Tampilkan postingan dengan label Chevron. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Chevron. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 Februari 2014

Tingkatkan Eksplorasi, Solusi Jangka Panjang Kurangi Ketergantungan Indonesia Terhadap Impor Minyak


Dalam sebuah seminar tentang teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) hari ini, para insinyur mengingatkan kembali kondisi industri minyak dan gas bumi Indonesia yang mengkhawatirkan. Yang paling dikhawatirkan adalah cadangan minyak yang kian menipis. Produksi minyak terus menurun, sementara tidak ada tambahan cadangan baru yang signifikan. Bila tidak ada tambahan cadangan maka, produksi minyak hanya akan bertahan hingga 10 tahun kedepan.

Apa konsekuensinya?  Pertama, Indonesia akan bergantung 100 persen terhadap impor minyak. Saat ini konsumsi minyak Indonesia mencapai sekitar 1,5 juta barel per hari (bph), sementara produksi dalam negeri hanya sedikit di atas 800.000 bph. Akibatnya, Indonesia mengimpor sekitar 500.000-600.000 bph. Kabar buruknya, volume impor diperkirakan akan terus naik karena permintaan dalam negeri terus meningkat, sementara produksi turun.

Produksi gas bumi memang masih cenderung stagnan, namun pada titik tertentu nanti akan berkurang. Disamping itu kondisi blok-blok migas Indonesia sebagian besar memasuki usia tua, seperti blok milik Chevron di Riau sera Blok Mahakam yang dioperasikan Total E&P di Kalimantan Timur. 

Melihat kondisi ini, tepat apa yang diingatkan oleh para insinyur tersebut untuk menerapkan teknologi EOR sebagai upaya mempertahankan produksi minyak dari blok-blok tua. Saat ini antara lain telah diterapkan oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) di lapangan tua Minas, Riau. Ada beberapa perusahaan migas juga sedang melakukan uji coba di beberapa lapangan migas. Penerapan teknologi dan investasi yang besar akan menentukan produksi blok-blok migas tua (ageing) dalam tahun-tahun mendatang.

Ironisnya, saat produksi minyak turun, pemerintah tetap memanjakan masyarakat dengan memberi subsidi BBM. Ratusan triliun dialokasikan setiap tahun untuk subsidi BBM. Masalahnya, subsidi BBM selama ini lebih banyak dimanfaatkan oleh konsumen kelas menengah atas serta industri besar. Banyak penyalahunaan subsidi BBM terjadi, tapi pemerintah tampak kesulitan mencegah terjadinya pelanggaran.

Tidak heran bila Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani hari ini berteriak bahaya subsidi BBM yang terlalu besar. Tantangan ekonomi Indonesia terbesar saat ini, katanya, adalah berkaitan erat dengan ketahanan energi. Ya, Ketahanan Energi. Pasalnya, di tengah penurunan produksi minyak mentah setiap tahun, kebutuhan terhadap minyak justru bergerak naik.

“Uang kita habis untuk BBM (bahan bakar minyak) subsidi. Harus ada efforts yang sistematis," ujarnya.

Tidak ada resep rumit untuk mengatasi penurunan produksi minyak dan gas bumi. Pemerintah sudah tahu persoalan utama, yakni lemahnya aktivitas eksplorasi migas. Mengapa? Penyebabnya, antara lain, ketidakpastian hukum dan usaha, birokrasi yang rumit sehingga investor enggan melakukan eksplorasi. Disamping itu, insentif eksplorasi yang dijanjikan pemerintah, khususnya untuk eksplorasi laut dalam, belum juga dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal masih banyak cekungan bumi yang belum eksplorasi.

Oleh karena itu, kita menyambut positif rencana beberapa perusahaan migas dunia untuk melakukan eksplorasi dalam waktu mendatang. Diantaranya, ENI, perusahaan minyak raksasa asal Italia, yang mengumumkan akan segera memulai eksplorasi di laut Makassar, lepas pantai Kalimantan Timur.

