Ibarat pisau
bermata dua, letak Indonesia yang berada di daerah cincin api (ring of fire), membuat Indonesia berada
di kawasan yang berbahaya a.k.a. rawan bencana, tapi juga membawa berkah. Sebagai
wilayah yang berada di wilayah cincin api, Indonesia terancam oleh berbagai
bencana termasuk letusan gunung api, akibat semburan lava dari perut bumi.
Namun di satu
sisi, kondisi ini membuat Indonesia sebagai negara dengan potensi sumber panas
bumi terbesar di dunia, yakni 40% dari potensi panas bumi di dunia, yang
diperkirakan mencapai 28.000 megawatts (MW). Luar biasa bukan? Kondisi ini
patut kita syukuri bersama.
Namun, sumber
ini akan tersimpan di perut bumi dan tidak memberi manfaat apa-apa bila tidak
dimanfaatkan. Data-data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
menunjukkan bahwa dari sisi pemanfaatan energi panas bumi, Indonesia justru
berada di posisi ke-tiga, dengan total kapasitas 1,300 MW. Produksi tersebut
datang dari 6 proyek panas bumi yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera Utara dan
Sulawesi Utara.
Saat
ini, produsen energi panas bumi terbesar adalah Amerika Serikat dengan total
kapasitas 3,4 Gigawatt disusul Filipina dengan total kapasitas 1,9 GW. Di
posisi keempat adalah Meksiko (1 GW), Italia (0.9 GW), Selandia Baru (0.8 GW),
Iceland (0,7 GW) dan Jepang (0.5 GW).
Pertanyaannya,
mengapa Indonesia begitu lamban dalam mengembangkan energi panas bumi
(geothermal)? Seharusnya, begitu produksi minyak Indonesia menunjukkan
tanda-tanda menurun, maka energi panas bumi digenjot.
Tapi apa yang
terjadi, dalam 10 tahun terakhir, belum ada proyek panas bumi yang signifikan.
Dalam 5 tahun terakhir, pemerintah dalam beberapa kesempatan menyatakan niatnya
untuk mengembangkan energi panas bumi, tapi kenyataannya, banyak proyek energi
panas bumi macet, tidak menunjukkan perkembangan yang berarti.
Pemerintah
bukan tidak menyadari betapa pentingnya dan potensialnya energi panas bumi di
Indonesia. Berbagai konferensi dan seminar diadakan untuk mengundang dan
mendorong investor mengembangkan proyek energi panas bumi. Misalnya, tahun
2010, diadakan World Geothermal Congress di Bali. Saat itu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengumumkan rencana pemerintah untuk membangun 44 pembangkit
listrik panas bumi sebelum 2014, yang akan meningkatkan kapasitas produksi
energi panas bumi saat ini menjadi 4.000 MW.
Pemerintah
bahkan mengungkapkan rencana ambisiusnya untuk membangun hingga 9.000 MW
pembangkit listrik panas bumi sebelum tahun 2025.
Namun, tetap
saja pengembangan energi panas bumi berjalan di tempat. Pemerintah misalnya
telah memasukan berbagai proyek energi panas bumi dalam program Power Crash
Program tahap 2, yang sebagian besar akan datang dari proyek panas bumi. Namun,
faktanya banyak proyek panas bumi terhambat dengan berbagai alasan, mulai dari
alasan lambannya pembebasan lahan, masalah izin dari Departemen Kehutanan, harga
listrik yang belum disepakati, kegagalan perusahaan atau pemegang konsensi
dalam memperoleh financing, dan penyebab lainnya.
Tidak heran
bila beberapa pengusaha energi panas bumi mengungkapkan kekecewaan mereka. Mereka
mengatakan yang dibutuhkan pihak swasta adalah dukungan regulasi dari
pemerintah.
Belasan proyek energi panas bumi mandeg
pada fase eksplorasi. Bulan Juni 2013 lalu, saat penyelenggaraan International Geothermal Conference and
Exhibition, pemerintah mengumumkan rencana untuk menaikkan harga tarif
listrik yang akan dibeli dari perusahaan pengembang energi panas bumi. Langkah
tersebut merupakan salah satu upaya untuk membuat proyek-proyek panas bumi
menjadi commercially viable.
Di balik
lambannya pengembangan proyek-proyek energi panas bumi tersebut, muncul berita
yang sedikit melegakan hari ini, mengenai kelanjutan proyek energi panas bumi
Rantau Dedap (PLTP Rantau Dedap) oleh PT Supreme Energy, yang bermitra dengan
investor asing, GDF
Suez Energy International (Prancis), dan Marubeni Corporation (Jepang). Supreme
Energy dan kedua mitranya membentuk sebuah perusahaan patungan PT Supreme
Energy Rantau Dedap (PT SERD) dalam mengembangkan proyek panas bumi yang
berlokasi di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Kita berharap, beberapa perusahaan yang
telah memperoleh konsesi dari pemerintah segera merealisasikan proyek-proyek
energi panas bumi mereka. Tentu, pemerintah dituntut untuk memberikan dukungan
yang serius berupa kebijakan dan peraturan yang mendukung serta koordinasi dengan berbagai pihak untuk
memecahkanberbagai persoalan yang dihadapi perusahaan atau investor. Tanpa
dukungan regulasi yang mendukung serta iklim investasi yang sehat, sulit untuk
mengharapkan energi panas bumi dapat berkembang.
Kita tahu, produksi dan cadangan minyak
kita terus menurun dalam beberapa tahun terakhir dan bakal terus menurun bila
tidak ada penemuan cadangan baru. Maka langkah yang perlu dilakukan pemerintah
adalah mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan seperti panas bumi
pada satu sisi dan pada sisi lain mendorong investor migas untuk meningkatkan
investasi untuk eksplorasi migas. Dua-duanya membutuhkan iklim usaha yang sehat.(*)