Tampilkan postingan dengan label Australia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Australia. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Februari 2015

Koin Untuk Australia Digalang Karena Rakyat Indonesia Tersinggung

PM Tony Abbott
Setelah berbagai kisruh terkait hukuman mati yang akan Indonesia laksanakan terhadap berbagai warga luar negeri, akhirnya Ketua DPR Setya Novanto angkat bicara mengenai‎ hal tersebut. Telah ramai diperbincangkan mengenai pengumpulan koin untuk mengembalikan sumbangan Australia. Hal itu terkait pernyataan Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott yang menyinggung bantuan bencana tsunami.

Menurut Abbot, saat itu pemerintahnya menyumbang hampir Rp1 miliar dollar Australia untuk korban tsunami. Abbot menyampaikan harapannya agar Indonesia membayar kemurahan hati itu dengan membatalkan eksekusi mati terhadap Andrew Chan, 31, dan Myuran Sukumaran, 33.

Novanto memahami kekecewaan masyarakat Aceh serta rakyat Indonesia. Kekecewaan itu menjadi perhatian Novanto.‎ Politisi Golkar itu meminta Tony Abbott menyadari hukum Indonesia tidak dapat diintervensi asing.

Novanto mengungkapkan penyesalannya pada PM Abbott ini karena ini akan mengurangi kedaulatan negara di dalam bidang hukum. Jadi yang kita pikirkan supaya jangan sampai kedaulatan negara kita sendiri dicampuri oleh pihak-pihak asing khusunya pihak Australia.

Oleh karenanya, Novanto menegaskan pihaknya akan terus memantau perkembangan hukuman mati terpidana narkoba asal Australia.

Menurut Agus Hermanto pula, tak ada yang salah dari protes terhadap Australia. Tapi, dia juga mengingatkan, ketidaksukaan sebaiknya tak berlebihan.

Karena pendapat yang disampaikan oleh Abbott tersebut blunder, maka pernyataan tersebut jadi menyebabkan Indonesia tidak akan membatalkan hukuman mati warga negara Australia tersebut. Padahal seperti yang kita ketahui, hukuman mati jelas-jelas adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Oleh karena pernyataan Abbott tersebut, Indonesia justru akan merasa gengsi untuk membatalkan hukuman mati tersebut karena akan takut dikira takut dan tunduk pada kemauan Australia.


Kamis, 09 Oktober 2014

Ternyata Ini Motif Pembunuhan Mutilasi Kejam WNI di Australia

Marcus Volke dan Mayang Prasetyo
Media internasional khususnya media Indonesia dan Australia sedang dibuat geger atas terjadinya pembunuhan kejam yang menimpa Mayang Prasetyo, seorang perempuan transgender Warga Negara Indonesia (WNI), di negeri kangguru. Bagaimana tidak geger? Pembunuhan tersebut bukan sekadar pembunuhan biasa karena setelah korban dibunuh, korban dimutilasi dan dimasak! Hiiiii menyeramkan!

Setelah sempat sebelumnya simpang siur, akhirnya motif pembunuhan Mayang mulai terungkap juga. Marcus Volke, pasangan dan pembunuh Mayang, ternyata sudah sering memaksa Mayang keluar dari rumah pelacuran legal dan menjadi pekerja seks komersial (PSK) swakerja.

Ivan Gneil, pemilik rumah pelacuran Pleasure Dome di Melbourne, mengungkapkan bahwa Volke telah sering mengarahkan Mayang ke jalan sesat. "Ia kerap memaksa Mayang keluar dari rumah pelacuran legal, dan masuk ke bisnis seks ilegal dengan menjadi pelacur swakerja," terang Gneil.
Menurut keterangan Gneil, Mayang kerap menolak. Akibatnya, hubungan keduanya tak harmonis dan sering diwarnai kekerasan.

"Sekitar 18 bulan lalu, Mayang menghubungi saya dan mengatakan ingin kembali ke Pleasure Dome tapi tidak sekarang. Saya tahu ia tidak bahagia, dan saya akan senang Mayang kembali," ungkap Gneil.

Beberapa teman dekat Mayang juga mengungkapkan bahwa Volke ingin memaksa Mayang untuk mengikuti jejaknya sebagai PSK swakerja. Alasan Mayang untuk menolak hal tersebut kuat. Menjadi PSK swakerja sangat berisiko, karena tanpa perlindungan dari penipuan, kekerasan, bahkan pembunuhan.

Ternyata cerita bahwa keduanya bertemu di kapal pesiar adalah omong kosong. Demikian juga cerita bahwa Volke adalah seorang koki juga ternyata adalah omong kosong. Sebelum pindah ke Brisbane, Mayang telah bekerja di Pleasure Dome selama lima tahun.

"Selama lima tahun ia beberapa kali pulang ke Indonesia untuk waktu cukup lama, dan kembali lagi," terang Gneil.

Volke juga telah bekerja di Pleasure Dome selama dua setengah tahun. Mayang mengisi 'akuarium' transgender sedangkan Volke menghuni ruang gigolo.

"Mayang benar-benar cantik," kenang Gneil. "Saya tidak tahu Mayang dan Volke berhubungan, sampai keduanya pindah ke Brisbane tahun 2012."


Berita-berita seputar pembunuhan Mayang juga banyak yang menerima kritikan akibat pemberitaan yang menyudutkan korban. Banyak media yang mengambil perspektif menyudutkan korban baik karena korban adalah seorang transgender maupun PSK. Sempat beredar petisi di Australia untuk mengecam media Courier Mail akibat dari judul berita yang tidak sensitif korban. Portal berita tersebut pun sudah minta maaf.

Minggu, 16 Februari 2014

Kasus Penyadapan Muncul Kembali, Australia Sedot Data Telepon Indonesia dalam Skala Besar


Kasus penyadapan oleh Australia terhadap Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan pejabat-pejabat tinggi Indonesia yang sempat membuat hubungan Indonesia dan Australia memanas beberapa waktu lalu kini mencuat lagi. Menurut laporan media Australia (Canberra Times), penyadapan rupanya tidak hanya terhadap para pejabat tapi data-data dan pembicaraan telepon dalam skala luas. Penyadapan tersebut dilakukan melalui jaringan kabel bawah laut telepon Indosat. Penyadapan ini tampaknya akan membuat berang Indonesia karena sulit menerima hal itu dilakukan oleh tetangga terdekat dan dapat menjadi ganjalan dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia kedepan.

Dokumen-dokumen rahasia yang dibocorkan oleh mantan staf kontrak inteligen AS Edward Snowden yang diperoleh The New York Times memperlihatkan bahwa target penyadapan tidak hanya terduga teroris, para politisi penting republik ini, tapi sebuah penetrasi untuk mendapatkan akses yang luas terhadap jaringan telepon dan data.

Dokumen-dokumen itu memperlihatkan secara detil kerjasama antara US National Security Agency dan Australian Signals Directorate. Untuk pertama kalinya terkuak akses yang komprehensif diperoleh lembaga spionase Australia tersebut terhadap sistem komunikasi nasional Indonesia.

Menurut dokumen NSA tahun 2012, Direktorat Sinyal Australia (Australian Signals Directorate) memperoleh data telepon dalam jumlah yang sangat banyak dari Indosat, salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar Indonesia, termasuk data tentang pejabat-pejabat pemerintah di berbagai kementerian.

Dokumen tahun 2013 memperlihatkan Direktorat Sinyal Australia telah memperoleh 1.8 juta kunci master enskripsi (encrypted master keys), yang digunakan untuk melindungi komunikasi pribadi, dari Telkomsel, dan mengembangkan sebuah cara untuk melakukan decrypt atau decoding (menginterpretasi) semua data itu tanpa mengetahui master key.

Tentu ini merupakan perkembangan yang menarik. Dan lebih menarik apa isi dari data-data itu? Apakah ada data-data rahasia, pembicaraaan-pembicaraan atau komunikasi rahasia antar pejabat yang disadap? Dari kacamata hubungan diplomatis, tampaknya apa yang dilakukan oleh ASD ini sudah terlalu jauh masuk ke jaringan telekomunikasi Indonesia. Dan tentu akan memancing reaksi keras pemerintah Indonesia.

Mengomentari laporan tersebut, Perdana Menteri Australia Tony Abbott hari Minggu mengatakan pemerintahnya menggunakan materi-materi inteligen tersebut “untuk kepentingan sahabat-sahabat kami’ dan untuk “memegang teguh nilai-nilai”. Tampaknya ‘sahabat’ yang diucapkan oleh PM Australia tersebut adalah Amerika Serikat.

Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa beberapa waktu lalu mengatakan akan berbicara dengan Menlu Amerika saat kunjungannya ke Indonesia

Hubungan antara Indonesia dan Australia memburuk November tahun lalu setelah muncul laporan adanya penyadapan telepon terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, istrinya dan pejabat-pejabat Indonesia.

Pemerintah Indonesia berang, dan berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi di Kedutaan Australia. Pemerintah kemudian menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia sebagai bentuk ungkapan protes Indonesia terhadap penyadapan tersebut. Di antara suara-suara yang memprotes penyadapan tersebut, sekelompok masyarakat berharap mudah-mudahan penyadapan itu membongkar kongkalikong dan korupsi yang merajalela di lembaga-lembaga dan kantor-kantor pemerintahan.

Pemerintah Australia dan Amerika juga telah melakukan akses pembicaraan telepon dan trafik internet melalui kabel telekomunikasi bawah laut melalui Singapura. Pemerintah Australia sebelumnya menolak mengungkap operasi inteligen yang terungkap melalui dokumen-dokumen yang dibocorkan oleh Snowden.  Rupanya masalah penyadapan ini bakal berlanjut. Kita tunggu periode berikutnya. (*)

Senin, 27 Januari 2014

Pemerintah Indonesia Jadikan 'Ancaman Luar' Alasan untuk Perbesar Belanja Pertahanan?

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa ancaman dari luar (external threat) mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran untuk memperkuat sistem pertahanan. Jangan-jangan isu ‘ancaman eksternal’ ini sengaja dihembuskan sehingga ada alasan untuk meningkatkan anggaran pertahanan. Sebuah ironi saat negara ini dihadapkan dengan berbagai bencana, baik bencana alam maupun 'bencana korupsi'.

***

Melihat show-of-force dan alokasi anggaran, Pemerintah Indonesia tampaknya terus memperkuat sistem pertahanan dalam beberapa tahun terakhir. Anggaran Belanja yang dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] pun terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan lebih dari dua kali lipat anggaran untuk ke polisian.

Kapal selam
Pertanyaan publik adalah mengapa anggaran terus diperbesar? Bukankah lebih baik anggaran untuk kesejahteraan masyarakan diperbesar seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain? Apakah memang karena Presidennya berlatar belakang militer, sehingga sang Presiden tahu apa yang dibutuhkan tentara nasional kita. Atau ada motif-motif lain, misalnya untuk menjaga hubungan baik dengan pihak militer sehingga perlu diistimewahkan? Pertanyaan terakhir relevan mengingat tahun 2014 ini adalah tahun politik sehingga wajar saja bila pertanyaan semacam itu muncul.

Pertanyaan lain yang muncul di benak publik adalah apakah belanja dan sistem pertahanan diperkuat karena ancaman eksternal meningkat. Contoh saja, potensi ancaman di laut China Selatan, akibat klaim perbatasan dan wilayah yang tumpang tindih antara China, Filipina dan Vietnam?
Pesawat tempur Sukhoi

Bila kita melihat anggaran pemerintah di APBN tahun 2014 ini, anggaran untuk pertahanan memang cukup besar. Untuk tahun 2014 saja, alokasi anggaran Kementerian Pertahanan sebesar Rp83,4 triliun, dua kali lipat anggaran untuk Kepolisian sebesar Rp41,5 triliun.

Anggaran tersebut antara lain digunakan untuk memperkuat alat dan mesin-mesin pertahanan atau lebih dikenal [Alutsista atau alat utama sistem pertahanan negara], seperti pesawat tempur, kapal laut, kapal selam, helikopter dan lain-lain. Di bawah Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri Pertahanan, pemerintah tampaknya cukup agresif memperkuat alat dan sistem pertahanan.

Purnomo Yusgiantoro dalam beberapa kesempatan mengungkapkan secara terbuka rencana pemerintah untuk membeli pesawat perang. Indonesia, kata Purnomo, butuh satu skuadron Sukhoi yang terdir atas 16 pesawat, Su-30MK2 yang akan difungsikan sebagai jet tempur serang maritim. Pesawat-pesawat itu akan melengkapi 10 Sukhoi yang kini sudah dimiliki Indonesia sehingga nantinya genap menjadi satu skuadron yang ditempatkan di Pangkalan Udara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Pemerintah juga berencana membeli pesawat tempur T-50 atau light fighter buatan Korea Selatan sebanyak 16 unit (satu skuadron).

Saat Indonesia menghadapi berbagai bencana, rasanya miris saja melihat anggaran dan alokasi anggaran pemerintah untuk pertahanan tersebut. Dari sisi urgensi, justru yang diperlukan pemerintah saat ini adalah memperkuat sistem pertahanan internal agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap utuh.

Potensi ancaman terbesar kita sebetulnya datang dari dalam, bukan dari luar. Lihat saja, gerakan atau kasus penembakan misterius yang terjadi di Papua Barat. Boleh jadi ini terjadi karena ketidakpuasan masyarakat lokal, karena bumi dan sumber daya di Papua dikeruk, tapi sedikit dana yang dikembalikan untuk menyejahterahkan masyarakat. Kalaupun ada peningkatan dana yang disalurkan, seperti yang diklaim pemerintah, dana tersebut ditilep atau dikorupsi. Hanya sedikit dana yang menetes ke bawah atau dirasakan masyarakat.

Pemerintah dan DPR berargumen bahwa ancaman dari luar (external threat) mendorong pemerintah untuk meningkatkan anggaran untuk memperkuat sistem pertahanan. Jangan-jangan alasan ‘ancaman eksternal’ ini hanya dijadikan alasan untuk meningkatkan anggaran pertahanan.

Salah satu anggota DPR yang getol mendukung langkah pemerintah tersebut adalah Susaningtyas Handayani Kertopati, politisi Hanura yang membidangi komisi pertahanan, inteligen dan hubungan luar negeri. Ia mengatakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus lebih melihat ancaman dari luar (outward looking) karena telah muncul tanda-tanda meningkatnya ancaman. “Ancaman terbesar tentu saja dari Australia,” kata Susaningtyas.

Mungkin hanya segelintir saja yang mengiyakan pernyataan politisi ini. Apakah ancaman ini terkait dengan insiden baru-baru ini dimana angkatan laut australia melewati batas negara secara tidak sengaja saat menarik dan mendorong keluar para ‘boat people’(illegal immigrant) yang berusaha masuk ke Australia.

Rasa-rasanya tidak masuk akal dan sulit diterima publik bila insiden tersebut dijadikan alasan utama bagi pemerintah menggelontorkan dana hampir Rp100 triliun untuk pertahanan. Yang jelas, ancaman terbesar datang dari dalam negeri, bukan dari luar. Sehingga, perhatian pemerintah seharusnya ke dalam negeri, bukan ke luar (external threat). Publik tidak ingin dana tersebut hanya dijadikan obyek untuk dikorupsi oleh elit-elit politik di Republik ini. Masih banyak rakyat di Papua atau perbatasan Kalimantan-Malaysia atau di Timor Barat yang hingga saat ini belum mendapatkan listrik. Sebuah ironi. (*)