Disamping itu, Total E&P Indonesie juga diberitakan hari ini bahwa perusahaan asal Perancis itu akan mengalokasikan dana US$100 juta untuk eksplorasi di laut Mentawai, lepas pantai Sumatra Barat. Dana tersebut merupakan bagian dari rencana investasi tahunan Total, yakni sebesar US$2.4 miliar. Eksplorasi di Kepala Burung di Papua Barat sejauh ini belum memberi hasil positif. Kini perusahaan asal Perancis itu akan beralih ke Mentawai. Sebagian besar dana investasi tersebut akan dialokasikan untuk melakukan eksplorasi di Mentawai.

Masih ada perusahaan-perusahaan migas lain lagi yang saat ini atau di waktu mendatang akan melakukan eksplorasi. Langkah atau investasi untuk eksplorasi migas merupakan kunci peningkatan cadangan minyak Indonesia yang saat ini hanya sejumlah 3,7 miliar barel. Tanpa adanya tambahan cadangan, maka cadangan tersebut bakal habis dalam 10-12 mendatang. Karena itu, generasi ini bertanggungjawab untuk melakukan eksplorasi yang manfaatnya mungkin baru akan dirasakan oleh generasi berikutnya.

Kita berharap pemerintah terus meningkatkan iklim investasi dan menjamin kepastian usaha, sehingga investor migas tertarik untuk investasi di industri migas Indonesia. Menariknya, sebagian besar yang melakukan eksplorasi di lepas pantai serta laut dalam saat ini adalah perusahaan multinasional. Hal ini masuk akal karena kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan yang berisiko. Tingkat keberhasilannya hanya antara 10-30 persen. Artinya, risiko tidak menemukan cadangan lebih besar.

Mendorong eksplorasi migas harus menjadi program energi utama pemerintah. Tanpa ada cadangan baru, Indonesia bakal menghadapi krisis energi yang akut. Dan tidak ada yang menginginkan hal itu terjadi. (*)

Rabu, 27 November 2013

Pemerintah Indonesia Belum Bersikap, Blok Siak di Persimpangan Jalan



Pompa Angguk (sumber: Infoduri)
Hari ini, 27 November 2013, merupakan hari yang penting bagi Blok Siak yang terletak di Riau, Sumatera. Kontrak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) untuk mengelola blok tersebut berakhir. Namun, hingga detik ini pemerintah Indonesia belum menentukan apakah memperpanjang atau tidak kontrak CPI mengelola blok minyak tersebut. 

Mengapa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terkesan tidak berani mengambil keputusan dan membiarkan waktu terus berlalu hingga batas akhir? Apakah hal ini terjadi akibat banyaknya lobi-lobi politik di belakang layar untuk mempengaruhi pemerintah dalam mengambil keputusan? Siapa saja yang bermain di belakang layar? Siapa bakal menang? Apa yang terjadi berikutnya setelah tenggat waktu hari ini lewat? 

Banyak pertanyaan yang mungkin muncul di benak publik terkait nasib Blok Siak tersebut, namun, belum tentu akan mendapatkan jawaban yang pas dan memuaskan. Sebagian besar masyarakat mungkin hanya menduga-duga apa yang terjadi. Di atas permukaan mungkin terlihat hanya riak-riak kecil, tapi di bawah permukaan terjadi tarik-menarik berbagai kepentingan. Welcome to the jungle!.

Bila kita melihat Blok Siak, sebetulnya blok ini tidak signifikan dilihat dari kontribusi produksi minyak nasional. Produksi Blok Siak per akhir Desember berkisar antara 1.600 hingga 2.000 barel per hari (bph). Tidak signifikan bila melihat total produksi CPI sekitar 320,000 barel per hari (dibawah target 326,000 bph). Hingga saat ini, Chevron masih menjadi produsen minyak terbesar di Indonesia.

Walaupun produksi Blok Siak kecil, blok ini dianggap strategis bagi CPI karena blok Siak mendukung Blok Rokan, yang dioperasikan oleh CPI. Bagi CPI, integrasi pengelolaan kedua blok tersebut sangat diperlukan agar produksi blok Rokan dapat dioptimalkan.

CPI sendiri mulai mengelola Blok Siak sejak September 1963. Ketika itu, CPI masih bernama PT California Texas Indonesia.  CPI telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak 2010, namun, hingga saat ini belum diputuskan pemerintah.  Selain CPI sebagai exising operator yang tertarik memperpanjang pengelolaan blok Siak, ada beberapa perusahaan lain yang terus melakukan lobby kepada pemerintah agar blok tersebut diberikan ke pihak lain.

