BBM subsidi |
Presiden terpilih Indonesia periode 2014-2019 Jokowi
tampaknya akan segera diuji dengan bola panas pencabutan subsidi BBM. Bola
panas yang sudah mulai digulirkan sejak jaman pemerintahan Megawati ini memang
seperti bom waktu. Cepat lambat memang sepertinya subsidi BBM perlu dicabut
karena terlalu membebani anggaran negara. Isu ini telah menjadi salah satu isu
panas padahal Jokowi belum lagi menjabat. Ahli dari berbagai kalangan sudah
penasaran apa yang akan menjadi keputusan Jokowi terkait isu ini nantinya.
Baru-baru ini BPH Migas mengeluarkan beberapa ketentuan
terkait pengendalian BBM subsidi yakni pengaturan waktu penjualan solar subsidi
di tiap SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan daerah lainnya yang hanya
boleh pada pukul 08.00-18.00 WIB, meniadakan premium di SPBU yang berada di
rest area jalan tol dan diganti dengan pertamax serta meniadakan penjualan
solar di Jakarta Pusat.
Menurut Jokowi, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
tersebut tidak mengambil keputusan yang tegas terkait pembatasan bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi. Pembatasan penjualan BBM bersubsidi akhirnya hanya
akan membuat pembeli beralih mencari SPBU yang masih menjual BBM bersubsidi.
Seperti jika wilayah SPBU di Jakarta Pusat tidak menjual BBM bersubsidi, maka
pembeli pasti akan mencari ke tempat lain, yang akhirnya membuat SPBU yang ada
di kota menjadi sepi. "Kalau saya tegas-tegas saja. Mau naik (harga BBM
bersubsidi), naik semuanya. Kalau saat ini, kan, di lokasi-lokasi tertentu saja
(pembatasan), ya akhirnya gini, yang dibatasin di SPBU tengah kota, ya
teriak," ungkapnya.
Jokowi mendukung pencabutan subsidi BBM, apabila sudah
melalui dikalkulasi dengan cermat, salah satunya yaitu dampaknya terhadap APBN.
"Tentu saja kalau mau menaikkan harus ada kalkulasi hitungannya. Ya
itungan semuanya, ekonomi, dampak sosial, politik semuanya," katanya.
Meski demikian Jokowi ogah menjawab apakah ia akan menaikkan
harga BBM nanti jika resmi dilantik sebagai presiden. Ia hanya mengatakan yang
terpenting adalah bagaimana mencari cara untuk mengurangi defisit BBM.
"Harus dilihat efisiensinya ada atau enggak. Kalau nggak ada ya udah. Tapi
kalau nggak ada dan harus BBM naik ya gimana," katanya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian,
Chairul Tanjung (CT) menganggap penyesuaian harga bukanlah satu-satunya jalan
untuk menyehatkan fiskal Indonesia. “Menurunkan subsidi BBM, jangan langsung
dengan kenaikan. Yang kita harus bicarakan adalah penurunan subsidi BBM. Kenaikan
harga BBM wajib dilakukan oleh pemerintah baru karena jumlah subsidinya sudah
terlalu besar dan persentase terhadap pengeluaran pemerintah sudah besar.
Daripada ini dibuang untuk suatu yang tak bermanfaat, lebih baik uangnya untuk
mengurangi angka kemiskinan yang menjadi permasalahan sekarang,” pungkasnya.