waktu lalu. Sang
anggota DPR tersebut mengungkapkan hal itu sebagai ungkapan kekesalannya
menanggapi berbagai kasus-kasus mega korupsi belakangan ini. Tidak
tanggung-tanggu, yang terlibat korupsi, tidak hanya pejabat pemerintah, lembaga
peradilan, kepolisian, lembaga politik, tapi juga justru tembok terakhir
penjaga keadilan di Republik ini, yakni Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah
Konstisi adalah salah satu anak kandung dari reformasi kelembagaan di negara
Pancasila ini, agar proses evolusi bernegara tetap berada di jalur yang benar,
jalur yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bagi sebagian rakyat Mahkamah
konstitusi dianggap sebagai ‘dewa’nya lembaga peradilan di Indonesia. Itu dulu,
sebelum kasus korupsi yang melibatkan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi Akil
Mochtar.
Nama Akil
Mochtar tiba-tiba saja menggetarkan jagat Republik ini lantaran tertangkap
basah menerima suap dari pihak-pihak tertentu yang terlibat sebuah perkara.
Kalau Akil Moctar adalah seorang kepala desa, mungkin tidak menimbulkan
kehebohan dan kegusaran jagat Republik ini. Persoalannya, Akil Moctar adalah
seorang Hakim Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga Peradilan yang dianggap
sakral oleh sebagian rakyat. Itu dulu.
Setelah
ditelusuri dan kasusnya diproses di pengadilan khusus korupsi (Tipikor), banyak
fakta-fakta yang mencengangkan terbuka. Rupanya sang mantan Ketua Hakim
Konstitusi MK ini terlibat dan menerima suap untuk dengan imbalan memenangkan
pihak-pihak tertentu yang berperkara. Publik tercengang karena AM terlibat
korupsi ratusan miliar rupiah. Setiap perkara, AM dapat menerima suap mulai
dari ratusan juga hingga miliaran rupiah tergantung magnitude sebuah perkara.
Tidak
heran bila kita sering mendengar ungkapan, ‘apa yang tidak bisa dibeli di
negara ini’? Bila terlibat perkara, dan bisa menyiapkan uang puluhan milyar
untuk menyuap oknum hakim, ada kemungkinan besar Anda akan memenangi perkara.
Tentu tidak semua hakim seperti itu. Tapi imej hakim bisa disuap sudah
terlanjur menempel di kepala masyarakat.
Akil
Mochtar boleh dibilang tidak seterkenal sekarang dibanding sebelumnya. Sebelum
kasus korupsinya terbongkar, mungkin hanya segelintir masyarakat Indonesia yang
mengenalnya, terutama bila rajin membaca koran setiap hari. Tapi nama AM, kini
jauh lebih popular, mungkin melebih popularitas seorang artis paling terkenal
di Republik ini. Sayang kepopuleran AM, bukan atas sebuah jasa bagi bangsa,
tapi atas sebuah kelakuan kejahatan kerak putih, a.k.a KORUPSI.
Nama AM
kini terkenal hingga kepelosok-pelosok negara kepulauan ini, mulai dari Aceh
hingga di ujung timur Indonesia, dari ujung utara pulai Kalimantan hingga
selatan Republik ini, pulau Rote. Dan mungkin tidak semua orang tahu bahwa AM
adalah mantan politikus Partai Golkar.
Karena
itu, ketika anggota DPR Komisi III kemarin melakukan uji fit and proper test mencari hakim agung, protes masyarakat
bermunculan terhadap calon hakim MK yang berlatar belakang politikus atau
petinggi sebuah partai. Salah satu yang ditentang publik adalah Dimyati
Natakusumah.
Dimyati
saat ini menjabat sebagai anggota DPR Komisi III dari partai PPP. Dia memenangi
pilada di Daerah Pilihan Banten I dengan suara 27.187. Nama Dimyati sebagai
calon hakim langsung ditentang publik. Pertama, Dimyati adalah seorang
politikus dan sebagai politikus dan anggota sebuah partai, tentu ia akan
membela partai yang mengusungnya. Masyarakat masih trauma dengan kasus Akil
Mocthar, yang notabene anggota Partai Golkar sebelum diangkat menjadi hakim
Mahkamah Konstitusi. Masyarakat tidak ingin kasus AM terulang kembali.
Dimyati
juga memiliki beberapa catatan negatif. Pada November 2009, ia sempat
memanfaatkan rapat dengar pendapat Komisi III DP dengan Kejaksaan Agung untuk
membeberkan dan mengadukan kasus yang membelitnya saat menjadi Bupati
Pendeglang, Banten. Ia diduga memberikan uang suap sebesar Rp1,5 miliar kepada
anggota DPRD Pandeglang dengan tujuan untuk memuluskan rencana pinjaman daerah
sebesar Rp200 miliar pada tahun 2006 di Bank Jabar. (Sumber: Merdeka.com)
Publik
rupanya sudah alergi dan muak dengan munculnya calon Hakim Mahkamah Konstitusi
yang datang dari Partai Politik. Kehadiran calon hakim dari Partai Politik
sangat diragukan independensi mereka, karena diduga mereka masih akan bias, dan
lebih memilih kepentingan partainya saat terlibat dalam memutuskan perkara yang
melibatkan partai asal.
Reformasi
Indonesia yang diperjuangkan pada tahun 1997-1998 telah gagal. Reformasi yang
antara lain bertujuan menghapus segala praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi,
nepotisme) yang terjadi pada era Orde Soeharto, malah makin merajalela setelah
reformasi. Korupsi atau KKN tidak hanya terjadi di lingakaran kekuasaan pusat
(Ring-1) tapi malah menyebar bak virus hingga ke daerah, dan ke birokrat level
paling bawah.
Tender-tender
proyek pemerintah yang seyogyanya harus dilakukan secara transparen, adil dan
jujur, bahkan diselewengkan oleh berbagai pihak demi segepok atau sekardus uang
dolar Singapura atau dolar AS. Belakangan dolar Singapura dan dolar AS, menjadi
favorit mata uang untuk dikorupsi. Para politisi atau yang terlibat dalam berbagai
kasus korupsi memiliki sandi tersendiri. Mata uang dolar AS, yang ditulis
dengan jelas ‘In God We Trust’, diganti tagline itu oleh para koruptor dengan
kata-kata baru ‘In Corruption We Trust’.
Kembali ke
proses seleksi hakim Mahkamah Konstitusi tadi, kita dan sebagian besar publik
tampaknya menolak dan tidak setuju dengan adanya hakim yang berasal dari Partai
Politik. Titik. (*)