Tampilkan postingan dengan label Shell. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Shell. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 Juli 2013

Menanti Blok Masela Berproduksi



Oleh Irfan Toleng* 
Ilustrasi proyek Lapangan Abadi, Blok Masela
Blok Masela kembali menjadi berita. Berita pertama terkait keputusan PT Energi Mega Persada Tbk, anak perusahaan kelompok Bakrie, untuk menjual 10% sahamnya (participating interest) di Blok Masela. Berita kedua, terkait permintaan Inpex, operator Blok Masela, untuk memperpanjang kontrak pengelolaan blok tersebut setelah 2028.

Alasan utama permohonan perpanjangan adalah bila Lapangan Abadi mulai berproduksi tahun 2019 atau 2020, maka operator hanya punya waktu 10 tahun untuk mengembangkan blok raksasa tersebut. Waktu pengembalian investasi dirasa tidak cukup untuk proyek raksasa sekelas Masela.

Inpex sendiri bukanlah pemain baru di Indonesia. Perusahaan asal Jepang tersebut telah berpartner dengan Total E&P Indonesia puluhan tahun dalam mengembangkan Blok Mahakam, di delta Mahakam, Kalimtan Timur. Kedua perusahaan tersebut telah mengembangankan sebuah blok dengan tingkat kompleksitas yang rumit karena terletak di 'tiga dunia', rawa-rawa, daratan dan lepas pantai. 

Bedanya, di Blok Mahakam, Inpex hanya menjadi pemegang saham (PI), sementara yang bertindak sebagai operator adalah TotalE&P Indonesia.Selain itu, proyek Masela, jauh lebih kompleks lagi karena berada di lepas pantai dan fasilitas produksi akan berada di tengah laut melalui skema kapal terapung atau floating FLNG (FLNG).

Di Blok Masela, perusahaan migas raksasa Jepang Inpex  memegang hak sebagai operator, sementara, Shell dan Energi Mega hanya sebagai pemegang saham. Nah, keputusan Energi untuk menjual PI-nya di Blok Masela senilai US$313 juta, berarti belum ada partner lokal lagi yang menjadi pemegang saham blok Masela. 

Rumor yang beredar di Maluku jauh sebelum Energi Mega mengumumkan keputusan tersebut bahwa saham 10% tersebut kemungkinan besar akan dialihkan ke pemerintah provinsi Maluku dan pemerintah kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Tentu kita berharap Pemerintah daerah betul-betul menjadi pemegang saham, tidak diperalat oleh swasta seperti di kasus tambang Newmont. Pada awalnya, pemerintah berharap Pemda NTB akan menjadi pemegang saham, dalam kenyataannya pemda menjual kembali atau menggandeng swasta yakni group Bakrie. Yang untung swasta, bukan Pemda.

Dengan harga penjualan saham 10% tersebut, maka nilai projek Masela saat ini sebesar US$3.13 miliar. Dan tentu saja nilai proyek tersebut meningkat lagi setelah proyek tersebut berproduksi. Menurut perkiraan pemerintah dan Inpex, nilai investasi untuk mengembangkan lapangan Abadi di Blok Masela akan mencapai paling kurang US$5 miliar atau sekitar Rp50 triliun.

Nilai persisnya belum diketahui karena operator belum mengumumkan Final Investment Decision (FID). Saat ini, baru memasuki tahapan pengerjaan FEED – Front-End Engineering Design. Final Investiment Decision diperkirakan akan diumumkan akhir tahun, dengan catatan FEED sudah selesai.

Sekadar kilas balik, Inpex memenangkan tender untuk mengembangkan Blok Masela bulan November 1998. Dua tahun kemudian (2000), setelah dilakukan pengeboran, Inpex menemukan cadangan gas alam yang layak untuk diproduksi yakni lapangan Abadi (Abadi gas field). Dalam 12 tahun terakhir, perusahaan tersebut terus melakukan pengeboran, termasuk sumur appraisal (appraisal well) untuk memastikan cadangan dan menentukan lokasi/titik-titik sumur produksi.

Dengan rentang waktu 12 tahun, jelas menunjukkan bahwa pengembangan lapangan migas merupakan proyek atau investasi jangka panjang. Artinya, selama 12 tahun terakhir, Inpex (dan belakangan Shell bergabung), mengeluarkan dana investasi untuk eksplorasi. Tentu saja ratusan juta dolar telah dikeluarkan untuk keperluan tersebut, sementara pengembalian investasi tersebut baru dimulai sekitar 6 tahun lagi, yakni 2019.

Tertunda
Pada awalnya, pemerintah memperkirakan Blok Masela mulai berproduksi tahun 2016. Namun, mengingat kompleksnya proyek tersebut, dan banyak tahap yang dilalui sebelum produksi dimulai, maka produksi pertama ditunda menjadi 2018. Nah, SKK Migas beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa lapangan Abadi kemungkinan baru mulai berproduksi tahun 2019.’

Padahal, beberapa pejabat di kementerian energi pada awalnya menggembar-gemborkan bahwa Indonesia akan menjadi negara pertama yang memproduksi gas alam cair (LNG) dengan menggunakan skema kapal terapung atau floating LNG facility (FLNG). Tentu dengan asumsi Blok Masela mulai berproduksi tahun 2016 atau 2017.

Proyek Prelude FLNG, Australia (foto: BBC)
Dengan diundurkannya jadwal produksi pertama, maka negara pertama yang akan menggunakan FLNG adalah Australia. Melalui proyek Prelude FLNG di lepas pantau Australia barat. Proyek tersebut dikembangkan oleh perusahaan migas raksasa Shell, yang juga menjadi partner Inpex di Masela. Shell memang diakui telah menjadi pionir pengembangan FLNG di dunia.

Fasilitas kapal terapung (FLNG) di proyek FLNG ini kabarnya seluas 6 kali kapal induk Amerika, Nimitz. Biaya investasinya pun bernilai jumbo, yakni kurang lebih US$30 miliar atau Rp300 triliun.

Memproduksi minyak di lepas pantai melalui Floating Production Storage and Offloading (FPSO) memang sudah berkembang pesat dalam belasan tahun terakhir. Namun, memproses gas alam cair melalui fasilitas lepas pantai memang belum ada. Saat ini pun, beberapa proyek gas alam kita seperti proyek Tangguh oleh BP di Papua memanfaatkan fasilitas onshore. Gas alam yang ada dilepas pantai dialirkan melalui pipa gas ke fasilitas produksi di daratan.


Pertanyaan sekarang apakah pemerintah memperpanjang hak pengembangan dan pengelolaan Blok Masela pasca 2028? Dari sisi perusahaan, memang tidak efisien bila masa produksi hanya 10 tahun karena proyek tersebut baru mulai berproduksi tahun 2019.

Disatu sisi, pemerintah tentu tidak begitu saja mengiyakan permintaan Inpex-Shell tersebut. Pasalnya, menurut peraturan yang ada, perpanjangan waktu hanya boleh dilakukan paling cepat 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Dan, dengan catatan proyek tersebut sudah berproduksi. Sementara, blok Masela belum mulai berproduksi.

Publik dan industri migas tentu berharap pemerintah mengambil keputusan dengan bijak, dalam arti tidak menabrak peraturan yang ada. Konsekuensinya, bila diperpanjang sekarang maka ada peraturan yang perlu diadaptasi. Bila tidak ada keputusan, dikhawatirkan proses pengembangan proyek blok Masela tersebut akan tertunda lagi dan menjadi menggantung.

Publik tentu berharap pemerintah segera mengambil keputusan agar proyek LNG Blok Masela ini agar tahapan pra-produksi seperti penentuan FEED, FID dapat berjalan mulus. Dengan demikan dapat mulai berproduksi sesuai skedul yang ditentukan sehingga segera memberi kontribusi bagi pendapatan negara dan tentunya diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Maluku.

Belum semua perusahaan migas besar memiliki kemampuan untuk mengembangan proyek-proyek FLNG. Namun, teknologinya sudah tersedia. Indonesia pun tidak perlu malu untuk belajar dari perusahaan-perusahaan migas raksasa seperti Inpex dan Shell.

Sama seperti proyek Blok Mahakam, sudah puluhan tahun proyek tersebut memberikan kontribusi pendapatan bagi pundi-pundi negara. Tingkat kompleksitas blok Mahakam membuat pemerintah melalui Pertamina, tahun 1997 memperpanjang kontrak operator (Total EP Indonesie dan Inpex). Saat itu, Pertamina bertindak sebagai perusahaan sekaligus sebagai regulator. 

Kita tidak melihat siapa yang memproduksi, tapi pertanyaannya adalah apa kontribusi perusahaan tersebut bagi negara. Lebih baik memiliki perusahaan asing yang memberi kontribusi besar bagi negara daripada perusahaan lokal/nasional tapi korupsi dan tidak mempraktekkan clean governance.(*)


*Irfan Toleng adalah penulis lepas, peneliti di sebuah lembaga riset dan mantan eksekutif di sebuah perusahaan migas.