Salah satu fasilitas produksi blok Mahakam (foto Antara) |
Produksi minyak Indonesia
pernah mencapai masa jayanya tahun 1995 dengan total produksi sebesar 1,6 juta
barel per hari. Namun, sejak itu, produksi minyak terus menurun hingga hanya
sebesar 50 persen dari produksi puncak tersebut. Pada kuartal pertama 2013,
produksi minyak Indonesia hanya mencapai 830.900 bph, hampir sama dengan
rata-rata produksi minyak sepanjang 2012.
Tahun lalu, produksi minyak kita sangat memprihatinkan, hanya mencapai 860.000 bph, jauh dibawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012 sebesar 930.000 bph. Dengan melihat tren tersebut, upaya untuk meningkatkan produksi minyak ke atas 1 juta bph terasa sulit.
Harapan
satu-satunya untuk mendongkrak produksi minyak adalah dari Blok Cepu. Namun,
melihat lambannya proses pengembangan Blok Cepu, target produksi di atas 1 juta
bph rasanya sulit dicapai dalam beberapa tahun ke depan bila tidak ada langkah
drastis atau terobosan dari pemerintah.
Penurunan
produksi minyak tentu memprihatinkan mengingat sektor minyak dan gas merupakan
salah satu penopang ekonomi Indonesia. Industri migas tidak hanya berkontribusi
pada pendapatan dan pengeluaran pemerintah (APBN), tapi juga menyediakan
lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor pendukung migas seperti
industri baja, industri pipa, industri perkapalan, produsen rig, oil
platform/oil rigs, dsbnya. Ratusan ribu bahkan jutaan tenaga kerja bergantung
pada sektor migas ini.
Para pengamat
sudah memperkirakan produksi minyak Indonesia berada dalam tren menurun
sementara produksi gas alam memasuki periode stagnasi. Hal itu disebabkan oleh
lambannya eksplorasi dan pengembangan lapangan migas baru.
Menurut laporan
Business Monitor International, yang berbasis di London, disamping kondisi
lapangan yang kian menua, tren penurunan produksi juga diperburuk oleh
kurangnya dukungan dari pemerintah dalam bentuk peraturan untuk mendorong
eksplorasi.
Bisa jadi,
kondisi ini diperburuk oleh semangat nasionalisme sempit yang ditiupkan
sebagian kelompok masyarakat yang dapat mengurungkan niat sebagian investor
migas untuk berinvestasi di Indonesia.
Untuk produksi
gas alam, lembaga tersebut memperkirakan level cadangan stagnan, produksi dan
penambahan cadangan seimbang. Penemuan cadangan gas alam di suatu tempat,
seperti di Kalimantan Timur, diimbangi oleh pengurasan di lapangan lain.
Lembaga tersebut
memperkirakan total produksi minyak Indonesia dapat mencapai 909.070 barel per
hari (bph) pada 2014 dan naik naik tipis menjadi 915.950 bph pada 2015.
Tampaknya peningkatan tersebut didorong oleh produksi minyak dari Blok Cepu.
Namun, dalam jangka panjang BMI memperkirakan produksi minyak akan kembali
turun hingga mencapai 865.100 bph pada 2017 dan mencapai titik terendah di 783.110
bph pada 2022.
Sebagian besar
blok migas di Indonesia memang sudah memasuki usia senja. Peningkatan cadangan
migas hanya bisa terjadi bila dilakukan upaya lebih keras dan investasi lebih
banyak lagi untuk menemukan cadangan baru.
Salah satu contoh
adalah Blok (PSC) Mahakam, yang sudah memproduksi gas alam (dan sebagian kecil
minyak bumi) sekitar 40 tahun. Seperti yang dilaporkan Platts.com, mengutip kepala departemen hubungan media Total & P
Indonesie, dalam beberapa hari terakhir, pada akhir 2012, sisa cadangan gas
alam dan minyak pada blok tersebut sebesar 4,5 tcf dan 50 juta barel minyak.
Perkiraan
cadangan menjadi 1,3-1,6 tcf pada 2018, dengan asumsi tingkat penyusutan 50
persen per tahun jika Total tidak melakukan apa-apa. Total E&P Indonesie,
kata Kristianto, berusaha untuk menjaga agar penurunan hanya mencapai 15 persen
per tahun.
Total, kata
Kristianto, akan membelanjakan US$ 2,5 miliar tahun ini di Blok Mahakam, naik
dari US$ 2,3 miliar pada 2012 mengingat blok tua seperti itu membutuhkan lebih
banyak investasi.
Total memiliki
sejumlah proyek saat ini dan yang direncanakan di Blok Mahakam untuk membantu
mempertahankan tingkat produksi saat ini. Tetapi itu hanya sampai 2015.
Total E&P
Indonesie saat ini memiliki dua proyek pembangunan, yaitu South Mahakam fase 3
yang diperkirakan dimulai pada paruh kedua 2015 dan Peciko 7B yang diharapkan
mulai beroperasi pada 2014. Setelah itu akan sulit bagi perusahaan untuk
mengembangkan lapangan baru di Blok Mahakam, lanjut Kristianto.
Di satu sisi,
permintaan atau konsumsi BBM di Indonesia terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan ekonomi. BMI memperkirakan, konsumsi BBM akan terus meningkat
menjadi 1,60 juta bph pada 2017, dari 1,41 juta bph pada 2012, dan terus
meningkat ke 1,81 juta bph pada 2021.
Akibatnya,
jurang antara produksi minyak dan konsumsi BBM semakin lebar. Konsekuensi
lanjutannya, belanja pemerintah untuk mengimpor minyak akan terus meningkat,
apalagi bila subsidi BBM terus dipertahankan.
Kuncinya
memang tidak lain, yakni meningkatkan produksi minyak agar paling tidak
mendekati tingkat konsumsi/permintaan.
Oleh karena itu, pemerintah
dituntut untuk terus mendorong investasi di sektor minyak dan gas, khususnya di
sektor eksplorasi. Semakin banyak investasi untuk eksplorasi, semakin besar
kemungkinan ditemukannya cadangan minyak dan gas baru.
Disamping itu, iklim
investasi perlu dijaga agar tetap kondusif dan produsen migas atau investor
migas merasa nyaman untuk berinvestasi di Indonesia. Dukungan pemerintah
diperlukan mengingat investasi di sektor migas, khususnya eksplorasi, berisiko
tinggi, apalagi investasi di laut lepas dan laut dalam.
Khusus untuk eksplorasi laut
dalam, pemerintah perlu memberikan dukungan berupa insentif mengingat tingginya
resiko. Tentu saja tugas menciptakan iklim investasi tidak hanya menjadi tugas
pemerintah, tapi juga semua pemangku kepentingan, termasuk DPR, lembaga
yudisial, pemerintah daerah dan pelaku industri migas.
Semua perlu bahu-membahu
menciptakan iklim investasi yang kondusif dan mendorong investasi di sektor
migas agar dalam jangka menengah-panjang produksi minyak dan gas kita
meningkat, sehingga kita tak harus menguras tenaga dan emosi untuk berdebat dan
saling menyalahkan soal kenaikan harga BBM bersubsidi seperti saat ini. (*)
#migas #produksimigas #APBN #blokmahakam