Senin, 28 Oktober 2013

Kontrak Blok Migas Indonesia, Antara Kepentingan Negara dan BUMN Migas


Beberapa blok minyak dan gas akan habis masa berlakunya dalam 1 hingga 5 tahun kedepan, termasuk Blok Siak, Blok Mahakam, Blok ONWJ (Offshore NorthWest Java) dan beberapa lainnya. Saat ini pemerintah sedang melakukan evaluasi dan studi mendalam. Ditengah situasi ini ada desakan di masyarakat agar blok-blok migas tersebut dikembalikan ke negara untuk kemudian diserahkan ke BUMN Migas Pertamina. Ada kesan Pertamina disamakan dengan negara. Pantaskan negara disamakan dengan sebuah BUMN?

Jawabannya sederhana dan singkat: Negara tidak sama dengan sebuah korporasi. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1954, bumi, air dan segala isinya merupakan milik negara dan dikelola untuk kemakmuran sebesar-besarnya masyarakat Indonesia. Jelas disini yang dimaksudkan oleh Konstitusi adalah negara merupakan penguasa atas sumber daya alam. Negara punya tanggungjawab untuk memastikan bahwa sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dikelola dengan baik agar memberikan hasil maksimal demi meningkatkan kemakmuran rakyat.

Lalu bagaimana dengan perusahaan milik negara seperti, PT PLN, PT Pertamina, PT Garuda Indonesia, Telkom atau PT Jasa Marga?. Apakah perusahaan BUMN identik dengan negara? Jawabannya TIDAK. Sebuah korporasi, termasuk perusahaan BUMN, memiliki tanggungjawab terbatas sesuai dengan misi didirikannya BUMN tersebut oleh pemegang saham (pemerintah). Sebuah BUMN menjalankan roda usaha untuk kepentingan pemegang saham, dalam hal ini pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk publik.

Negara tidak bisa direduksi menjadi sebuah BUMN. Kepentingan negara tidak bisa direndahkan martabatnya menjadi kepentingan sebuah BUMN. Karena itu, negara tidak bisa disamakan dengan BUMN. Sangat menggelikan bila ada beberapa pihak yang mengklaim kepentingan BUMN sama dengan kepentingan negara. Contoh sederhana, bisa kita lihat pada tulisan-tulisan beberapa pengamat, LSM atau komentar pembaca pada berita-berita, baik cetak maupun online. Contoh, “Bila pemerintah tidak memberikan Blok X (Blok Siak, Mahakam, dll) ke perusahaan milik pemerintah, atau perusahaan nasional, maka pemerintah tidak nasionalis, tidak pro-rakyat.” 

Bagi pemerintah, persoalannya bukan soal diserahkan ke si A, B, atau C. Tapi, apakah sebuah blok migas dapat berproduksi secara maksimal atau tidak. Apakah operator dapat memberikan hasil atau kontribusi yang maksimal bagi negara. Kepentingan negara di atas kepentingan perusahaan.

Lebih menggelikan lagi, ada sekelompok warga masyarakat yang mengancam merdeka, bila blok migas tidak diberikan ke BUMN migas. Bagi pelaku industri migas, pernyataan-pernyataan seperti ini terkesan aneh, awkward dan tidak memahami keberadaan industri migas. Pertanyaan lain, rakyat mana yang mereka wakili? Boleh jadi kelompok-kelompok masyarakat yang bersifat musiman ini punya kepentingan tersendiri. Situasi ini tidak mengherankan apalagi tahun ini dan tahun depan adalah tahun politik. Isu apa saja dapat dipolitisasi untuk kepentingan kelompok masyarakat tertentu.
Pemerintah, sesuai dengan amanat Konstitusi, merupakan penguasa dan pemegang kendali atas sumber daya. Perusahaan, entah BUMN, swasta nasional atau asing, ditunjuk pemerintah untuk mengembangkan dan mengelola sumberdaya alam yang ada, termasuk, minyak dan gas bumi, agar dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Perusahaan berfungsi sebagai 'tukang kebun' untuk mencangkul, sementara pemilik kebunnya adalah pemerintah dan rakyat Indonesia.

Dalam konteks ini, tepat bila pemerintah, dalam memutuskan apakah sebuah blok minyak dan gas bumi diperpanjang atau tidak, yang menjadi pertimbangan utama adalah asas manfaat bagi negara. Bukan asas manfaat bagi sebuah perusahaan. Bila sebuah blok migas dikelola oleh perusahaan swasta (lokal atau asing) dapat mengoptimalkan produksi, maka hak pengelolaan blok tersebut bisa saja diperpanjang. Bila produksi blok tersebut dinilai tidak maksmimal oleh pemerintah, bisa saja blok tersebut tidak diperpanjang.

Kewenangan penuh berada pada pemerintah, bukan pada BUMN Migas. Pemerintahlah yang punyak hak, tanggungjawab dan kewenangan untuk membuat keputusan mana yang terbaik bagi negara, bukan mana yang terbaik bagi sebuah BUMN.  Publik berharap pemerintah akan membuat keputusan terbaik terkait kontrak pengembangan blok-blok migas yang masa kontraknya akan berakhir. Rencana pemerintah untuk membuat peraturan terkait perpanjangan kontrak blok-blok migas yang masa kontraknya segera berakhir patut diapresiasi. Peraturan tersebut dapat memberikan kepastian kepada operator blok-blok migas, maupun memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah dalam membuat keputusan.

Salah satu pertimbangan yang perlu diperhatikan pemerintah adalah terkait ketahanan energi dan pemenuhan kebutuhan minyak dan gas dari dalam negeri. Dalam membuat keputusan perpanjangan atau tidak pada sebuah blok, pertanyaan pokok yang dimunculkan adalah apakah produksi sebuah blok dapat dimaksimalkan oleh operator lama (existing) atau tidak? Bila ya, bisa dipertimbangkan untuk diperpanjang. Bila jawabannya tidak, maka patut dipertimbangkan untuk tidak diperpanjangan.

Yang jelas, kedepan kebutuhan energi dalam negeri dipastikan akan terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi. Minyak dan gas bumi berperan penting untuk mendukung aktivitas industri dan masyarakat. Maka penting bagi pemerintah utk menjaga suplai gas bumi terjamin baik dari proyek-proyek gas bumi yg sudah berproduksi, termasuk lapangan Grissik di Sumatera (ConocoPhillips), blok Tangguh yang dikelola oleh BP dan mitra-mitranya, Blok Masela (Inpex dan Shell), proyek Senoro (Medco dan mitranya) maupun Blok East Natuna oleh Pertamina & mitranya. Untuk Blok Mahakam, penting bagi Pemerintah utk menjamin kelanjutan produksi, karena itu dapat dimengerti bila pemerintah saat ini mempertimbangkan untuk mempertahankan operator lama sambil mengakomodasi masuknya pemain baru, dalam hal ini BUMN Migas, Pertamina. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar