Tampilkan postingan dengan label ring of fire. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ring of fire. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Februari 2014

Pengembangan Energi Panas Bumi di Indonesia Macet, Mengapa?


Ibarat pisau bermata dua, letak Indonesia yang berada di daerah cincin api (ring of fire), membuat Indonesia berada di kawasan yang berbahaya a.k.a. rawan bencana, tapi juga membawa berkah. Sebagai wilayah yang berada di wilayah cincin api, Indonesia terancam oleh berbagai bencana termasuk letusan gunung api, akibat semburan lava dari perut bumi.

Namun di satu sisi, kondisi ini membuat Indonesia sebagai negara dengan potensi sumber panas bumi terbesar di dunia, yakni 40% dari potensi panas bumi di dunia, yang diperkirakan mencapai 28.000 megawatts (MW). Luar biasa bukan? Kondisi ini patut kita syukuri bersama. 

Namun, sumber ini akan tersimpan di perut bumi dan tidak memberi manfaat apa-apa bila tidak dimanfaatkan. Data-data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa dari sisi pemanfaatan energi panas bumi, Indonesia justru berada di posisi ke-tiga, dengan total kapasitas 1,300 MW. Produksi tersebut datang dari 6 proyek panas bumi yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. 

Saat ini, produsen energi panas bumi terbesar adalah Amerika Serikat dengan total kapasitas 3,4 Gigawatt disusul Filipina dengan total kapasitas 1,9 GW. Di posisi keempat adalah Meksiko (1 GW), Italia (0.9 GW), Selandia Baru (0.8 GW), Iceland (0,7 GW) dan Jepang (0.5 GW).

Pertanyaannya, mengapa Indonesia begitu lamban dalam mengembangkan energi panas bumi (geothermal)? Seharusnya, begitu produksi minyak Indonesia menunjukkan tanda-tanda menurun, maka energi panas bumi digenjot. 

Tapi apa yang terjadi, dalam 10 tahun terakhir, belum ada proyek panas bumi yang signifikan. Dalam 5 tahun terakhir, pemerintah dalam beberapa kesempatan menyatakan niatnya untuk mengembangkan energi panas bumi, tapi kenyataannya, banyak proyek energi panas bumi macet, tidak menunjukkan perkembangan yang berarti.

Pemerintah bukan tidak menyadari betapa pentingnya dan potensialnya energi panas bumi di Indonesia. Berbagai konferensi dan seminar diadakan untuk mengundang dan mendorong investor mengembangkan proyek energi panas bumi. Misalnya, tahun 2010, diadakan World Geothermal Congress di Bali. Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan rencana pemerintah untuk membangun 44 pembangkit listrik panas bumi sebelum 2014, yang akan meningkatkan kapasitas produksi energi panas bumi saat ini menjadi 4.000 MW.
Pemerintah bahkan mengungkapkan rencana ambisiusnya untuk membangun hingga 9.000 MW pembangkit listrik panas bumi sebelum tahun 2025.

Namun, tetap saja pengembangan energi panas bumi berjalan di tempat. Pemerintah misalnya telah memasukan berbagai proyek energi panas bumi dalam program Power Crash Program tahap 2, yang sebagian besar akan datang dari proyek panas bumi. Namun, faktanya banyak proyek panas bumi terhambat dengan berbagai alasan, mulai dari alasan lambannya pembebasan lahan, masalah izin dari Departemen Kehutanan, harga listrik yang belum disepakati, kegagalan perusahaan atau pemegang konsensi dalam memperoleh financing, dan penyebab lainnya.

Tidak heran bila beberapa pengusaha energi panas bumi mengungkapkan kekecewaan mereka. Mereka mengatakan yang dibutuhkan pihak swasta adalah dukungan regulasi dari pemerintah. 

Belasan proyek energi panas bumi mandeg pada fase eksplorasi. Bulan Juni 2013 lalu, saat penyelenggaraan International Geothermal Conference and Exhibition, pemerintah mengumumkan rencana untuk menaikkan harga tarif listrik yang akan dibeli dari perusahaan pengembang energi panas bumi. Langkah tersebut merupakan salah satu upaya untuk membuat proyek-proyek panas bumi menjadi commercially viable.

Di balik lambannya pengembangan proyek-proyek energi panas bumi tersebut, muncul berita yang sedikit melegakan hari ini, mengenai kelanjutan proyek energi panas bumi Rantau Dedap (PLTP Rantau Dedap) oleh PT Supreme Energy, yang bermitra dengan investor asing, GDF Suez Energy International (Prancis), dan Marubeni Corporation (Jepang). Supreme Energy dan kedua mitranya membentuk sebuah perusahaan patungan PT Supreme Energy Rantau Dedap (PT SERD) dalam mengembangkan proyek panas bumi yang berlokasi di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.

Kita berharap, beberapa perusahaan yang telah memperoleh konsesi dari pemerintah segera merealisasikan proyek-proyek energi panas bumi mereka. Tentu, pemerintah dituntut untuk memberikan dukungan yang serius berupa kebijakan dan peraturan yang mendukung serta  koordinasi dengan berbagai pihak untuk memecahkanberbagai persoalan yang dihadapi perusahaan atau investor. Tanpa dukungan regulasi yang mendukung serta iklim investasi yang sehat, sulit untuk mengharapkan energi panas bumi dapat berkembang. 

Kita tahu, produksi dan cadangan minyak kita terus menurun dalam beberapa tahun terakhir dan bakal terus menurun bila tidak ada penemuan cadangan baru. Maka langkah yang perlu dilakukan pemerintah adalah mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan seperti panas bumi pada satu sisi dan pada sisi lain mendorong investor migas untuk meningkatkan investasi untuk eksplorasi migas. Dua-duanya membutuhkan iklim usaha yang sehat.(*)