Senin, 17 Maret 2014

Pengumuman Jokowi Sebagai Calon Presiden Republik Indonesia dan Reaksi Media



Jokowi Nyatakan Kesiapannya(courtessy foto Kompas.com)
Spekulasi publik dalam beberapa bulan terakhir apakah Jokowi Widodo (Jokowi), gubernur DKI Jakarta, akan menjadi Calon Presiden (Capres) terjawab sudah. Pada hari Jumat lalu Megawati Soekarnoputri, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), secara resmi mengumumkannya ke publik. 

Jokowi secara resmi juga menyatakan kesiapannya menjadi capres di tempat yang unik yakni di Rumah Si Pitung, Marunda, Jakarta Utara. Jokowi memilih lokasi tersebut karena tempat itu dianggap sebagai simbol perlawanan. Jokowi pun menyatakan “Siap mengemban amanat rakyat” bila terpilih nanti.

Pengumuman pencapresan Jokowi jauh dari kesan megah, wah, diiringi oleh lampu kerlap-kerlip. Pengumuman tersebut hanya disertai sebuah pengumuman tulis tangan oleh Megawati, mantan Presiden Republik Indonesia, putri proklamator Bung Karno. Ada kesan sederhana, tapi cukup untuk menjawab spekulasi dan tanda-tanya publik. 

Pengumuman tersebut juga membuat peta siapa saja yang akan menjadi calon Presiden di Pemilihan Umum mendatang semakin jelas. Pencapresan Jokowi juga membuat partai-partai lain melakukan kalkulasi siapa yang akan dicalonkan bila berhak untuk mencalonkan Presiden. Apakah mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres (calon wakil presiden) sendiri atau berkoalisi dengan Partai lain? 

Perbincangan pun ramai di media-media, baik elektronik maupun media cetak. Seperti diduga, reaksi media-media pun beragam, ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang nuansa liputannya mendukung, dan ada pula yang tidak mendukung, dan cenderung mencari-cari alasan untuk menolak, menentang. Reaksi media-media seperti ini sebetulnya tidak mengherankan apabila kita melihat siapa dibalik media tersebut. Kita akan membaca mengapa media A, cenderung independen, melihat dua sisi. Kita juga bisa memahami mengapa media B cenderung menentang.

Saat ini bukan momen yang menyenangkan bagi wartawan yang masih memiliki hati nurani. Mereka menghadapi dilema antara mendengar dan menyuarakan hati nurani dan menghadapi tekanan si pemilik media. 

Sebuah media seharusnya indepeden dan merekam apa yang terjadi di masyarakat maupun di dunia birokrasi dan politik. Namun, independensi tersebut menjadi sesuatu yang mahal dan dipertanyakan saat ini mengingat media-media pun kini dikuasai oleh konglomerat dan para politisi yang juga menjadi ‘pemegang saham’ sebuah partai politik. Sebenarnya, setiap warga negara berhak memiliki perusahaan media. Tapi media tersebut harus tetap independen. Urusan redaksi diserahkan ke awak media profesional dan pemiliki media sebatas sebagai pemegang saham saja.

Posisi dan afiliasi sebuah media dapat dengan jelas terlihat ketika memuat berita politik, terutama terkait pemilihan umum. Tapi bisa juga posisi dan afiliasi tak terlihat dengan jelas karena media tersebut tidak dimiliki secara langsung oleh politisi atau konglomerat. Namun, media seperti ini akan terlihat berafiliasi dengan partai-partai tertentu dengan melihat karakter atau nuansa (tone) berita yang dimuat.

Mari kita lihat media-media nasional kita dan mereka berafiliasi dengan partai apa. 
Pertama, media-media yang berafiliasi dengan Partai Demokrat, yaitu Jurnal Nasional. Media ini memang didirikan oleh pendukung Partai Demokrat dan didesain untuk mendukung Partai Demokrat. Nah, ada juga media-media nasional yang kini berafiliasi dengan Partai Demokrat karena pemilik atau pendirinya bergabung atau jelas-jelas mendukung Partai Demokrat, yaitu media-media milik Dahlan Iskan, yaitu Jawa Pos group dan media-media mokil Chairul Tanjung, yaitu Trans TV, Trans7 dan media online detik.com.
Media-media ini memang terlihat hati-hati, tidak secara gamblang atau kasar mendukung Partai Demokrat. Media-media ini masih membuka ruang memuat berita-berita yang terkait dengan partai lain, walaupun untuk kasus-kasus tertentu terlihat bias. Dalam pengumuman pencalonan Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP, media-media tersebut masih memuatnya walaupun dalam porsi kecil. 

Dari pengamatan sebagai anggota masyarakat, TVRI terlihat memberikan porsi pemberitaan yang cukup besar terhadap Partai Demokrat. Ini tak bisa dipungkiri karena secara tradisi TVRI merupapakan televisi milik negara dan secara psikologis mendukung partai yang berkuasa. Memang dari sono-nya seperit itu.

Kedua, media-media yang berafiliasi dengan Partai Hanura. Seperti yang kita ketahui, Harry Tanoesudibjo telah bergabung dengan partai ini, setelah keluar dari Partai Nasdem, yang didirikan oleh Surya Paloh. Harry memiliki jaringan media yang cukup luas, yakni RCI, MNC TV, Global TV, Indovision (TV kabel), jaringan radi Tri Jaya, Koran Sindo dan media online Okezone.com

Menarik bahwa media-media televisi milik MNC group sedikit sekali atau hampir tidak ada berita mengenai pencapresan Jokowi pada akhir pekan lalu. Dengan kekecualian media cetak dan online. Media online Okezone.com, misalnya, dengan gencar memuat berita-berita dengan tone  negatif terkait pencalonan Jokowi.

Ketiga, media-media yang berafiliasi dan berada dibawah kendali Aburizal Bakrie, Ketua Partai Golkar, yaitu TVOne, ANTV dan Vivanews.co.id, media online serta Suara Karya dan Surabaya Post, yang juga telah diakusisi oleh keluarga Bakrie. Keberpihakan dan biasnya media sudah mulai kelihatan menjelang dan saat memasuki kampanye. Saat Jokowi diumumkan Jumat lalu, misalnya, televisi-televisi milik orang nomor satu di Golkar ini sedikit sekali memuat beritanya, dan cenderung memuat berita-berita negatif. Jokowi dilaporkan telah mengkhianati warga Jakarta.

Padahal, andaikan Jokowi dipilih jadi Presiden, dari perspektif orang Jakarta, maka akan diuntungkan. Program-program selama ini yang macet, seperti urusan pembangunan waduk dan berbagai proyek mencegah banjir, boleh jadi akan menjadi lebih efektif. Dengan kekuasaan yang lebih besar, maka hambatan-hambatan yang terjadi selama ini, termasuk ganjalan dari pemerintah pusat, dapat diatasi dengan lebih efektif.

Pengumuman pencalonan Jokowi sebagai Capres dari PDIP hanyalah sebagai contoh bagaimana media-media kini menjadi bias dan karena telah dikontrol oleh tycoons dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik tertentu. Media-media yang dimiliki oleh petinggi partai cenderung dipakai untuk mendukung partai tersebut. 

Parai-partai yang tidak memiliki media atau berafiliasi dengan media-media tertentu, seperti PDIP yang tidak memiliki media, tentu akan menghadapi tantangan yang berat. Namun, justru dengan tidak memiliki media. Namun, bila partai ini mendapat pemberitaan yang positif dari media-media yang independen, maka tentu itu akan menjadi cerminan dukungan riil dari akar rumput atau general public.

Pertanyaannya, bagaimana media bersikap dalam Pemilu? Media-media seharusnya memang independen. Karena, esensi dari sebuah media adalah menyuarakan kepentingan umum, bukan kepentingan golongan, apalagi sebuah partai. Bila media tersebut telah ‘melacurkan’ diri menjadi kuda tunggangan sebuah partai politik, maka itu sama saja dengan era Orba, dimana media-media dikontrol oleh rejim yang berkuasa. Media-media tidak bebas menyuarakan apa yang benar dan tidak benar. Kepentingan umum dan kepentingan golongan atau partai menjadi kabur, tidak jelas batas pemisahnya. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak menguntungan media itu sendiri. Boleh jadi media tersebut akan ditinggalkan oleh pembacanya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar