|
Mimpi, stres atau benaran?(karikatur oleh Robbigandamana) |
Memasuki tahun
politik 2014, ada-ada saja berita yang menggelitik muncul. Reaksi pun
bermacam-macam. Ada yang menggeleng-geleng heran, ada yang tertawa sinis, ada
yang mengkritik dan ada pula yang serius menanggapi. Salah satu contoh adalah soal
pernyataan Rhoma Irama bahwa salah satu cara untuk memakmurkan bangsa adalah “mengambil
semua konsesi asing”. Beberapa hari sebelumnya ia bahkan melemparkan wacana
untuk menggandeng Jokowi jadi pasangan calon presiden (capres) atau calon wakil
presiden (Cawapres) pada Pemilihan Umum 2014 nanti.
Tidak hanya itu, beberapa
hari sebelumnya sang raja dangdut melontarkan pernyataan untuk membubarkan
Mahkamah Konstitusi dan menggabungkan lembaga tersebut dengan Mahkamah Agung
(MA). Bagi Rhoma, eksistensi MK hanya memboroskan uang negara. Pernyataan Rhoma
pun mendapat reaksi keras dari publik. Mantan ketua MK Mahfud MD, para hakim MK
pun mengkritik balik Rhoma dengan mengatakan, raja dangdut itu perlu belajar
Undang-Undang dulu. Bahwa sebuah lembaga negara seperti MK, tidak jatuh dari
langit begitu saja, atau DPR kelewat kreatif mengarang, eh, membentuk lembaga seperti MK.
Anggota DPR Ruhut
Sitompul, yang juga sering dikritik publik karena sering melontarkan pernyataan
kontroversial dan tidak bermutu, ikut nimbrung. Ia menyarankan Rhoma agar
mengangkat juru bicara, kalau ia memang serius untuk maju menjadi cawapres.
Pertanyaannya, apa
alasan atau latar belakang Rhoma melontarkan berbagai pernyataan kontroversial,
yang kadang tidak bermutu itu, ke ruang publik? Lalu kenapa pula media baik
cetak maupun elektronik tertarik memuat berita pernyataan bang Rhoma tersebut?
Bukankah masih ada tokoh-tokoh lain yang lebih berbobot yang bisa membuat
pernyataan yang dapat mendidik publik?
Pertanyaan tersebut
tidak untuk mendapat jawaban, hanya sekadar memancing rasa ingin tahu. Tapi
jelas Indonesia saat ini ibarat panggung sandiriwara. Tokoh-tokoh dengan lakon
masing-masing dan plot masing-masing hasil kreasi sendiri atau tim dibalik panggung
masuk dan keluar panggung sesuka hati untuk menarik perhatian publik. Bukan
esensi dan pernyataan atau tindakan yang ingin ditampilkan, melainkan sekadar
ingin muncul dan terlihat di pandangan mata publik. Berbagai tokoh atau calon
tokoh publik berupaya mendapat perhatian di ruang publik.
Rhoma Irama, sang
raja dangdut, adalah salah satu yang ingin mentokohkan diri tadi. Ia memang sudah
dikenal dan terkenal di republik dangdut. Ia bahkan berupaya menjegal beberapa
penyanyi dangdut hanya karena mereka tampil sedikit terbuka dan terkesan kurang
bahan, seperti Inul Darastista. Ia berusaha menjadi ‘polisi moral’, berupaya
menentukan pakaian apa yang boleh dan tidak boleh dikenakan para penyanyi
dangdut.
Padahal moral Rhoma
Irama sendiri patut di pertanyaan. Publik tahu ia punya beberapa istri dan
pernah beberapa kali terlibat nikah siri kemudian dilepas begitu saja. Oh,
publik banyak tidak bahwa bang Rhoma pernah menjadi anggota DPR? Tidak jelas
apa yang dikerjakannya ketika menjadi anggota DPR. Sulit untuk melihat
jejak-jejak hasil karyanya ketika menjadi anggota parlemen. Tidak beda dengan
artis-artis lain yang mencoba mengadu nasib menjadi anggota DPR dengan
memanfaatkan popularitas. Substansi hasil kerja tidak penting. Hanya sedikit
mantan artis yang berhasil menunjukkan eksistensi mereka di parlemen.
Rhoma Irama, sang
raja dangdut, memang seorang figur kontroversial. Saat ramai-ramainya pemilihan
gubernur DKI, ia melontarkan isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan)
dengan mempertanyakan agama Jokowi. Berbagai upaya dilakukan untuk menjegal
Jokowi menjadi gubernur DKI. Tapi kebenaran muncul sebagai kebenaran. Yang
salah dihukum. Jokowi muncul menjadi pemenang pemilihan gubernur DKI bersama
wakilnya Basuki Rachmat (Ahok).
Saat ramai-ramainya
para pengamat membahas sumber daya alam, pertambangan, minyak dan gas bumi, dan
lain-lain, Rhoma Irama pun tidak mau ketinggalan kereta. Ia ingin tampil agar
terlihat tidak ketinggalan isu. Ia tahu isu nasionalisasi dapat dijual jelang
pemilihan umum. Ia pun melontarkan pernyataan.
"Ini juga harus
disiasati dengan komponen pertama, yakni migas misalnya, harus kita akuisi.
Kita tahu semua alam kita jadi konsesi perusahaan asing. Salah satu jalan
makmurkan bangsa ini, kita harus akuisi semua konsesi asing," kata Rhoma
Irama seperti yang dikutip Gatra.com.
Yang jelas,
Indonesia bukan negara rimba. Indonesia adalah negara modern yang menjadi
bagian dari ekonomi global. Indonesia adalah negara hukum, transaksi-transaksi
bisnis, kontrak-kontrak business dilakukan berdasarkan hukum. Dunia bisnis,
industri dan ekonomi hanya maju bila ada panglima yang menjadi pegangan
bersama, yakni hukum. Tanpa itu, ekonomi suatu negara akan menjadi seperti
hutan rimba. Siapa kuat dia yang menang. Yang besar akan menerkam yang kecil.
Tidak ada rambu-rambu yang mengawasi.
Dan Indonesia,
sebagai negara demokratis (emerging
democratic country), telah melangkah cukup jauh sejak reformasi, walaupun
belum sempurna. Indonesia masih punya pekerjaan rumah untuk membawa bangsa ini
menjadi bangsa yang besar, bangsa yang bermartabat, bangsa yang disegani dunia.
Cita-cita itu hanya bisa tercipta bila ada rambu-rambu hukum, rambu-rambu etika
dan moral yang harus dipatuhi oleh seluruh anak bangsa.
Kita tidak ingin
Indonesia menjadi negara rimba, mencaplok apa saja yang telah menjadi hak orang
lain. Isu nasionalisasi, atau mengambil semua konsesi asing di pertambangan,
blok-blok migas termasuk blok Mahakam, seperti yang dilontarkan Rhoma Irama, tidak
seharusnya dipakai sebagai barang dagangan jelang Pemilihan Umum. Semua ada
aturan mainnya, dan semua yang berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia
ini harus tunduk pada hukum yang telah diletakan oleh para pendiri bangsa. Generasi ini tidak boleh menjadi generasi yang
akan dikenang sebagai generasi penghancur bangsa, tapi harus menjadi generasi
pencipta landasan kokoh, agar Indonesia bisa terbang lebih tinggi lagi, seperti
burung rajawali. (*)