Tampilkan postingan dengan label Mahkamah Konstitusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mahkamah Konstitusi. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Maret 2014

Agar Kasus Akil Moctar Tak Terulang, Tolak Calon Hakim Mahkamah Konstitusi dari Partai Politik!



Dimyati Natakusumah, calon Hakim MK dari PPP

Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang di Republik ini? Semua bisa asalkan punya uang, demikian kelakar seorang anggota DPR saat ditemui penulis beberapa waktu lalu. Sang anggota DPR tersebut mengungkapkan hal itu sebagai ungkapan kekesalannya menanggapi berbagai kasus-kasus mega korupsi belakangan ini. Tidak tanggung-tanggu, yang terlibat korupsi, tidak hanya pejabat pemerintah, lembaga peradilan, kepolisian, lembaga politik, tapi juga justru tembok terakhir penjaga keadilan di Republik ini, yakni Mahkamah Konstitusi. 

Mahkamah Konstisi adalah salah satu anak kandung dari reformasi kelembagaan di negara Pancasila ini, agar proses evolusi bernegara tetap berada di jalur yang benar, jalur yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bagi sebagian rakyat Mahkamah konstitusi dianggap sebagai ‘dewa’nya lembaga peradilan di Indonesia. Itu dulu, sebelum kasus korupsi yang melibatkan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. 

Nama Akil Mochtar tiba-tiba saja menggetarkan jagat Republik ini lantaran tertangkap basah menerima suap dari pihak-pihak tertentu yang terlibat sebuah perkara. Kalau Akil Moctar adalah seorang kepala desa, mungkin tidak menimbulkan kehebohan dan kegusaran jagat Republik ini. Persoalannya, Akil Moctar adalah seorang Hakim Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga Peradilan yang dianggap sakral oleh sebagian rakyat. Itu dulu. 

Setelah ditelusuri dan kasusnya diproses di pengadilan khusus korupsi (Tipikor), banyak fakta-fakta yang mencengangkan terbuka. Rupanya sang mantan Ketua Hakim Konstitusi MK ini terlibat dan menerima suap untuk dengan imbalan memenangkan pihak-pihak tertentu yang berperkara. Publik tercengang karena AM terlibat korupsi ratusan miliar rupiah. Setiap perkara, AM dapat menerima suap mulai dari ratusan juga hingga miliaran rupiah tergantung magnitude sebuah perkara. 

Tidak heran bila kita sering mendengar ungkapan, ‘apa yang tidak bisa dibeli di negara ini’? Bila terlibat perkara, dan bisa menyiapkan uang puluhan milyar untuk menyuap oknum hakim, ada kemungkinan besar Anda akan memenangi perkara. Tentu tidak semua hakim seperti itu. Tapi imej hakim bisa disuap sudah terlanjur menempel di kepala masyarakat. 

Akil Mochtar boleh dibilang tidak seterkenal sekarang dibanding sebelumnya. Sebelum kasus korupsinya terbongkar, mungkin hanya segelintir masyarakat Indonesia yang mengenalnya, terutama bila rajin membaca koran setiap hari. Tapi nama AM, kini jauh lebih popular, mungkin melebih popularitas seorang artis paling terkenal di Republik ini. Sayang kepopuleran AM, bukan atas sebuah jasa bagi bangsa, tapi atas sebuah kelakuan kejahatan kerak putih, a.k.a KORUPSI. 

Nama AM kini terkenal hingga kepelosok-pelosok negara kepulauan ini, mulai dari Aceh hingga di ujung timur Indonesia, dari ujung utara pulai Kalimantan hingga selatan Republik ini, pulau Rote. Dan mungkin tidak semua orang tahu bahwa AM adalah mantan politikus Partai Golkar. 

Karena itu, ketika anggota DPR Komisi III kemarin melakukan uji fit and proper test mencari hakim agung, protes masyarakat bermunculan terhadap calon hakim MK yang berlatar belakang politikus atau petinggi sebuah partai. Salah satu yang ditentang publik adalah Dimyati Natakusumah.

Dimyati saat ini menjabat sebagai anggota DPR Komisi III dari partai PPP. Dia memenangi pilada di Daerah Pilihan Banten I dengan suara 27.187. Nama Dimyati sebagai calon hakim langsung ditentang publik. Pertama, Dimyati adalah seorang politikus dan sebagai politikus dan anggota sebuah partai, tentu ia akan membela partai yang mengusungnya. Masyarakat masih trauma dengan kasus Akil Mocthar, yang notabene anggota Partai Golkar sebelum diangkat menjadi hakim Mahkamah Konstitusi. Masyarakat tidak ingin kasus AM terulang kembali.

Dimyati juga memiliki beberapa catatan negatif. Pada November 2009, ia sempat memanfaatkan rapat dengar pendapat Komisi III DP dengan Kejaksaan Agung untuk membeberkan dan mengadukan kasus yang membelitnya saat menjadi Bupati Pendeglang, Banten. Ia diduga memberikan uang suap sebesar Rp1,5 miliar kepada anggota DPRD Pandeglang dengan tujuan untuk memuluskan rencana pinjaman daerah sebesar Rp200 miliar pada tahun 2006 di Bank Jabar. (Sumber: Merdeka.com)

Publik rupanya sudah alergi dan muak dengan munculnya calon Hakim Mahkamah Konstitusi yang datang dari Partai Politik. Kehadiran calon hakim dari Partai Politik sangat diragukan independensi mereka, karena diduga mereka masih akan bias, dan lebih memilih kepentingan partainya saat terlibat dalam memutuskan perkara yang melibatkan partai asal.

Reformasi Indonesia yang diperjuangkan pada tahun 1997-1998 telah gagal. Reformasi yang antara lain bertujuan menghapus segala praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang terjadi pada era Orde Soeharto, malah makin merajalela setelah reformasi. Korupsi atau KKN tidak hanya terjadi di lingakaran kekuasaan pusat (Ring-1) tapi malah menyebar bak virus hingga ke daerah, dan ke birokrat level paling bawah. 

Tender-tender proyek pemerintah yang seyogyanya harus dilakukan secara transparen, adil dan jujur, bahkan diselewengkan oleh berbagai pihak demi segepok atau sekardus uang dolar Singapura atau dolar AS. Belakangan dolar Singapura dan dolar AS, menjadi favorit mata uang untuk dikorupsi. Para politisi atau yang terlibat dalam berbagai kasus korupsi memiliki sandi tersendiri. Mata uang dolar AS, yang ditulis dengan jelas ‘In God We Trust’, diganti tagline itu oleh para koruptor dengan kata-kata baru ‘In Corruption We Trust’.

Kembali ke proses seleksi hakim Mahkamah Konstitusi tadi, kita dan sebagian besar publik tampaknya menolak dan tidak setuju dengan adanya hakim yang berasal dari Partai Politik. Titik. (*)