Dua perusahaan yang terang-terangan tertarik untuk mengelola Blok Mahakam adalah PT Bumi Siak Pusako, perusahaan milik pemerintah daerah, serta PT Pertamina. 

Belakangan rumor pun bermunculan, para pengusaha menggunakan lobi-lobi politik dan melibatkan petinggi-petinggi pemerintah untuk mendesak pemerintah agar Blok Siak tidak diperpanjang. Ada pelobi yang masuk melalui SKK Migas, ada yang masuk melalui pintu ESDM, ada yang masuk melalui Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Tidak heran, Menteri ESDM Jero Wacik pun tidak berani mengambil keputusan. 

Pemerintah terkesan ragu-ragu dan tidak berani mengambil risiko mengambil keputusan. Industri minyak dan gas merupakan industri yang strategis karena menyumbang 25 persen pendapatan ke negara (APBN). Industri migas juga merupakan salah satu motor penting pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. 

Keputusan kontrak Blok Siak kini berada di tangan Menteri ESDM Jero Wacik. Hingga saat ini Jero Wacik belum memberikan keterangan. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Edy Hermantoro mengatakan untuk sementara CPI tetap mengoperasikan Blok Siak hingga pemerintah membuat keputusan.

Kasus Blok Siak yang kontraknya masih terus digantung hingga hari terakhir kontrak, seharusnya langsung diambilalih Presiden dan membuat keputusan tegas. Pemerintah sudah punya parameter dalam memperpanjang sebuah blok migas, tidak tunduk begitu saja pada tekanan-tekanan berbagai kelompok masyarakat. 

Boleh jadi, pemerintah dibuat galau oleh begitu banyaknya bisikan, tekanan, sementara pemerintah sendiri terkesan takut mengambil risiko. Salah membuat keputusan bisa-bisa menjadi sasaran empuk lawan politik, apalagi menjelang Pemilu 2014. Kasus blok Siak bisa juga menjadi kesempatan emas bagi Kementerian Energi dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil sikap tegas, walaupun keputusan tersebut mungkin tidak popular, tapi strategis dan penting bagi negara.

Kemungkinan lain mengapa pemerintah menunda keputusan hingga batas akhir lewat, karena peraturan terkait perpanjangan sebuah blok Migas yang kontraknya berakhir masih belum final. Bisa jadi, pemerintah tidak mau mengambil risiko dengan membuat keputusan. Pemerintah mungkin membutuhkan sebuah payung hukum yang akan menjadi landasan dan pegangan bagi pemerintah dalam membuat keputusan terkait perpanjangan Blok Siak maupun blok-blok migas lainnya yang kontraknya akan berakhir, termasuk Blok Mahakam, yang kontraknya berakhir tahun 2017. 

Kita berharap penundaan tersebut tidak akan terjadi pada Blok Migas raksasa, Blok Mahakam. Blok Mahakam tergolong blok tua karena sudah 40 tahun berproduksi. Sekitar 80 persen cadangan migas telah berproduksi dan masih ada sisa 20 persen. Sisa cadangan tersebut akan semakin sulit diproduksi karena tekanan sumur-sumur sudah melemah. Material yang terangkat juga sudah bercampur lumpur dan air, sehingga harus memisahkan berbagai elemen tersebut. Apalagi kondisi blok yang berada di daerah rawa-rawa dengan reservoir kecil-kecil dan tersebar, sehingga menyulitkan proses produksi. 

Blok Mahakam tergolong blok yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi, sehingga dibutuhkan operator yang memiliki kemampuan, pengalaman, teknologi dan komitmen investasi besar agar blok tersebut terus berproduksi. Untuk konteks Blok Mahakam, pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh, opsi apa yang akan diambil pemerintah. Pemerintah perlu mempertimbangkan segala aspek termasuk aspek optimalisasi produksi, risiko, kontribusi bagi negara, investasi, teknologi dalam memutuskan operator. 

Saat ini pemerintah sedang menggodok peraturan tentang perpanjangan blok migas. Diperkirakan isinya menyangkut parameter yang dipertimbangkan pemerintah, masa transisi, dan sebagainya. Mudah-mudah peraturan tersebut segera terbit, sehingga pemerintah dapat segera membuat keputusan terkait blok migas yang kontraknya segera berakhir, yakni Blok Siak, Blok Mahakam, dan lainnya. Untuk blok Mahakam, waktu yang ideal membuat keputusan adalah tahun 2013 ini, karena tahun 2014 pemerintah sudah sibuk dengan agenda politik, sehingga dikhawatirkan pemerintah tidak berani membuat keputusan. (*)

Kamis, 15 Agustus 2013

Kernel Oil, Mafia Minyak dan Clean Governance


Masyarakat berharap kasus gratifikasi yang melibatkan mantan kepala SKKMigas dan pemberi gratifikasi oknum Kernel Oil menjadi pintu masuk bagi KPK untuk melakukan investigasi mendalam terkait praktik-praktik tak terpuji di industri trading minyak. 

 ---------------------------------------------------------------------


Nama perusahaan Kernel Oil Pte Ltd, perusahaan yang berbasis di Singapura, mendadak tenar di Indonesia sejak sejak mantan kepala SKKMigas Rudi Rubiandini ditangkap KPK dini hari kemarin. Salah satu petinggi cabang Kernel Oil di Jakarta ditetapkan sebagai salah satu tersangka kasus gratifikasi, dengan tersangka utama mantan kepala SKKMigas tersebut.
Apa dan bagaimana kasus gratifikasi tersebut, hingga saat ini masih didalami KPK. Yang pasti, industri migas kembali terguncang. Disamping itu, kasus tersebut seolah membuka kotak pandora kelamnya bisnis trading atau impor-ekspor minyak, yang selama ini masyarakat hanya mencium baunya saja.

Kasus penangkapan mantan kepala SKKMigas tersebut membuat shock banyak orang. Para pejabat elit, menteri, teman-teman dekat Rudi Rubiandi, para pelaku industri migas mengekspresikan kekagetan mereka karena selama ini, Rubiandini dikenal sebagai pribadi yang cerdas, ramah, jujur dan rendah hati.

Latar belakangnya sebagai dosen teladan ITB diharapkan akan membawa perubahan banyak tidak hanya dalam upaya SKKMigas dan pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak dan gas di tanah air, tapi juga untuk meningkatkan clean governance di lembaga SKKMigas, sebuah lembaga baru yang menggantikan BPMIGAS.

Media-media juga mempotretkan sosok Rubiandini sebagai sosok yang cerdas dan pekerja keras. Ia terjun langsung ke lapangan/blok migas. Ia juga mewakili SKKMigas ketika menandatangani pakta integritas dengan KPK, sebagai bukti komitmen SKKMigas untuk menerapkan clean governance di lembaga tersebut.

Banyak yang bertanya-tanya dan tidak percaya mantan Kepala SKKMigas tersebut terpeleset, terjerembab akibat kasus gratifikasi tersebut. Karirnya yang cemerlang dari seorang dosen, naik hingga menjadi petinggi SKKMigas berjalan dengan cepat dan mulus. Mulai dari Presiden SBY, Menteri ESDM, Jero Wacik, kolega Rudi dan pelaku industri migas, menyatakan kekagetan mereka.

Siapa sangka, hanya dalam hitungan hari, karirnya meredup ke jurang yang paling dalam. Apakah latar belakangnya sebagai seorang dosen lugu, tidak tahan dengan tekanan gratifikasi dan praktek-praktek kotor perdagangan minyak di tanah air? Untuk ini, kita serahkan ke KPK untuk menuntaskan kasus tersebut.

Lalu bagaimana dengan Kernel Oil?

Dari websitenya dan website lowongan kerja, terlihat bahwa perusahaan tersebut didirikan di Singapura 2004 lalu dengan bisnis utama sebagai perusahaan perdagangan minyak mentah dan produk-produk turunan minyak.

Pusat kantor Kernel Oil berada di 7500A Beach Road #10-318/321, The Plaza Singapore. Sementara di Indonesia, kantor Kernel Pte Ltd bernama PT KOPL Indonesia, berada di Equity Tower Lantai Ke-35 B, SCBD lot 9, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53 Jakarta.
Kernel Oil Pte Ltd bergerak di bidang perdagangan produk-produk turunan minyak seperti bensin, minyak gas, bahan bakar, minyak dasar, aspal, minyak mentah dan kondensat, gas, nafta, minyak tanah, minyak pelumas, dan residu.

Kernel Oil juga mensuplai cairan gas alam, seperti gas petroleum cair, etana, petrokimia, nafta, kondensat, produk non bahan bakar seperti green coke, calcined coke, lilin parafin, lilin kendur, aromate berat, dan sulfur, produk petrokimia, seperti Polytam, purified terephthalic acid, paraxylene, benzene, propilena, dan produk kimia.

Walaupun baru berdiri tahun 2004, operasi Kernel Oil telah menjangkau kawasan Asia Timur (seperti China dan Jepang) dan Timur Tengah seperti Teluk Persia, Mediterania, dan Afrika Barat. Di Indonesia, PT KOPL Indonesia bertindak sebagai trader yang mencari minyak mentah maupun bahan bakar minyak (BBM) untuk di ekspor ke luar negeri.

Menariknya, ternyata Kernel Oil juga masuk dalam daftar peserta lelang Petral, anak perusahaan Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan minyak mentah/crude oil. Petral merupakan importer utama crude oil yang masuk ke Indonesia.

Kernel Oil Pte Ltd termasuk salah satu pemasok yang sering memenangkan tender Premium Petral, selain Arcadia Group Ltd, Total SA, Glencore International Plc, Vitol Holding BV, Concord Oil Co Inc, Verita Oil Inc, Gunvor Group Ltd.

Beberapa media nasional seperti Tempo sudah beberapa kali mengangkat kartel perdagangan minyak/impor minyak ke Indonesia. Petral adalah anak perusahaan PT Pertamina yang mempunyai tugas melakukan ekspor dan impor minyak. 

Banyak analis menyebutkan Petral adalah perusahaan sarang korupsi. Praktek rent-seeking economy terjadi di dalam anak perusahaan Pertamina ini. Berbagai kontroversi juga menyeruak terkait kehadiran Petral khususnya ketika dihubungkan dengan praktek mafia minyak dan gas di Indonesia.
 


Berita bahwa Kernel Oil diduga terlibat pemberian gratifikasi ke mantan kepala SKKMigas bagi sebagian orang bukan sesuatu yang mengejutkan. Bisa jadi, praktik-praktik seperti sudah normal di bisnis trading minyak. Mental ingin cepat dapat uang boleh jadi membuat trader minyak menghalalkan segala cara untuk memenangkan tender.

Bisnis trading minyak memang menggiurkan, karena tidak usah berinvetasi ratusan juta dolar untuk melakukan eksplorasi, mencari minyak dan membangun fasilitas produksi ratusan juta dolar untuk menghasilkan produk minyak dan gas.

Perusahaan-perusahaan migas yang mau mengambil risiko berinvestasi untuk eksplorasi maupun untuk memproduksi minyak dan gas di tanah air patut mendapat apresiasi seperti yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan migas dunia seperti Total E&P Indonesia, BP, ExxonMobil, Chevron atau Inpex. Penting bagi Indonesia untuk tetap menciptakan iklim investasi yang kondusif di industri migas agar investor migas nyaman berinvestasi di Indonesia.

Kita berharap, kasus gratifikasi yang melibatkan mantan kepala SKKMigas dan pemberi gratifikasi oknum Kernel Oil menjadi pintu masuk bagi KPK untuk melakukan investigasi mendalam terkait praktik-praktik tak terpuji di industri trading minyak. 
Pemerintah perlu kembali mengkampanyekan pentingnya implementasi clean governance di industri minyak dan gas agar isu clean governance tidak hanya sebatas di atas kertas, tapi betul-betul dipraktik di lapangan. Mungkin Indonesia perlu belajar dari perusahaan-perusahaan minyak yang punya reputsai bagus. Semoga. (*)


Selasa, 04 Juni 2013

Harga BBM Bersubsidi & Produksi Migas



Hari-hari ini media, baik cetak, audiovisual maupun online, ramai memberitakan perdebatan terkait rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Bila tidak ada aral melintang, kenaikan tersebut bakal dilakukan minggu ke-3 bulan Juni, jelang Lebaran.

Pemerintah beralasan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bakal jebol bila pemerintah terus menggelontorkan subsidi BBM, karena itu subsidi harus dibatasi dengan konsekuensi menaikkan harga BBM bersubsidi.


Bila melihat harga BBM bersubsidi, memang sudha jauh berada di bawah harga pasar dan BBM industri. Saat ini BBM bersubsidi dipatok pada tingkat Rp4.500 per liter untuk premium, jauh di bawah harga BBM industri sebesar Rp9.300 per liter. Akibatnya, mengundang penyelundupan dan pemanfaatan BBM subsidi yang tidak tepat.

Idealnya, subsidi diberikan kepada yang membutuhkan, seperti untuk transportasi umum, kebutuhan nelayan dan masyarakat kecil. Namun, yang terjadi, kelompok masyarakat menengah ke atas, yang seharusnya dapat membeli BBM dengan harga pasar, ikut menikmati harga BBM bersubsidi.

Bila kita melirik harga BBM ke negara-negara tetangga, harga BBM kita juga jauh di bawah. Misalnya, harga BBM dengan Ron 90 (premium) sebesar Rp4.500, sementara di Vietnam, untuk RON 92 seharga Rp15.553, Laos Rp13.396 dan Kamboja Rp13.298.

Ada yang mengatakan juga bahwa harga BBM bersubsi yang murah saat ini menghambat upaya pengembangan energi terbarukan.

Masyarakat juga sudah sepertinya dimanjakan oleh pemerintah dengan harga BBM yang disubsidi, padahal Indonesia bukan negara eksportir minyak. Indoensia sudah sejak pertengahan 2000, keluar dari anggota OPEC setelah Indonesia beralih menjadi negara pengimpor minyak. Produksi minyak Indonesia terus turun dari puncaknya 1,6 juta barel per hari tahun 1995 hingga menjadi 850,000-900,000 saat ini.

Banyak alasan mengapa produksi minyak saat ini terus menurun, antara lain, berkurangnya investasi untuk explorasi minyak, lapangan yang berproduksi sudah tua (ageing), berbagai hambatan teknis perizinan serta iklim investasi yang kurang kondusif.

Contoh nyata adalah terlambatnya produksi puncak Blok Cepu yang sedianya tercapai tahun 2013, tapi tampaknya tertunda hingga tahun 2014 atau 2015. Padahal, blok Cepu dapat memproduksi minyak hingga 165,000 barel per hari saat puncaknya nanti. Namun, terhambat oleh berbagai masalah teknis seperti perizinan lokasi fasilitas produksi dan pembebasan lahan.

Baru-baru ini juga kita menyaksikan salah satu pemerintah daerah di Sumatera menyegel sumur produksi minyak dengan alasan belum memiliki izin. Padahal, perusahaan minyak dan gas tersebut, Petrochina, mengklaim telah mengantongi izin. Lagi-lagi ini menunjukkan ketidaksinkronan perizinan dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Ada beberapa isu lain yang membuat cemas produsen minyak dan gas atau kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Misalnya, kasus bioremediasi yang menyeret kontraktor Chevron Pacific Indonesia di Sumatera Utara serta ketidakpastian terkait perpanjangan kontrak Total Indonesie dalam mengelola Blok Mahakam. 

Blok Mahakam saat ini merupakan tulang punggung produksi gas alam Indonesia dan telah berpengalaman kurang lebih 40 tahun dalam mengelola blok yang berada di rawa-rawa tersebut. Total Indonesie sebagai operator blok tersebut serta Inpex sebagai mitra, membutuhkan kepastian dari pemerintah mengenai kelanjutan pengelolaan blok tersebut pasca berakhirnya kontrak 2017. Kepastian dibutuhkan mengingat tiap tahun operator menggelontorkan investasi kurang lebih US$2.5-US$3 miliar per tahun, nilai investasi yang tidak sedikit.

