Hari-hari ini media, baik cetak, audiovisual
maupun online, ramai memberitakan perdebatan terkait rencana pemerintah
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Bila tidak ada aral
melintang, kenaikan tersebut bakal dilakukan minggu ke-3 bulan Juni, jelang
Lebaran.
Pemerintah beralasan anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) bakal jebol bila pemerintah terus
menggelontorkan subsidi BBM, karena itu subsidi harus dibatasi dengan
konsekuensi menaikkan harga BBM bersubsidi.
Bila
melihat harga BBM bersubsidi, memang sudha jauh berada di bawah harga pasar dan
BBM industri. Saat ini BBM bersubsidi dipatok pada tingkat Rp4.500 per liter
untuk premium, jauh di bawah harga BBM industri sebesar Rp9.300 per liter.
Akibatnya, mengundang penyelundupan dan pemanfaatan BBM subsidi yang tidak
tepat.
Idealnya, subsidi diberikan kepada
yang membutuhkan, seperti untuk transportasi umum, kebutuhan nelayan dan
masyarakat kecil. Namun, yang terjadi, kelompok masyarakat menengah ke atas,
yang seharusnya dapat membeli BBM dengan harga pasar, ikut menikmati harga BBM
bersubsidi.
Bila
kita melirik harga BBM ke negara-negara tetangga, harga BBM kita juga jauh di
bawah. Misalnya, harga BBM dengan Ron 90 (premium) sebesar Rp4.500, sementara
di Vietnam, untuk RON 92 seharga Rp15.553, Laos Rp13.396 dan Kamboja Rp13.298.
Ada yang mengatakan juga bahwa harga
BBM bersubsi yang murah saat ini menghambat upaya pengembangan energi
terbarukan.
Masyarakat juga sudah sepertinya
dimanjakan oleh pemerintah dengan harga BBM yang disubsidi, padahal Indonesia
bukan negara eksportir minyak. Indoensia sudah sejak pertengahan 2000, keluar
dari anggota OPEC setelah Indonesia beralih menjadi negara pengimpor minyak.
Produksi minyak Indonesia terus turun dari puncaknya 1,6 juta barel per hari
tahun 1995 hingga menjadi 850,000-900,000 saat ini.
Banyak alasan mengapa produksi
minyak saat ini terus menurun, antara lain, berkurangnya investasi untuk
explorasi minyak, lapangan yang berproduksi sudah tua (ageing), berbagai
hambatan teknis perizinan serta iklim investasi yang kurang kondusif.
Contoh nyata adalah terlambatnya
produksi puncak Blok Cepu yang sedianya tercapai tahun 2013, tapi tampaknya
tertunda hingga tahun 2014 atau 2015. Padahal, blok Cepu dapat memproduksi
minyak hingga 165,000 barel per hari saat puncaknya nanti. Namun,
terhambat oleh berbagai masalah teknis seperti perizinan lokasi fasilitas
produksi dan pembebasan lahan.
Baru-baru ini juga kita menyaksikan salah
satu pemerintah daerah di Sumatera menyegel sumur produksi minyak dengan alasan
belum memiliki izin. Padahal, perusahaan minyak dan gas tersebut, Petrochina, mengklaim
telah mengantongi izin. Lagi-lagi ini menunjukkan ketidaksinkronan perizinan
dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Ada beberapa isu lain yang membuat cemas produsen minyak dan gas atau kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Misalnya, kasus bioremediasi yang menyeret kontraktor Chevron Pacific Indonesia di Sumatera Utara serta ketidakpastian terkait perpanjangan kontrak Total Indonesie dalam mengelola Blok Mahakam.
Blok Mahakam saat ini merupakan tulang punggung produksi gas alam Indonesia dan telah berpengalaman kurang lebih 40 tahun dalam mengelola blok yang berada di rawa-rawa tersebut. Total Indonesie sebagai operator blok tersebut serta Inpex sebagai mitra, membutuhkan kepastian dari pemerintah mengenai kelanjutan pengelolaan blok tersebut pasca berakhirnya kontrak 2017. Kepastian dibutuhkan mengingat tiap tahun operator menggelontorkan investasi kurang lebih US$2.5-US$3 miliar per tahun, nilai investasi yang tidak sedikit.
Kembali ke persoalan pokok tadi,
rencana kenaikan BBM tersebut juga ditentang oleh berbagai pihak. Alasannya,
keputusan tersebut akan memberatkan masyarakat. Masyarakat tidak hanya dibebani
oleh harga BBM yang naik, tapi juga dihantui oleh keputusan pengusaha untuk
menaikkan harga produk. Pedagang di pasar, seperti pedagang sayur, buah, telor,
ikan dan sebagainya seperti latah menaikkan harga produk mereka. Padahal, tidak
semua ongkos produksi barang mengalami kenaikan. Harga BBM industri tidak
berubah, toh pelaku industri menaikkan harga barang.
Dampak kenaikkan harga BBM memang
akan menyebar ke berbagai aktivitas perekonomian. Ada yang terkena dampak
langsung dari kenaikkan harga BBM bersubsidi, tapi ada yang kena dampak tidak
langsung. Ada juga yang sekadar latah, menaikkan harga barang. Siapa pun tidak
ingin harga barang naik, karena itu berarti masyarakat akan mengeluarkan uang
lebih banyak untuk membeli produk yang diinginkan, padahal pendapatan mereka
tetap.
Pada titik mengurangi subsidi, berbagai
pihak sepakat. Namun, pemerintah juga dikritik karena gagal menaikkan produksi
minyak. Andaikan produksi minyak kita meningkat di atas 1 juta barel, maka
subsidi yang diberikan tentu tak sebesar saat ini. Ratusan triliun yang
dialokasikan untuk subsidi BBM, dapat digunakan untuk membangun dan merenovasi
sekolah, fasilitas umum, membangun jalan dan jembatan dan infrastruktur lain.
Ribut-ribut soal BBM di hilir
sebetulnya juga merefleksikan persoalan di hulu industri minyak
dan gas kita. Persoalan mendasar
adalah penurunan produksi minyak. Subsidi dan kompensasi yang diberikan
pemerintah berupaya tunai langsung hanya solusi sementara. Pemerintah harus
mengatasi persoalan di hulu, yakni penurunan produksi minyak, bila ingin
menyeselaikan persoalan BBM yang terus menghantui pemerintah dan masyarakat
setiap tahun.
Menaikkan atau mempertahankan harga
BBM subsidi saat ini, merupakan dua pilihan yang sama buruknya. Bila tidak
dinaikkan, APBN bisa jebol, sementara bila menaikkan harga BBM, masyarakat akan
terbebani.
Tentu keputusan tersebut akan
melahirkan pro dan kontra. Tentu ada juga pihak-pihak yang berupaya mengail di
air keruh. Partai tertentu, seperti PKS, tampak bermuka dua. Pada satu sisi,
PKS adalah partai koalisi pemerintah, artinya partai tersebut harusnya
mendukung rencana pemerintah. Namun, pada sisi lain, partai ini berkoar-koar di
arus bawah, menolak kenaikan harga BBM.
Pemerintah juga dikritik, karena
rencana pemerian bantuan tunai langsung ke masyarakat atau rakyat yang terkena
dampak paling buruk dari kenaikan BBM, akan dimanfaatkan untuk menarik simpasi
masyarakat jelang pemilu 2014.
Ongkos politik dari keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi juga
mahal. Pemerintah harus siap-siap terjadinya gelombang demonstrasi
menolak kenaikkan harga BBM bersubsidi. Seperti yang kita lihat, sudah
mulai ada demonstrasi sporadis mahasiswa menentang keputusan pemerintah
tersebut. Gelombang demonstrasi bisa bereskalasi bila pemerintah gagal
mengantisipasi dan menghadapi protest masyarakat dengan cara represif. SPBU
Pertamina bisa jadi sasaran empuk pelempiasan amarah sekelompok masyarakat.
Setiap kita pasti punya pendapat
masing-masing, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju dengan rencana
kenaikan tersebut. Mungkin juga ada yang cuek saja. Tapi, apapun keputusan yang
diambil pemerintah, dampak dari keputusan tersebut harus bisa dikendalikan
dikurangi. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi alasan menaikkan harga BBM.
Bantuan tunai langsung juga harus sesuai sasaran dan tidak dimanipulasi untuk
kepentingan citra partai.
Pada saat yang sama, pemerintah
harus bekerja keras untuk mendorong meningkatkan produksi minyak dan gas. (*)