Wajah-wajah manis Polwan |
Apa yang muncul
dalam pikiran Anda ketika menyebut kata POLISI Republik Indonesia (Polri)?
Jawabannya pasti bermacam-macam. Mungkin ada ada yang membayangkan
seorang polisi yang dengan wajah sangar mendekati Anda, siap memberikan tiket
pelanggaran lalu lintas (tilang).
Bagi yang rajin menonton tayangan kondisi lalu lintas melalui sebuah televisi swasta, Metro TV mungkin Anda membayangkan wajah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang muncul dengan senyum manis, tak kalah dengan artis sinetron.
Bagi yang rajin menonton tayangan kondisi lalu lintas melalui sebuah televisi swasta, Metro TV mungkin Anda membayangkan wajah Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang muncul dengan senyum manis, tak kalah dengan artis sinetron.
Pikiran kita juga mungkin membayangkan polisi
lalu lintas yang dengan sabar mengatur lalu lintas atau polisi yang mengejar
penjahat atau pelaku teror. Anda tidak dipersalahkan bila yang muncul adalah
bayangan polisi ‘gendut’, bukan bentuk tubuhnya yang tidak proporsional, tapi
membayangkan rekeningnya yang membengkak hingga triliun rupiah.
Lihat saja polisi Aiptu Labora Sitorus yang
kini ditahan terkait kepemilikan rekening Rp1.5 triliun yang diduga diperoleh
dari cara memanfaatkan posisinya saat bertugas di Papua. Ia diduga terlihat
bisnis haram pengolahan kayu ilegal di Sorong, Papua Barat. Menurut laporan
Tempo, Sitorus juga diduga terlibat dalam distribusi BBM ilegal.
Kasus yang heboh yang menyita perhatian
masyarakat dalam beberapa bulan terakhir adalah kasus Simulator SIM yang
melibatkan Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo, sebagai salah satu terdakwa.
Ia dituduh memperkaya diri sendiri sebesar Rp88,446 miliar dalam proyek senilai
lebih dari Rp 198 miliar.
Tidak mengherankan bila institusi kepolisian
disebutkan sebagai salah satu lembaga terkorup. Hari ini, Komisi Pemberatasan
Korupsi (KPK) menyebutkan Korps Bayangkara dan DPR sebagai lembaga terkorup.
Kontan, hasil penilaian KPK tersebut membuat berang institusi kepolisian.
Seorang anggota Polisi ditembak. (foto JG/EPA) |
Tentu tanggapan Kadiv Humas Polri tersebut
ingin membela institusi Kepolisian RI. Namun, merujuk berbagai kasus korupsi
yang melibatkan beberapa anggota polisi belakangan ini merupakan bukti nyata
betapa praktik korupsi masih merajalela di lembaga yang memiliki tugas untuk
melindungi masyarakat tersebut.
Berbagai kasus korupsi yang melanda Kepolisian
Indonesia (Polri) belakangan ini bertolak belakang dengan upaya kepolisian
untuk memperbaiki imej atau persepsi publik terhadap polisi. Lihatlah berbagai
spanduk atau iklan layanan masyarakat yang bertebaran di berbagai tempat bahwa
polisi adalah “pelindung masyarakat”, “pelayan masyarakat”. Belum lagi
wajah-wajah manis Polisi wanita yang saban hari menyapa pemirsa memberikan
laporan terkini terkait kondisi lalu lintas setiap pagi, siang atau sore hari.
Di tengah tipisnya kepercayaan publik pada
lembaga kepolisian, kini muncul masalah baru, aksi penembakan terhadap anggota
kepolisian. Dalam satu-dua bulan terakhir, beberapa orang anggtoa polisi tewas
ditembak oleh orang-orang yang tidak kenal. Motif aksi tersebut belum diketahui
secara pasti. Ada yang menyebutkan penembakan terhadap polisi merupakan aksi
balas dendam anggota jaringan teroris, tapi ada juga yang menyebutkan aksi
tersebut merupakan tindakan kriminal biasa yang kebetulan korbannya adalah anggota
polisi.
Ataukah jangan-jangan aksi tersebut merupakan
aksi pihak tertentu untuk menempatkan polisi sebagai korban. Sasarannya adalah
untuk mendapatkan simpati publik bahwa polisi adalah korban. Dengan adanya aksi
‘teror’ tersebut, pemerintah dan DPR perlu meningkatkan anggaran kepada
institusi Polisi.
Teori konspirasi seperti bisa saja muncul, apalagi kemudian muncul pernyataan berbagai pihak agar DPR dan pemerintah meningkatkan alokasi anggaran untuk Polri. Bila cara ini yang dilakukan, “kebangetan” dan tentu kita tidak mengharapkan hal ini yang melatarbelakangi aksi penembakan kepada anggota polisi belakangan ini.
Teori konspirasi seperti bisa saja muncul, apalagi kemudian muncul pernyataan berbagai pihak agar DPR dan pemerintah meningkatkan alokasi anggaran untuk Polri. Bila cara ini yang dilakukan, “kebangetan” dan tentu kita tidak mengharapkan hal ini yang melatarbelakangi aksi penembakan kepada anggota polisi belakangan ini.
Melihat berbagai
kasus korupsi yang melibatkan beberapa anggota polisi, tampaknya Polri perlu
bekerja lebih keras lagi untuk melakukan reformasi internal. Polisi adalah
bagian dari masyarakat dan memiliki tugas berat untuk menjaga keamanan,
melindungi dan memberi rasa aman pada masyarakat. Maka, publik pun punya
kepentingan memiliki lembaga kepolisian yang bersih, berwibawa dan mengayomi
masyarakat. Bila itu terjadi, maka tidak sulit bagi polisi untuk mendapatkan
dukungan publik.
Sebagai warga negara, tentu kita mengharapkan
agar Polri melakukan reformasi internal agar Polri menjadi lembaga yang bersih
dan berwibawa. Pada saat yang sama, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih
pada kesejahteraan bagi anggota polisi agar anggota polri lebih fokus pada
tugasnya, dan tidak berpikir untuk “nyambi” mencari uang untuk menghidupi
keluarganya. Tentu, meningkatkan kompensasi atau gaji, tidak serta merta
menghilangkan praktik korupsi, namun hal itu penting apalagi bagi anggota
polisi di tingkat bawah. Masyarakat dapat bertindak sebagai pengawas bagi
reformasi internal polisi. (*)