Kembali ke persoalan pokok tadi, rencana kenaikan BBM tersebut juga ditentang oleh berbagai pihak. Alasannya, keputusan tersebut akan memberatkan masyarakat. Masyarakat tidak hanya dibebani oleh harga BBM yang naik, tapi juga dihantui oleh keputusan pengusaha untuk menaikkan harga produk. Pedagang di pasar, seperti pedagang sayur, buah, telor, ikan dan sebagainya seperti latah menaikkan harga produk mereka. Padahal, tidak semua ongkos produksi barang mengalami kenaikan. Harga BBM industri tidak berubah, toh pelaku industri menaikkan harga barang.

Dampak kenaikkan harga BBM memang akan menyebar ke berbagai aktivitas perekonomian. Ada yang terkena dampak langsung dari kenaikkan harga BBM bersubsidi, tapi ada yang kena dampak tidak langsung. Ada juga yang sekadar latah, menaikkan harga barang. Siapa pun tidak ingin harga barang naik, karena itu berarti masyarakat akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli produk yang diinginkan, padahal pendapatan mereka tetap.

Pada titik mengurangi subsidi, berbagai pihak sepakat. Namun, pemerintah juga dikritik karena gagal menaikkan produksi minyak. Andaikan produksi minyak kita meningkat di atas 1 juta barel, maka subsidi yang diberikan tentu tak sebesar saat ini. Ratusan triliun yang dialokasikan untuk subsidi BBM, dapat digunakan untuk membangun dan merenovasi sekolah, fasilitas umum, membangun jalan dan jembatan dan infrastruktur lain.

Ribut-ribut soal BBM di hilir sebetulnya juga merefleksikan persoalan di hulu industri minyak
dan gas kita. Persoalan mendasar adalah penurunan produksi minyak. Subsidi dan kompensasi yang diberikan pemerintah berupaya tunai langsung hanya solusi sementara. Pemerintah harus mengatasi persoalan di hulu, yakni penurunan produksi minyak, bila ingin menyeselaikan persoalan BBM yang terus menghantui pemerintah dan masyarakat setiap tahun.

Menaikkan atau mempertahankan harga BBM subsidi saat ini, merupakan dua pilihan yang sama buruknya. Bila tidak dinaikkan, APBN bisa jebol, sementara bila menaikkan harga BBM, masyarakat akan terbebani.

Tentu keputusan tersebut akan melahirkan pro dan kontra. Tentu ada juga pihak-pihak yang berupaya mengail di air keruh. Partai tertentu, seperti PKS, tampak bermuka dua. Pada satu sisi, PKS adalah partai koalisi pemerintah, artinya partai tersebut harusnya mendukung rencana pemerintah. Namun, pada sisi lain, partai ini berkoar-koar di arus bawah, menolak kenaikan harga BBM.

Pemerintah juga dikritik, karena rencana pemerian bantuan tunai langsung ke masyarakat atau rakyat yang terkena dampak paling buruk dari kenaikan BBM, akan dimanfaatkan untuk menarik simpasi masyarakat jelang pemilu 2014.

Ongkos politik dari keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi juga mahal. Pemerintah harus siap-siap terjadinya gelombang demonstrasi menolak kenaikkan harga BBM bersubsidi. Seperti yang kita lihat, sudah mulai ada demonstrasi sporadis mahasiswa menentang keputusan pemerintah tersebut. Gelombang demonstrasi bisa bereskalasi bila pemerintah gagal mengantisipasi dan menghadapi protest masyarakat dengan cara represif. SPBU Pertamina bisa jadi sasaran empuk pelempiasan amarah sekelompok masyarakat.

Setiap kita pasti punya pendapat masing-masing, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju dengan rencana kenaikan tersebut. Mungkin juga ada yang cuek saja. Tapi, apapun keputusan yang diambil pemerintah, dampak dari keputusan tersebut harus bisa dikendalikan dikurangi. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi alasan menaikkan harga BBM. Bantuan tunai langsung juga harus sesuai sasaran dan tidak dimanipulasi untuk kepentingan citra partai.

Pada saat yang sama, pemerintah harus bekerja keras untuk mendorong meningkatkan produksi minyak dan gas.  (*)