Senin, 10 Juni 2013

Eksplorasi kunci peningkatan cadangan & produksi migas



Salah satu fasilitas produksi blok Mahakam (foto Antara)
Produksi minyak Indonesia pernah mencapai masa jayanya tahun 1995 dengan total produksi sebesar 1,6 juta barel per hari. Namun, sejak itu, produksi minyak terus menurun hingga hanya sebesar 50 persen dari produksi puncak tersebut. Pada kuartal pertama 2013, produksi minyak Indonesia hanya mencapai 830.900 bph, hampir sama dengan rata-rata produksi minyak sepanjang 2012.

Tahun lalu, produksi minyak kita sangat memprihatinkan, hanya mencapai 860.000 bph, jauh dibawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012 sebesar 930.000 bph. Dengan melihat tren tersebut, upaya untuk meningkatkan produksi minyak ke atas 1 juta bph terasa sulit. 

Harapan satu-satunya untuk mendongkrak produksi minyak adalah dari Blok Cepu. Namun, melihat lambannya proses pengembangan Blok Cepu, target produksi di atas 1 juta bph rasanya sulit dicapai dalam beberapa tahun ke depan bila tidak ada langkah drastis atau terobosan dari pemerintah.

Penurunan produksi minyak tentu memprihatinkan mengingat sektor minyak dan gas merupakan salah satu penopang ekonomi Indonesia. Industri migas tidak hanya berkontribusi pada pendapatan dan pengeluaran pemerintah (APBN), tapi juga menyediakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor pendukung migas seperti industri baja, industri pipa, industri perkapalan, produsen rig, oil platform/oil rigs, dsbnya. Ratusan ribu bahkan jutaan tenaga kerja bergantung pada sektor migas ini.

Para pengamat sudah memperkirakan produksi minyak Indonesia berada dalam tren menurun sementara produksi gas alam memasuki periode stagnasi. Hal itu disebabkan oleh lambannya eksplorasi dan pengembangan lapangan migas baru.

Menurut laporan Business Monitor International, yang berbasis di London, disamping kondisi lapangan yang kian menua, tren penurunan produksi juga diperburuk oleh kurangnya dukungan dari pemerintah dalam bentuk peraturan untuk mendorong eksplorasi.

Bisa jadi, kondisi ini diperburuk oleh semangat nasionalisme sempit yang ditiupkan sebagian kelompok masyarakat yang dapat mengurungkan niat sebagian investor migas untuk berinvestasi di Indonesia.
Untuk produksi gas alam, lembaga tersebut memperkirakan level cadangan stagnan, produksi dan penambahan cadangan seimbang. Penemuan cadangan gas alam di suatu tempat, seperti di Kalimantan Timur, diimbangi oleh pengurasan di lapangan lain.

Lembaga tersebut memperkirakan total produksi minyak Indonesia dapat mencapai 909.070 barel per hari (bph) pada 2014 dan naik naik tipis menjadi 915.950 bph pada 2015. Tampaknya peningkatan tersebut didorong oleh produksi minyak dari Blok Cepu. Namun, dalam jangka panjang BMI memperkirakan produksi minyak akan kembali turun hingga mencapai 865.100 bph pada 2017 dan mencapai titik terendah di 783.110 bph pada 2022.

Sebagian besar blok migas di Indonesia memang sudah memasuki usia senja. Peningkatan cadangan migas hanya bisa terjadi bila dilakukan upaya lebih keras dan investasi lebih banyak lagi untuk menemukan cadangan baru.

Salah satu contoh adalah Blok (PSC) Mahakam, yang sudah memproduksi gas alam (dan sebagian kecil minyak bumi) sekitar 40 tahun. Seperti yang dilaporkan Platts.com, mengutip kepala departemen hubungan media Total & P Indonesie, dalam beberapa hari terakhir, pada akhir 2012, sisa cadangan gas alam dan minyak pada blok tersebut sebesar 4,5 tcf dan 50 juta barel minyak.

Perkiraan cadangan menjadi 1,3-1,6 tcf pada 2018, dengan asumsi tingkat penyusutan 50 persen per tahun jika Total tidak melakukan apa-apa. Total E&P Indonesie, kata Kristianto, berusaha untuk menjaga agar penurunan hanya mencapai 15 persen per tahun.

Total, kata Kristianto, akan membelanjakan US$ 2,5 miliar tahun ini di Blok Mahakam, naik dari US$ 2,3 miliar pada 2012 mengingat blok tua seperti itu membutuhkan lebih banyak investasi.

Total memiliki sejumlah proyek saat ini dan yang direncanakan di Blok Mahakam untuk membantu mempertahankan tingkat produksi saat ini. Tetapi itu hanya sampai 2015.

Total E&P Indonesie saat ini memiliki dua proyek pembangunan, yaitu South Mahakam fase 3 yang diperkirakan dimulai pada paruh kedua 2015 dan Peciko 7B yang diharapkan mulai beroperasi pada 2014. Setelah itu akan sulit bagi perusahaan untuk mengembangkan lapangan baru di Blok Mahakam, lanjut Kristianto.

Di satu sisi, permintaan atau konsumsi BBM di Indonesia terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. BMI memperkirakan, konsumsi BBM akan terus meningkat menjadi 1,60 juta bph pada 2017, dari 1,41 juta bph pada 2012, dan terus meningkat ke 1,81 juta bph pada 2021.

Akibatnya, jurang antara produksi minyak dan konsumsi BBM semakin lebar. Konsekuensi lanjutannya, belanja pemerintah untuk mengimpor minyak akan terus meningkat, apalagi bila subsidi BBM terus dipertahankan.

Kuncinya memang tidak lain, yakni meningkatkan produksi minyak agar paling tidak mendekati tingkat konsumsi/permintaan.

Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk terus mendorong investasi di sektor minyak dan gas, khususnya di sektor eksplorasi. Semakin banyak investasi untuk eksplorasi, semakin besar kemungkinan ditemukannya cadangan minyak dan gas baru.

Disamping itu, iklim investasi perlu dijaga agar tetap kondusif dan produsen migas atau investor migas merasa nyaman untuk berinvestasi di Indonesia. Dukungan pemerintah diperlukan mengingat investasi di sektor migas, khususnya eksplorasi, berisiko tinggi, apalagi investasi di laut lepas dan laut dalam. 

Khusus untuk eksplorasi laut dalam, pemerintah perlu memberikan dukungan berupa insentif mengingat tingginya resiko. Tentu saja tugas menciptakan iklim investasi tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tapi juga semua pemangku kepentingan, termasuk DPR, lembaga yudisial, pemerintah daerah dan pelaku industri migas.

Semua perlu bahu-membahu menciptakan iklim investasi yang kondusif dan mendorong investasi di sektor migas agar dalam jangka menengah-panjang produksi minyak dan gas kita meningkat, sehingga kita tak harus menguras tenaga dan emosi untuk berdebat dan saling menyalahkan soal kenaikan harga BBM bersubsidi seperti saat ini. (*)

#migas #produksimigas #APBN #blokmahakam

Kekurangan Tenaga Eksekutif Ciptakan Perang Tawaran Kenaikan Gaji



Bila Anda bekerja di sebuah perusahaan pada level manajer ke atas, lalu ditawari pindah kerja dengan tawaran gaji lebih tinggi? Apa yang Anda lakukan? Menurut sebuah survei yang dilakukan sebuah perusahaan consulting ternama, Monroe Consulting Group, hampir 100 persen menyatakan siap pindah.

Berikut full text press release lembaga tersebut:

Hampir 100 persen kalangan profesional di Indonesia siap pindah kerja jika mendapat tawaran pekerjaan dari perusahaan lain. Fakta ini terungkap dalam survei terkini oleh Monroe Consulting Group, salah satu perusahaan rekrutmen eksekutif terdepan di Asia Tenggara.

Sebanyak 597 orang dari kalangan profesional di Indonesia yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 14 juta per bulan menjadi responden dalam survei Responden survei Monroe Consulting Group tersebut. Survei itu juga menunjukkan motivasi utama kepindahan tersebut adalah peningkatan pendapatan.

Lebih dari 25 persen responden menyatakan mereka mengharapkan kantor barunya memberikan kenaikan gaji pokok lebih dari 50 persen. Sementara itu, 18 persen responden lainnya akan meminta kenaikan gaji antara 41 persen hingga 50 persen jika dibajak.

“Hasil survei ini benar-benar luar biasa karena menunjukkan kalangan eksekutif di Indonesia punya tendensi besar pindah ke perusahaan lain,” kata Regional Managing Director Monroe, Andrew Hairs. “Asalkan benefit yang ditawarkan lebih baik, maka mereka siap pindah kerja.”

Hairs mengatakan, mayoritas responden sebenarnya cukup puas dengan pekerjaannya yang sekarang. Tak heran survei mengungkapkan, 40 persen dari mereka akan membatalkan pengunduran diri jika diberikan promosi atau kenaikan gaji.

Menurut Hairs, survei ini menunjukkan saat ini ketersediaan sumber daya manusia pada level eksekutif tidak sebanding dengan ledakan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Padahal, kata Hairs, kebutuhan semakin tinggi akibat ekspansi secara masif oleh perusahaan lokal dan masuknya perusahaan asing.

“Kekurangan tersebut membuat banyak perusahaan harus bekerja keras mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas buat mengisi posisi-posisi kunci,” kata Hairs. “Akibatnya ada perang tawar menawar yang membuat karier dan besarnya gaji karyawan perusahaan Indonesia meningkat dengan cepat.”

Bagi kalangan profesional itu kabar baik, namun menurut Deputy Country Manager Monroe di Indonesia, Bagus Hendrayono, buat perusahaan itu jadi masalah besar. “Banyak perusahaan frustasi dengan terus meningkatnya permintaan kenaikan gaji oleh karyawan dan para pencari kerja,” ujarnya.

Bagus melihat tren kenaikan itu tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Namun kecenderungan itu tidak akan bertahan dalam jangka panjang.

“Monroe melihat kenaikan itu akan melambat bahkan ada potensi menurun pada 2015,” kata Bagus. “Pada saat itu akan ada kebijakan yang memudahkan masuknya sumber daya manusia dari Komunitas Ekonomi ASEAN.”

Kebijakan itu akan membuka keran aliran pekerja asing dari nega-negara ASEAN. Mereka bisa mengisi kekurangan posisi eksekutif menengah di Indonesia.  (*)


Jumat, 07 Juni 2013

BBM, Produksi Migas & Politik Muka Dua PKS

Jakarta (7 Juni 2013) -Dalam beberapa minggu terakhir, bila kita melewati jalan-jalan tertentu, kita mungkin berpapasan dengan spanduk yang berisi slogan ‘Hanya Bebani Rakyat, Tolak BBM Naik’. Pada titik itu, kita mungkin setuju
.

Bermain di air keruh (courtesy foto Jakarta Globe)

Bila melihat lebih teliti di samping kiri atau kanan spanduk tersebut, terlihat sebuah lambang partai yang sedang jadi sorotan publik gara-gara terlibat kasus suap sapi, yakni PKS.

Adalah mantan presiden PKS Luthfie Hasan dan kaki tangannya Fathonah yang kini sedang jadi pesakitan, berhadapan dengan kursi pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.


Kasus tersebut menyita perhatian publik karena menyeret beberapa nama beken artis, model, penyanyi dangdut dan bahkan gadis bau kencur.

Bila spanduk tersebut dibentangkan oleh kelompok mahasiswa yang tidak terafiliasi dengan partai-partai tertentu atau kelompok masyarakat, kehadiran spanduk tersebut masih bisa dimaklumi. Namun, patut dipertanyakan bila yang melakukan hal tersebut adalah PKS. Pasalnya, partai ini merupakan bagian dari koalisi pemerintah.

Ada tiga menteri yang berada dalam kabinet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menteri-menteri asal PKS seperti Tifatul Sembiring sudah mengatakan dukungannya terhadap keputusan pemerintah menaikkan BBM, karena pemerintah memang harus satu suara. Tapi sebagai Partai, PKS malah membentangkan spanduk-spanduk di jalan menentang rencana pemerintah tersebut.

Tidak mengeharankan bila ulah PKS tersebut mengundang kritik dan protes keras dari berbagai pihak, termasuk, Partai Demokrat dan juru bicara Istana. PKS diultimatum agar menghentikan pemasangan spanduk-spanduk yang membingungkan dan terkesan memprovokasi masyarakat tersebut.

Pemasangan spanduk bernada provokasi tersebut bisa jadi merupakan upaya PKS untuk menarik simpati masyarakat jelang pemilihan umum 2014. PKS sedang membangkitkan kembali simpati masyarakat yang sudah keburu luntur akibat ulah petinggi-petinggi partai akibat kasus suap impor sapi di atas.

Sebagai bagian dari partai koalisi, seharusnya PKS secara gentle ikut bertanggung jawab terhadap keputusan pemerintah menaikkan harga BBM dan turut mensosialisasikannya. Bukan malah membenturkan masyarakat dengan pemerintah.

Ada banyak cara kita mengkritisi dan memprotes pemerintah terkait rencana kenaikan harga BBM tersebut. Persoalan subsidi BBM yang membengkak tidak berdiri sendiri. Tapi ada persoalan yang lebih mendasar, yakni produksi minyak kita yang terus turun. Seharusnya, masalah ini yang ditagih oleh PKS atau masyarakat ke pemerintah agar masalah BBM ini tidak menjadi momok yang menakutkan setiap tahun.

Sebagai partai dan sebagai warga negara, kita perlu menuntut pemerintah agar terus mendorong investasi di sektor migas, baik untuk aktivitas eksplorasi maupun untuk meningkatkan produksi minyak dan gas.

Pemerintah perlu menjaga agar investasi, baik asing maupun perusahaan migas lokal, terus meningkat. Pemerintah perlu menjaga iklim investasi agar tetap menarik dan investor merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.

Pemerintah juga perlu menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang diambil dilakukan berdasarkan atas analisa risiko dan keuntungan dalam memperpanjang atau tidak memperpanjang kontrak pengelolaan migas, bukan atas dasar kepentingan sesaat, orang-per orang atau nasionalisme sempit. Misalnya dalam kasus pengelolaan Blok Mahakam. Alasan rasional, seperti jaminan konsistensi produksi gas alam, komitmen investasi dan penguasaan teknologi, harus menjadi pertimbangan utama.

Investor harus diyakinkan bahwa investasi mereka di Indonesia dijamin. Dengan demikian dalam jangka menengah panjang produksi minyak dan gas kita meningkat

Hal-hal substantial seperti ini yang seharusnya menjadi sorotan partai-partai politik. Bukan malah mengail di air keruh untuk kepentingan diri sendiri. Kita berharap agar partai-partai lebih dewasa dan beretika dalam memainkan peran mereka. Sebagaimana rakyat kian pintar membaca situasi, partai politik pun seharusnya lebih pintar dan beretika. Bila tidak, siap-siaplah menjadi 'almarhum/almarhumah'. (*)

Selasa, 04 Juni 2013

Harga BBM Bersubsidi & Produksi Migas



Hari-hari ini media, baik cetak, audiovisual maupun online, ramai memberitakan perdebatan terkait rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Bila tidak ada aral melintang, kenaikan tersebut bakal dilakukan minggu ke-3 bulan Juni, jelang Lebaran.

Pemerintah beralasan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bakal jebol bila pemerintah terus menggelontorkan subsidi BBM, karena itu subsidi harus dibatasi dengan konsekuensi menaikkan harga BBM bersubsidi.


Bila melihat harga BBM bersubsidi, memang sudha jauh berada di bawah harga pasar dan BBM industri. Saat ini BBM bersubsidi dipatok pada tingkat Rp4.500 per liter untuk premium, jauh di bawah harga BBM industri sebesar Rp9.300 per liter. Akibatnya, mengundang penyelundupan dan pemanfaatan BBM subsidi yang tidak tepat.

Idealnya, subsidi diberikan kepada yang membutuhkan, seperti untuk transportasi umum, kebutuhan nelayan dan masyarakat kecil. Namun, yang terjadi, kelompok masyarakat menengah ke atas, yang seharusnya dapat membeli BBM dengan harga pasar, ikut menikmati harga BBM bersubsidi.

Bila kita melirik harga BBM ke negara-negara tetangga, harga BBM kita juga jauh di bawah. Misalnya, harga BBM dengan Ron 90 (premium) sebesar Rp4.500, sementara di Vietnam, untuk RON 92 seharga Rp15.553, Laos Rp13.396 dan Kamboja Rp13.298.

Ada yang mengatakan juga bahwa harga BBM bersubsi yang murah saat ini menghambat upaya pengembangan energi terbarukan.

Masyarakat juga sudah sepertinya dimanjakan oleh pemerintah dengan harga BBM yang disubsidi, padahal Indonesia bukan negara eksportir minyak. Indoensia sudah sejak pertengahan 2000, keluar dari anggota OPEC setelah Indonesia beralih menjadi negara pengimpor minyak. Produksi minyak Indonesia terus turun dari puncaknya 1,6 juta barel per hari tahun 1995 hingga menjadi 850,000-900,000 saat ini.

Banyak alasan mengapa produksi minyak saat ini terus menurun, antara lain, berkurangnya investasi untuk explorasi minyak, lapangan yang berproduksi sudah tua (ageing), berbagai hambatan teknis perizinan serta iklim investasi yang kurang kondusif.

Contoh nyata adalah terlambatnya produksi puncak Blok Cepu yang sedianya tercapai tahun 2013, tapi tampaknya tertunda hingga tahun 2014 atau 2015. Padahal, blok Cepu dapat memproduksi minyak hingga 165,000 barel per hari saat puncaknya nanti. Namun, terhambat oleh berbagai masalah teknis seperti perizinan lokasi fasilitas produksi dan pembebasan lahan.

Baru-baru ini juga kita menyaksikan salah satu pemerintah daerah di Sumatera menyegel sumur produksi minyak dengan alasan belum memiliki izin. Padahal, perusahaan minyak dan gas tersebut, Petrochina, mengklaim telah mengantongi izin. Lagi-lagi ini menunjukkan ketidaksinkronan perizinan dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Ada beberapa isu lain yang membuat cemas produsen minyak dan gas atau kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Misalnya, kasus bioremediasi yang menyeret kontraktor Chevron Pacific Indonesia di Sumatera Utara serta ketidakpastian terkait perpanjangan kontrak Total Indonesie dalam mengelola Blok Mahakam. 

Blok Mahakam saat ini merupakan tulang punggung produksi gas alam Indonesia dan telah berpengalaman kurang lebih 40 tahun dalam mengelola blok yang berada di rawa-rawa tersebut. Total Indonesie sebagai operator blok tersebut serta Inpex sebagai mitra, membutuhkan kepastian dari pemerintah mengenai kelanjutan pengelolaan blok tersebut pasca berakhirnya kontrak 2017. Kepastian dibutuhkan mengingat tiap tahun operator menggelontorkan investasi kurang lebih US$2.5-US$3 miliar per tahun, nilai investasi yang tidak sedikit.

Kembali ke persoalan pokok tadi, rencana kenaikan BBM tersebut juga ditentang oleh berbagai pihak. Alasannya, keputusan tersebut akan memberatkan masyarakat. Masyarakat tidak hanya dibebani oleh harga BBM yang naik, tapi juga dihantui oleh keputusan pengusaha untuk menaikkan harga produk. Pedagang di pasar, seperti pedagang sayur, buah, telor, ikan dan sebagainya seperti latah menaikkan harga produk mereka. Padahal, tidak semua ongkos produksi barang mengalami kenaikan. Harga BBM industri tidak berubah, toh pelaku industri menaikkan harga barang.

Dampak kenaikkan harga BBM memang akan menyebar ke berbagai aktivitas perekonomian. Ada yang terkena dampak langsung dari kenaikkan harga BBM bersubsidi, tapi ada yang kena dampak tidak langsung. Ada juga yang sekadar latah, menaikkan harga barang. Siapa pun tidak ingin harga barang naik, karena itu berarti masyarakat akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli produk yang diinginkan, padahal pendapatan mereka tetap.

Pada titik mengurangi subsidi, berbagai pihak sepakat. Namun, pemerintah juga dikritik karena gagal menaikkan produksi minyak. Andaikan produksi minyak kita meningkat di atas 1 juta barel, maka subsidi yang diberikan tentu tak sebesar saat ini. Ratusan triliun yang dialokasikan untuk subsidi BBM, dapat digunakan untuk membangun dan merenovasi sekolah, fasilitas umum, membangun jalan dan jembatan dan infrastruktur lain.

Ribut-ribut soal BBM di hilir sebetulnya juga merefleksikan persoalan di hulu industri minyak
dan gas kita. Persoalan mendasar adalah penurunan produksi minyak. Subsidi dan kompensasi yang diberikan pemerintah berupaya tunai langsung hanya solusi sementara. Pemerintah harus mengatasi persoalan di hulu, yakni penurunan produksi minyak, bila ingin menyeselaikan persoalan BBM yang terus menghantui pemerintah dan masyarakat setiap tahun.

Menaikkan atau mempertahankan harga BBM subsidi saat ini, merupakan dua pilihan yang sama buruknya. Bila tidak dinaikkan, APBN bisa jebol, sementara bila menaikkan harga BBM, masyarakat akan terbebani.

Tentu keputusan tersebut akan melahirkan pro dan kontra. Tentu ada juga pihak-pihak yang berupaya mengail di air keruh. Partai tertentu, seperti PKS, tampak bermuka dua. Pada satu sisi, PKS adalah partai koalisi pemerintah, artinya partai tersebut harusnya mendukung rencana pemerintah. Namun, pada sisi lain, partai ini berkoar-koar di arus bawah, menolak kenaikan harga BBM.

Pemerintah juga dikritik, karena rencana pemerian bantuan tunai langsung ke masyarakat atau rakyat yang terkena dampak paling buruk dari kenaikan BBM, akan dimanfaatkan untuk menarik simpasi masyarakat jelang pemilu 2014.

Ongkos politik dari keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi juga mahal. Pemerintah harus siap-siap terjadinya gelombang demonstrasi menolak kenaikkan harga BBM bersubsidi. Seperti yang kita lihat, sudah mulai ada demonstrasi sporadis mahasiswa menentang keputusan pemerintah tersebut. Gelombang demonstrasi bisa bereskalasi bila pemerintah gagal mengantisipasi dan menghadapi protest masyarakat dengan cara represif. SPBU Pertamina bisa jadi sasaran empuk pelempiasan amarah sekelompok masyarakat.

Setiap kita pasti punya pendapat masing-masing, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju dengan rencana kenaikan tersebut. Mungkin juga ada yang cuek saja. Tapi, apapun keputusan yang diambil pemerintah, dampak dari keputusan tersebut harus bisa dikendalikan dikurangi. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi alasan menaikkan harga BBM. Bantuan tunai langsung juga harus sesuai sasaran dan tidak dimanipulasi untuk kepentingan citra partai.

Pada saat yang sama, pemerintah harus bekerja keras untuk mendorong meningkatkan produksi minyak dan gas.  (*)