Sebuah Platform Migas Lepas Pantai |
Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) Mahendra Siregar mengakui ketahanan energi Indonesia masih lemah.
Ia menuturkan Indonesia mengidap ‘penyakit’ tiga L, lemah karena ketergantungan
impor bahan bakar minyak (BBM) sehingga menyebabkan transaksi berjalan defisit.
Kedua, lemah dalam ketahanan fiskal. Akibat konsumsi BBM bersubsidi yang
tinggi, ketahanan fiskal digerogoti. Ketiga, terkait ketergantungan pada harga
internasional.
Di Indonesia sendiri, ketahanan
energi masih rentan. Pasokan bahan bakar minyak (BBM) saja hanya rata-rata 21
hari. Gangguan distribusi dan suplai serta harga minyak dunia yang melonjak
mengancam ketahanan energi Indonesia dari waktu ke waktu. Persoalan ketahanan
energi kita tak hanya pada sisi hilir, tapi juga pada sisi hulu. Bahkan masalah
di sisi hulu menuntut keseriusan pemerintah untuk mengatasi persoalan di sektor
hulu migas.
Persoalan mendasar pada sisi hulu
migas adalah produksi minyak yang terus terun dalam dekade terakhir. Produksi
gas cenderung stabil tapi terancama menurun pada tahun-tahun mendatang bila tak
ada upaya keras dari pemerintha untuk meningkatkan investasi, khususnya pada
aktivitas pencarian cadangan minyak dan gas baru. Investasi untuk eksplorasi
dalam beberapa tahun terakhir tidak menggembirakan. Dan ini sudah diakui oleh
pemerintah dan pelaku industri. Salah satu masalah yang sering mengemuka adalah
iklim investasi yang tidak mendukung serta birokrasi yang njelimet sehingga terkadang menyurutkan niat dan langkah investor
migas untuk berinvestasi.
Disamping itu, investasi untuk
eksplorasi migas kian mahal dan berisiko karena sebagian besar blok Migas
Indonesia saat ini berlokasi di lepas pantai dan berada di daerah yang terpencil
(remote areas). Dibutuhkan nyali
besar para investor migas untuk berinvestasi dan keberanian untuk mengambil
risiko. Risiko investasi untuk eksplorasi memang terbilang tinggi karena
tingkat keberhasilannya Cuma sekitar 10-20 percent. Bila menemukan cadangan
minyak dan gas maka akan untung, bila tidak menemukan cadangan atau potensi
cadangan, maka uang yang telah diinvestasikan menguap a.k.a. hilang, tidak bisa
diganti atau diklaim ke pemerintah melalui skema cost recovery.
Lalu apa yang akan dilakukan oleh
pemerintah, khususnya pemerintah hasil Pemilu 2014? Kita belum banyak mendengar
pandangan para calon Presiden terkait program ketahanan energi ataupun
pandangan atau rencana mereka terhadap industri energi, khususnya minyak dan
gas. Publik sejauh ini hanya meraba-raba atau mengira-ngira kira-kira apa yang
akan dilakukan oleh pemerintah baru hasil pemilu?
Apa pandangan Partai Demokrat
terkait ketahanan energi? Sebagai partai incumbent, sebetulnya tidak sulit kita
membaca arah kebijakan Partai Demokrat. Di atas kertas, pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono menyadari pentingnya ketahanan energi bagi Indonesia. SBY,
dalam beberapa kesempatan, termasuk dalam forum APEC di Bali menyatakan
komitmen Indonesia terhadap masuknya investasi asing ke Indonesia, termasuk
investasi untuk mengembangkan sektor energi tentunya.
Kenyataannya, masih banyak
persoalan energi yang dihadapi Indonesia dibawah pemerintahan SBY, mulai dari
masih tingginya ketergantungan pada impor, investasi migas yang cenderung
melambat khususnya eksplorasi, produksi minyak yang menurun, program-program
pengembangan infrastruktur energi yang lamban. Intinya, masih ada jurang antara
rencana, komitmen, program dan kebijakan dengan kenyataan atau realitas di
lapangan. Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah
baru nanti, khususnya untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia.
PDIP sebagai partai yang pernah
berkuasa belum banyak bicara soal ketahanan energi. Bila Megawati Soekarnoputri
yang akan dicalonkan menjadi presiden dari PDIP, publik paling tidak punya
gambaran terkait kebijakan energi partai itu. Sebagai partai yang pernah
berkuasa publik punya catatan negatif terkait energi. Indonesia menjual LNG
dari Tangguh proyek ke China dengan harga murah saat Presiden Megawati
berkuasa. Bisa jadi ini akan diungkit oleh lawan-lawan politik PDIP untuk
menyerang kebijakan energi partai tersebut. Namun, bila PDIP mendorong Jokowi
menjadi calon Presiden, persepsi publik mungkin akan berubah dan ingin
mengetahui lebih jauh kebijakan energi Jokowi.
Publik juga belum banyak
mendengar mengenai program terkait energy (energy policy) partai-partai lain
seperti Golkar, PDIP, PSK, Hanura atau partai-partai lainnya. Golkar yang
diketuai oleh Aburizal Bakrie sebetulnya bukan awam terhadap masalah energi.
Beberapa anak perusahaan Group Bakrie bergerak di sektor energi seperti PT
Energi Mega Persada. Namun, Bakrie punya catatan hitam terkait energi, yakni
masalah lumpur Lapindo yang kini masih terus dipersoalkan publik. Salah satu
perusahaan afiliasi Bakrie diduga menjadi pemicu muntahnya lumpur panas Lapindo
di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebagai pebisnis yang menjadi politisi Aburizal Bakrie
mestinya sangat paham tentang pentingnya ketahanan energi. Sebagai mantan ketua
Kadin yang pro-bisnis, kita bisa menduga Bakrie akan pro-investasi. Namun,
seperti apa program Golkar terkait energi, sejauh ini masih belum jelas.
Barangkali satu-satunya calon
presiden yang memiliki visi yang jelas terkait ketahanan energi (energy
security adalah Prabowo Subianto dari Partai Gerindra. Hal ini bisa dimaklumi
karena Prabowo sendiri memiliki perusahaan energi, yakni Nusantara Energy, yang
tentu sangat paham pentingnya ketahanan energi. Prabowo tampak mengetahui dan
memahami akar persoalan energi yang dihadapi Indonesia saat ini, yakni
ketergantungan pada impor. Sementara pada sisi lain, investasi untuk eksplorasi
rendah. Karena itu, tidak mengherankan bila baru-baru ini Prabowo mengkritik
pemerintah terkait kegagalan serta rendahnya perhatian pemerintah untuk
mendorong investasi eksplorasi. Disamping itu, Prabowo juga dengan tegas
mengkritik upaya sebagian kelompok masyarakat untuk menasionalisasi aset migas.
Menurut dia, ini hanya persoalan pemahaman saja. Yang terutama adalah bekerja
untuk kepentingan nasional dan semangat nasionalisme, bukan menasionalisasi.
Kita berharap para calon presiden
dan partai-partai yang akan bertempur pada Pemilu 2014 akan menempatkan isu
ketahanan energi ini menjadi salah satu isu utama. Tentu kita berharap akan
terjadi perdebatan yang sehat, bukan manipulasi isu sekadar untuk menarik
simpati publik. Ketahanan energi adalah isu yang sangat penting bagi kemajuan
bangsa. Tanpa itu, ekonomi Indonesia dapat terancam dari waktu ke waktu.
Profil
Kebijakan Energi Para Calon Presiden:
Prabowo
Subianto (Gerindra)
Prabowo Subianto: Prabowo
Subianto baru-baru ini mengatakan dia tidak setuju dengan nasionalisasi aset
migas (gaya Chaves). Seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo
tampaknya mendukung investasi asing untuk mempertahankan produksi minyak dan
gas, namun, berbeda dengan Presiden Yudhoyono, Prabowo ingin fokus pada
investasi untuk eksplorasi migas. Prabowo mengkritik kegagalan pemerintah saat
ini untuk mendorong investasi untuk eksplorasi migas.
Poin
Kebijakan Energi: 8/10
Aburizal
Bakrie (Golkar)
Aburizal Bakrie, seorang pelaku
bisnis melalui group Bakrie, yang kemudian terjun ke politik tampaknya akan
pro-bisnis dan pro-investasi. Maksudnya, kepentingan bisnisnya kemungkinan akan
diprioritaskan. Investor bisa jadi akan nervous
bila Bakrie menjadi presiden, yang sejauh ini kemungkinannya (menjadi presiden)
kecil. Golkar kemungkinan akan berjuang untuk fokus pada pemilihan parlemen
(legislative election) agar tetap bisa menjaga keseimbangan politik seperti
yang dilakukan saat ini. Namun, Bakrie sebagai pelaku bisnis punya catatan
buruk yakni terkait kasus lumpur Lapindo.
Poin
Kebijakan Energi: 3/10
Megawati
Soekarnoputri (PDIP)
Saat ini PDIP belum menetapkan
siapa yang bakal menjadi calon Presiden partainya. Kita asumsikan ketua partai
Megawati Soekarnoputri masih berpeluang untuk dicalonkan. Siapapun yang akan
dicalonkan pengaruh Megawati masih akan besar. Namun, publik punya catatan
terhadap Megawati. Saat menjadi Presiden, Mengawati dihadapkan pada tantangan
berat yakni melakukan reformasi birokrasi dan menghapus praktik-praktik korupsi
yang telah merajalela, termasuk di sektor minyak dan gas bumi. KPK pun
dibentuk. Tapi ia dinilai gagal.
Nilai
Kebijakan Energi: 2/10
Joko
Widodo (PDIP & Dijagokan oleh
Partai-Partai Lain)
Jokowi saat ini menjadi tokoh
yang disukai oleh publik dan menjadi media darling. Peluang Jokowi menjadi
Presiden sangat besar, dengan catatan Megawati tidak ego dan menghalangi jalan
Jokowi menjadi Presiden. Walaupun prestasi yang dicapainya dalam waktu singkat
saat menjadi Gubernur DKI Jakarta mengagumkan, prestasi Jokowi di tingkat
nasional belum terbukti dan belum diketahui pandangan dan kebijakan dia terkait
industri minyak dan gas.
Nilai
Kebijakan Energi: ?/10
Hatta
Rajasa (Partai Amanat Rakyat)
Hatta Rajasa merupakan mantan
menteri perhubungan yang memiliki catatan buruk. Cukup banyak kecelakaan pesawat,
kerita api dan ferry saat ia menjadi menteri perhubungan. Namun, kedekatannya
dengan Presiden SBY (melalui ikatan perkawinan, putrinya menikah dengan salah
satu putra SBY) membuat Hatta tetap dipertahankan menjadi menteri dan bahkan
menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. Catatan buruk saat ia menjadi menteri
perhubungan dan dukungannya terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi untuk
membubarkan BPMIGAS dan pandangan nasionalisme ekstrim PAN terhadap industri minyak dan gas akan membuat
investor nervous. Melihat posisi PAN,
kemungkinan Hatta akan menjadi calon Wakil Presiden.
Nilai
Kebijakan Energi: 1/10
Incumbent:
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Partai Demokrat belum menetapkan
siapa yang bakal menjadi calon Presiden dari Partai itu. Namun, publik paling
tidak memiliki catatan terhadap berbagai kebijakan, program dan realisasi
program pemerintah terkait kebijakan energi. Presiden SBY terlihat
pro-investasi energi dan pro-bisnis. Namun,
SBY gagal meningkatkan investasi eksplorasi migas dan produksi minyak cenderung
turun. Ketergantungan impor minyak tinggi. Ada jurang antara rencana dengan
realitas di lapangan. Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh
pemerintah baru nanti, khususnya untuk meningkatkan ketahanan energi Indonesia.
Nilai
Kebijakan Energi: 3/10
Wiranto
(Hanura)
Hanura telah mendeklarasikan
Wiranto sebagai calon Presiden berpasangan dengan Harry Tanoesudibyo sebagai
wakil Presiden. Kebijakan energi Wiranto belum kelihatan jelas, namun,
kemungkinan dia akan pro-bisnis dan pro-investasi. Bergabungnya Harry Tanoe ke
Hanura paling tidak akan sedikit banyak berpengaruh pada kebijakan Wiranto bila
ia menjadi Presiden. Harry Tanoe merupakan pemilik MNC group, sebuah
konglomerasi bisnis yang bergerak di media dan industri lainnya, termasuk
minyak dan gas bumi melalui Bhakti Group.
Nilai kebijakan Energi: 5/10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar