Tampilkan postingan dengan label FLNG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FLNG. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 Agustus 2013

Total E&P Tetap Perlu Dilibatkan di Blok Mahakam (?)

Kini, para pekerja di Blok Mahakam, mitra kerja, masyarakat lokal, operator Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex, Pertamina, maupun masyarakat umum menunggu keputusan final pemerintah. Yang terpenting pemerintah membuat keputusan setelah mempertimbangkan berbagai aspek teknis, non-teknis serta pertimbangan risiko nil (zero risk)


Keputusan mengenai hak pengelolaan Blok Mahakam yang berada di Kalimantan Timur, Indonesia, pasca 2017 tampaknya kian mendekati keputusan final, walaupun  kondisi politik nasional kian gaduh jelang Pemilihan Umum 2014 mendatang.
 
Pemerintah punya beberapa opsi mengenai siapa dan bagaimana skema pengelolaan blok tua tersebut. Namun, dari pernyataan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terakhir [29 Agustus 2013], tampaknya pemerintah cenderung memilih untuk tetap melibatkan operator yang sekarang, Total E&P Indonesie, demi menjamin adanya manfaat yang lebih bagi negara, walaupun keputusan belum final. Benarkah demikian? Mengapa perlu tetap dilibatkan?
 
Berbagai opini di ruang publik berseliweran dan terkadang berbenturan dengan maksud untuk memenangkan hati dan simpati rakyat. Aroma politik terkadang mewarnai atau dipaksa mewarnai keputusan ekonomi, demikian sebaliknya.
 
Itulah risiko dan konsekuensi sebuah negara demokrasi. Keputusan yang diambil pemerintah tidak bisa begitu saja diambil. Terkadang pertimbangan seharusnya dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, kompetensi, business, kapasitas, namun, pada kenyataanya, ada aspek lain yang tetap perlu didengar oleh pemerintah. Toh, keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah untuk diambil setelah melakukan evaluasi mendalam dan menyeluruh dengan mempertimbangkan segala aspek teknis, non-teknis dan risiko.
 
Itu tampaknya terjadi dengan Blok Mahakam. Menurut peraturan yang berlaku, operator sebuah blok dapat mengajukan perpanjangan paling cepat 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Mengapa 10 tahun? Itu bukan tanpa pertimbangan. Alasannya, investasi di sektor migas berorientasi jangka panjang. Investasi yang dilakukan saat ini, baru akan mulai memberikan manfaat atau hasil setelah 5 atau 10 tahun, atau bahkan belasan tahun.
 
Lihat saja Blok Masela. Operator blok tersebut, Inpex, telah mengeluarkan dana ratusan juta dolar mulai dari eksplorasi hingga persiapan pembangunan fasilitas produksi, sudah berjalan cukup lama, tapi belum memberikan hasil. Saat ini, Inpex sedang memasuki tahap tender pembangunan fasilitas FLNG (floating LNG). Bila berjalan sesuai rencana, produksi baru akan mulai tahun 2018 atau 2019, tertunda dari rencana awal 2017.
 
Namun, bisa tertunda juga bila operator tersebut belum mendapat lampu hijau dari pemerintah untuk memperpanjang kontrak pengelolaan blok tersebut setelah 2029. Inpex jauh jauh hari menginginkan keputusan pemerintah, mengingat investasi yang dikeluarkan bakal besar dan pengembalian investasi belum tentu break-even 10 tahun. Itu alasan Inpex.
 
Demikian juga Blok Mahakam. Total E&P Indonesia bersama mitranya non-operator Inpex Ltd, menurut berita-berita di media, telah menyampaikan keinginan mereka untuk memperpanjang kontrak pengelolaan Blok Mahakam setelah 2017. Idealnya, memang keputusan perpanjangan atau tidak, atau skema baru, dilakukan paling lambat 5 tahun sebelum kontrak berakhir. Artinya, tahun 2012, sudah ada keputusan terkait operatorship blok Mahakam pasca 2017.
 
Namun, keputusan belum terjadi. Operator dan berbagai pengamat migas maupun eksekutif di Indonesia Petroleum Association (IPA) mengatakan tahun 2013 tahun yang tepat untuk membuat keputusan operator blok Mahakam, karena tahun 2014 Indonesia sudah disibukkan dengan agenda pemilihan umum -- pemilihan wakil rakyat (DPR) dan Presiden.
 
Pertanyaannya, apakah hak pengelolaan Blok Mahakam diperpanjang, tidak diperpanjang atau dibuat skema baru melibatkan operator lama dan pemegang participating interest (PI) baru, dalam hal ini Pertamina?
 
Dalam beberapa bulan terakhir, perdebatan terus berlangsung mengenai skema dan hak operatorship Blok Mahakam. Terakhir, seperti yang diberitakan di berbagai media, Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengungkapkan Total E&P Indonesia tetap akan "dilibatkan" dalam pengelolaan Blok Mahakam yang berlokasi di pesisir Kalimantan Timur itu. Dia beralasan, blok tersebut tidak bisa dioperasionalkan sama seperti blok-blok minyak dan gas bumi pada umumnya.
 
Susilo mengatakan kondisi sumur-sumur di Blok Mahakam kini hasilnya 98% berwujud air sehingga dibutuhkan penangangan khusus. "Total akan tetap dilibatkan karena masalah ini tidak bisa hanya sekedar dijalani dengan seperti biasa," kata Susilo, seperti yang dikutip Detik.com , Kamis (29/8/2013).

Tentu Wakil Menteri tersebut tidak sekadar membuat pernyataan, tetapi telah melalui proses hasil evaluasi mendalam baik secara teknis maupun non-teknis serta aspek risiko. Ia menandaskan pertimbangan Kementerian ESDM semata-mata melihat mana yang terbaik bagi negara.
 
"Jadi semua itu kita evaluasi, yang jelas ESDM tidak berkepentingan untuk merugikan negara, tidak ada rencana permainan di zaman yang serba semua disadap, kalau misalkan ada tuduhan buat ini lah itu lah ya janganlah," kata Susilo.
 
Status operator sebuah blok migas memang hanya seperti penyangkul kebun atau sawah. Ia diberi kewenangan untuk menyangkul sawah (blok), sementara pemilik tetap negara yang diwakili oleh Negara. Karena itu, operator tetap harus tunduk terhadap keputusan sang pemilik blok, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hak penguasaan sumber daya alam, dalam hal ini, blok migas, tetap berada dalam kekuasaan negara. Operator hanya berfungsi sebagai kontraktor yang menyangkul sawah atau blok.
 
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengaku tetap memikirkan keberpihakan nasional dalam Blok Mahakam tersebut. Namun yang paling penting produksi gas yang ada di blok tersebut harus tetap berjalan walaupun adanya isu perpanjangan tersebut.
 
"Teman-teman jangan berpikir mengoperasikan Mahakam sama dengan mengoperasikan Banyu Urip. Banyu urip itu masih baru. Waktu produksi, begitu dibuka krannya masih minyak. Kalau di Mahakam itu 98 persennya sudah berwujud air. Oleh karena itu kompleksitas berbeda. Bukan berarti siapapun bisa menjalankan itu," ujar dia yang ditemui di Kantornya, Jakarta, Kamis (29/8).
 
Tampaknya, memang tidak semua elemen masyarakat memahami tingkat kompleksitas blok Mahakam. 

Material yang muncul ke atas tidak hanya condensat dan gas, tapi juga sudah bercampur lumpur, pasir dan material lainnya. Hal ini bisa dipahami karena blok tersebut sudah berproduksi 40 tahun dan berada di tiga dunia, daratan, rawa-rawa dan lepas pantai. Kondisi ini turut membuat operasional blok tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati,  agar mencapai titik zero risk.
 
Disamping itu produksi gas alam dan minyak cenderung menurun secara alamiah. Karena itu, perlu investasi baru untuk mempertahankan dan bila perlu meningkatkan produksi. Operator telah mengumumkan akan berinvestasi sekitar US$2.5-US$3 miliar setiap tahun atau sekitar US$7.3 miliar dalam 5 tahun mendatang untuk mempertahankan produksi. Saat ini, memang operator Blok Migas sedang membangun anjungan minyak dan gas baru di beberapa lapangan.
 
Pembangunan fasilitas tersebut diperkirakan akan selesai 1-2 tahun mendatang. Beberapa rencana investasi baru juga sedang disiapkan, namun, ditahan dulu sebelum ada keputusan dari pemerintah terkait hak pengelolaan blok pasca 2017.
 
Kini, para pekerja di Blok Mahakam, mitra kerja, masyarakat lokal, operator Total E&P Indonesie dan mitranya Inpex, Pertamina, maupun masyarakat umum menunggu keputusan final pemerintah. Yang terpenting pemerintah membuat keputusan setelah mempertimbangkan berbagai aspek teknis, non-teknis serta pertimbangan risiko nil (zero risk)
 
Bila pemerintah membuat keputusan untuk melibatkan operator yang sekarang untuk kepentingan yang lebih besar, agar produksi tetap berjalan lancar, tidak ada risiko gangguan produksi, dan bahwa ada jaminan pemerintah akan memperoleh pendapatan lebih dari blok Mahakam dalam tahun-tahun mendatang, maka publik akan tentu memahami keputusan pemerintah, walaupun ada sekelompok elemen tidak menyetujui.  (*)

Selasa, 02 Juli 2013

Menanti Blok Masela Berproduksi



Oleh Irfan Toleng* 
Ilustrasi proyek Lapangan Abadi, Blok Masela
Blok Masela kembali menjadi berita. Berita pertama terkait keputusan PT Energi Mega Persada Tbk, anak perusahaan kelompok Bakrie, untuk menjual 10% sahamnya (participating interest) di Blok Masela. Berita kedua, terkait permintaan Inpex, operator Blok Masela, untuk memperpanjang kontrak pengelolaan blok tersebut setelah 2028.

Alasan utama permohonan perpanjangan adalah bila Lapangan Abadi mulai berproduksi tahun 2019 atau 2020, maka operator hanya punya waktu 10 tahun untuk mengembangkan blok raksasa tersebut. Waktu pengembalian investasi dirasa tidak cukup untuk proyek raksasa sekelas Masela.

Inpex sendiri bukanlah pemain baru di Indonesia. Perusahaan asal Jepang tersebut telah berpartner dengan Total E&P Indonesia puluhan tahun dalam mengembangkan Blok Mahakam, di delta Mahakam, Kalimtan Timur. Kedua perusahaan tersebut telah mengembangankan sebuah blok dengan tingkat kompleksitas yang rumit karena terletak di 'tiga dunia', rawa-rawa, daratan dan lepas pantai. 

Bedanya, di Blok Mahakam, Inpex hanya menjadi pemegang saham (PI), sementara yang bertindak sebagai operator adalah TotalE&P Indonesia.Selain itu, proyek Masela, jauh lebih kompleks lagi karena berada di lepas pantai dan fasilitas produksi akan berada di tengah laut melalui skema kapal terapung atau floating FLNG (FLNG).

Di Blok Masela, perusahaan migas raksasa Jepang Inpex  memegang hak sebagai operator, sementara, Shell dan Energi Mega hanya sebagai pemegang saham. Nah, keputusan Energi untuk menjual PI-nya di Blok Masela senilai US$313 juta, berarti belum ada partner lokal lagi yang menjadi pemegang saham blok Masela. 

Rumor yang beredar di Maluku jauh sebelum Energi Mega mengumumkan keputusan tersebut bahwa saham 10% tersebut kemungkinan besar akan dialihkan ke pemerintah provinsi Maluku dan pemerintah kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Tentu kita berharap Pemerintah daerah betul-betul menjadi pemegang saham, tidak diperalat oleh swasta seperti di kasus tambang Newmont. Pada awalnya, pemerintah berharap Pemda NTB akan menjadi pemegang saham, dalam kenyataannya pemda menjual kembali atau menggandeng swasta yakni group Bakrie. Yang untung swasta, bukan Pemda.

Dengan harga penjualan saham 10% tersebut, maka nilai projek Masela saat ini sebesar US$3.13 miliar. Dan tentu saja nilai proyek tersebut meningkat lagi setelah proyek tersebut berproduksi. Menurut perkiraan pemerintah dan Inpex, nilai investasi untuk mengembangkan lapangan Abadi di Blok Masela akan mencapai paling kurang US$5 miliar atau sekitar Rp50 triliun.

Nilai persisnya belum diketahui karena operator belum mengumumkan Final Investment Decision (FID). Saat ini, baru memasuki tahapan pengerjaan FEED – Front-End Engineering Design. Final Investiment Decision diperkirakan akan diumumkan akhir tahun, dengan catatan FEED sudah selesai.

Sekadar kilas balik, Inpex memenangkan tender untuk mengembangkan Blok Masela bulan November 1998. Dua tahun kemudian (2000), setelah dilakukan pengeboran, Inpex menemukan cadangan gas alam yang layak untuk diproduksi yakni lapangan Abadi (Abadi gas field). Dalam 12 tahun terakhir, perusahaan tersebut terus melakukan pengeboran, termasuk sumur appraisal (appraisal well) untuk memastikan cadangan dan menentukan lokasi/titik-titik sumur produksi.

Dengan rentang waktu 12 tahun, jelas menunjukkan bahwa pengembangan lapangan migas merupakan proyek atau investasi jangka panjang. Artinya, selama 12 tahun terakhir, Inpex (dan belakangan Shell bergabung), mengeluarkan dana investasi untuk eksplorasi. Tentu saja ratusan juta dolar telah dikeluarkan untuk keperluan tersebut, sementara pengembalian investasi tersebut baru dimulai sekitar 6 tahun lagi, yakni 2019.

Tertunda
Pada awalnya, pemerintah memperkirakan Blok Masela mulai berproduksi tahun 2016. Namun, mengingat kompleksnya proyek tersebut, dan banyak tahap yang dilalui sebelum produksi dimulai, maka produksi pertama ditunda menjadi 2018. Nah, SKK Migas beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa lapangan Abadi kemungkinan baru mulai berproduksi tahun 2019.’

Padahal, beberapa pejabat di kementerian energi pada awalnya menggembar-gemborkan bahwa Indonesia akan menjadi negara pertama yang memproduksi gas alam cair (LNG) dengan menggunakan skema kapal terapung atau floating LNG facility (FLNG). Tentu dengan asumsi Blok Masela mulai berproduksi tahun 2016 atau 2017.

Proyek Prelude FLNG, Australia (foto: BBC)
Dengan diundurkannya jadwal produksi pertama, maka negara pertama yang akan menggunakan FLNG adalah Australia. Melalui proyek Prelude FLNG di lepas pantau Australia barat. Proyek tersebut dikembangkan oleh perusahaan migas raksasa Shell, yang juga menjadi partner Inpex di Masela. Shell memang diakui telah menjadi pionir pengembangan FLNG di dunia.

Fasilitas kapal terapung (FLNG) di proyek FLNG ini kabarnya seluas 6 kali kapal induk Amerika, Nimitz. Biaya investasinya pun bernilai jumbo, yakni kurang lebih US$30 miliar atau Rp300 triliun.

Memproduksi minyak di lepas pantai melalui Floating Production Storage and Offloading (FPSO) memang sudah berkembang pesat dalam belasan tahun terakhir. Namun, memproses gas alam cair melalui fasilitas lepas pantai memang belum ada. Saat ini pun, beberapa proyek gas alam kita seperti proyek Tangguh oleh BP di Papua memanfaatkan fasilitas onshore. Gas alam yang ada dilepas pantai dialirkan melalui pipa gas ke fasilitas produksi di daratan.


Pertanyaan sekarang apakah pemerintah memperpanjang hak pengembangan dan pengelolaan Blok Masela pasca 2028? Dari sisi perusahaan, memang tidak efisien bila masa produksi hanya 10 tahun karena proyek tersebut baru mulai berproduksi tahun 2019.

Disatu sisi, pemerintah tentu tidak begitu saja mengiyakan permintaan Inpex-Shell tersebut. Pasalnya, menurut peraturan yang ada, perpanjangan waktu hanya boleh dilakukan paling cepat 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Dan, dengan catatan proyek tersebut sudah berproduksi. Sementara, blok Masela belum mulai berproduksi.

Publik dan industri migas tentu berharap pemerintah mengambil keputusan dengan bijak, dalam arti tidak menabrak peraturan yang ada. Konsekuensinya, bila diperpanjang sekarang maka ada peraturan yang perlu diadaptasi. Bila tidak ada keputusan, dikhawatirkan proses pengembangan proyek blok Masela tersebut akan tertunda lagi dan menjadi menggantung.

Publik tentu berharap pemerintah segera mengambil keputusan agar proyek LNG Blok Masela ini agar tahapan pra-produksi seperti penentuan FEED, FID dapat berjalan mulus. Dengan demikan dapat mulai berproduksi sesuai skedul yang ditentukan sehingga segera memberi kontribusi bagi pendapatan negara dan tentunya diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Maluku.

Belum semua perusahaan migas besar memiliki kemampuan untuk mengembangan proyek-proyek FLNG. Namun, teknologinya sudah tersedia. Indonesia pun tidak perlu malu untuk belajar dari perusahaan-perusahaan migas raksasa seperti Inpex dan Shell.

Sama seperti proyek Blok Mahakam, sudah puluhan tahun proyek tersebut memberikan kontribusi pendapatan bagi pundi-pundi negara. Tingkat kompleksitas blok Mahakam membuat pemerintah melalui Pertamina, tahun 1997 memperpanjang kontrak operator (Total EP Indonesie dan Inpex). Saat itu, Pertamina bertindak sebagai perusahaan sekaligus sebagai regulator. 

Kita tidak melihat siapa yang memproduksi, tapi pertanyaannya adalah apa kontribusi perusahaan tersebut bagi negara. Lebih baik memiliki perusahaan asing yang memberi kontribusi besar bagi negara daripada perusahaan lokal/nasional tapi korupsi dan tidak mempraktekkan clean governance.(*)


*Irfan Toleng adalah penulis lepas, peneliti di sebuah lembaga riset dan mantan eksekutif di sebuah perusahaan migas.